Kuputuskan keluar dari kamar meninggalkan Mas Reza yang sudah lelap dalam tidurnya. Kulihat ibuku yang mulai renta menata satu demi satu perkakas dapur sendirian. Suasana Rumah juga sudah sepi, para sanak saudara dan tetangga telah pulang sejak tadi.
“Harusnya Ibu manggil Wulan buat bantu! Nanti kalau Ibu capek, bagaimana?” tanyaku sembari mengangkat tumpukkan piring. Kutatap ke arah ibu yang sedikit terkejut saat menyadari kehadiranku secara tiba-tiba.
“Eh, Wulan … sudah bangun, Ndhuk?” Aku tersenyum, lalu meletakkan piring yang kubawa ke dalam rak kabinet berbahan kayu kokoh. “Nggak apa-apa, Ndhuk. Ibu 'kan belum tua-tua amat, jadi masih kuat buat beresin ini,” sahut Ibu dengan seutas senyum.
Tidak kusela lagi perkataan ibu. Percuma saja, beliau juga tidak akan mendengarkan perkataanku. Sejak dulu ibu dikenal sebagai wanita yang tidak bisa diam, apalagi saat melihat rumah yang sedikit berantakan tangan dan kakinya langsung gatal untuk membereskannya.
“Reza tidur?” tanya Ibu.
“Iya, Bu. Mungkin dia kecapekan,” sahutku dengan senyum sembari mengembalikan barang-barang lain ke tempatnya. “Bu, Wulan mau tanya, boleh?” tanyaku.
“Mau tanya apa, Ndhuk?”
“Emmm … selama Ibu menikah dengan Bapak, pernah nggak Bapak berbuat kasar pada Ibu?” tanyaku penasaran. Sebenarnya aku bertanya seperti itu ada kaitannya dengan perbuatan Mas Reza tadi padaku.
“Setiap berumah tangga pasti ada saja masalah yang dihadapi, tapi untungnya Bapakmu nggak pernah main tangan pada Ibu. Hanya, suaranya sedikit meninggi.” Ibu terkekeh sambil membisikkan kalimat terakhirnya padaku. Aku hanya tersenyum, tapi sejujurnya aku masih berharap kehidupanku setelah menikah bersama Mas Reza akan selalu indah seperti bapak dan ibu.
“Kenapa?” tanya Ibu kini menatapku curiga.
Aku menggeleng. “Nggak apa-apa, Bu.”
Kini sudah terdengar suara tarhim menjelang magrib dari masjid bersamaan dengan selesainya kegiatanku membantu ibu. Dengan hati yang sudah kembali pulih, aku beranjak menuju kamar. Kulihat Mas Reza masih terlelap, aku akan membangunkannya dengan mesra dan dia akan mengecup keningku. Ah, sudah pasti pipiku bersemu memikirkan hal seromantis itu.
“Mas, bangun sudah magrib, kita sholat!” ajaku sembari mengguncang bahu suamiku dengan lembut.
“Minggir, Wulan! Kamu ini mengganggu saja. Aku itu masih ngantuk!” Mas Reza membuka matanya sekejap, tapi dia juga urung bangun. Hanya menggeliat lalu merubah posisinya.
Tak menyerah begitu saja. Kini kuguncang bahu Mas Reza sedikit keras, tetapi dia menepis tanganku dengan kasar. Aku sedikit tersentak atas perbuatannya yang menurutku … keterlaluan.
“Bagun, Mas, kita ‘kan harus sholat magrib!” pintaku dengan lembut berusaha meluluhkan hatinya. Bukannya kecupan mesra yang aku dapat, tetapi perlakuan kasar yang menyakitkan.
“Ck! Sholat ya tinggal sholat sana. Kenapa pakai bangunin aku, sih!” bentak Mas Reza.
“Astagfirullahaladzim, Mas … tentu aku akan bangunin kamu. Kamu itu suamiku, ya pasti aku mengajakmu untuk sholat karena kamu telah menjadi imamku,” sahutku.
Kulihat Mas Reza mengusap-mengusap telinga kanannya yang mungkin terasa gatal mendengar ucapanku, tak lupa ia mendengus dengan kesal. Setelah aku selesai bicara, Mas Reza bangkit, lalu mencengkeram erat rahangku. Sakit sekali, apalagi saat ia mengangkatnya sedikit.
