Dadanya tiba-tiba sesak. Duduk di hadapan Rizal, Indah merasa sulit fokus. Dia takut mendengar kenyataan. “Aku sudah mendapatkan seluruh informasi yang kamu butuhkan,” ujar Rizal memulai percakapan.
Indah menghela napas panjang.“Dream Mega Mall milik Big Land dan Angkasa Group, lokasi perkampungan bawah yang terbakar tiga puluh tahun lalu, Indah.”Indah menutup mata. Ucapan Rizal benar-benar kalimat yang tidak ingin didengarnya. Air mata itu tak lagi bisa dibendungnya.“Indah, kamu baik-baik saja?”Indah berusaha menenangkan diri. “Kak Rizal lanjutkan saja,” ucap Indah, terbata-bata.“Konsersium Big Land dan Angkasa Group ditengarai menjadi penyebab kebakaran itu. Namun pengusutan kasusnya tiba-tiba terhenti, tanpa kejelasan di tahun yang sama.”“Indikasi keterlibatan Big Land di mana, Kak?”“Tiga bulan sebelum kebakaran itu, seluruh masyarakat melakukan penolakan terbuka atas penawaran pembelian lahanPertemuannya dengan Dewi, terus menjadi beban di hati Asti. Bagaimana dia harus menjauh dari seseorang yang juga sangat dicintainya. Ketika restu menjadi sebuah jarak, haruskah perlawanan menjadi sebuah pilihan. Ataukah bakti menjadi kata terakhir jejak semua cinta. Pukul lima sore, Asti tiba di rumah. Lebih cepat dari biasanya. Kondisi ibundanya yang beberapa hari ini yang kurang sehat, membuatnya berusaha menyelesaikan semua pekerjaannya lebih cepat. Saat membuka pintu, Asti tersentak di ambang pintu. Ibunya tergeletak di lantai. Tak jauh dari kamar tidurnya. Panik! Asti menjatuhkan semua barang yang dibawanya. Fokus pada kondisi wanita yang sangat disayanginya. Wajahnya pucat. “Ibu….” Terus membangunkan sang bunda. Namun tak ada respons. Segera, Asti menelepon taksi. Butuh sekitar sepuluh menit, taksi tiba di halaman rumah. Sopir taksi sigap membantu Asti memindahkan ibundanya ke dalam mobil bercat biru itu. Ta
Liebe Box Dona terpaku melihat kedatangan Indah. Wajah sahabatnya itu, kini tak banyak senyum. Beratnya langkah, tergambar jelas dalam setiap langkahnya. Indah duduk di sudut ruangan. Seperti biasa, menatap ke luar jendela, pojok Liebe Box. Membuang pandangan jauh, menyaksikan kendaraan yang lalu lalang tanpa jeda. Dona mendekat dengan secangkir kopi kesukaan sahabatnya itu. Dona bergabung, duduk di hadapan Indah. “Gimana acara Asti?” kata Dona, memulai. “Lancar,” sahut Indah, singkat. Pandangannya masih saja menjauh. Kehadiran Dona, belum juga membuatnya mengalihkan perhatiannya. “Indah, aku mau ngomong tentang Rizal,” sambung Dona. “Aku perhatikan, kalian semakin dekat. Apa kamu benar-benar kembali pada pria itu?” Indah tidak menjawab. “Beberapa hari lalu, mas Yusuf ke sini. Tepat, saat kamu dan Rizal meninggalkan Liebe Box. Mas Yusuf ternyata mengenal Rizal,” ungkap Dona. Indah menghela napas panjang.
