Sesampainya di rumah sakit, Mira langsung dibawa ke ruang UGD. Kepalanya terasa sangat pusing, perutnya pun sudah tak karuan, ia takut calon bayi yang di kandungnya tidak bisa di selamatkan. Namun dirinya tak bisa mengembalikan takdir yang sudah terjadi, ia pasrah bila Allah akan mengambil kembali calon bayinya. Amira meminta agar diberi umur panjang karena masih ada Celine yang membutuhkan sosoknya, pandangannya semakin kabur dan gelap setelah itu ia tak mendengar suara apa-apa lagi. Amira pingsan.Dokter dan tenaga medis lainnya berusaha semaksimal mungkin untuk menghentikan pendarahan Mira dan menyelamatkan calon bayinya. Tubuh Mira terpasang selang infus dan selang oksigen, di dalam ruangan yang serba putih itu beberapa menit penuh dengan ketegangan."Alhamdulillah," ucap seorang dokter yang menangani Mira. Ia menghela nafas lega dan tersenyum karena bayi Mira berhasil di selamatkan meskipun keadaan Mira masih kritis.***Di tempat lain Irfan bersama Laura berjalan-jalan di pusat
Suara tangisan Celine terdengar begitu pilu, bocah berumur tiga tahun belum sepenuhnya mengerti dengan keadaan sang Bunda yang tertidur namun tak kunjung bangun. Celine juga merasa asing dengan Rista membuatnya tak nyaman. Perlahan-lahan kedua mata Mira mengerjap meski terasa berat namun ia tetap membuka dengan pelan-pelan, hingga akhirnya kedua mata itu bisa melihat langit-langit rumah sakit dengan samar."Ce-line," ujar Mira dengan lirih dan terbata. Amira seperti terpanggil oleh suara tangisan Celine.Rista yang menggendong Celine segera mendekat saat melihat Mira membuka mata dan menyebut nama dengan lirih."Mbak, syukurlah kamu sudah sadar. Mama sudah sadar, Nak. Kamu jangan nangis lagi ya, maafkan tante gara-gara nolongin tante mamamu jadi sakit," ucap Rista mendekati ranjang Mira. Rista memencet tombol Nurse Call, ia memanggil perawat dan mengatakan kalau pasien sudah siuman. Selang beberapa menit datanglah dokter dan perawat masuk ke dalam ruangan yang Amira tempati. Dokter
Rista tak menjawab dia melanjutkan makannya membuat Mira merasa malu dan sungkan. Hingga makannya habis Rista masih diam saja, ia meneguk susu putihnya lalu mengelap bibir dengan tisu namun itu tak membuat warna ginconya berkurang. 'Ahh mungkin itu ginco mahal jadi tak akan mudah luntur' pikir Amira."Mira, apa kamu yakin mau bekerja dengan keadaan hamil dan mempunyai balita? Lagian di sini sudah ada bi Sumi yang mengerjakan pekerjaan rumah." Balasan Rista membuat Mira menciut. "Kamu sekolah lulusan apa?" tanya Rista membuat Mira mendongak. "SMA, Mbak," balas Mira tak bersemangat. Ia sudah tak memiliki harapan untuk bisa diterima bekerja di rumah Rista."Jangan jadi asisten rumah tangga lah, gimana kalau kamu berbisnis aja," ucap Rista membuat Mira mendongak. "Bisnis? Bisnis apa yang bisa aku lakukan, apalagi enggak ada pengalaman apapun yang kumiliki, Mbak." Mira menatap wajah Rista yang nampak serius, ia juga sibuk menyuapi Celine biskuit. "Semua di dunia ini tidak ada yang t
