Adzan subuh telah berkumandang walau hari masih gelap, hawa terasa begitu dingin cocok untuk menyelimuti tubuh, membuat orang malas untuk bangun dari tidurnya. Namun tidak dengan Mira, ia tetap bangun dan melakukan ruinitas pagi seperti biasanya. Ia pernah membaca sebuah artikel tentang semangat pagi yang selalu membuat dirinya menjadi terus bersemangat setiap paginya. "Setiap pagi memiliki awal yang baru, berkah baru, harapan baru. Ini hari yang sempurna karena itu pemberian Tuhan. Semoga hari yang penuh berkah dan penuh harapan untuk memulai meraih mimpi. " "Ukuran kesuksesanmu diukur dengan kekuatan keinginanmu, ukuran impianmu, dan bagaimana kamu menangani kekecewaan di sepanjang jalan."Itulah motivasi yang selalu terpatri di kepala Mira. Ia ingin memiliki hidup yang lebih baik dan bisa sukses agar tidak selalu di pandang rendah oleh seseorang. "Mira.. Mira...!!" terdengar suara Rasti memanggil namanya dari lantai atas. Ia bergegas turun dan menghampiri Rista yang berada di
Sebagai seorang fashion designer atau perancang busana Amira harus ahli dan terampil dalam mendesain pakaian. Dalam menciptakan dan mengembangkan rancangan busana, ia dituntut punya kreativitas yang tinggi. Selain itu, diperlukan juga kemampuan visualisasi. Jadi, konsep yang awalnya masih di dalam imajinasinya bisa ia tampilkan dalam sebuah gambar. Untuk membuat produk pakaian yang menarik, Mira juga perlu melakukan riset supaya sesuai dengan tren mode saat ini maupun prediksi tren mode di masa yang akan datang. Kepala direktur sudah memasuki ruangan metting, beliau seorang wanita yang sudah berumur namun tetap terlihat sangat cantik dan terawat. Lima jam meeting akhirnya berakhir dan rancangan Amira juga diterima dengan baik. Tepat jam dua belas siang waktunya istirahat mereka semua keluar dari ruang metting. Saat yang lain menuju kantin Mira kembali ke ruangannya untuk menaruh barang yang ia bawa saat meeting. Mira ingin melakukan vidio call dengan Intan untuk menanyakan kabar ke
David membukakan pintu untuk Mira, akhirnya Mira masuk ke dalam mobilnya. Lelaki bertubuh atletis tinggi besar, berkulit putih bersih, dan wangi itu memiliki kharisma tersendiri. Umurnya empat tahun lebih tua dari Mira, ia seumuran dengan Irfan namun ia lebih terlihat dewasa dari pada Irfan. Mereka sudah sampai di supermarket, David sangat sabar menunggu Mira berbelanja, ia juga menawari Mira untuk membayarkan belanjaannya, namun Mira menolak mentah-mentah. Tak mau memaksakan kehendaknya David memilih untuk mengalah saja.Selesai berbelanja David mengantarkan Mira pulang. Saat Mira sampai rumah pun Pak Sutris juga belum kembali, entah kemana saja lelaki itu. Hingga magrib pun tiba Pak Sutris baru sampai rumah, dia berlari tergopoh-gopoh. "Bu, anu, saya minta maaf karena tadi tidak memjemput Ibu. Tadi di perjalanan mobilnya tiba-tiba mogok, hp saya juga kehabisan batre. Maaf, Bu, mobilnya mengalami overheat mesin dan harus banyak yang di perbaiki. Saya meninggalkan KTP saya di beng
