Beranda / Pernikahan / Setetes Racun Dalam Madu / 1. Menjadi Seorang Istri

Share

Setetes Racun Dalam Madu
Setetes Racun Dalam Madu
Penulis: Tiwit_TJ

1. Menjadi Seorang Istri

Penulis: Tiwit_TJ
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku sedang berbaring di tempat tidur sembari menatap langit-langit yang telah dihiasi dengan kain putih menjuntai dan juga bunga-bunga plastik warna biru di setiap sudut kamar. Cemas, gelisah, senang, bahagia dan juga deg-degan bercampur aduk memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak, besok adalah hari digelarnya pernikahanku dengan Reza Mulyadi–lelaki yang sudah memenangkan hatiku.

Aku senyum-senyum sendiri membayangkan kehidupan rumah tangga yang indah bersama Mas Reza. Setiap pagi aku akan membangunkan Mas Reza dengan mesra, lalu dia akan membalas dengan kecupan mesra di keningku. Tak lupa aku menyiapkan sarapan dan juga segelas kopi panas kesukaannya. Malam harinya, saat akan tidur, Mas Reza akan mengusap rambutku hingga aku tidur di dadanya.

Saat akhir pekan kita akan menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan di pantai. Mas Reza akan menggandeng tanganku dan kita menapakkan kaki di bibir pantai menikmati buih-buih yang menyapa. Duhai senangnya kehidupan rumah tanggaku bersama Mas Reza kelak.

Ngomong-ngomong soal Mas Reza. Aku jadi penasaran dengan apa yang saat ini dilakukan oleh lelaki tiga puluh tiga tahun yang sebentar lagi akan berstatus sebagai suamiku. Gegas kusambar gawai di atas tempat tidur, kulihat tak ada satu pun pesan dari Mas Reza. Jadi, aku berinisiatif untuk mengiriminya pesan.

[Mas Reza ….] Kukirim pesan itu memalui aplikasi hijau yang langsung centang dua, tetapi sudah dua menit tak ada balasan dari Mas Reza. Aku memaklumi, mungkin dia tak kalah gugupnya denganku.

Sampai detik ini aku masih tak menyangka. Rasanya semua berjalan sesuai dengan harapanku. Akan menikah di usia dua puluh lima, memiliki pendamping yang tampan nan penuh sopan santun. Duh, senangnya.

Aku terkesiap saat gawaiku berdering di tengah-tengah lamunanku. Buru-buru kusambar lagi ponselku yang tadi sempat aku letakkan kembali ke atas kasur dan kulihat ada nama Mas Reza di layar.

[Ada apa, Dek? Jangan bilang kamu rindu padahal besok kita sudah menikah!] Aku tersenyum membaca pesan Mas Reza. Entah ini betul atau hanya perasaanku saja, tapi pesan itu terasa sangat manis. Aku yakin, menikah dengan Mas Reza hidupku akan bahagia karena dia sangat mencintaiku meski kita hanya tiga bulan berpacaran.

[Aku deg-degan dan nggak nyangka kalu besok kita akan menikah, Mas. Apa Mas Reza juga merasakannya?] Setelah kukirim pesan itu, kini kutatap dengan malu-malu kebaya putih yang besok akan aku kenakan di hari bahagiaku. Hari di mana statusku akan berubah menjadi seorang istri dari Reza Mulyadi.

Tak lama kudengar ponselku berdering dan aku yakin itu pesan dari Mas Reza, jadi aku gegas membuka aplikasi hijau itu lagi. [Iya. Kalau sudah nikah nanti Dek Wulan pengin punya anak berapa?]

Anak? Kenapa Mas Reza bertanya seperti itu? Aku jadi malu, kulihat kedua pipiku yang sudah memerah dari layar ponsel. Ah, rasanya akan menggemaskan kalau mempunyai dua anak kecil yang menggemaskan. Yang satu nangis dan yang satunya lagi juga ikut nangis, pasti aku dan Mas Reza akan sesibuk itu untuk menenangkan mereka.

[Dua anak saja kurasa cukup, Mas. Pasti lucu karena kita akan kerepotan mengurusi mereka.] Aku menekan tombol kirim dengan perasaan malu.

Tak lama kemudian gawaiku berdering lagi. [Baiklah! Kita langsung gas full saja kalau sudah nikah, Dek!]

Aku terkekeh membaca pesan Mas Reza. Kuedarkan lagi pandanganku, di kamar inilah nanti akan aku habiskan malam panjang dengan Mas Reza. Apa seperti ini rasanya mau menikah? Deg-degan, tidak bisa tidur, bahkan malam terasa panjang untuk menyambut esok pagi.