POV AMIRA "Berapa banyak yang kamu bawa kabur duit Irfan, hah!! Mending balikin duit Irfan yang kamu curi daripada aku lapor kamu sama polisi. Kamu lebih memilih kabur daripada di madu, ternyata sudah mempersiapkan semuanya dari jauh-jauh hari untuk bersenang-senang dengan duit anakku. Kalau enggak nyuri mana bisa kamu ke mall begini!!" ujar bu Fatma dengan nada membentak. Beberapa pengunjung saling memandang ke arah kami yang di mana aku tengah di maki-maki oleh ibu mertua dan kakak iparku. Mbak Risti tiba-tiba tak ada di sampingku, entah kemana dia pergi aku tak menyadarinya. "Dasar jelek, miskin pula. Enggak usah sok-sokan ngemall deh kalau miskin. Nggak malu apa pakai baju jelek lusuh kek gitu masuk mall, bukannya dikira pengunjung yang ada kamu bakal dikira pengemis!!" Mbak Putri tak tinggal diam. "Oohh ternyata Ibu sama Mbak Putri ada di sini tah, kami cari-cari nggak ketemu di telpon nggak di angkat. Kita udah selesai kok memilih cincinnya," ucap seorang wanita yang
Jam sembilan malam anak-anak sudah tidur, mbak Rista masuk ke dalam kamarku meski hanya memakai piyama dia terlihat sangat cantik bahkan dia tak terlihat kalau sudah memiliki anak."Bagaimana, Mir, apa kamu sudah siap?" tanya Mbak Rista menghampiriku yang duduk di sofa kamar. "Sudah, Mbak," balasku dengan cepat. Mbak Rista meminta ponselku dan menyambungkan internet wifi. Ia dengan telaten mengajariku cara mendaftar sebagai online shop dan aku harus promosi di berbagai grup agar mereka pada tau kalau aku berjualan di aplikasi orenge, biru, dan hitam. "Nah semua sudah beres, biarkan besok admin kirim gambar-gambar baju yang ada di toko untuk kamu posting. Bajunya semua ready jadi kalau ada yang pesan bisa langsung dikirim. Besok juga aku akan mengajakmu untuk melihat-lihat butikku, kamu mau kan?" tanyanya dengan lemah lembut. "Mau, Mbak, semoga aku bisa sukses dan bisa punya penghasilan sendiri." Aku membalas dengan berbinar dan penuh harap. "Ya sudah sekarang kamu istirahat udah
Pov Author "Apa kamu bilang, manusia toxic!! Yang ada tuh kamu manusia tak tahu diri, udah miskin belagu pula. Jangan mimpi terlalu tinggi bisa memiliki baju semewah di sini nanti kalau enggak kesampaian bisa-bisa kamu jatuh, kamu tahu kan kalau jatuh dari ketinggian itu sakit makanya mimpi tuh jangan tinggi-tinggi." Laura benar-benar marah saat dibilang Amira manusia toxix, ia yang tau mau menghina Mira di depannya langsung menjadi kalap."Ayo, Sayang, kita lanjutin aja cek baju pernikahan kita." Laura menggandeng lengan Irfan dengan maksud membuat Mira kepanasan. Mereka segera menjauhi Mira dan tak ingin membuat keributan di tempat itu, sedikit pun Irfan tak mau menyapa wanita yang masih sah menjadi istrinya itu. Beruntungnya Celine tidak ikut, bisa dibayangkan andai Celine ada pasti dia akan merengek minta ikut dengan Ayahnya yang tak tahu diri itu. Ekor mata Mira melihat Irfan dan Laura mencoba pakaian pengantin, Irfan terlihat gagah memakai jas dan celana putih seperti itu. Bah
Adzan subuh telah berkumandang walau hari masih gelap, hawa terasa begitu dingin cocok untuk menyelimuti tubuh, membuat orang malas untuk bangun dari tidurnya. Namun tidak dengan Mira, ia tetap bangun dan melakukan ruinitas pagi seperti biasanya. Ia pernah membaca sebuah artikel tentang semangat pagi yang selalu membuat dirinya menjadi terus bersemangat setiap paginya. "Setiap pagi memiliki awal yang baru, berkah baru, harapan baru. Ini hari yang sempurna karena itu pemberian Tuhan. Semoga hari yang penuh berkah dan penuh harapan untuk memulai meraih mimpi. " "Ukuran kesuksesanmu diukur dengan kekuatan keinginanmu, ukuran impianmu, dan bagaimana kamu menangani kekecewaan di sepanjang jalan."Itulah motivasi yang selalu terpatri di kepala Mira. Ia ingin memiliki hidup yang lebih baik dan bisa sukses agar tidak selalu di pandang rendah oleh seseorang. "Mira.. Mira...!!" terdengar suara Rasti memanggil namanya dari lantai atas. Ia bergegas turun dan menghampiri Rista yang berada di
