Suasana berlanjut hening setelah kepergian Tyas. Asti masih menunggu penjelasan Aditya, atas apa yang baru saja terjadi.
“Kamu yakin, akan memenuhi undangan mbak Tyas?” Aditya bangkit dari kebisuannya.
“Sebenarnya saya masih bingung, Mas. Sedari tadi semuanya berjalan seperti adegan yang sangat asing di benak saya. Mas Aditya juga belum pernah bercerita sedikit pun tentang mbak Tyas dan orangtua Mas Aditya. Mas kenalkan saya sebagai calon istri, sedangkan saya sama sekali tidak mengenal keluarga Mas Aditya.
“Kemudian, saya baru tahu juga, Mas Aditya tidak tinggal bersama orangtua. Terlalu banyak cerita yang sangat asing untuk saya, Mas. Apakah Mas Aditya berkenan memberikan saya kebenarannya?” pinta Asti.
“Aku mohon maaf. Aku baru sadar, aku bersikap sangat egosi selama ini. Kamu selalu terbuka tentang keluarga kamu, sedangkan aku sebaliknya,” ujar Aditya. “Oke berarti waktunya sudah tiba. Apakah saya bisa mendengarkan semua ceritanya?” sambung Asti.<
Suasana sejenak hening. Indah seperti kehabisan kalimat atas ucapan Intan. Ingin rasanya jujur, menolak. Namun lagi, Indah tetap bersama penghormatannya. “Dua tahun terasa begitu panjang ya, Dik. Kamu tidak berubah,” sambung Intan. “Bagaimana kabar ibu, Mbak?” sahut Indah. Argh, kenapa aku malah bertanya tentang ibunya? sesalnya. “Alhamdulillah beliau cukup sehat. Walaupun setahun ini, beliau sering bolak-balik rumah sakit,” ucap Intan. “Sakit apa, Mbak?” “Beliau menjalani cuci darah, Dik.” “Astagfirullah. Saya turut berduka Mbak. Semoga penyembuhan ibu dimudahkan.” “Amin.” Kembali, hening. Indah memesan kembali segelas americano. Obrolan yang panjang, membuatnya membutuhkan lebih dari segelas kopi siang ini. “Kamu peminum kopi, ya?” “Iya Mbak.” “Sejak kapan?” “Sejak sibuk di perusahaan, saya jadi kecanduan kopi. Kalau gak minum kopi, saya sulit fokus.” “
Saat yang dinanti tiba. Makan malam Asti bersama orangtua Aditya, akhirnya terwujud. Pertemuan yang tak sepenuhnya berjalan mulus. Hubungan Aditya dan orangtuanya yang belum membaik, juga turut memengaruhi suasana makan malam yang berlalu tanpa banyak obrolan berarti. Suasana berkendara terasa dingin. Asti diam. Sorot matanya tidak menggambarkan sedikit pun bahagia, meninggalkan kediaman orangtua Aditya. “Kamu gak apa-apa?” Aditya memecah keheningan. “Aku baik, Mas.” “Aku mohon maaf, atas sikap dingin orangtuaku. Kondisi hubungan kami sudah seperti itu sejak dahulu. Apa saja yang menjadi pilihanku, selalu direspons seperti itu oleh mereka.” Aditya mencoba meluruskan suasana makan malam tadi yang jauh dari harapannya. Asti menghela napas. “Aku merasa, akan lebih baik, jika Mas Aditya mencoba memahami keinginan orangtua, Mas.” “Maksud kamu?” “Mereka jelas menginginkan Mas bersama orang lain. Bagaimana bisa aku tidak merasa se
Pagi tiba, Rakha tampak lebih bugar. Dokter sudah mengizinkannya meninggalkan rumah sakit. “Alexa, Aditya?” Rakha tersentak dengan kehadiran ke dua sahabatnya itu. Entah mengapa perasaan Rakha seketika sendu, saat matanya melihat kehadiran Alexa. Teringat semua sikap kasarnya selama ini pada wanita itu. Wanita yang selalu setia ada untuknya, selalu hadir di segala kondisinya. “Kamu udah baikan?” tanya Alexa. Rakha terjaga. “Iya, udah lebih baik.” Aditya menarik kursi dan memberikan pada Alexa. “Kalian janjian ke sini?” sambung Rakha. “Iya,” jawab Aditya, singkat. Rakha terpaku pada sebuah kertas tebal yang ada di tangan Alexa. “Kok, kalian malah diam? Ada apa?” tanya Rakha, mendapati ke dua orang di hadapannya justru mencipta hening. Alexa tertunduk. Menunggu beberapa detik, tampak bulir-bulir air menetes pelan di pipinya. “Kamu baik-baik saja, Lexa?” tanya Rakha, pelan. “Aku mau mengantarkan ini, Kha. Aku berhara
