"Yang diucapkan Mas Reza benar, Pak. Tadi Wulan nggak sengaja jatuh dan pelipisku menatap meja,” kilahku. Sebenarnya aku tak terbiasa berbohong, apalagi kepada kedua orang tuaku, tetapi kali ini terpaksa kulakukan demi kebaikan keluarga kecilku.
Tak ada jawaban dari bapak atas pernyataanku dan entah kenapa, aku justru takut menghadapi kediaman bapak. Sedikit pun aku tak berani menatap wajahnya karena aku tahu bahwa bapak adalah tipikal orang yang jika marah hanya diam. Aku hanya menundukkan kepala dan dengan cemas menanti penghakiman selanjutnya.
“Kenapa diam, Ndhuk? Kamu ndak mau makan?” tanya Bapak.
Aku mengangkat wajahku dan menatap bapak setelah beliau berbicara. Syukurlah, berarti bapak percaya dengan ucapanku. Dengan perasaan lega aku mengambil nasi dan beberapa lauk ke dalam piring. Kami semua makan dengan khidmat, diiringi dengan suara dentingan sendok yang nyaring.
Aku alihkan pandangan pada bapak yang sedang memamah makanannya dengan tenang. Lalu kutatap ibu juga melakukan hal yang sama, pun dengan Mas Reza dan Kanina. Aku mengulum senyum. Merasa bersyukur atas semua yang diberikan Tuhan, bapak yang bijak, ibu yang baik, saudara yang saling menguatkan dan suami yang penyayang dan sopan terlepas dari perbuatannya padaku tadi siang. Ya, aku simpulkan perbuatanya hanyalah ketidaksengajaan.
“Tadi Bapak lihat di TV ada seorang artis yang mendapat KDRT dari suaminya. Kasihan dia,” ucap Bapak tiba-tiba.
Aku terperangah dengan firasat aneh yang mulai menjalar dipikiranku saat tiba-tiba bapak menyinggung perihal KDRT. Kemudian kulirik Mas Reza yang sempat tersedak dan kini tengah meneguk air di gelas hingga tandas. Wajahnya yang tadi terlihat tenang, kini berubah tegang.
“Aku harap anak-anak Bapak nggak ada yang seperti itu,” lanjut Bapak.
“Nggeh, Pak. Reza akan berusaha untuk menjaga Wulan,” ucap Mas Reza dengan sopan. Itu yang kusuka dari Mas Reza, sikap sopan dan santunnya jika berbicara dengan orang tua.
“Bapak hanya ingin menasehati kalian. Kalian itu pasangan baru, Bapak hanya mau mengingatkan jika ada masalah selesaikan dengan kepala dingin! Kita sebagai lelaki jangan sampai menjatuhkan tangan kepada wanita karena itu akan sangat melukai hatinya juga fisiknya. Dengar ya, Le!” lanjut Bapak.
“Nggeh, Pak.”
“Ayo dimakan! masakan Ibumu ini paling enak, loh … Wulan saja kadang sampai nambah-nambah!” ajak Bapak dengan hangat.
“Iya loh, Mas, masakan Ibu ini enak sekali,” timpalku sembari mengambilkan beberapa lauk lagi untuk Mas Reza.
“Ahh … kalian terlalu berlebihan,” ucap Ibu tersipu.
Aku tersenyum dan sangat bersyukur melihat hubungan baik suami dan kedua orang tuaku. Tadinya aku pikir Mas Reza akan marah setelah bapak menyinggung perihal KDRT, untung saja hal yang aku khawatirkan tidak terjadi. Kami melanjutkan makan malam dengan suasana hangat.
Mas Reza adalah seorang anak yatim dan piyatu setelah ibunya meninggal dalam kecelakaan ketika Mas Reza masih sekolah dasar. Kemudian, dua tahun setelahnya bapaknya bunuh diri karena tak kuat menanggung penderitaan dari sakitnya kehilangan. Jadi, Mas Reza tumbuh dan besar bersama Mbak Nurmi. Ya, seperti itulah cerita hidup Mas Reza yang pernah dikatakan padaku.
Mas Reza hanya lulusan SMP. Dia tak bisa melanjutkan pendidikannya karena biaya sekolah mahal saat itu. Itulah sebabnya Mas Reza sedikit kesulitan mencari pekerjaan. Sementara aku, seorang lulusan sarjana PGTK yang saat ini mengajar di TK A. Namun, bapak dan ibu tak mempermasalahkan status pendidikan Mas Reza, yang mereka harapkan hanya kebahagiaanku.
