"Maling, maling, tolong ada maling, Bang!" teriak Laura membuat Pak Andi segera membuka matanya."Maling, dimana malingnya?" Pak Andi kelabakan, ia bergegas melompat dari ranjang. Kedua tangannya sibuk melayang ke udara dan matanya pun awas mencari sesuatu ke sana kemari, persis seperti orang yang mau adu perang."Alat, cepat cari sesuatu buat melumpuhkan malingnya." Pak Andi lari keluar, ia menuju dapur mengambil panci dan wajan."Mana, mana malingnya biar aku pukul pakai senjata ini," kata Pak Andi sambil memamerkan barang yang di bawanya. Ia berdiri di depan pintu kamar mandi, sepertinya nyawa lelaki paruh baya itu belum sepenuhnya terkumpul.Laura segera menghampiri suaminya dan merebut panci tersebut lalu memukulkan pada kepala Pak Andi.Prang...!Prang..!!Prang...!! Prang...!! Bunyi panci saat menyentuh anggota tubuh Pak Andi."Eh apa-apaan, La. Kenapa kamu malah mukuli aku?" Raut wajah Pak Andi seketika berubah menatap Laura dengan kesal."Kan ada maling, Bang," jawab Laura."
Sore ini, Amira mengunjungi kontrakan miliknya yang terletak di luar kota. Deretan rumah kontrakan sebanyak dua puluh pintu tersebut dihuni oleh kalangan menengah ke bawah, yang sangat membutuhkan tempat tinggal dengan harga terjangkau. Amira, seorang wanita muda yang cerdas dan berani, melihat peluang besar dalam bisnis properti ini beberapa tahun yang lalu.Dengan tekad yang kuat, Amira memulai investasinya di properti. Yang berawal hanya memiliki delapan rumah kontrakan, berkat kerja keras dan strategi bisnis yang tepat, kini usahanya berkembang pesat. Ia memiliki dua puluh pintu kontrakan total semua dua puluh delapan pintu yang semuanya terisi penuh, menghasilkan keuntungan puluhan juta rupiah setiap bulannya. Amira tidak bekerja sendirian. Ia memiliki seorang kepercayaan, Pak Budi, yang mengelola operasional kontrakan dua puluh pintu. Pak Budi, seorang pria paruh baya yang sangat teliti dan berdedikasi, memastikan semua penghuni kontrakan merasa nyaman dan segala urusan adminis
Bab: **Maaf yang Terlambat**"Alhamdulillah.. Ibu.. senang.. kamu datang.." jawabnya terbata-bata.Amira terkejut melihat Bu Fatma menangis. "Ibu, kenapa menangis?" tanyanya dengan cemas.Bu Fatma terisak, kenangan masa lalu kembali menghantui pikirannya. "Maafkan.. Ibu.. Amira.. Ibu.. dulu.. jahat.. padamu.." katanya dengan suara terputus-putus. Ia merasa malu dan menyesal atas perlakuannya di masa lalu terhadap Amira.Amira menggenggam tangan Bu Fatma lebih erat. "Ibu, tidak apa-apa. Yang penting sekarang Ibu harus fokus untuk sembuh. Saya sudah memaafkan Ibu sejak lama," katanya dengan tulus.Bu Fatma menangis semakin deras. "Terima.. kasih.. Amira.. Ibu.. sangat.. menyesal.." ujarnya.Amira menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri setelah mendengar suara terputus-putus dari Bu Fatma yang terbaring lemah di atas kasur lantai yang sudah tipis. Irfan berdiri di ambang pintu, diam tak berani mengganggu momen antara mantan istrinya dengan ibunya."Ibu... tak perlu minta maaf l