Rapat Direksi terlihat lebih serius. Sebuah berita di koran hari ini, kembali menarik perhatian seluruh pimpinan Departemen di Big Land. Namun, ekspresi Indah tampak kebingungan. Dia merasa asing dengan topik pembicaraan yang sedang dibahas oleh Direksi. “Angkasa Group?” ucapnya, tampak berpikir. “Salah satu ahli waris dari korban kebakaran tiga puluh tahun, menggugat Big Land,” ujar salah satu aggota Direksi. “Saat itu Big Land tergabung dalam konsersium bersama Angkasa Group. Salah satu mega proyek yang dikerjakan bersama adalah pembangunan Dream Mega Mall,” sambung anggota lainnya. Kebakaran? pikir Indah. Salah satu anggota Direksi menatap sikap Indah yang tidak seperti biasa. “Ibu Indah belum mendengar masalah ini sebelumnya?” tanya salah satu anggota Direksi. “Iya, Pak. Saya merasa asing dengan pembahasan ini,” jelas Indah. “Di tahun 1991, sebuah musibah besar melanda perkampungan bawah. Big Land serta Angkasa Group di
Rapat Direksi terlihat lebih serius. Sebuah berita di koran hari ini, kembali menarik perhatian seluruh pimpinan Departemen di Big Land. Namun, ekspresi Indah tampak kebingungan. Dia merasa asing dengan topik pembicaraan yang sedang dibahas oleh Direksi. “Angkasa Group?” ucapnya, tampak berpikir. “Salah satu ahli waris dari korban kebakaran tiga puluh tahun, menggugat Big Land,” ujar salah satu aggota Direksi. “Saat itu Big Land tergabung dalam konsersium bersama Angkasa Group. Salah satu mega proyek yang dikerjakan bersama adalah pembangunan Dream Mega Mall,” sambung anggota lainnya. Kebakaran? pikir Indah. Salah satu anggota Direksi menatap sikap Indah yang tidak seperti biasa. “Ibu Indah belum mendengar masalah ini sebelumnya?” tanya salah satu anggota Direksi. “Iya, Pak. Saya merasa asing dengan pembahasan ini,” jelas Indah. “Di tahun 1991, sebuah musibah besar melanda perkampungan bawah. Big Land serta Angkasa Group di
Dadanya tiba-tiba sesak. Duduk di hadapan Rizal, Indah merasa sulit fokus. Dia takut mendengar kenyataan. “Aku sudah mendapatkan seluruh informasi yang kamu butuhkan,” ujar Rizal memulai percakapan. Indah menghela napas panjang. “Dream Mega Mall milik Big Land dan Angkasa Group, lokasi perkampungan bawah yang terbakar tiga puluh tahun lalu, Indah.” Indah menutup mata. Ucapan Rizal benar-benar kalimat yang tidak ingin didengarnya. Air mata itu tak lagi bisa dibendungnya. “Indah, kamu baik-baik saja?” Indah berusaha menenangkan diri. “Kak Rizal lanjutkan saja,” ucap Indah, terbata-bata. “Konsersium Big Land dan Angkasa Group ditengarai menjadi penyebab kebakaran itu. Namun pengusutan kasusnya tiba-tiba terhenti, tanpa kejelasan di tahun yang sama.” “Indikasi keterlibatan Big Land di mana, Kak?” “Tiga bulan sebelum kebakaran itu, seluruh masyarakat melakukan penolakan terbuka atas penawaran pembelian lahan