Setelah selesai makan dan membereskan piring-piring bekas makan, aku masuk ke dalam kamar. Sambil berbaring-baring aku berselancar di dunia maya, bersua dengan beberapa teman di sana. Mas Reza sudah pergi, tadi dia meminta izin padaku untuk keluar sebentar dan aku mengizinkannya. Tiba-tiba kudengar pintu kamarku diketuk.
“Masuk!” pintaku karena kukira adalah Mas Reza, rupa-rupanya ibu yang masuk ke dalam kamarku.
Aku yang tadi berbaring segera mengambil posisi duduk dan kini ibu pun sudah duduk di tepian tempat tidur. “Ada yang pengen Ibu bicarakan sama kamu, Ndhuk.”
“Tentang apa, Bu?” tanyaku penuh curiga. Tidak biasanya wajah ibu seserius ini.
“Ceritakan pada Ibu apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Reza!” pinta Ibu.
“Maksud Ibu? Wulan ‘kan sudah bilang tadi saat makan malam, kalau wulan ceroboh dan jatuh menatap meja,” sahutku.
“Jangan bohong! Ibu ini wanita dan ibu kamu, tentu Ibu tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu.”
Aku menghela napas berat. Ingin berkata jujur tapi mulutku tercekat, rasanya suaraku hanya sampai kerongkongan saat ingin mengatakan yang sebenarnya. Lantas, haruskah aku berbohong lagi untuk yang kedua kali?
“Jujurlah, Ndhuk! Ibu nggak akan memarahi siapa-siapa di sini. Ibu hanya ingin tahu duduk perkaranya,” ucap Ibu mencengkeram bahuku,
Aku menundukkan kepala karena air mataku terasa ingin tumpah. “Sebenarnya Wulan nggak jatuh, Bu, tapi Mas Reza menampar Wulan hingga jatuh terbentur sudut meja.”
“Astagfirullahaladzim!” pekik Ibu kaget mendengar ceritaku.
“Tapi itu bukan salah Mas Reza, Bu. Itu salah Wulan yang nggak hati-hati membawa gelas kopi sampai kopi itu menumpahi Mas Reza. Ibu … Wulan mohon jangan marahi Mas Reza! Dia tidak bersalah.” Air mataku tak bisa terbendung lagi. Aku sangat memohon pada ibu. Berharap ibu tidak menyalahkan Mas Reza lalu membencinya, karena bagaimana juga aku sangat mencintai Mas Reza.
“Ibu nggak akan memarahi siapa-siapa, tapi Ibu harus bilang pada Bapak soal ini.”
Ibu berjalan hendak keluar dari kamarku, tetapi aku secepat kilat menarik tangannya. Aku bersimpuh di hadapannya dengan ari mata yang sudah menderai. Berharap agar ibu mengurungkan niatnya untuk memberi tahu bapak.
“Bu, Wulan mohon! Mas Reza hanya khilaf, dan aku berjanji pada Ibu kalau Mas Reza tidak akan melakukan ini lagi,” mohonku.
Kudengar ibu menghela napas. Beliau duduk lalu memelukku. Di dekapannya aku menangis tersedu-sedu, sementara ibu terus mengusap dengan lembut kepalaku.
“Baiklah, Ibu nggak akan mengatakannya pada Bapak. Sudah kamu tidurlah, ini sudah malam!” pinta Ibu.
Ibu menuntun tubuh ini menuju tempat tidur dan aku memilih berbaring membelakangi ibu. Tak ingin ibu merasa kasihan atas yang terjadi padaku. Setelah kudengar pitu kamar ditutup, segera kuterlentangkan badan dan menatap langit-langit di atasku.
Kemudian kualihkan mataku menatap jam di layar ponsel yang kini hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Mas Reza belum pulang juga, aku tak tahu dia pergi ke mana karena dia tak bilang apa-apa saat berpamitan. Dengan mata yang benar-benar kantuk aku akan terjaga hingga Mas Reza pulang.
“Dek, bangun!” Samar-samar kudengar suara Mas Reza memanggil namaku. Aku menoleh dan melihat Mas Reza tersenyum kepadaku.