"Mobilnya aman sekarang. Terima kasih bantuannya," katanya dengan suara yang lebih tenang. Saat pria itu tersenyum, Amira melihat sesuatu yang mengejutkan. Di balik tampangnya yang kasar dan seram, ternyata pria itu sangat tampan di matanya. Senyumnya memancarkan pesona yang tak terduga, membuat Amira sedikit tergagap."Eh... sama-sama," jawab Amira pelan, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Pria itu mengangguk sekali lagi sebelum berbalik dan berjalan kembali ke mobilnya. Namun, sebelum ia sempat pergi, Amira tergerak untuk bertanya."Maaf... nama Anda siapa?" tanyanya, meski dalam hatinya ia merasa aneh menanyakan hal itu pada seseorang yang baru saja ia temui.Pria itu menoleh, tersenyum tipis. "Nama saya Raka. Terima kasih sekali lagi, Bu...?""Amira," jawab Amira, masih merasa sedikit canggung."Baik, Bu Amira. Senang bertemu Anda. Hati-hati di jalan." Raka melangkah kembali ke mobilnya, meninggalkan Amira yang masih terdiam di dalam mobil dengan pikiran yang melayang-l
Setelah kembali bergabung dengan teman-teman, Rista berusaha meredakan debaran jantungnya yang masih terasa usai percakapan dengan Dimas. Namun, suasana reuni semakin riuh ketika Tina dengan semangat mengusulkan permainan legendaris masa SMA mereka, *truth or dare*."Yuk, kita main! Ayo, ini kan tradisi kita setiap reuni!" seru Tina dengan semangat berapi-api sambil meletakkan botol di tengah-tengah lingkaran. Semua orang setuju tanpa banyak pikir, terutama Aldi dan Dina yang terkenal suka menggoda teman-teman mereka dengan pertanyaan-pertanyaan iseng.Rista, yang tadinya berpikir bisa duduk dengan tenang, mulai merasa sedikit cemas. Apalagi setelah Dimas tadi mengatakan bahwa percakapan mereka belum selesai. Namun, tak mungkin ia kabur sekarang—ini permainan tradisi reuni mereka, dan ia tak mau terlihat pengecut.Botol mulai diputar oleh Tina, dan tawa serta sorakan menggema setiap kali botol berhenti pada seseorang. Pertanyaan-pertanyaan konyol dan tantangan berani mulai membuat sua
**Bab: Semangat Baru Irfan**Dua hari telah berlalu Irfan sudah mendapatkan ruko yang disewanya. Proses pencarian pun dibantu oleh Mira. Tempatnya cukup strategis, berada di pusat keramaian dan cocok untuk usaha yang ia impikan."Pilihan yang pas banget ya, Bang. Tempatnya ramai, pasti banyak anak-anak lewat sini," kata Mira sambil memandangi ruko yang baru disewa Irfan."Iya, Mir. Aku juga enggak nyangka bisa dapet lokasi sebagus ini," balas Irfan dengan senyum lega.Setelah mendapatkan ruko, Irfan mulai bergerak cepat. Dia berbelanja di kota, mengunjungi pusat grosir mainan terbesar sesuai rekomendasi Mira. Di sana, ia menemukan berbagai jenis mainan dengan harga yang sangat murah. Toko itu ibarat surga bagi para pedagang mainan kecil seperti dirinya."Bang, lihat ini! Harganya cuma 5 ribu. Kalau kamu jual di sana, bisa sampai 15 atau 20 ribu, lho!" seru Mira, sambil menunjukkan mainan mobil-mobilan kecil."Iya, ini gila banget murahnya. Aku ambil banyak aja deh," ujar Irfan sambil
Seharian Laura dan Pak Andi menjaga toko, kini jam sudah menunjuk di angka 17.00. Mereka bersiap untuk kembali ke rumah, pak Andi sedang merapikan dagangannya sebelum mengunci seluruh etalase."La, yuk kita buruan pulang. Mendungnya makin gelap aja," ujar Pak Andi.Laura langsung menghampiri suaminya, ia melihat pak Andi membawa kantong keresek lalu bertanya, "Bang, bawa apaan?""Ini obat sari rapet, biar rasanya semakin menggigit. Nanti sampai rumah kamu langsung minum obat ini ya," bisik pak Andi di telinga Laura."Ada-ada aja kamu, Bang. Ya udah yuk kita pulang sekarang," balas Laura.Laura berjalan keluar teras sedangkan suaminya menutup gerbang, setelah itu mereka pulang bersama dengan mengendarai sepeda motor.Sesampai di rumah Laura langsung menimba air untuk mandi mereka berdua. Setelah itu ia menghangatkan lauk sayur SOP untuk makan malam bersama."La, masakanmu enak juga, ternyata kamu pinter masak ya," puji Pak Andi saat mereka makan bersama."Iya dong, Bang. Besok mau di m