Sebagai seorang fashion designer atau perancang busana Amira harus ahli dan terampil dalam mendesain pakaian. Dalam menciptakan dan mengembangkan rancangan busana, ia dituntut punya kreativitas yang tinggi. Selain itu, diperlukan juga kemampuan visualisasi. Jadi, konsep yang awalnya masih di dalam imajinasinya bisa ia tampilkan dalam sebuah gambar. Untuk membuat produk pakaian yang menarik, Mira juga perlu melakukan riset supaya sesuai dengan tren mode saat ini maupun prediksi tren mode di masa yang akan datang. Kepala direktur sudah memasuki ruangan metting, beliau seorang wanita yang sudah berumur namun tetap terlihat sangat cantik dan terawat. Lima jam meeting akhirnya berakhir dan rancangan Amira juga diterima dengan baik. Tepat jam dua belas siang waktunya istirahat mereka semua keluar dari ruang metting. Saat yang lain menuju kantin Mira kembali ke ruangannya untuk menaruh barang yang ia bawa saat meeting. Mira ingin melakukan vidio call dengan Intan untuk menanyakan kabar ke
"Raka, kamu beneran ngasih ini semuanya buat kami?" tanya Amira setelah ia melihat mas kawin yang diberikan suaminya."Iya, Mir. Semuanya buat kalian, dan masih banyak lagi yang akan aku berikan buat kalian salah salah satunya kasih sayang," balas Raka."Masya Allah, Raka. Aku enggak meminta harta yang berlimpah, aku hanya meminta kasih sayang dan tanggung jawabmu, tetapi kenapa kamu memberiku sebanyak ini. Dari mana kamu dapatkan ini, Rak? Bahkan kamu bisa menyiapkan semuanya sebaik ini. Apa jangan-jangan kamu keluarga Sultan?" tanya Amira dengan kedua mata yang berkaca-kaca.Setelah selesai akad mereka naik ke atas panggung untuk sesi pemotretan dan lainnya."Iya, semua yang mengurus orang-orangku dari Bali. Hartaku di Bali sangat berlimpah dan aku yakin tidak akan habis di makan tujuh belas turunan. Kamu jangan ngomong kayak gitu, kamu dan anak-anak segalanya untukku. Jadi milikku juga jadi milikmu," ucap Raka menghapus air mata Amira yang mulai berjatuhan."Jangan nangis, Mir. Nan
Hari Minggu yang dinanti akhirnya tiba. Di sebuah ruangan dengan cermin besar berhias lampu, Amira duduk tenang, matanya menatap pantulan wajah yang perlahan berubah semakin memukau di tangan MUA terbaik yang telah dipilih oleh anak buah Raka. Jemarinya yang halus menyentuh gaun yang menjuntai indah, seolah merasakan kehangatan hari istimewa yang sudah di depan mata.Sementara itu, di sudut lain ruangan, Celine, putrinya yang ceria, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Gadis kecil itu duduk dengan riang saat dirinya dipakaikan gaun yang membuatnya tampak seperti seorang putri dari negeri dongeng. Senyumnya mengembang, matanya berbinar, membayangkan momen di mana ia akan berjalan di samping Amira, dan akhirnya, memiliki seorang ayah. Hari ini bukan hanya hari untuk Amira, tapi juga untuk Celine, yang merasa dunia kecilnya kini lengkap dan penuh cinta.Jantung Amira berdegup semakin cepat seiring waktu berlalu. Pernikahan kali ini terasa jauh lebih mendebarkan dibandingkan sebelumnya