“Heh! Kamu itu bukan ustadzah, jadi berhenti menceramahiku! Kalau kamu mau sholat, sholat saja sendiri. Dasar, istri sialan!” makinya.
Bruuk!
Aku tersungkur jatuh ke lantai saat suamiku menepis tubuh ini dengan kasar. Dadaku berdenyut sakit mendengar hinaannya itu. Kutatap dengan nanar langkah Mas Reza yang berjalan menjauh. Lalu aku terkesiap saat pintu kamar mandi dibanting dengan keras olehnya.
Aku hanya tergugu dengan tangisan tanpa suara. Ujian apa yang telah Engkau berikan padaku di hari pertama aku menjadi istri Mas Reza, Ya Allah. Kenapa Mas Reza berubah begitu cepat? Kemana Mas Reza yang sopan dan penuh kasih sayang dulu?
Tangisan itu terbawa hingga aku selesai melaksanakan sholat. Gegas kuseka air mata yang masih tersisa saat terdengar pintu kamar mandi terbuka. Kulihat Mas Reza sudah selesai mandi dengan handuk yang melingkar di pinggangnya.
“Sudah, Mas? Habis ini kita makan malam bersama. Bapak dan Ibu sudah menunggu di sana,” ucapku sembari melipat mukena yang sudah kupakai sholat.
“Hmmm … kamu duluan saja, nanti aku nyusul!” sahut Mas Reza singkat.
Kutatap Mas Reza sendu, tak berani bertanya terhadap sikapnya yang sudah sedikit melunak. Membuatku berharap akan ada hal romantis yang dilakukannya untuk minta maaf. Namun nihil, karena yang aku terima hanya tatapan sinis dari suamiku seolah-olah ia menyuruhku enyah dari hadapannya. Aku menghela napas berat lalu berjalan gontai meninggalkannya.
Gegas kumenuju ke ruang makan. Sesampainya di sana kulihat bapak, ibu dan Kanina sudah menunggu. Aku duduk di kursi yang tersedia, tak lama Mas Reza menyusul dan duduk tak jauh dariku. Kutatap wajahnya yang kini berubah ramah dengan senyum mengembang saat di hadapan keluargaku.
“Makan dulu, Le! Bapak lihat dari tadi kamu belum makan,” ucap Bapak mempersilahkan Mas Reza untuk mengambil nasi terlebih dahulu.
“Nggeh, Pak. Bapak duluan saja!” sahut Mas Reza begitu sopan, membuatku ternganga tak percaya.
“Nggak apa-apa, Le, kamu duluan saja!” pinta Bapak.
“Ya sudah kalau itu permintaan Bapak, aku akan ambil duluan.” Tak hanya sikap dan suaranya yang berubah lembut, tetapi tatapan matanya pun kini berubah teduh. Semuanya berbanding terbalik dengan sikapnya yang kasar saat di kamar tadi. “Sini, Dek, biar Mas yang ambilin buat Dek Wulan!” imbuhnya.
Aku bergeming, bahkan tak menjawab ucapan Mas Reza yang kini memperlakukanku dengan manis. Diambilnya piringku dan lalu menuangkan nasi serta beberapa lauk. Kuamati semua gerak geriknya. Tak ada yang aneh, semua perbuatannya baik-baik saja. Ya Allah, seperti apa sebenarnya suamiku ini?
“Makan yang banyak, Dek!” Mas Reza meletakkan piring di hadapanku. Dia juga tersenyum dengan manis.
“Terima kasih, Mas,” ucapku sembari menatapnya dengan pikiran yang masih mengambang antara percaya atau tidak dengan perubahan sikapnya itu.
Kami pun makan malam dengan khidmat. Sementara aku sesekali mencuri pandang pada Mas Reza yang tampak lahap. Harusnya aku merasa senang karena Mas Reza sudah kembali seperti Reza yang dulu, yaitu sosok pemuda tampan yang penuh sopan santun serta kasih sayang, tapi entah kenapa tetap saja ada yang mengganjal di dasar hati tentang lelaki yang telah menjadi suamiku kini.
“Apa kalian berencana akan memiliki anak dalam dekat ini? Ibu pengin gendong cucu,” ucap Ibu sontak membuat aku tersedak. Belum lagi tuntas pikiranku tentang Mas Reza, kini ditambah lagi dengan soalan momongan.