Seharian Laura dan Pak Andi menjaga toko, kini jam sudah menunjuk di angka 17.00. Mereka bersiap untuk kembali ke rumah, pak Andi sedang merapikan dagangannya sebelum mengunci seluruh etalase."La, yuk kita buruan pulang. Mendungnya makin gelap aja," ujar Pak Andi.Laura langsung menghampiri suaminya, ia melihat pak Andi membawa kantong keresek lalu bertanya, "Bang, bawa apaan?""Ini obat sari rapet, biar rasanya semakin menggigit. Nanti sampai rumah kamu langsung minum obat ini ya," bisik pak Andi di telinga Laura."Ada-ada aja kamu, Bang. Ya udah yuk kita pulang sekarang," balas Laura.Laura berjalan keluar teras sedangkan suaminya menutup gerbang, setelah itu mereka pulang bersama dengan mengendarai sepeda motor.Sesampai di rumah Laura langsung menimba air untuk mandi mereka berdua. Setelah itu ia menghangatkan lauk sayur SOP untuk makan malam bersama."La, masakanmu enak juga, ternyata kamu pinter masak ya," puji Pak Andi saat mereka makan bersama."Iya dong, Bang. Besok mau di m
"Raka, kamu beneran ngasih ini semuanya buat kami?" tanya Amira setelah ia melihat mas kawin yang diberikan suaminya."Iya, Mir. Semuanya buat kalian, dan masih banyak lagi yang akan aku berikan buat kalian salah salah satunya kasih sayang," balas Raka."Masya Allah, Raka. Aku enggak meminta harta yang berlimpah, aku hanya meminta kasih sayang dan tanggung jawabmu, tetapi kenapa kamu memberiku sebanyak ini. Dari mana kamu dapatkan ini, Rak? Bahkan kamu bisa menyiapkan semuanya sebaik ini. Apa jangan-jangan kamu keluarga Sultan?" tanya Amira dengan kedua mata yang berkaca-kaca.Setelah selesai akad mereka naik ke atas panggung untuk sesi pemotretan dan lainnya."Iya, semua yang mengurus orang-orangku dari Bali. Hartaku di Bali sangat berlimpah dan aku yakin tidak akan habis di makan tujuh belas turunan. Kamu jangan ngomong kayak gitu, kamu dan anak-anak segalanya untukku. Jadi milikku juga jadi milikmu," ucap Raka menghapus air mata Amira yang mulai berjatuhan."Jangan nangis, Mir. Nan
Hari Minggu yang dinanti akhirnya tiba. Di sebuah ruangan dengan cermin besar berhias lampu, Amira duduk tenang, matanya menatap pantulan wajah yang perlahan berubah semakin memukau di tangan MUA terbaik yang telah dipilih oleh anak buah Raka. Jemarinya yang halus menyentuh gaun yang menjuntai indah, seolah merasakan kehangatan hari istimewa yang sudah di depan mata.Sementara itu, di sudut lain ruangan, Celine, putrinya yang ceria, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Gadis kecil itu duduk dengan riang saat dirinya dipakaikan gaun yang membuatnya tampak seperti seorang putri dari negeri dongeng. Senyumnya mengembang, matanya berbinar, membayangkan momen di mana ia akan berjalan di samping Amira, dan akhirnya, memiliki seorang ayah. Hari ini bukan hanya hari untuk Amira, tapi juga untuk Celine, yang merasa dunia kecilnya kini lengkap dan penuh cinta.Jantung Amira berdegup semakin cepat seiring waktu berlalu. Pernikahan kali ini terasa jauh lebih mendebarkan dibandingkan sebelumnya