Pikiran Raka melayang-layang di dalam kecemasan, keluarganya di Bali, terutama Ajik dan Biyang—ayah dan ibunya, punya pandangan yang sangat tradisional tentang pernikahan. Status Amira sebagai seorang janda membuat segalanya terasa lebih sulit.“Halo, Bli. Saya sudah menyampaikan pesan kepada Ajik dan Biyang,” suara Pak Wayan terdengar dari seberang sana, tenang namun sedikit berat.Raka terdiam sejenak, mencoba meredakan degup jantungnya yang semakin cepat. “Bagaimana keputusan mereka, Pak?” tanyanya, tak mampu menyembunyikan kegugupannya.Di seberang telepon, Pak Wayan terdiam beberapa saat. Keheningan itu semakin membuat Raka gelisah. Ia tahu betul betapa keras kepala keluarganya dalam urusan pernikahan. Seandainya Amira tidak mendapat restu hanya karena statusnya, ia sudah bertekad tidak akan pernah kembali ke Bali—tanah kelahirannya yang selama ini ia jaga dalam hati.“Ajik dan Biyang setuju, Bli,” akhirnya Pak Wayan berbicara, suaranya terdengar lebih ringan. “Mereka sudah meres
Amira menarik napas dalam-dalam. Rasa haru memenuhi dadanya. Setiap kata yang diucapkan Raka menyentuh hatinya, meski keraguan masih bergelayut di pikirannya. Dengan Bismillah, ia akhirnya berkata, "Iya. Aku."Raka tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Alhamdulillah, terima kasih, Mira. Terima kasih sudah mau menerimaku. Jujur, aku merasa hidupku kembali berwarna sejak bertemu kamu."Amira tersenyum tipis, "Aku juga bersyukur bisa ketemu sama kamu." Mereka saling tersenyum dan menatap satu sama lain, seakan-akan dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam keheningan yang penuh makna, seolah-olah waktu berhenti dan semua yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran satu sama lain."Aku mau kita menikah Minggu depan ya, aku udah enggak sabar ingin menghalalkanmu, Mir," ujar Raka serius."Hah! Kamu beneran? Nikah itu bukan permainan, Rak, kita harus mengurus ini itu dan banyak hal yang harus di urus. Paling tidak dua bulanan lah," balas Amira.
Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di parkiran pelataran gedung bioskop. Mereka berempat akhirnya turun dan masuk ke dalam gedung.Suasana lumayan ramai, kebanyakan pengunjung para muda-mudi dan para keluarga kecil yang ingin mencari hiburan di tempat ini.Raka segera membeli tiket. Setelah itu, tak lupa ia juga membeli cemilan untuk teman mereka nonton sebentar lagi. Kini dua popcorn berukuran jumbo dan empat minuman sudah berada di tangan mereka.Mereka bergegas masuk ke dalam studio yang sebentar lagi akan menayangkan film yang diinginkan Celine dan Kenzo. Mereka langsung mencari tempat duduk yang tadi sudah di pesan, tempat duduk di bagian tengah. Lokasi ternyaman di ruangan ini.Mereka berempat duduk di kursi tersebut. Celine dan Kenzo di tengah, Celine di sebelah kiri Raka sedangkan Kenzo di sebelah kanan sang bunda. "Aku udah enggak sabar, Om, nonton filmnya," ujar Celine."Iya, ini sebentar lagi mau di putar. Sabar ya," balas Raka sembari mengusap pucuk kepala Celine d
Raka serta Amira dan Kenzo menjemput Celine ke sekolah. Mereka berencana untuk jalan-jalan dan makan bersama. Raka mengendarai mobil Amira menuju sekolahan Celine. Raka memutar kemudi perlahan, lalu menepikan mobil di bawah bayangan pohon besar yang menaungi gerbang sekolah. Cuaca siang itu terasa hangat, namun teduh karena dahan pohon yang melindungi dari teriknya matahari. Amira menghela napas ringan saat melihat anak-anak mulai berlari ke arah gerbang, beberapa diantaranya tersenyum lebar menyambut orang tua mereka. “Kita sudah sampai,” ujar Raka seraya mematikan mesin mobil. Ia memandang sekilas ke arah Amira yang tampak sibuk menatap keluar jendela. "Ya, akhirnya. Semoga Celine segera keluar," jawab Amira sambil membuka pintu mobil. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit nada kelelahan. Sedangkan Kenzo anteng duduk di kursi barisan kedua sambil makan permen lolipop. Begitu Amira menginjakkan kaki di trotoar, angin segar menyapu wajahnya. Ia memicingkan mata, mencoba me