Big Land Indah datang lebih pagi hari ini. Asti mengambil cuti sepanjang mungkin untuk menjaga ibundanya yang masih tidak sadarkan diri di rumah sakit. Indah tampak sibuk. Dia menyusun semua dokumen-dokumen penting ke dalam lemari kaca di ruangannya. Mejanya bersih. Dia menatap semua barang-barang yang ada di ruangannya. Matanya berkaca-kaca. Setelah memastikan ruangannya telah benar-benar rapi, dia memasukkan notebooknya ke dalam tas dan meninggalkan ruangannya. Langkahnya terlihat menuju ruangan Direktur Utama. Suasana yang tercipta tak lagi sama. Jika biasanya komunikasi di antara keduanya begitu cair dan hangat, kini berganti suasana mencekam. Dimas yang selalu tampak berwibawa dan penuh kasih sayang pada Indah, kini menampakkan kegelisahan dan ketidakpercayaan diri. “Saya mohon maaf sebelumnya, Pak, atas kelancangan saya ini. Akhir-akhir ini, saya mendengar begitu banyak cerita, begitu banyak berita, yang mem
Rumah Sakit Suasana hening masih menghiasi kamar ibunda Asti. Tampak Asti mulai terjaga, matanya terbuka, perlahan. Aditya menunggu sesaat. Sampai sang istri benar-benar sadar. “Mas, masih di sini?” tanya Asti, mendapati suaminya masih ada di dekatnya. “Aku menunggu sampai kamu bangun dulu,” ucapnya, bersama senyuman penuh cinta. Asti memeluk sang suami. Perlahan kedukaan akan kondisi ibunya yang belum membaik, tergantikan dengan kehadiran pria yang begitu mencintainya. “Sayang, aku ke rumah mama dulu, ya. Gak apa-apa, kan?” tanya Aditya, setelah mendapati Asti sudah terbangun dari tidur singkatnya. “Iya, Mas.” Lagi, Aditya mengecup mesra puncak kepala sang istri. Kasih sayang itu, sangat nyata. “Aku sangat mencintaimu. Aku akan melakukan apa pun demi kebahagianmu dan ibu,” kata Aditya, mengenggam tangan istrinya. Asti melepas tangannya, dan memegang ke dua pipi sang suami. “Aku pun, sangat men
Dona tampak hadir di kediaman Asti. Dia turut menguatkan Asti. Saat Asti kehilangan seluruh kekuatannya. Dia hanya terduduk terus dalam pengawasan Indah. “Adikku, apakah kamu tidak ingin memberikan penghormatan terakhir pada ibu dengan senyuman terbaikmu? Ibu sudah beristirahat sekarang. Ibu akan hidup di tempat terbaik di sisi-Nya. Ibu ingin melihat senyumanmu, melepasnya, Dik,” tutur Indah, lembut, membelai kepala Asti. Asti menguatkan diri, menghela napas panjang. “Iya, Mbak.” Dia mencoba berdiri perlahan dengan sisa tenaganya. Dia mengecup kening sang bunda. Ibu yang menjadi tujuan hidupnya. Wanita kuat yang terus bersamanya dalam berbagai ujian hidup. Wanita yang selalu menguatkan dan terus bersama senyumannya, bahkan di akhir hayatnya. “Asti sangat mencintai ibu. Asti b-bahagia…. I-ibu sudah beristirahat, sekarang. Asti percaya, Allah telah menyiapkan tempat terbaik untuk I-ibu, di surga-Nya….” Dona dan Indah juga tak mampu men
Beberapa hari setelah meninggalkan Big Land, Indah kembali menghabiskan banyak waktunya di Liebe Box. Dona yang mendapati sahabatnya itu hanya banyak diam, tak bisa banyak bicara. “Semalam, kamu jadi makan malam di rumah Rizal?” ucap Dona, mendekati Indah di balkon. “Iya.” “Kamu sempat ke rumah Rizal tapi gak ke rumah nengok ibu?!” ketus Dona. Indah tidak merespons. “Aku tidak yakin, kamu mau mendengarkan ini. Tapi, sebagai sahabat, aku merasa, kamu bukan lagi Indah yang kukenal.” Indah tersentak. Dia menoleh dengan tatapan serius pada Dona. “Aku mengagumi kasih sayangmu pada keluarga. Tapi ternyata, pandanganku, keliru!” Indah bergeming. “Indah. Tidakkah kamu coba melihat dari sudut pandang yang berbeda dan lebih luas. Semua tentang masa lalumu?” Lagi, tidak ada jawaban. “Kamu bisa bertahan dan tumbuh baik, sempurna dengan segala pencapaianmu hari ini, karena siapa? Itu kar
Indah berdiri di lobby apartemen Aditya. Dia terus mengecek jam tangannya. Menunggu kedatangan Rakha, mulai dirasanya menjemukan. Sosok pria berkaos oblong hitam, terlihat berlari dari parkiran. “Maaf.” Rakha terengah-engah. “Aku pikir kuncinya tadi udah aku serahkan, ternyata masih tersimpan di sakuku,” ucapnya, sambil mengarahkan petugas menuju lantai apartemen Aditya. Indah hanya tersenyum. Akhir-akhir ini, dia memang sedikit bicara. Dia mengikuti langkah Rakha berjalan beriringan dengan dua petugas apartemen yang membantu mengangkut barang-barang Asti. “Terima kasih, Pak,” ucap Rakha, setelah ke dua pria itu meletakkan barang-barang di ruang tamu apartemen Aditya. “Makasih, Pak,” sambung Indah, dengan senyuman hangat. Beberapa detik terpaku. Indah baru menyadari tujuannya ikut ke apartemen Aditya. Aku mau ngapain di sini. Gak mungkin masuk ke kamar Aditya juga, kan? pikirnya. “Indah?”