“Apa aku tertidur?” tanyaku dengan suara yang serak. Kukucek mataku, lalu duduk dan bersandar di kepala tempat tidur. Kulihat lagi jam di ponsel yang kini menunjukkan pukul setengah dua belas malam. “Kamu dari mana, Mas? Kok jam segini baru pulang?” tanyaku.
“Tadi aku dari rumah Edi dan minta pekerjaan sama dia, tapi katanya belum ada. Katanya nanti akan dihubungi kalau sudah ada,” sahut Mas Reza. Aku bengga dengannya, ternyata dia berusaha untuk mencari pekerjaan meskipun sampai sekarang juga belum dapat. Namun, setidaknya ia mau berusaha. “Aku punya sesuatu untukmu, Dek.”
“Apa itu, Mas?”
Mas Reza memberikan kantongan putih padaku dengan senyum-senyum. Aku jadi penasaran sebenarnya apa yang ia berikan untukku. Perlahan-lahan kubuka kantongan itu dan semakin terkejutlah aku melihat isinya.
“Cokelat?” tanyaku setelah kukeluarkan sebungkus cokelat dari kantongan.
Mas Arman duduk di sampingku, menyandarkan kepalaku di pundaknya. “Mas Minta maaf, sudah berbuat kasar sama kamu, Dek. Mas benar-benar menyesal. Maafkan aku!”
“Aku sudah memaafkanmu, Mas.”
“Oh, iya, aku tadi juga singgah di rumah Mbak Nurmi. Mbak Nurmi bilang sebaiknya kita segera keluar dari rumah ini supaya kita bisa lebih dewasa menjalani rumah tangga ini. Bagaimana menurutmu, Dek?” tanya Mas Arman.
“Tapi, Mas ….”
“Kenapa? Kamu mau tanya sama Bapak kamu itu? Sekeluarga menyebalkan semua!” bentak Mas Reza.
Hatiku rasanya hancur dan tak menyangkan Mas Reza berkata seperti itu. Dia menghina keluargaku di hadapanku terang terangan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena sebagai istri, aku harus berbakti kepada suami selama itu dalam kebaikan, dan pindah rumah bukanlah hal yang jahat. Lalu, apa yang aku harus sampaikan kepada orang tuaku?
Aku sedang berbaring di tempat tidur sembari menatap langit-langit yang telah dihiasi dengan kain putih menjuntai dan juga bunga-bunga plastik warna biru di setiap sudut kamar. Cemas, gelisah, senang, bahagia dan juga deg-degan bercampur aduk memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak, besok adalah hari digelarnya pernikahanku dengan Reza Mulyadi–lelaki yang sudah memenangkan hatiku. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan kehidupan rumah tangga yang indah bersama Mas Reza. Setiap pagi aku akan membangunkan Mas Reza dengan mesra, lalu dia akan membalas dengan kecupan mesra di keningku. Tak lupa aku menyiapkan sarapan dan juga segelas kopi panas kesukaannya. Malam harinya, saat akan tidur, Mas Reza akan mengusap rambutku hingga aku tidur di dadanya. Saat akhir pekan kita akan menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan di pantai. Mas Reza akan menggandeng tanganku dan kita menapakkan kaki di bibir pantai menikmati buih-buih yang menyapa. Duhai senangnya kehidupan rumah tanggaku bersama Ma
Kuputuskan keluar dari kamar meninggalkan Mas Reza yang sudah lelap dalam tidurnya. Kulihat ibuku yang mulai renta menata satu demi satu perkakas dapur sendirian. Suasana Rumah juga sudah sepi, para sanak saudara dan tetangga telah pulang sejak tadi. “Harusnya Ibu manggil Wulan buat bantu! Nanti kalau Ibu capek, bagaimana?” tanyaku sembari mengangkat tumpukkan piring. Kutatap ke arah ibu yang sedikit terkejut saat menyadari kehadiranku secara tiba-tiba. “Eh, Wulan … sudah bangun, Ndhuk?” Aku tersenyum, lalu meletakkan piring yang kubawa ke dalam rak kabinet berbahan kayu kokoh. “Nggak apa-apa, Ndhuk. Ibu 'kan belum tua-tua amat, jadi masih kuat buat beresin ini,” sahut Ibu dengan seutas senyum. Tidak kusela lagi perkataan ibu. Percuma saja, beliau juga tidak akan mendengarkan perkataanku. Sejak dulu ibu dikenal sebagai wanita yang tidak bisa diam, apalagi saat melihat rumah yang sedikit berantakan tangan dan kakinya langsung gatal untuk membereskannya. “Reza tidur?” tanya Ibu. “Iy