Kuletakkan ponselku begitu saja tanpa membalas pesan Mas Reza setelah kudengar pintu kamarku diketuk. Tak lama terdengar derit pintu terbuka dan kulihat adikku masuk ke dalam kamar. Aku mengernyit heran karena tidak biasanya dia menemuiku kalau tidak ada sesuatu yang penting. Adikku bernama Kanina, dia adalah gadis yang introvert dan tak banyak bicara, tapi malam ini entah ada angin apa dia menemuiku.

“Ada apa, Nina?” tanyaku pada Kanina yang kini duduk di tepian tempat tidur. “Apa mau minta hotspot?" imbuhku.

Kanina menggelengkan kepalanya, aku pun semakin penasaran dengan tingkahnya ini. “Mbak Wulan apa bener besok menikah?” tanyanya.

Hampir saja aku terjungkal mendengar pertanyaannya itu. Bisa-bisanya dia masih belum percaya, padahal jelas-jelas rumah dan kamar sudah dihias sedemikian rupa. “Tentu Mbak akan menikah besok. Lihatlah! Rumah kita saja sudah dihias seperti ini.” Kulayangkan pandangan mengitari seisi kamar, Kanina pun melakukannya. “Memangnya ada apa? Kamu takut berjauhan dengan Mbakmu yang baik hati ini?”

Lagi-lagi Kanina menggeleng. “Aku takut Mbak Wulan akan menderita menikah dengan Mas Reza. Aku melihat aura jahat di wajah dan matanya,” tuturnya.

Aku menoyor kepala Kanina dan tertawa terbahak-bahak saat alisnya bertaut dan menatapku sinis. “Kamu kebanyakan nonton film horor, Dek! Asal kamu tahu, Mas Reza itu orangnya baik, penyayang dan penuh sopan santun. Sudah jangan ngaco kamu! Keluarlah, aku mau tidur besok sudah akad!”

***

Pagi ini, aku duduk dengan cemas di tepian tempat tidur. Dadaku berdebar hebat seiring bapak melafazkan kalimat ijab. Kugenggam erat-erat selembar tisu yang kubawa sejak tadi. Dalam kegugupanku terselip doa agar Mas Reza bisa mengucapkan ijab kabul dengan lancar dalam satu tarikan nafas.

“Saya terima nikah dan kawinnya, Asmani Wulandari binti Basuki dengan mahar tersebut tunai.”

“Sah!”

Semua orang berteriak dengan lantang setelah Mas Reza dengan lancar mengucapkan kalimat qabul. Di dalam kamar, air mataku luruh begitu saja. Ada perasaan lega sekaligus bahagia menyelimuti hatiku. Demi apa, kini aku sudah resmi menjadi istri Mas Reza.

Kanina masuk ke dalam kamarku. “Mbak, disuruh keluar!”

Kanina menuntunku keluar untuk menemui Mas Reza yang kini sudah bergelar sebagai suamiku. Rasa malu menggerayangiku saat kulihat orang-orang menjadikanku pusat perhatian mereka. Kukulum senyum saat kulihat Mas Reza menatapku. Ya Allah, tampannya suamiku.

Kini kami duduk berdampingan, lalu bergantian menandatangani buku nikah. Sesekali kulirik Mas Reza yang ternyata juga melirikku sambil senyum-senyum. Lagi-lagi aku tersipu seraya menandatangani buku nikah di hadapanku.

“Jangan lupa nanti malam kita gas full, oke!” bisik Mas Reza di telingaku.

“Apaan sih, Mas?” Aku menyikut pelan perut suamiku itu dan dia terkekeh akan tingkahku yang malu-malu.

Acara nikahan selesai saat menjelang waktu asar. Aku dan Mas Reza masuk ke kamar untuk beristirahat. Ada perasaan aneh di hatiku saat membawa seorang laki-laki ke dalam kamarku. Jujur aku malu, tetapi aku harus terbiasa mulai dari sekarang karena lelaki ini sudah halal untuk melihat dan menyentuh seluruh bagian tubuhku.

“Mas, bisa bantu aku melepaskan ini?” tanyaku yang kesulitan melepas kancing baju bagian belakang.

Berulang kali kuminta itu padanya, tetapi Mas Reza hanya sibuk ketawa-ketawa menonton video viral dari ponselnya, sampai-sampai ia tak mendengarku meminta bantuannya. Kurebut ponsel dari tangannya karena merasa gemas. Mas Reza gegas bangkit dari pembaringannya dan menatapku tajam, sementara aku hanya terkekeh geli melihat air mukanya.