Jantung Amira berdebar tak terkendali. Tiap kali Raka berada di dekatnya, perasaannya selalu bercampur aduk—antara gugup, bahagia, dan sesuatu yang lebih sulit ia ungkapkan. Tatapan Raka begitu tulus, namun Amira berusaha mengabaikan getaran-getaran yang mengguncang hatinya. Ia takut jika terlalu larut, ia akan membuka dirinya pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak siap ia hadapi.Mereka masih berdiri di bawah rembulan yang bersinar menambahkan suasana hangat yang tak membantu menenangkan perasaan Amira. Raka masih menatap ke arahnya seolah berusaha sabar menanti jawaban yang keluar dari bibirnya. Amira berusaha keras tetap tenang, tapi ia tahu wajahnya mungkin sedikit memerah.Raka menarik napas dalam, kemudian berkata pelan, “Mira... Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini. Tapi tiap kali aku sama kamu, aku merasa... ada sesuatu yang berbeda. Rasanya seperti... aku menemukan sesuatu yang hilang.”Amira menunduk, hatinya berdebar semakin cepat.
Malam itu begitu cerah. Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya memantul di dedaunan, menciptakan bayangan lembut di sekitar markas. Di depan bangunan sederhana itu, pemanggangan sudah siap. Aroma daging yang terbakar perlahan memenuhi udara, membuat suasana semakin akrab. Raka, Amira, Celine, dan Kenzo berkumpul bersama anak-anak jalan, tertawa dan bercanda sambil menyiapkan bahan-bahan untuk acara bakar-bakaran.Kenzo, yang baru pertama kali bertemu mereka, mudah berbaur. Celine, yang awalnya tampak canggung, kini ikut tertawa bersama anak-anak lainnya. Kehangatan mereka terasa menyelimuti malam, membuat Celine dan Kenzo merasa seolah sudah lama menjadi bagian dari kelompok itu.Setelah makan bersama, suasana mulai tenang. Anak-anak mulai duduk bersandar, kekenyangan. Raka, yang sejak awal tampak lebih tenang dan memikirkan sesuatu, akhirnya mengajak Amira berbicara di belakang markas, di bawah bintang yang berkilauan.Amira mengikuti Raka dengan langkah pelan. Mereka berdiri
Rista dan Dimas mengendarai mobil mereka dengan perlahan, menikmati udara malam yang sejuk. Suasana jalanan cukup lengang, hanya beberapa kendaraan berlalu lalang di sekitar mereka. Mereka berniat mencari angin segar, berkeliling tanpa tujuan pasti. Namun, saat mobil melintasi sebuah trotoar di pinggir jalan, pandangan Rista tiba-tiba terpaku pada sekelompok orang yang sedang bercengkerama di sana.“Amira?” gumam Rista, menyipitkan matanya untuk memastikan. Sosok itu berdiri bersama beberapa orang yang juga tak asing baginya, termasuk Celine dan Kenzo. Namun, ada seorang pria lain di antara mereka yang tidak dikenalnya."Mas, berhenti sebentar. Itu Amira," kata Rista cepat-cepat kepada Dimas.Dimas segera memarkirkan mobil di tepi jalan, tak jauh dari Amira dan rombongannya. Rista turun dan memanggil, “Mira?”Amira menoleh, ekspresi wajahnya terkejut namun segera berubah ramah. “Mbak Rista? Wah, enggak nyangka kita ketemu di sini!”Rista tersenyum tipis, lalu menghampiri mereka dengan