Rumah Sakit Pagi-pagi sekali, Indah sudah melangkah memasuki lobby rumah sakit. “Indah?” terdengar suara memanggil dari jarak yang tidak begitu jauh. Indah menoleh ke sumber suara. “Rakha,” ujarnya, tersenyum menyambut langkah pria itu mendekat. Senyumannya, guman Rakha. “Kita ketemu lagi. Ada yang penting banget kayaknya, ya?” sambung Rakha, berjalan di samping Indah. “Iya, hari ini saya ada meeting di ET. Tapi sebelumnya, aku pamit ke Asti.” “Pamit?” ujar Rakha, tidak mengerti. “Aku belum menyampaikan padanya tentang pengunduran diriku dari Big Land. Bagaimanapun, Asti adalah orang yang paling dekat denganku di perusahaan.” Rakha menggangguk, paham. “Apakah Big Land, akan baik-baik saja?” tanya Rakha. “Big Land selalu lebih besar dari seluruh karyawannya. Setiap saat, karyawannya akan berganti, tapi Big Land akan selalu menjadi perusahaan besar yang tepercaya,” jawab Indah, mencoba baik-baik saja. Namu
Tatapan enam orang itu terbuka lebar. Pria-pria itu menelan ludah, serentak. Kalimat Indah seperti menghentikan detak jam dinding Liebe Box. Terasa tidak ada kehidupan. Semuanya berubah kaku. Pria-pria itu lanjut menatap serius Rakha. Mereka tampak menunggu jawaban pria itu. Dona terus tersenyum. Dia pun tidak menyangka, Indah akan menjadi wanita penuh percaya diri hari ini. Belum lagi, Indah dan Rakha punya masa lalu yang tidak baik. “Tidak usah dijawab sekarang!” jelas Indah. “Aduh!” Sikap rekan-rekannya serentak kecewa. Mereka ingin mendengarkan langsung jawaban Rakha, namun kalimat Indah membuyarkan harapan mereka. Giliran Yusuf yang menatap serius Dona. Dona yang mendapati tatapan yang begitu dalam, mulai berpikir maksud tatapan itu. Dona akhirnya mengerti. Dia tersenyum lagi. “Ada yang cemburu, ya?” ucapnya, sambil tersenyum. Yusuf tidak merespons. Dia masih menatap Dona, menunggu jawaban atas tata
Pukul delapan malam, Aditya ditemani Asti sudah terlihat di apartemen Indah. Berselang tak begitu lama, Rakha pun tampak sudah hadir. “Terima kasih atas kehadirannya semua, malam ini. Perlu aku perjelas, ini dokumen-dokumen yang harus diselesaikan dalam dua hari ini,” ungkap Indah menunjuk tumpukan proposal proyek yang sedari pagi membebani pikirannya. Rakha menoleh ke Aditya. “Apakah kamu siap, Bung?” tanyanya. “Pasti!” sahut Aditya, penuh semangat. “Tunggu, tunggu,” sela Asti. “Bapak-bapak perlu tahu dulu, informasi apa yang kami butuhkan. Agar hasilnya bisa dipahami lebih mudah dan keputusan yang diambil bisa adil untuk semua.” “Serius banget sih, Sayang,” goda Aditya, menarik Asti dalam pelukannya. Rakha dan Indah yang mendapati sikap Aditya, hanya bisa tersenyum, geli. “Ehm, gak kenal tempat ya,” singgung Rakha. “Hanya depan kalian berdua. Makanya, segera punya pasangan,” ujar Aditya. Lagi, menggoda Rakha dan Indah.