Malam pertama yang aku lakukan dengan Mas Reza ternyata ampuh merubah sikapnya. Sejak saat itu Mas Reza tak pernah marah atau berbuat kasar padaku, dia kembali penuh sopan santun dan selalu memperlakukanku dengan lembut, aku bahagia. Aku harap dia akan seperti itu seterusnya. Pagi ini, tepat tiga hari aku berstatus sebagai seorang istri, tetapi aku juga harus kembali kerutinitasku sebagai tenaga pengajar di sekolah TK A karena aku adalah seorang guru. Kini aku telah rapi dengan baju keki, tinggal pakai sepatu dan berangkat. Namun, sebagai seorang istri aku juga harus mempersiapkan kebutuhan suamiku. Bapak, ibu dan Kanina sudah pergi. Bapak ke ladang, ibu ke rumah Bu RT sejak pagi untuk bantu-bantu masak buat acara arisan dan Kanina, dia sudah pasti berada di sekolah pagi ini. Sementara Mas Reza sedang duduk santai di teras depan. Setelah semuanya siap, aku keluar dengan membawa segelas kopi panas kesukaannya. “Silakan diminum, Mas!” Kuletakkan segelas kopi ke atas meja. Lalu aku du
“Mas Re ….” Tak kulanjutkan ucapanku setelah kulihat Mas Reza tidak ada di tempat tidur. Samar-samar kudengar suara gemericik air dari bilik kamar mandi. Mungkin Mas Reza sedang membersihkan diri. Jadi, aku duduk di tepian tempat tidur untuk menunggunya. Tak selang beberapa menit Mas Reza keluar dari kamar mandi menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya sampai menutup area lutut. Memperlihatkan perutnya yang rata dihiasi bentuk kotak-kotak berwarna kecoklatan. Membuatku mengingat kejadian semalam. “Kamu dari mana?” tanya Mas Reza dengan suara terdengar sinis. Seketika senyumku menghilang, berganti dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Apa yang terjadi pada Mas Reza? “Aku sarapan di dapur, Mas. Tadi aku sud ….” “Besok-besok jangan makan kalau aku belum makan! Kamu mau jadi istri durhaka?” sela Mas Reza memotong ucapanku. Deg! Dadaku sakit bukan main mendengar suamiku mengataiku sebagai istri durhaka. Namun, aku tetap berpikir positif dengannya, mungkin dia malu kalau makan
"Yang diucapkan Mas Reza benar, Pak. Tadi Wulan nggak sengaja jatuh dan pelipisku menatap meja,” kilahku. Sebenarnya aku tak terbiasa berbohong, apalagi kepada kedua orang tuaku, tetapi kali ini terpaksa kulakukan demi kebaikan keluarga kecilku.Tak ada jawaban dari bapak atas pernyataanku dan entah kenapa, aku justru takut menghadapi kediaman bapak. Sedikit pun aku tak berani menatap wajahnya karena aku tahu bahwa bapak adalah tipikal orang yang jika marah hanya diam. Aku hanya menundukkan kepala dan dengan cemas menanti penghakiman selanjutnya.“Kenapa diam, Ndhuk? Kamu ndak mau makan?” tanya Bapak.Aku mengangkat wajahku dan menatap bapak setelah beliau berbicara. Syukurlah, berarti bapak percaya dengan ucapanku. Dengan perasaan lega aku mengambil nasi dan beberapa lauk ke dalam piring. Kami semua makan dengan khidmat, diiringi dengan suara dentingan sendok yang nyaring.Aku alihkan pandangan pada bapak yang sedang memamah makanannya dengan tenang. Lalu kutatap ibu juga melakukan h