“Kita akan berusaha, Bu, tapi hasilnya ‘kan di tangan Gusti Allah. Iya ‘kan, Dek?” tanya Mas Reza.
“Eh, iya. Bener yang dikatakan Mas Reza, Bu. Kita juga nggak ingin menunda-nunda,” sahutku sekenanya.
“Ibu doakan mudah-mudahan cepet,” ucap Ibu.
“Amin,” sahutku dan Mas Reza hampir bersamaan. Untung ibu tak lagi memperpanjang masalah ini. Aku kembali menyantap makananku, pun dengan Mas Reza dan ibu.
Selepas makan Mas Reza dan bapak sedang ngobrol-ngobrol santai di ruang tamu. Kuulas senyum melihat bapak dan mantunya itu begitu akrab. Sopan santunnya itu yang sejak dulu kukagumi dari Mas Reza, makanya aku yakin menikah dengannya meskipun kedekatan kami hanya tiga bulan.
“Diminum kopinya, Pak, Mas!” Kuletakkan dua gelas kopi masing-masing di hadapan bapak dan Mas Reza.
“Terima kasih, Ndhuk,” ucap Bapak dengan penuh senyum. “Ayo, Le, diminum mumpung masih panas!” ajak Bapak pada Mas Reza.
Sementara aku berpamitan untuk beristirahat di kamar, karena lelah, letih, lesu terasa menggelayut di tubuhku yang sama sekali belum tidur sejak kamarin malam. Ibu dan Kanina pun kembali ke kamarnya. Kulihat jam di dinding juga sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Pantas saja aku merasa ngantuk.
Namun, saat di dalam kamar tiba-tiba rasa kantuk menghilang. Aku hanya mengerjapkan mata dan mengedarkan pandangan menatap hiasan bunga-bunga di kamar pengantin ini. Lalu tiba-tiba saja ingatanku justru membawaku pada sikap arogan dan sarkas Mas Reza yang sudah melukai hatiku, kemudian berubah menjadi orang yang baik dan paling lembut dalam sekejap mata. Apa mungin Mas Reza itu …? Ah, aku harus selalu berpikiran baik kepada suamiku.
Malam pertama yang aku lakukan dengan Mas Reza ternyata ampuh merubah sikapnya. Sejak saat itu Mas Reza tak pernah marah atau berbuat kasar padaku, dia kembali penuh sopan santun dan selalu memperlakukanku dengan lembut, aku bahagia. Aku harap dia akan seperti itu seterusnya. Pagi ini, tepat tiga hari aku berstatus sebagai seorang istri, tetapi aku juga harus kembali kerutinitasku sebagai tenaga pengajar di sekolah TK A karena aku adalah seorang guru. Kini aku telah rapi dengan baju keki, tinggal pakai sepatu dan berangkat. Namun, sebagai seorang istri aku juga harus mempersiapkan kebutuhan suamiku. Bapak, ibu dan Kanina sudah pergi. Bapak ke ladang, ibu ke rumah Bu RT sejak pagi untuk bantu-bantu masak buat acara arisan dan Kanina, dia sudah pasti berada di sekolah pagi ini. Sementara Mas Reza sedang duduk santai di teras depan. Setelah semuanya siap, aku keluar dengan membawa segelas kopi panas kesukaannya. “Silakan diminum, Mas!” Kuletakkan segelas kopi ke atas meja. Lalu aku du
“Mas Re ….” Tak kulanjutkan ucapanku setelah kulihat Mas Reza tidak ada di tempat tidur. Samar-samar kudengar suara gemericik air dari bilik kamar mandi. Mungkin Mas Reza sedang membersihkan diri. Jadi, aku duduk di tepian tempat tidur untuk menunggunya. Tak selang beberapa menit Mas Reza keluar dari kamar mandi menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya sampai menutup area lutut. Memperlihatkan perutnya yang rata dihiasi bentuk kotak-kotak berwarna kecoklatan. Membuatku mengingat kejadian semalam. “Kamu dari mana?” tanya Mas Reza dengan suara terdengar sinis. Seketika senyumku menghilang, berganti dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Apa yang terjadi pada Mas Reza? “Aku sarapan di dapur, Mas. Tadi aku sud ….” “Besok-besok jangan makan kalau aku belum makan! Kamu mau jadi istri durhaka?” sela Mas Reza memotong ucapanku. Deg! Dadaku sakit bukan main mendengar suamiku mengataiku sebagai istri durhaka. Namun, aku tetap berpikir positif dengannya, mungkin dia malu kalau makan