“Jangan lancang kamu, Sialan!” sarkas Mas Reza sembari merebut kembali ponsel di tanganku dengan kasar, lalu dia kembali berbaring dan menonton video.

Deg! Senyumku memudar saat itu juga dan dadaku berdesir nyeri mendengar ucapan Mas Reza. Aku mematung, benar-benar tak mengerti dengan perubahan sikapnya. Adakah aku keterlaluan dengan bercanda merebut ponselnya?

“Aku hanya minta tolong untuk melepas kancing di belakang bajuku loh, Mas.” Aku masih bergeming di tempat, menatap lelaki yang telah berstatus sebagai suamiku.

“Alah, sana minta tolong sama keluargamu! Aku tuh capek tahu, nggak? Nggak usah manja deh jadi perempuan!” hardiknya.

“Tapi kamu suamiku, sudah sepatutnya aku meminta bantuanmu,” ucapku. Sejurus kemudian ada bantal terbang mendarat di wajahku. Aku terperangah, Mas Reza sengaja melemparnya hingga mengenaiku. Sakit rasanya diperlakukan seperti itu.

“Aku tak suka dibantah! Keluarlah jika kamu hanya ingin mengganggu tidurku!” titahnya. Mas Reza menaruh ponselnya lalu terpejam.

Air mata yang sejak tadi terbendung kini mengalir begitu saja. Dengan susah payah aku berusaha melepaskan kancing bajuku sendiri. Sebenarnya hatiku sakit sekali diperlakukan seperti ini oleh Mas Reza, tetapi dia adalah pilihanku dan aku akan menerima bagaiamanapun dia. Aku yakin Mas Reza adalah lelaki yang baik.

Bab terkait

  • Setetes Racun Dalam Madu    2. Sisi Lain Mas Reza

    Kuputuskan keluar dari kamar meninggalkan Mas Reza yang sudah lelap dalam tidurnya. Kulihat ibuku yang mulai renta menata satu demi satu perkakas dapur sendirian. Suasana Rumah juga sudah sepi, para sanak saudara dan tetangga telah pulang sejak tadi. “Harusnya Ibu manggil Wulan buat bantu! Nanti kalau Ibu capek, bagaimana?” tanyaku sembari mengangkat tumpukkan piring. Kutatap ke arah ibu yang sedikit terkejut saat menyadari kehadiranku secara tiba-tiba. “Eh, Wulan … sudah bangun, Ndhuk?” Aku tersenyum, lalu meletakkan piring yang kubawa ke dalam rak kabinet berbahan kayu kokoh. “Nggak apa-apa, Ndhuk. Ibu 'kan belum tua-tua amat, jadi masih kuat buat beresin ini,” sahut Ibu dengan seutas senyum. Tidak kusela lagi perkataan ibu. Percuma saja, beliau juga tidak akan mendengarkan perkataanku. Sejak dulu ibu dikenal sebagai wanita yang tidak bisa diam, apalagi saat melihat rumah yang sedikit berantakan tangan dan kakinya langsung gatal untuk membereskannya. “Reza tidur?” tanya Ibu. “Iy

  • Setetes Racun Dalam Madu    3. Tangan Yang Bicara

    Malam pertama yang aku lakukan dengan Mas Reza ternyata ampuh merubah sikapnya. Sejak saat itu Mas Reza tak pernah marah atau berbuat kasar padaku, dia kembali penuh sopan santun dan selalu memperlakukanku dengan lembut, aku bahagia. Aku harap dia akan seperti itu seterusnya. Pagi ini, tepat tiga hari aku berstatus sebagai seorang istri, tetapi aku juga harus kembali kerutinitasku sebagai tenaga pengajar di sekolah TK A karena aku adalah seorang guru. Kini aku telah rapi dengan baju keki, tinggal pakai sepatu dan berangkat. Namun, sebagai seorang istri aku juga harus mempersiapkan kebutuhan suamiku. Bapak, ibu dan Kanina sudah pergi. Bapak ke ladang, ibu ke rumah Bu RT sejak pagi untuk bantu-bantu masak buat acara arisan dan Kanina, dia sudah pasti berada di sekolah pagi ini. Sementara Mas Reza sedang duduk santai di teras depan. Setelah semuanya siap, aku keluar dengan membawa segelas kopi panas kesukaannya. “Silakan diminum, Mas!” Kuletakkan segelas kopi ke atas meja. Lalu aku du