"Ya ampun, Mas, kamu selalu repot-repot, bawain aku makanan di kantor. Terserah kamu aja, aku cemilan apa aja suka kok, makasih ya atas tawarannya, sebenarnya enggak usah juga nggak apa-apa kok, takut mas David repot," balas Mira pada David. "Enggak repot kok, ya sudah kamu hati-hati ya sampai ketemu besok," balasnya. Amira membuka pintu mobil agar David bisa menidurkan Kenzo, setelah itu mereka masuk ke dalam mobil. Celine juga nampak kelelahan. Setelah itu Pak Sutris menghidupkan mobil Mira menurunkan kaca dan melambaikan tangan pada David, Intan ikut melambaikan tangannya juga. David membalas dengan melambai dan tersenyum. Pak Sutris menjalankan mobil dan Mira telah berpisah dengan David dan teman-temannya. Dalam perjalan pulang, Intan mengajak ngobrol. "Bu Mira, temannya yang pakai kaos merah ganteng banget ya, dia terlihat baik, dewasa, umurnya berapa sih, Bu?" tanya Intan penasaran."Iya, memang dia baik dan ramah kepada siapa saja. Dia juga royal, care banget sama perempua
Irfan terlihat begitu terkejut saat melihat wanita tak asing baginya masuk menghampiri nya. Dengan cepat Mira bisa menguasai diri, ia memilih berpura-pura tak mengenali lelaki yang sudah mencampakkannya namun berbeda dengan Irfan yang menatapnya begitu lekat hingga tak berkedip. David dan Mira berjabat tangan dengan Pak Guntoro dan beralih pada Irfan, namun lelaki itu tak merespon apapun dia seolah-olah terpesona dengan perubahan wanita di depannya. Ahhayyy... "Pak Irfan, heii." Pak Guntoro menepuk-nepuk lengan Irfan hingga akhirnya lelaki itu tersadar dari lamunannya dan membalas uluran tangan David dan Mira.Pertemuan mereka membicarakan tentang desain-desain yang Mira buat, David yang menawarkan harga serta mempromosikannya. Amira melihat David terlihat begitu tenang saat memasarkan karyanya membuat Mira tak henti-hentinya memuji di dalam hati tentang keahlihannya. Dua jam akhirnya keputusan telah di tentukan, Pak Guntoro setuju cabang-
Sore hari tepat jam tiga sore David dan Mira keluar dari kantor, mereka izin pulang lebih awal dengan alasan ada urusan keluarga, selain itu semua pekerjaan mereka hari ini sudah beres. "Bagaimana, Mir, apa kamu sudah siap?" tanya David saat mereka sudah berada di dalam mobil. "Bismillah, sudah, Mas." Amira menghembuskan nafas, jantungnya terasa deg-degan karena sebentar lagi ia akan menginjakkan kakinya lagi di rumah yang sudah ia bangun. "Baiklah, kita berangkat sekarang. Rumahnya di mana?" tanya David yang memang belum tahu, ia sudah menjalankan mobilnya. "Di komplek mekar, Mas," balas Mira tanpa memandang arah lawan bicaranya. Di perumahan itu memang dihuni kalangan menengah ke bawah. Berbeda dengan rumah yang ia tempati sekarang berada di perumahan elit mawar rata-rata penghuninya kalangan atas, di sana penjagaan juga ketat. Tidak sampai satu jam, mereka sudah tiba di halaman rumah bu Fatma. Mobil David memang sengaja diminta Mi
Bu Fatma dan Laura menganga saat Mira melepas kaca matanya, mereka terlihat sangat shock dan terkejut dengan kedatangan Mira yang sudah berubah. "Amira!!" pekik Bu Fatma dan Laura bersamaan. Mereka memandangi Mira dan David secara bergantian. "Apa kabar Bu Fatma, Laura? Sudah lama kita tak bertemu, pasti kalian sudah hidup bahagia kan?" tanya Mira dengan tersenyum sinis. Tiba-tiba ada sebuah mobil masuk ke halaman rumah Bu Fatma juga dan parkir di samping mobil David, Mira masih ingat betul itu mobil milik Irfan. Benar juga tak menunggu lama Irfan keluar dari mobilnya. "Mira, kamu ke sini. Pasti kamu mau kembali kan hidup bersama, Abang?" tanya Irfan dengan sumringah setelah menghampiri Mira. "Maaf, aku enggak sudi kembali sama, Abang. Aku ke sini cuma mengambil buku nikah kita untuk segera mendaftarkan ke pengadilan. Dan maaf aku buru-buru harus pergi karena udah enggak tahan berada di rumahku yang kotor seperti hati kalian!" jawab Mira dengan tegas. "Maafkan Abang, Mir, Abang