Asti berdiri terpaku, setelah mendapati sosok di depan pintu. Aditya menyusul istrinya. “Mama,” ujar Aditya, terkejut. Asti tak kalah kaget. Bertemu dengan ibu suaminya selalu menghadirkan ketegangan, yang membuat lidahnya kaku. Tidak tahu menempatkan diri. Aditya yang paham, langsung menggandeng tangan istrinya. “Masuk, Ma,” pinta Aditya, bersikap santun. Dewi melangkah masuk ke dalam apartemen anaknya. Sorot matanya tak seperti biasa. Dia terlihat lelah, wajahnya tidak sesempurna biasanya. Hening. Asti menuju dapur menyiapkan minuman. “Mama, apa kabar?” Aditya memecah sunyi. “Mama, baik. Sehat. Kamu dan Asti apa kabar?” sambung Dewi. “Baik, Ma,” jawab Aditya. Tak berselang lama, Asti sudah kembali dengan secangkir teh hangat. Dihidangkannya dan duduk di samping suaminya. “Mama ke sini….” Dewi menghentikan kalimatnya. Terdengar berat setiap kata yang diucapkannya. “Sering-seringlah main ke rum
Indah berdiri membatu. Wajahnya tak sanggup memandang pria yang terlihat begitu lemah di hadapannya. “Masuk, Indah,” pinta Dimas. Dimas lantas duduk di sofa, diikuti Indah dan Adrian. “Adrian sudah cerita beberapa hari yang lalu, bahwa kamu datang mencari saya. Tapi, seperti yang Adrian sudah sampaikan, saya lagi berduka. Hidup saya kehilangan gairah sejak ibu pergi untuk selama-lamanya,” lanjut Dimas, matanya berkaca-kaca. Ingatan tentang sang istri kembali membawa keharuan yang tak berjeda. Kasih sayangnya yang utuh, tampak dari roman wajah dan matanya yang tak kunjung melahirkan cahaya, seperti yang biasa bersamanya. Indah tak lagi bisa menahan diri. Air matanya kembali mengalir, pelan. Napasnya sesak. Serasa seluruh ruang dalam dadanya tertutup tanpa cela. “P-pak, saya turut berduka cita….” Perasaan Indah berkecamuk duka. Dia tidak mampu mengangkat wajahnya. Dia terus menunduk, tak berani menatap Dimas. “Iya. Inilah keh
Tyas masih terpaku di hadapan Asti dan Aditya. Pembicaraan tentang restu orangtuanya pada pernikahan Aditya dan Asti, belum juga menemui titik terang. “Aku akan menuruti permintaan mama, Mbak. Beliau mengusirku dari rumah. Dan meminta aku tidak lagi menampakkan wajah di hadapannya. Aku patuh pada itu, Mbak!” jelas Aditya. “Tapi, papa kurang sehat, Dit. Dia ingin ketemu kamu dan istri kamu. Cobalah rendahkan gengsimu sedikit. Mbak mohon,” pinta Tyas. Aditya tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya, mengelus-ngelus kakinya yang perbannya telah dilepas. Menurut dokter hanya butuh beberapa treatment lagi, Aditya sudah bisa keluar dari rumah sakit. “Apakah mama pernah mengatakan, dia menyesal atas sikap dan ucapannya tentang Asti?” sambung Aditya, mencari kepastian. Tyas terpaku. Dia tidak bisa memberikan kejelasan, karena semua hanya sekedar dugaannya saat ini. “Tuh kan. Mbak pun tidak bisa memastikan penerimaan mama. Aku t