“Mas Re ….” Tak kulanjutkan ucapanku setelah kulihat Mas Reza tidak ada di tempat tidur. Samar-samar kudengar suara gemericik air dari bilik kamar mandi. Mungkin Mas Reza sedang membersihkan diri. Jadi, aku duduk di tepian tempat tidur untuk menunggunya. Tak selang beberapa menit Mas Reza keluar dari kamar mandi menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya sampai menutup area lutut. Memperlihatkan perutnya yang rata dihiasi bentuk kotak-kotak berwarna kecoklatan. Membuatku mengingat kejadian semalam. “Kamu dari mana?” tanya Mas Reza dengan suara terdengar sinis. Seketika senyumku menghilang, berganti dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Apa yang terjadi pada Mas Reza? “Aku sarapan di dapur, Mas. Tadi aku sud ….” “Besok-besok jangan makan kalau aku belum makan! Kamu mau jadi istri durhaka?” sela Mas Reza memotong ucapanku. Deg! Dadaku sakit bukan main mendengar suamiku mengataiku sebagai istri durhaka. Namun, aku tetap berpikir positif dengannya, mungkin dia malu kalau makan
Malam pertama yang aku lakukan dengan Mas Reza ternyata ampuh merubah sikapnya. Sejak saat itu Mas Reza tak pernah marah atau berbuat kasar padaku, dia kembali penuh sopan santun dan selalu memperlakukanku dengan lembut, aku bahagia. Aku harap dia akan seperti itu seterusnya. Pagi ini, tepat tiga hari aku berstatus sebagai seorang istri, tetapi aku juga harus kembali kerutinitasku sebagai tenaga pengajar di sekolah TK A karena aku adalah seorang guru. Kini aku telah rapi dengan baju keki, tinggal pakai sepatu dan berangkat. Namun, sebagai seorang istri aku juga harus mempersiapkan kebutuhan suamiku. Bapak, ibu dan Kanina sudah pergi. Bapak ke ladang, ibu ke rumah Bu RT sejak pagi untuk bantu-bantu masak buat acara arisan dan Kanina, dia sudah pasti berada di sekolah pagi ini. Sementara Mas Reza sedang duduk santai di teras depan. Setelah semuanya siap, aku keluar dengan membawa segelas kopi panas kesukaannya. “Silakan diminum, Mas!” Kuletakkan segelas kopi ke atas meja. Lalu aku du
Kuputuskan keluar dari kamar meninggalkan Mas Reza yang sudah lelap dalam tidurnya. Kulihat ibuku yang mulai renta menata satu demi satu perkakas dapur sendirian. Suasana Rumah juga sudah sepi, para sanak saudara dan tetangga telah pulang sejak tadi. “Harusnya Ibu manggil Wulan buat bantu! Nanti kalau Ibu capek, bagaimana?” tanyaku sembari mengangkat tumpukkan piring. Kutatap ke arah ibu yang sedikit terkejut saat menyadari kehadiranku secara tiba-tiba. “Eh, Wulan … sudah bangun, Ndhuk?” Aku tersenyum, lalu meletakkan piring yang kubawa ke dalam rak kabinet berbahan kayu kokoh. “Nggak apa-apa, Ndhuk. Ibu 'kan belum tua-tua amat, jadi masih kuat buat beresin ini,” sahut Ibu dengan seutas senyum. Tidak kusela lagi perkataan ibu. Percuma saja, beliau juga tidak akan mendengarkan perkataanku. Sejak dulu ibu dikenal sebagai wanita yang tidak bisa diam, apalagi saat melihat rumah yang sedikit berantakan tangan dan kakinya langsung gatal untuk membereskannya. “Reza tidur?” tanya Ibu. “Iy
Aku sedang berbaring di tempat tidur sembari menatap langit-langit yang telah dihiasi dengan kain putih menjuntai dan juga bunga-bunga plastik warna biru di setiap sudut kamar. Cemas, gelisah, senang, bahagia dan juga deg-degan bercampur aduk memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak, besok adalah hari digelarnya pernikahanku dengan Reza Mulyadi–lelaki yang sudah memenangkan hatiku. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan kehidupan rumah tangga yang indah bersama Mas Reza. Setiap pagi aku akan membangunkan Mas Reza dengan mesra, lalu dia akan membalas dengan kecupan mesra di keningku. Tak lupa aku menyiapkan sarapan dan juga segelas kopi panas kesukaannya. Malam harinya, saat akan tidur, Mas Reza akan mengusap rambutku hingga aku tidur di dadanya. Saat akhir pekan kita akan menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan di pantai. Mas Reza akan menggandeng tanganku dan kita menapakkan kaki di bibir pantai menikmati buih-buih yang menyapa. Duhai senangnya kehidupan rumah tanggaku bersama Ma