"Yang diucapkan Mas Reza benar, Pak. Tadi Wulan nggak sengaja jatuh dan pelipisku menatap meja,” kilahku. Sebenarnya aku tak terbiasa berbohong, apalagi kepada kedua orang tuaku, tetapi kali ini terpaksa kulakukan demi kebaikan keluarga kecilku.Tak ada jawaban dari bapak atas pernyataanku dan entah kenapa, aku justru takut menghadapi kediaman bapak. Sedikit pun aku tak berani menatap wajahnya karena aku tahu bahwa bapak adalah tipikal orang yang jika marah hanya diam. Aku hanya menundukkan kepala dan dengan cemas menanti penghakiman selanjutnya.“Kenapa diam, Ndhuk? Kamu ndak mau makan?” tanya Bapak.Aku mengangkat wajahku dan menatap bapak setelah beliau berbicara. Syukurlah, berarti bapak percaya dengan ucapanku. Dengan perasaan lega aku mengambil nasi dan beberapa lauk ke dalam piring. Kami semua makan dengan khidmat, diiringi dengan suara dentingan sendok yang nyaring.Aku alihkan pandangan pada bapak yang sedang memamah makanannya dengan tenang. Lalu kutatap ibu juga melakukan h
Aku sedang berbaring di tempat tidur sembari menatap langit-langit yang telah dihiasi dengan kain putih menjuntai dan juga bunga-bunga plastik warna biru di setiap sudut kamar. Cemas, gelisah, senang, bahagia dan juga deg-degan bercampur aduk memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak, besok adalah hari digelarnya pernikahanku dengan Reza Mulyadi–lelaki yang sudah memenangkan hatiku. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan kehidupan rumah tangga yang indah bersama Mas Reza. Setiap pagi aku akan membangunkan Mas Reza dengan mesra, lalu dia akan membalas dengan kecupan mesra di keningku. Tak lupa aku menyiapkan sarapan dan juga segelas kopi panas kesukaannya. Malam harinya, saat akan tidur, Mas Reza akan mengusap rambutku hingga aku tidur di dadanya. Saat akhir pekan kita akan menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan di pantai. Mas Reza akan menggandeng tanganku dan kita menapakkan kaki di bibir pantai menikmati buih-buih yang menyapa. Duhai senangnya kehidupan rumah tanggaku bersama Ma
"Yang diucapkan Mas Reza benar, Pak. Tadi Wulan nggak sengaja jatuh dan pelipisku menatap meja,” kilahku. Sebenarnya aku tak terbiasa berbohong, apalagi kepada kedua orang tuaku, tetapi kali ini terpaksa kulakukan demi kebaikan keluarga kecilku.Tak ada jawaban dari bapak atas pernyataanku dan entah kenapa, aku justru takut menghadapi kediaman bapak. Sedikit pun aku tak berani menatap wajahnya karena aku tahu bahwa bapak adalah tipikal orang yang jika marah hanya diam. Aku hanya menundukkan kepala dan dengan cemas menanti penghakiman selanjutnya.“Kenapa diam, Ndhuk? Kamu ndak mau makan?” tanya Bapak.Aku mengangkat wajahku dan menatap bapak setelah beliau berbicara. Syukurlah, berarti bapak percaya dengan ucapanku. Dengan perasaan lega aku mengambil nasi dan beberapa lauk ke dalam piring. Kami semua makan dengan khidmat, diiringi dengan suara dentingan sendok yang nyaring.Aku alihkan pandangan pada bapak yang sedang memamah makanannya dengan tenang. Lalu kutatap ibu juga melakukan h