Mendengar Irfan mengajak bermusyawarah dulu membuat David yang duduk di sebelah Mira menoleh ke arahnya dan menyahut. "Mira, kalau memang Irfan ngajak musyawarah dulu lebih baik kamu masuk dulu sebentar," ujar David bijaksana. Pendapat David membuat Mira menjadi gamang, ia merutuki David di dalam hatinya sebab menurutnya lelaki itu ikut-ikutan membela Irfan membuat Irfan semakin besar kepala. Sebenarnya ia sudah ingin cepat-cepat pulang namun dirinya juga penasaran apa yang bakal di omongin sama Irfan. "Ya sudah deh kalau gitu aku mau, tetapi kalau di rumah aku maunya harus ada pak RT biar ada penengah. Agar urusannya cepet kelar," balas Mira akhirnya menurut. "Oke, baiklah aku telvon pak RT sekarang juga," ucap Irfan. Seketika Irfan langsung menelpon Pak RT, Mira pun maunya menunggu di dalam mobil saja sampai pak RT datang. Ia malas sekali bila harus meladeni Ibu dan gundiknya Irfan. Beberapa menit kemudian pak RT datang,
"Raka, kamu beneran ngasih ini semuanya buat kami?" tanya Amira setelah ia melihat mas kawin yang diberikan suaminya."Iya, Mir. Semuanya buat kalian, dan masih banyak lagi yang akan aku berikan buat kalian salah salah satunya kasih sayang," balas Raka."Masya Allah, Raka. Aku enggak meminta harta yang berlimpah, aku hanya meminta kasih sayang dan tanggung jawabmu, tetapi kenapa kamu memberiku sebanyak ini. Dari mana kamu dapatkan ini, Rak? Bahkan kamu bisa menyiapkan semuanya sebaik ini. Apa jangan-jangan kamu keluarga Sultan?" tanya Amira dengan kedua mata yang berkaca-kaca.Setelah selesai akad mereka naik ke atas panggung untuk sesi pemotretan dan lainnya."Iya, semua yang mengurus orang-orangku dari Bali. Hartaku di Bali sangat berlimpah dan aku yakin tidak akan habis di makan tujuh belas turunan. Kamu jangan ngomong kayak gitu, kamu dan anak-anak segalanya untukku. Jadi milikku juga jadi milikmu," ucap Raka menghapus air mata Amira yang mulai berjatuhan."Jangan nangis, Mir. Nan
Hari Minggu yang dinanti akhirnya tiba. Di sebuah ruangan dengan cermin besar berhias lampu, Amira duduk tenang, matanya menatap pantulan wajah yang perlahan berubah semakin memukau di tangan MUA terbaik yang telah dipilih oleh anak buah Raka. Jemarinya yang halus menyentuh gaun yang menjuntai indah, seolah merasakan kehangatan hari istimewa yang sudah di depan mata.Sementara itu, di sudut lain ruangan, Celine, putrinya yang ceria, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Gadis kecil itu duduk dengan riang saat dirinya dipakaikan gaun yang membuatnya tampak seperti seorang putri dari negeri dongeng. Senyumnya mengembang, matanya berbinar, membayangkan momen di mana ia akan berjalan di samping Amira, dan akhirnya, memiliki seorang ayah. Hari ini bukan hanya hari untuk Amira, tapi juga untuk Celine, yang merasa dunia kecilnya kini lengkap dan penuh cinta.Jantung Amira berdegup semakin cepat seiring waktu berlalu. Pernikahan kali ini terasa jauh lebih mendebarkan dibandingkan sebelumnya