  • Setetes Racun Dalam Madu    4. Segelas Kopi

    “Mas Re ….” Tak kulanjutkan ucapanku setelah kulihat Mas Reza tidak ada di tempat tidur. Samar-samar kudengar suara gemericik air dari bilik kamar mandi. Mungkin Mas Reza sedang membersihkan diri. Jadi, aku duduk di tepian tempat tidur untuk menunggunya. Tak selang beberapa menit Mas Reza keluar dari kamar mandi menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya sampai menutup area lutut. Memperlihatkan perutnya yang rata dihiasi bentuk kotak-kotak berwarna kecoklatan. Membuatku mengingat kejadian semalam. “Kamu dari mana?” tanya Mas Reza dengan suara terdengar sinis. Seketika senyumku menghilang, berganti dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Apa yang terjadi pada Mas Reza? “Aku sarapan di dapur, Mas. Tadi aku sud ….” “Besok-besok jangan makan kalau aku belum makan! Kamu mau jadi istri durhaka?” sela Mas Reza memotong ucapanku. Deg! Dadaku sakit bukan main mendengar suamiku mengataiku sebagai istri durhaka. Namun, aku tetap berpikir positif dengannya, mungkin dia malu kalau makan

  • Setetes Racun Dalam Madu    5. Permintaan Maaf Mas Reza

    "Yang diucapkan Mas Reza benar, Pak. Tadi Wulan nggak sengaja jatuh dan pelipisku menatap meja,” kilahku. Sebenarnya aku tak terbiasa berbohong, apalagi kepada kedua orang tuaku, tetapi kali ini terpaksa kulakukan demi kebaikan keluarga kecilku.Tak ada jawaban dari bapak atas pernyataanku dan entah kenapa, aku justru takut menghadapi kediaman bapak. Sedikit pun aku tak berani menatap wajahnya karena aku tahu bahwa bapak adalah tipikal orang yang jika marah hanya diam. Aku hanya menundukkan kepala dan dengan cemas menanti penghakiman selanjutnya.“Kenapa diam, Ndhuk? Kamu ndak mau makan?” tanya Bapak.Aku mengangkat wajahku dan menatap bapak setelah beliau berbicara. Syukurlah, berarti bapak percaya dengan ucapanku. Dengan perasaan lega aku mengambil nasi dan beberapa lauk ke dalam piring. Kami semua makan dengan khidmat, diiringi dengan suara dentingan sendok yang nyaring.Aku alihkan pandangan pada bapak yang sedang memamah makanannya dengan tenang. Lalu kutatap ibu juga melakukan h

Bab terbaru

  • Setetes Racun Dalam Madu    5. Permintaan Maaf Mas Reza

    "Yang diucapkan Mas Reza benar, Pak. Tadi Wulan nggak sengaja jatuh dan pelipisku menatap meja,” kilahku. Sebenarnya aku tak terbiasa berbohong, apalagi kepada kedua orang tuaku, tetapi kali ini terpaksa kulakukan demi kebaikan keluarga kecilku.Tak ada jawaban dari bapak atas pernyataanku dan entah kenapa, aku justru takut menghadapi kediaman bapak. Sedikit pun aku tak berani menatap wajahnya karena aku tahu bahwa bapak adalah tipikal orang yang jika marah hanya diam. Aku hanya menundukkan kepala dan dengan cemas menanti penghakiman selanjutnya.“Kenapa diam, Ndhuk? Kamu ndak mau makan?” tanya Bapak.Aku mengangkat wajahku dan menatap bapak setelah beliau berbicara. Syukurlah, berarti bapak percaya dengan ucapanku. Dengan perasaan lega aku mengambil nasi dan beberapa lauk ke dalam piring. Kami semua makan dengan khidmat, diiringi dengan suara dentingan sendok yang nyaring.Aku alihkan pandangan pada bapak yang sedang memamah makanannya dengan tenang. Lalu kutatap ibu juga melakukan h