Pikiran Raka melayang-layang di dalam kecemasan, keluarganya di Bali, terutama Ajik dan Biyang—ayah dan ibunya, punya pandangan yang sangat tradisional tentang pernikahan. Status Amira sebagai seorang janda membuat segalanya terasa lebih sulit.“Halo, Bli. Saya sudah menyampaikan pesan kepada Ajik dan Biyang,” suara Pak Wayan terdengar dari seberang sana, tenang namun sedikit berat.Raka terdiam sejenak, mencoba meredakan degup jantungnya yang semakin cepat. “Bagaimana keputusan mereka, Pak?” tanyanya, tak mampu menyembunyikan kegugupannya.Di seberang telepon, Pak Wayan terdiam beberapa saat. Keheningan itu semakin membuat Raka gelisah. Ia tahu betul betapa keras kepala keluarganya dalam urusan pernikahan. Seandainya Amira tidak mendapat restu hanya karena statusnya, ia sudah bertekad tidak akan pernah kembali ke Bali—tanah kelahirannya yang selama ini ia jaga dalam hati.“Ajik dan Biyang setuju, Bli,” akhirnya Pak Wayan berbicara, suaranya terdengar lebih ringan. “Mereka sudah meres
Amira menarik napas dalam-dalam. Rasa haru memenuhi dadanya. Setiap kata yang diucapkan Raka menyentuh hatinya, meski keraguan masih bergelayut di pikirannya. Dengan Bismillah, ia akhirnya berkata, "Iya. Aku."Raka tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Alhamdulillah, terima kasih, Mira. Terima kasih sudah mau menerimaku. Jujur, aku merasa hidupku kembali berwarna sejak bertemu kamu."Amira tersenyum tipis, "Aku juga bersyukur bisa ketemu sama kamu." Mereka saling tersenyum dan menatap satu sama lain, seakan-akan dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam keheningan yang penuh makna, seolah-olah waktu berhenti dan semua yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran satu sama lain."Aku mau kita menikah Minggu depan ya, aku udah enggak sabar ingin menghalalkanmu, Mir," ujar Raka serius."Hah! Kamu beneran? Nikah itu bukan permainan, Rak, kita harus mengurus ini itu dan banyak hal yang harus di urus. Paling tidak dua bulanan lah," balas Amira.
Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di parkiran pelataran gedung bioskop. Mereka berempat akhirnya turun dan masuk ke dalam gedung.Suasana lumayan ramai, kebanyakan pengunjung para muda-mudi dan para keluarga kecil yang ingin mencari hiburan di tempat ini.Raka segera membeli tiket. Setelah itu, tak lupa ia juga membeli cemilan untuk teman mereka nonton sebentar lagi. Kini dua popcorn berukuran jumbo dan empat minuman sudah berada di tangan mereka.Mereka bergegas masuk ke dalam studio yang sebentar lagi akan menayangkan film yang diinginkan Celine dan Kenzo. Mereka langsung mencari tempat duduk yang tadi sudah di pesan, tempat duduk di bagian tengah. Lokasi ternyaman di ruangan ini.Mereka berempat duduk di kursi tersebut. Celine dan Kenzo di tengah, Celine di sebelah kiri Raka sedangkan Kenzo di sebelah kanan sang bunda. "Aku udah enggak sabar, Om, nonton filmnya," ujar Celine."Iya, ini sebentar lagi mau di putar. Sabar ya," balas Raka sembari mengusap pucuk kepala Celine d
Raka serta Amira dan Kenzo menjemput Celine ke sekolah. Mereka berencana untuk jalan-jalan dan makan bersama. Raka mengendarai mobil Amira menuju sekolahan Celine. Raka memutar kemudi perlahan, lalu menepikan mobil di bawah bayangan pohon besar yang menaungi gerbang sekolah. Cuaca siang itu terasa hangat, namun teduh karena dahan pohon yang melindungi dari teriknya matahari. Amira menghela napas ringan saat melihat anak-anak mulai berlari ke arah gerbang, beberapa diantaranya tersenyum lebar menyambut orang tua mereka. “Kita sudah sampai,” ujar Raka seraya mematikan mesin mobil. Ia memandang sekilas ke arah Amira yang tampak sibuk menatap keluar jendela. "Ya, akhirnya. Semoga Celine segera keluar," jawab Amira sambil membuka pintu mobil. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit nada kelelahan. Sedangkan Kenzo anteng duduk di kursi barisan kedua sambil makan permen lolipop. Begitu Amira menginjakkan kaki di trotoar, angin segar menyapu wajahnya. Ia memicingkan mata, mencoba me