Hendra duduk bersama Rizal di ruangannya. Terlihat sangat serius. “Apakah semua akan baik-baik saja?” tanyanya. “Aku akan mengupayakan, Indah tidak mendengar semua percakapan kita tadi, Pak,” sahut Rizal. “Jangan sampai COO beralih darimu. Jika Indah tak jadi bergabung dan dia kembali ke Big Land, semua selesai. Kamu pun kehilangan posisimu!” jelas Hendra. Pria itu berlalu dan meninggalkan Rizal di ruangannya. “Huff. Kenapa dia harus mendengar semuanya!” sesalnya pada dirinya sendiri. Rizal tampak berpikir. “Apakah mbak Intan, bisa kembali jadi penolongku sekarang?” gumamnya. --- Liebe Box Dona kembali menatap Indah dari jauh. Kembali, Indah duduk termenung sendiri di pojok ruangan Liebe Box. Menikmati suasana lebih sunyi Liebe Box di sore yang tak biasa. Dona mengambil secangkir kopi hitam dari Romi. Membawanya ke meja Indah. “Apakah kamu keberatan jika aku bergabung?” tanya Dona, menunggu jawaban. “Dud
Rumah Sakit Pagi-pagi sekali, Indah sudah melangkah memasuki lobby rumah sakit. “Indah?” terdengar suara memanggil dari jarak yang tidak begitu jauh. Indah menoleh ke sumber suara. “Rakha,” ujarnya, tersenyum menyambut langkah pria itu mendekat. Senyumannya, guman Rakha. “Kita ketemu lagi. Ada yang penting banget kayaknya, ya?” sambung Rakha, berjalan di samping Indah. “Iya, hari ini saya ada meeting di ET. Tapi sebelumnya, aku pamit ke Asti.” “Pamit?” ujar Rakha, tidak mengerti. “Aku belum menyampaikan padanya tentang pengunduran diriku dari Big Land. Bagaimanapun, Asti adalah orang yang paling dekat denganku di perusahaan.” Rakha menggangguk, paham. “Apakah Big Land, akan baik-baik saja?” tanya Rakha. “Big Land selalu lebih besar dari seluruh karyawannya. Setiap saat, karyawannya akan berganti, tapi Big Land akan selalu menjadi perusahaan besar yang tepercaya,” jawab Indah, mencoba baik-baik saja. Namu
Indah berdiri di lobby apartemen Aditya. Dia terus mengecek jam tangannya. Menunggu kedatangan Rakha, mulai dirasanya menjemukan. Sosok pria berkaos oblong hitam, terlihat berlari dari parkiran. “Maaf.” Rakha terengah-engah. “Aku pikir kuncinya tadi udah aku serahkan, ternyata masih tersimpan di sakuku,” ucapnya, sambil mengarahkan petugas menuju lantai apartemen Aditya. Indah hanya tersenyum. Akhir-akhir ini, dia memang sedikit bicara. Dia mengikuti langkah Rakha berjalan beriringan dengan dua petugas apartemen yang membantu mengangkut barang-barang Asti. “Terima kasih, Pak,” ucap Rakha, setelah ke dua pria itu meletakkan barang-barang di ruang tamu apartemen Aditya. “Makasih, Pak,” sambung Indah, dengan senyuman hangat. Beberapa detik terpaku. Indah baru menyadari tujuannya ikut ke apartemen Aditya. Aku mau ngapain di sini. Gak mungkin masuk ke kamar Aditya juga, kan? pikirnya. “Indah?”
Beberapa hari setelah meninggalkan Big Land, Indah kembali menghabiskan banyak waktunya di Liebe Box. Dona yang mendapati sahabatnya itu hanya banyak diam, tak bisa banyak bicara. “Semalam, kamu jadi makan malam di rumah Rizal?” ucap Dona, mendekati Indah di balkon. “Iya.” “Kamu sempat ke rumah Rizal tapi gak ke rumah nengok ibu?!” ketus Dona. Indah tidak merespons. “Aku tidak yakin, kamu mau mendengarkan ini. Tapi, sebagai sahabat, aku merasa, kamu bukan lagi Indah yang kukenal.” Indah tersentak. Dia menoleh dengan tatapan serius pada Dona. “Aku mengagumi kasih sayangmu pada keluarga. Tapi ternyata, pandanganku, keliru!” Indah bergeming. “Indah. Tidakkah kamu coba melihat dari sudut pandang yang berbeda dan lebih luas. Semua tentang masa lalumu?” Lagi, tidak ada jawaban. “Kamu bisa bertahan dan tumbuh baik, sempurna dengan segala pencapaianmu hari ini, karena siapa? Itu kar