“Mas Re ….” Tak kulanjutkan ucapanku setelah kulihat Mas Reza tidak ada di tempat tidur. Samar-samar kudengar suara gemericik air dari bilik kamar mandi. Mungkin Mas Reza sedang membersihkan diri. Jadi, aku duduk di tepian tempat tidur untuk menunggunya. Tak selang beberapa menit Mas Reza keluar dari kamar mandi menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya sampai menutup area lutut. Memperlihatkan perutnya yang rata dihiasi bentuk kotak-kotak berwarna kecoklatan. Membuatku mengingat kejadian semalam. “Kamu dari mana?” tanya Mas Reza dengan suara terdengar sinis. Seketika senyumku menghilang, berganti dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Apa yang terjadi pada Mas Reza? “Aku sarapan di dapur, Mas. Tadi aku sud ….” “Besok-besok jangan makan kalau aku belum makan! Kamu mau jadi istri durhaka?” sela Mas Reza memotong ucapanku. Deg! Dadaku sakit bukan main mendengar suamiku mengataiku sebagai istri durhaka. Namun, aku tetap berpikir positif dengannya, mungkin dia malu kalau makan
Malam pertama yang aku lakukan dengan Mas Reza ternyata ampuh merubah sikapnya. Sejak saat itu Mas Reza tak pernah marah atau berbuat kasar padaku, dia kembali penuh sopan santun dan selalu memperlakukanku dengan lembut, aku bahagia. Aku harap dia akan seperti itu seterusnya. Pagi ini, tepat tiga hari aku berstatus sebagai seorang istri, tetapi aku juga harus kembali kerutinitasku sebagai tenaga pengajar di sekolah TK A karena aku adalah seorang guru. Kini aku telah rapi dengan baju keki, tinggal pakai sepatu dan berangkat. Namun, sebagai seorang istri aku juga harus mempersiapkan kebutuhan suamiku. Bapak, ibu dan Kanina sudah pergi. Bapak ke ladang, ibu ke rumah Bu RT sejak pagi untuk bantu-bantu masak buat acara arisan dan Kanina, dia sudah pasti berada di sekolah pagi ini. Sementara Mas Reza sedang duduk santai di teras depan. Setelah semuanya siap, aku keluar dengan membawa segelas kopi panas kesukaannya. “Silakan diminum, Mas!” Kuletakkan segelas kopi ke atas meja. Lalu aku du
Kuputuskan keluar dari kamar meninggalkan Mas Reza yang sudah lelap dalam tidurnya. Kulihat ibuku yang mulai renta menata satu demi satu perkakas dapur sendirian. Suasana Rumah juga sudah sepi, para sanak saudara dan tetangga telah pulang sejak tadi. “Harusnya Ibu manggil Wulan buat bantu! Nanti kalau Ibu capek, bagaimana?” tanyaku sembari mengangkat tumpukkan piring. Kutatap ke arah ibu yang sedikit terkejut saat menyadari kehadiranku secara tiba-tiba. “Eh, Wulan … sudah bangun, Ndhuk?” Aku tersenyum, lalu meletakkan piring yang kubawa ke dalam rak kabinet berbahan kayu kokoh. “Nggak apa-apa, Ndhuk. Ibu 'kan belum tua-tua amat, jadi masih kuat buat beresin ini,” sahut Ibu dengan seutas senyum. Tidak kusela lagi perkataan ibu. Percuma saja, beliau juga tidak akan mendengarkan perkataanku. Sejak dulu ibu dikenal sebagai wanita yang tidak bisa diam, apalagi saat melihat rumah yang sedikit berantakan tangan dan kakinya langsung gatal untuk membereskannya. “Reza tidur?” tanya Ibu. “Iy
Aku sedang berbaring di tempat tidur sembari menatap langit-langit yang telah dihiasi dengan kain putih menjuntai dan juga bunga-bunga plastik warna biru di setiap sudut kamar. Cemas, gelisah, senang, bahagia dan juga deg-degan bercampur aduk memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak, besok adalah hari digelarnya pernikahanku dengan Reza Mulyadi–lelaki yang sudah memenangkan hatiku. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan kehidupan rumah tangga yang indah bersama Mas Reza. Setiap pagi aku akan membangunkan Mas Reza dengan mesra, lalu dia akan membalas dengan kecupan mesra di keningku. Tak lupa aku menyiapkan sarapan dan juga segelas kopi panas kesukaannya. Malam harinya, saat akan tidur, Mas Reza akan mengusap rambutku hingga aku tidur di dadanya. Saat akhir pekan kita akan menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan di pantai. Mas Reza akan menggandeng tanganku dan kita menapakkan kaki di bibir pantai menikmati buih-buih yang menyapa. Duhai senangnya kehidupan rumah tanggaku bersama Ma