Pikiran Raka melayang-layang di dalam kecemasan, keluarganya di Bali, terutama Ajik dan Biyang—ayah dan ibunya, punya pandangan yang sangat tradisional tentang pernikahan. Status Amira sebagai seorang janda membuat segalanya terasa lebih sulit.“Halo, Bli. Saya sudah menyampaikan pesan kepada Ajik dan Biyang,” suara Pak Wayan terdengar dari seberang sana, tenang namun sedikit berat.Raka terdiam sejenak, mencoba meredakan degup jantungnya yang semakin cepat. “Bagaimana keputusan mereka, Pak?” tanyanya, tak mampu menyembunyikan kegugupannya.Di seberang telepon, Pak Wayan terdiam beberapa saat. Keheningan itu semakin membuat Raka gelisah. Ia tahu betul betapa keras kepala keluarganya dalam urusan pernikahan. Seandainya Amira tidak mendapat restu hanya karena statusnya, ia sudah bertekad tidak akan pernah kembali ke Bali—tanah kelahirannya yang selama ini ia jaga dalam hati.“Ajik dan Biyang setuju, Bli,” akhirnya Pak Wayan berbicara, suaranya terdengar lebih ringan. “Mereka sudah meres
Amira menarik napas dalam-dalam. Rasa haru memenuhi dadanya. Setiap kata yang diucapkan Raka menyentuh hatinya, meski keraguan masih bergelayut di pikirannya. Dengan Bismillah, ia akhirnya berkata, "Iya. Aku."Raka tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Alhamdulillah, terima kasih, Mira. Terima kasih sudah mau menerimaku. Jujur, aku merasa hidupku kembali berwarna sejak bertemu kamu."Amira tersenyum tipis, "Aku juga bersyukur bisa ketemu sama kamu." Mereka saling tersenyum dan menatap satu sama lain, seakan-akan dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam keheningan yang penuh makna, seolah-olah waktu berhenti dan semua yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran satu sama lain."Aku mau kita menikah Minggu depan ya, aku udah enggak sabar ingin menghalalkanmu, Mir," ujar Raka serius."Hah! Kamu beneran? Nikah itu bukan permainan, Rak, kita harus mengurus ini itu dan banyak hal yang harus di urus. Paling tidak dua bulanan lah," balas Amira.
Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di parkiran pelataran gedung bioskop. Mereka berempat akhirnya turun dan masuk ke dalam gedung.Suasana lumayan ramai, kebanyakan pengunjung para muda-mudi dan para keluarga kecil yang ingin mencari hiburan di tempat ini.Raka segera membeli tiket. Setelah itu, tak lupa ia juga membeli cemilan untuk teman mereka nonton sebentar lagi. Kini dua popcorn berukuran jumbo dan empat minuman sudah berada di tangan mereka.Mereka bergegas masuk ke dalam studio yang sebentar lagi akan menayangkan film yang diinginkan Celine dan Kenzo. Mereka langsung mencari tempat duduk yang tadi sudah di pesan, tempat duduk di bagian tengah. Lokasi ternyaman di ruangan ini.Mereka berempat duduk di kursi tersebut. Celine dan Kenzo di tengah, Celine di sebelah kiri Raka sedangkan Kenzo di sebelah kanan sang bunda. "Aku udah enggak sabar, Om, nonton filmnya," ujar Celine."Iya, ini sebentar lagi mau di putar. Sabar ya," balas Raka sembari mengusap pucuk kepala Celine d
Raka serta Amira dan Kenzo menjemput Celine ke sekolah. Mereka berencana untuk jalan-jalan dan makan bersama. Raka mengendarai mobil Amira menuju sekolahan Celine. Raka memutar kemudi perlahan, lalu menepikan mobil di bawah bayangan pohon besar yang menaungi gerbang sekolah. Cuaca siang itu terasa hangat, namun teduh karena dahan pohon yang melindungi dari teriknya matahari. Amira menghela napas ringan saat melihat anak-anak mulai berlari ke arah gerbang, beberapa diantaranya tersenyum lebar menyambut orang tua mereka. “Kita sudah sampai,” ujar Raka seraya mematikan mesin mobil. Ia memandang sekilas ke arah Amira yang tampak sibuk menatap keluar jendela. "Ya, akhirnya. Semoga Celine segera keluar," jawab Amira sambil membuka pintu mobil. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit nada kelelahan. Sedangkan Kenzo anteng duduk di kursi barisan kedua sambil makan permen lolipop. Begitu Amira menginjakkan kaki di trotoar, angin segar menyapu wajahnya. Ia memicingkan mata, mencoba me