Pertemuannya dengan Dewi, terus menjadi beban di hati Asti. Bagaimana dia harus menjauh dari seseorang yang juga sangat dicintainya. Ketika restu menjadi sebuah jarak, haruskah perlawanan menjadi sebuah pilihan. Ataukah bakti menjadi kata terakhir jejak semua cinta. Pukul lima sore, Asti tiba di rumah. Lebih cepat dari biasanya. Kondisi ibundanya yang beberapa hari ini yang kurang sehat, membuatnya berusaha menyelesaikan semua pekerjaannya lebih cepat. Saat membuka pintu, Asti tersentak di ambang pintu. Ibunya tergeletak di lantai. Tak jauh dari kamar tidurnya. Panik! Asti menjatuhkan semua barang yang dibawanya. Fokus pada kondisi wanita yang sangat disayanginya. Wajahnya pucat. “Ibu….” Terus membangunkan sang bunda. Namun tak ada respons. Segera, Asti menelepon taksi. Butuh sekitar sepuluh menit, taksi tiba di halaman rumah. Sopir taksi sigap membantu Asti memindahkan ibundanya ke dalam mobil bercat biru itu. Ta
Liebe Box Dona terpaku melihat kedatangan Indah. Wajah sahabatnya itu, kini tak banyak senyum. Beratnya langkah, tergambar jelas dalam setiap langkahnya. Indah duduk di sudut ruangan. Seperti biasa, menatap ke luar jendela, pojok Liebe Box. Membuang pandangan jauh, menyaksikan kendaraan yang lalu lalang tanpa jeda. Dona mendekat dengan secangkir kopi kesukaan sahabatnya itu. Dona bergabung, duduk di hadapan Indah. “Gimana acara Asti?” kata Dona, memulai. “Lancar,” sahut Indah, singkat. Pandangannya masih saja menjauh. Kehadiran Dona, belum juga membuatnya mengalihkan perhatiannya. “Indah, aku mau ngomong tentang Rizal,” sambung Dona. “Aku perhatikan, kalian semakin dekat. Apa kamu benar-benar kembali pada pria itu?” Indah tidak menjawab. “Beberapa hari lalu, mas Yusuf ke sini. Tepat, saat kamu dan Rizal meninggalkan Liebe Box. Mas Yusuf ternyata mengenal Rizal,” ungkap Dona. Indah menghela napas panjang.
Tatapan enam orang itu terbuka lebar. Pria-pria itu menelan ludah, serentak. Kalimat Indah seperti menghentikan detak jam dinding Liebe Box. Terasa tidak ada kehidupan. Semuanya berubah kaku. Pria-pria itu lanjut menatap serius Rakha. Mereka tampak menunggu jawaban pria itu. Dona terus tersenyum. Dia pun tidak menyangka, Indah akan menjadi wanita penuh percaya diri hari ini. Belum lagi, Indah dan Rakha punya masa lalu yang tidak baik. “Tidak usah dijawab sekarang!” jelas Indah. “Aduh!” Sikap rekan-rekannya serentak kecewa. Mereka ingin mendengarkan langsung jawaban Rakha, namun kalimat Indah membuyarkan harapan mereka. Giliran Yusuf yang menatap serius Dona. Dona yang mendapati tatapan yang begitu dalam, mulai berpikir maksud tatapan itu. Dona akhirnya mengerti. Dia tersenyum lagi. “Ada yang cemburu, ya?” ucapnya, sambil tersenyum. Yusuf tidak merespons. Dia masih menatap Dona, menunggu jawaban atas tata
Pukul delapan malam, Aditya ditemani Asti sudah terlihat di apartemen Indah. Berselang tak begitu lama, Rakha pun tampak sudah hadir. “Terima kasih atas kehadirannya semua, malam ini. Perlu aku perjelas, ini dokumen-dokumen yang harus diselesaikan dalam dua hari ini,” ungkap Indah menunjuk tumpukan proposal proyek yang sedari pagi membebani pikirannya. Rakha menoleh ke Aditya. “Apakah kamu siap, Bung?” tanyanya. “Pasti!” sahut Aditya, penuh semangat. “Tunggu, tunggu,” sela Asti. “Bapak-bapak perlu tahu dulu, informasi apa yang kami butuhkan. Agar hasilnya bisa dipahami lebih mudah dan keputusan yang diambil bisa adil untuk semua.” “Serius banget sih, Sayang,” goda Aditya, menarik Asti dalam pelukannya. Rakha dan Indah yang mendapati sikap Aditya, hanya bisa tersenyum, geli. “Ehm, gak kenal tempat ya,” singgung Rakha. “Hanya depan kalian berdua. Makanya, segera punya pasangan,” ujar Aditya. Lagi, menggoda Rakha dan Indah.