  • Setetes Racun Dalam Madu    4. Segelas Kopi

    “Mas Re ….” Tak kulanjutkan ucapanku setelah kulihat Mas Reza tidak ada di tempat tidur. Samar-samar kudengar suara gemericik air dari bilik kamar mandi. Mungkin Mas Reza sedang membersihkan diri. Jadi, aku duduk di tepian tempat tidur untuk menunggunya. Tak selang beberapa menit Mas Reza keluar dari kamar mandi menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya sampai menutup area lutut. Memperlihatkan perutnya yang rata dihiasi bentuk kotak-kotak berwarna kecoklatan. Membuatku mengingat kejadian semalam. “Kamu dari mana?” tanya Mas Reza dengan suara terdengar sinis. Seketika senyumku menghilang, berganti dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Apa yang terjadi pada Mas Reza? “Aku sarapan di dapur, Mas. Tadi aku sud ….” “Besok-besok jangan makan kalau aku belum makan! Kamu mau jadi istri durhaka?” sela Mas Reza memotong ucapanku. Deg! Dadaku sakit bukan main mendengar suamiku mengataiku sebagai istri durhaka. Namun, aku tetap berpikir positif dengannya, mungkin dia malu kalau makan

  • Setetes Racun Dalam Madu    3. Tangan Yang Bicara

    Malam pertama yang aku lakukan dengan Mas Reza ternyata ampuh merubah sikapnya. Sejak saat itu Mas Reza tak pernah marah atau berbuat kasar padaku, dia kembali penuh sopan santun dan selalu memperlakukanku dengan lembut, aku bahagia. Aku harap dia akan seperti itu seterusnya. Pagi ini, tepat tiga hari aku berstatus sebagai seorang istri, tetapi aku juga harus kembali kerutinitasku sebagai tenaga pengajar di sekolah TK A karena aku adalah seorang guru. Kini aku telah rapi dengan baju keki, tinggal pakai sepatu dan berangkat. Namun, sebagai seorang istri aku juga harus mempersiapkan kebutuhan suamiku. Bapak, ibu dan Kanina sudah pergi. Bapak ke ladang, ibu ke rumah Bu RT sejak pagi untuk bantu-bantu masak buat acara arisan dan Kanina, dia sudah pasti berada di sekolah pagi ini. Sementara Mas Reza sedang duduk santai di teras depan. Setelah semuanya siap, aku keluar dengan membawa segelas kopi panas kesukaannya. “Silakan diminum, Mas!” Kuletakkan segelas kopi ke atas meja. Lalu aku du

  • Setetes Racun Dalam Madu    2. Sisi Lain Mas Reza

    Kuputuskan keluar dari kamar meninggalkan Mas Reza yang sudah lelap dalam tidurnya. Kulihat ibuku yang mulai renta menata satu demi satu perkakas dapur sendirian. Suasana Rumah juga sudah sepi, para sanak saudara dan tetangga telah pulang sejak tadi. “Harusnya Ibu manggil Wulan buat bantu! Nanti kalau Ibu capek, bagaimana?” tanyaku sembari mengangkat tumpukkan piring. Kutatap ke arah ibu yang sedikit terkejut saat menyadari kehadiranku secara tiba-tiba. “Eh, Wulan … sudah bangun, Ndhuk?” Aku tersenyum, lalu meletakkan piring yang kubawa ke dalam rak kabinet berbahan kayu kokoh. “Nggak apa-apa, Ndhuk. Ibu 'kan belum tua-tua amat, jadi masih kuat buat beresin ini,” sahut Ibu dengan seutas senyum. Tidak kusela lagi perkataan ibu. Percuma saja, beliau juga tidak akan mendengarkan perkataanku. Sejak dulu ibu dikenal sebagai wanita yang tidak bisa diam, apalagi saat melihat rumah yang sedikit berantakan tangan dan kakinya langsung gatal untuk membereskannya. “Reza tidur?” tanya Ibu. “Iy

  • Setetes Racun Dalam Madu    1. Menjadi Seorang Istri

    Aku sedang berbaring di tempat tidur sembari menatap langit-langit yang telah dihiasi dengan kain putih menjuntai dan juga bunga-bunga plastik warna biru di setiap sudut kamar. Cemas, gelisah, senang, bahagia dan juga deg-degan bercampur aduk memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak, besok adalah hari digelarnya pernikahanku dengan Reza Mulyadi–lelaki yang sudah memenangkan hatiku. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan kehidupan rumah tangga yang indah bersama Mas Reza. Setiap pagi aku akan membangunkan Mas Reza dengan mesra, lalu dia akan membalas dengan kecupan mesra di keningku. Tak lupa aku menyiapkan sarapan dan juga segelas kopi panas kesukaannya. Malam harinya, saat akan tidur, Mas Reza akan mengusap rambutku hingga aku tidur di dadanya. Saat akhir pekan kita akan menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan di pantai. Mas Reza akan menggandeng tanganku dan kita menapakkan kaki di bibir pantai menikmati buih-buih yang menyapa. Duhai senangnya kehidupan rumah tanggaku bersama Ma

DMCA.com Protection Status