Jantung Amira berdebar tak terkendali. Tiap kali Raka berada di dekatnya, perasaannya selalu bercampur aduk—antara gugup, bahagia, dan sesuatu yang lebih sulit ia ungkapkan. Tatapan Raka begitu tulus, namun Amira berusaha mengabaikan getaran-getaran yang mengguncang hatinya. Ia takut jika terlalu larut, ia akan membuka dirinya pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak siap ia hadapi.Mereka masih berdiri di bawah rembulan yang bersinar menambahkan suasana hangat yang tak membantu menenangkan perasaan Amira. Raka masih menatap ke arahnya seolah berusaha sabar menanti jawaban yang keluar dari bibirnya. Amira berusaha keras tetap tenang, tapi ia tahu wajahnya mungkin sedikit memerah.Raka menarik napas dalam, kemudian berkata pelan, “Mira... Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini. Tapi tiap kali aku sama kamu, aku merasa... ada sesuatu yang berbeda. Rasanya seperti... aku menemukan sesuatu yang hilang.”Amira menunduk, hatinya berdebar semakin cepat.
Malam itu begitu cerah. Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya memantul di dedaunan, menciptakan bayangan lembut di sekitar markas. Di depan bangunan sederhana itu, pemanggangan sudah siap. Aroma daging yang terbakar perlahan memenuhi udara, membuat suasana semakin akrab. Raka, Amira, Celine, dan Kenzo berkumpul bersama anak-anak jalan, tertawa dan bercanda sambil menyiapkan bahan-bahan untuk acara bakar-bakaran.Kenzo, yang baru pertama kali bertemu mereka, mudah berbaur. Celine, yang awalnya tampak canggung, kini ikut tertawa bersama anak-anak lainnya. Kehangatan mereka terasa menyelimuti malam, membuat Celine dan Kenzo merasa seolah sudah lama menjadi bagian dari kelompok itu.Setelah makan bersama, suasana mulai tenang. Anak-anak mulai duduk bersandar, kekenyangan. Raka, yang sejak awal tampak lebih tenang dan memikirkan sesuatu, akhirnya mengajak Amira berbicara di belakang markas, di bawah bintang yang berkilauan.Amira mengikuti Raka dengan langkah pelan. Mereka berdiri
Rista dan Dimas mengendarai mobil mereka dengan perlahan, menikmati udara malam yang sejuk. Suasana jalanan cukup lengang, hanya beberapa kendaraan berlalu lalang di sekitar mereka. Mereka berniat mencari angin segar, berkeliling tanpa tujuan pasti. Namun, saat mobil melintasi sebuah trotoar di pinggir jalan, pandangan Rista tiba-tiba terpaku pada sekelompok orang yang sedang bercengkerama di sana.“Amira?” gumam Rista, menyipitkan matanya untuk memastikan. Sosok itu berdiri bersama beberapa orang yang juga tak asing baginya, termasuk Celine dan Kenzo. Namun, ada seorang pria lain di antara mereka yang tidak dikenalnya."Mas, berhenti sebentar. Itu Amira," kata Rista cepat-cepat kepada Dimas.Dimas segera memarkirkan mobil di tepi jalan, tak jauh dari Amira dan rombongannya. Rista turun dan memanggil, “Mira?”Amira menoleh, ekspresi wajahnya terkejut namun segera berubah ramah. “Mbak Rista? Wah, enggak nyangka kita ketemu di sini!”Rista tersenyum tipis, lalu menghampiri mereka dengan