Jantung Amira berdebar tak terkendali. Tiap kali Raka berada di dekatnya, perasaannya selalu bercampur aduk—antara gugup, bahagia, dan sesuatu yang lebih sulit ia ungkapkan. Tatapan Raka begitu tulus, namun Amira berusaha mengabaikan getaran-getaran yang mengguncang hatinya. Ia takut jika terlalu larut, ia akan membuka dirinya pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak siap ia hadapi.Mereka masih berdiri di bawah rembulan yang bersinar menambahkan suasana hangat yang tak membantu menenangkan perasaan Amira. Raka masih menatap ke arahnya seolah berusaha sabar menanti jawaban yang keluar dari bibirnya. Amira berusaha keras tetap tenang, tapi ia tahu wajahnya mungkin sedikit memerah.Raka menarik napas dalam, kemudian berkata pelan, “Mira... Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini. Tapi tiap kali aku sama kamu, aku merasa... ada sesuatu yang berbeda. Rasanya seperti... aku menemukan sesuatu yang hilang.”Amira menunduk, hatinya berdebar semakin cepat.
Malam itu begitu cerah. Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya memantul di dedaunan, menciptakan bayangan lembut di sekitar markas. Di depan bangunan sederhana itu, pemanggangan sudah siap. Aroma daging yang terbakar perlahan memenuhi udara, membuat suasana semakin akrab. Raka, Amira, Celine, dan Kenzo berkumpul bersama anak-anak jalan, tertawa dan bercanda sambil menyiapkan bahan-bahan untuk acara bakar-bakaran.Kenzo, yang baru pertama kali bertemu mereka, mudah berbaur. Celine, yang awalnya tampak canggung, kini ikut tertawa bersama anak-anak lainnya. Kehangatan mereka terasa menyelimuti malam, membuat Celine dan Kenzo merasa seolah sudah lama menjadi bagian dari kelompok itu.Setelah makan bersama, suasana mulai tenang. Anak-anak mulai duduk bersandar, kekenyangan. Raka, yang sejak awal tampak lebih tenang dan memikirkan sesuatu, akhirnya mengajak Amira berbicara di belakang markas, di bawah bintang yang berkilauan.Amira mengikuti Raka dengan langkah pelan. Mereka berdiri
Rista dan Dimas mengendarai mobil mereka dengan perlahan, menikmati udara malam yang sejuk. Suasana jalanan cukup lengang, hanya beberapa kendaraan berlalu lalang di sekitar mereka. Mereka berniat mencari angin segar, berkeliling tanpa tujuan pasti. Namun, saat mobil melintasi sebuah trotoar di pinggir jalan, pandangan Rista tiba-tiba terpaku pada sekelompok orang yang sedang bercengkerama di sana.“Amira?” gumam Rista, menyipitkan matanya untuk memastikan. Sosok itu berdiri bersama beberapa orang yang juga tak asing baginya, termasuk Celine dan Kenzo. Namun, ada seorang pria lain di antara mereka yang tidak dikenalnya."Mas, berhenti sebentar. Itu Amira," kata Rista cepat-cepat kepada Dimas.Dimas segera memarkirkan mobil di tepi jalan, tak jauh dari Amira dan rombongannya. Rista turun dan memanggil, “Mira?”Amira menoleh, ekspresi wajahnya terkejut namun segera berubah ramah. “Mbak Rista? Wah, enggak nyangka kita ketemu di sini!”Rista tersenyum tipis, lalu menghampiri mereka dengan