Asti berdiri terpaku, setelah mendapati sosok di depan pintu. Aditya menyusul istrinya. “Mama,” ujar Aditya, terkejut. Asti tak kalah kaget. Bertemu dengan ibu suaminya selalu menghadirkan ketegangan, yang membuat lidahnya kaku. Tidak tahu menempatkan diri. Aditya yang paham, langsung menggandeng tangan istrinya. “Masuk, Ma,” pinta Aditya, bersikap santun. Dewi melangkah masuk ke dalam apartemen anaknya. Sorot matanya tak seperti biasa. Dia terlihat lelah, wajahnya tidak sesempurna biasanya. Hening. Asti menuju dapur menyiapkan minuman. “Mama, apa kabar?” Aditya memecah sunyi. “Mama, baik. Sehat. Kamu dan Asti apa kabar?” sambung Dewi. “Baik, Ma,” jawab Aditya. Tak berselang lama, Asti sudah kembali dengan secangkir teh hangat. Dihidangkannya dan duduk di samping suaminya. “Mama ke sini….” Dewi menghentikan kalimatnya. Terdengar berat setiap kata yang diucapkannya. “Sering-seringlah main ke rum
Indah berdiri membatu. Wajahnya tak sanggup memandang pria yang terlihat begitu lemah di hadapannya. “Masuk, Indah,” pinta Dimas. Dimas lantas duduk di sofa, diikuti Indah dan Adrian. “Adrian sudah cerita beberapa hari yang lalu, bahwa kamu datang mencari saya. Tapi, seperti yang Adrian sudah sampaikan, saya lagi berduka. Hidup saya kehilangan gairah sejak ibu pergi untuk selama-lamanya,” lanjut Dimas, matanya berkaca-kaca. Ingatan tentang sang istri kembali membawa keharuan yang tak berjeda. Kasih sayangnya yang utuh, tampak dari roman wajah dan matanya yang tak kunjung melahirkan cahaya, seperti yang biasa bersamanya. Indah tak lagi bisa menahan diri. Air matanya kembali mengalir, pelan. Napasnya sesak. Serasa seluruh ruang dalam dadanya tertutup tanpa cela. “P-pak, saya turut berduka cita….” Perasaan Indah berkecamuk duka. Dia tidak mampu mengangkat wajahnya. Dia terus menunduk, tak berani menatap Dimas. “Iya. Inilah keh
Tyas masih terpaku di hadapan Asti dan Aditya. Pembicaraan tentang restu orangtuanya pada pernikahan Aditya dan Asti, belum juga menemui titik terang. “Aku akan menuruti permintaan mama, Mbak. Beliau mengusirku dari rumah. Dan meminta aku tidak lagi menampakkan wajah di hadapannya. Aku patuh pada itu, Mbak!” jelas Aditya. “Tapi, papa kurang sehat, Dit. Dia ingin ketemu kamu dan istri kamu. Cobalah rendahkan gengsimu sedikit. Mbak mohon,” pinta Tyas. Aditya tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya, mengelus-ngelus kakinya yang perbannya telah dilepas. Menurut dokter hanya butuh beberapa treatment lagi, Aditya sudah bisa keluar dari rumah sakit. “Apakah mama pernah mengatakan, dia menyesal atas sikap dan ucapannya tentang Asti?” sambung Aditya, mencari kepastian. Tyas terpaku. Dia tidak bisa memberikan kejelasan, karena semua hanya sekedar dugaannya saat ini. “Tuh kan. Mbak pun tidak bisa memastikan penerimaan mama. Aku t
Hendra duduk bersama Rizal di ruangannya. Terlihat sangat serius. “Apakah semua akan baik-baik saja?” tanyanya. “Aku akan mengupayakan, Indah tidak mendengar semua percakapan kita tadi, Pak,” sahut Rizal. “Jangan sampai COO beralih darimu. Jika Indah tak jadi bergabung dan dia kembali ke Big Land, semua selesai. Kamu pun kehilangan posisimu!” jelas Hendra. Pria itu berlalu dan meninggalkan Rizal di ruangannya. “Huff. Kenapa dia harus mendengar semuanya!” sesalnya pada dirinya sendiri. Rizal tampak berpikir. “Apakah mbak Intan, bisa kembali jadi penolongku sekarang?” gumamnya. --- Liebe Box Dona kembali menatap Indah dari jauh. Kembali, Indah duduk termenung sendiri di pojok ruangan Liebe Box. Menikmati suasana lebih sunyi Liebe Box di sore yang tak biasa. Dona mengambil secangkir kopi hitam dari Romi. Membawanya ke meja Indah. “Apakah kamu keberatan jika aku bergabung?” tanya Dona, menunggu jawaban. “Dud
Rumah Sakit Pagi-pagi sekali, Indah sudah melangkah memasuki lobby rumah sakit. “Indah?” terdengar suara memanggil dari jarak yang tidak begitu jauh. Indah menoleh ke sumber suara. “Rakha,” ujarnya, tersenyum menyambut langkah pria itu mendekat. Senyumannya, guman Rakha. “Kita ketemu lagi. Ada yang penting banget kayaknya, ya?” sambung Rakha, berjalan di samping Indah. “Iya, hari ini saya ada meeting di ET. Tapi sebelumnya, aku pamit ke Asti.” “Pamit?” ujar Rakha, tidak mengerti. “Aku belum menyampaikan padanya tentang pengunduran diriku dari Big Land. Bagaimanapun, Asti adalah orang yang paling dekat denganku di perusahaan.” Rakha menggangguk, paham. “Apakah Big Land, akan baik-baik saja?” tanya Rakha. “Big Land selalu lebih besar dari seluruh karyawannya. Setiap saat, karyawannya akan berganti, tapi Big Land akan selalu menjadi perusahaan besar yang tepercaya,” jawab Indah, mencoba baik-baik saja. Namu
Indah berdiri di lobby apartemen Aditya. Dia terus mengecek jam tangannya. Menunggu kedatangan Rakha, mulai dirasanya menjemukan. Sosok pria berkaos oblong hitam, terlihat berlari dari parkiran. “Maaf.” Rakha terengah-engah. “Aku pikir kuncinya tadi udah aku serahkan, ternyata masih tersimpan di sakuku,” ucapnya, sambil mengarahkan petugas menuju lantai apartemen Aditya. Indah hanya tersenyum. Akhir-akhir ini, dia memang sedikit bicara. Dia mengikuti langkah Rakha berjalan beriringan dengan dua petugas apartemen yang membantu mengangkut barang-barang Asti. “Terima kasih, Pak,” ucap Rakha, setelah ke dua pria itu meletakkan barang-barang di ruang tamu apartemen Aditya. “Makasih, Pak,” sambung Indah, dengan senyuman hangat. Beberapa detik terpaku. Indah baru menyadari tujuannya ikut ke apartemen Aditya. Aku mau ngapain di sini. Gak mungkin masuk ke kamar Aditya juga, kan? pikirnya. “Indah?”
Beberapa hari setelah meninggalkan Big Land, Indah kembali menghabiskan banyak waktunya di Liebe Box. Dona yang mendapati sahabatnya itu hanya banyak diam, tak bisa banyak bicara. “Semalam, kamu jadi makan malam di rumah Rizal?” ucap Dona, mendekati Indah di balkon. “Iya.” “Kamu sempat ke rumah Rizal tapi gak ke rumah nengok ibu?!” ketus Dona. Indah tidak merespons. “Aku tidak yakin, kamu mau mendengarkan ini. Tapi, sebagai sahabat, aku merasa, kamu bukan lagi Indah yang kukenal.” Indah tersentak. Dia menoleh dengan tatapan serius pada Dona. “Aku mengagumi kasih sayangmu pada keluarga. Tapi ternyata, pandanganku, keliru!” Indah bergeming. “Indah. Tidakkah kamu coba melihat dari sudut pandang yang berbeda dan lebih luas. Semua tentang masa lalumu?” Lagi, tidak ada jawaban. “Kamu bisa bertahan dan tumbuh baik, sempurna dengan segala pencapaianmu hari ini, karena siapa? Itu kar