Ilham's POV
Ponsel kumasukkan ke saku. Lega bisa bicara sama Vi dan Syifa. Kehadiran Abian menyelamatkan rumah tangga kami. Meski waktu itu Vi tetap ngotot belum ingin punya anak lagi, akhirnya lahir Abian juga.
"Kenapa aku hamil, ya, Mas? Padahal kita selalu pakai pengaman?" tanya Vi heran campur bingung saat itu. Sepulang opname dari rumah sakit.
"Ini rezeki, Sayang," jawabku.
Dia tidak tahu, kalau dia lupa minum pil dan memintaku harus pakai pengaman. Benda itu diam-diam kubuat berlubang. Akhirnya sukses, bukan?
Itu rahasia Mas, Vi.
Ketika hendak berdiri dan kembali ke kantor, seorang wanita setengah baya menghampiri. Namanya Bu Asmi. Tukang masak yang juga mencucikan bajuku.
"Pak Ilham, saya izin mau naruh baju ke kamar, ya," ucap Bu Asmi sopan.
"Ya, Bu. Silakan."
Bu Asmi melangk
"Halo, Assalamu'alaikum, Mas." Aku buru-buru menyambar ponsel di meja dan menyentuh tombol hijau di layar. Sejak tadi ponsel berdering tapi aku masih di kamar mandi."Wa'alaikumsalam, Sayang. Dari mana tadi?""Aku masih di kamar mandi. Lagi ngeramasi rambutnya Syifa. Hari ini dia mau berangkat ngaji lebih awal.""Oh, pantesan. Mas telepon dari tadi enggak di angkat.""Mas, sehat, 'kan? Dua hari enggak nelepon. Aku kepikiran kalau Mas lagi sakit.""Alhamdulillah, Mas sedikit flu. Tapi sudah mendingan ini. Dua hari cuaca buruk, Vi. Jadi Mas tidak bisa nelepon.""Syukurlah kalau sudah membaik. Oh ya, Mas jadi pulang, 'kan?" tanyaku tidak sabar.Terdengar Mas Ilham menghembuskan napas kasar."Sepertinya Mas belum bisa pulang. Bagaimana jika Vi dan Abian yang nyusul Mas ke sini?""B
Ini, Ma. Papa mau ngomong sama, Mama!" Syifa memberikan ponselnya padaku. Sudah cukup lama dia bicara dengan papanya. Setelah itu dia berlari keluar. Bermain di teras dengan temannya."Halo, Mas.""Besok jadi di antar Mas Ahmad, 'kan?""Iya.""Penerbangan jam sembilan pagi. Sampai sini sekitar jam dua belas siang. Nanti pagi-pagi sekali Mas berangkat dari proyek.""Kasihan Syifa, Mas. Bolak-balik dia tanya, apa kita perginya jauh. Katanya kalau dia kangen mau minta di anterin sama Pak Nardi. Sedih aku tuh, Mas."Mas Ilham terdiam. Hembusan napasnya terdengar berat."Sebulanan lagi kita bisa pulang.""Hu um.""Syifa sekarang mana?""Lagi main di luar sama Mira. Sejam lagi guru lesnya datang. Ya udah, Mas. Aku mau ngambilin jemuran dulu, ya. Sekalian setrika."
"Habis ini kita langsung pulang ke proyek, kan, Mas?" tanyaku."Tidak, Sayang. Mas sudah booking hotel dekat bandara. Lusa pagi kita baru kembali ke proyek.""Oh.""Mas ngajak kalian menginap dulu di sini biar bisa istirahat. Lagian kita perlu belanja beberapa barang. Kalau langsung kembali, tengah malam baru nyampe sana. Kasihan Abian. Lagi pula jalanan pasti gelap banget. Kita bakalan nempuh perjalanan lima jam."Aku mengangguk paham dengan penjelasan Mas Ilham. Kami menghabiskan makan dan aku sempat menyuapi Abian dengan bubur bayi instan. Dia memang sudah mulai makan dua minggu ini."Kamu cantik banget hari ini," pujinya. Saat kami sudah di dalam mobil dan keliling di pusat kota.Bibirku mencebik. "Iyalah, dua bulan lebih enggak ketemu makanya terlihat cantik."Mas Ilham tersenyum. "Beneran Mas tak bohong."
Kami saling pandang. Kecupannya di bibir membawa desiran hangat yang menyebar di seluruh syaraf tubuh. Menimbulkan riak-riak dahsyat yang menggila dalam jiwa dan kian menuntut."Mas, sudah baca doa?" tanyaku mengingatkan. Sebab aku belum melihat bibirnya bergerak membaca doa seperti biasanya.Dia tersenyum, mengingat kealpaannya. Kemudian dia diam sejenak. Merapal doa seperti biasanya.Ucapan cinta kudengar disetiap helaan napasnya yang tidak lagi teratur. Dua bulan berpisah, telah membuatnya benar-benar tidak bisa menahan diri. Untungnya aku sudah menemui dan konsultasi dengan Dokter Endah seminggu sebelum aku berangkat ke sini. Mengingat dalam kondisi memakai kontrasepsi pun aku bisa hamil.Aku ingin mengikuti program pemerintah, dua anak cukup. Mudah-mudahan Mas Ilham juga begitu. Sebab kami belum pernah membicarakan hal ini.Sesekali aku melirik Abian yang tidur
Aku mendengar pembicaraan mereka di luar kamar. Gorden warna gold yang menutup jendela kaca aku singkap sedikit. Di bawah pohon sana ada seorang pria dewasa dan seorang perempuan seksi yang kuperkirakan seusia Mas Ilham.Mereka berbincang-bincang. Insting perempuan, aku melihat wanita itu tampak berbeda menatap suamiku. Padahal kata Mas Ilham tadi, mereka itu suami istri, 'kan?Abian merengek, aku segera menghampiri ranjang. Bocah itu tampak heran memandang sekeliling."Ini tempat Papa kerja, Sayang. Jangan rewel ya di sini nanti," kataku sambil mengangkatnya dari tempat tidur.Pada saat yang bersamaan Mas Ilham masuk."Eh, sudah bangun anak Papa. Sini, Sayang."Abian langsung menerima uluran tangan papanya. Pipinya yang imut diciumi beberapa kali oleh Mas Ilham."Ayo, Mas kenalkan sama Pak Petra dan istrinya."
Semua lampu-lampu telah menyala. Memandang kejauhan yang tampak hanya gelap. Sunyi. Suara gemuruh ombak pantai terdengar jelas dalam suasana begini.Aku membawa Abian masuk kamar. Mengajaknya bermain sebentar sebelum dia mengantuk. Sementara Mas Ilham duduk di bangku depan kamar, ngobrol dengan Didit dan beberapa orang lainnya.Sambil mengawasi Abian aku membalas pesan dari Ibu dan Miya. Aku jadi kangen mereka semua, terutama pada putri kecilku. Padahal baru beberapa hari saja aku meninggalkannya, sudah sekangen ini.Aku juga ingin sekali cerita ke Miya tentang perjalananku dan suasana baru di sini. Suamiku yang tiba-tiba jadi tukang gombal dan romantisnya minta ampun."Hayo, balas chat siapa?" tegur Mas Ilham yang tiba-tiba sudah ada di belakangku."Ibu dan Miya. Mereka ngirim pesan dari siang tadi, tapi baru nyampe sekarang. Ini aku balesin tapi centang satu saja.
Sepulang dari pantai aku mengajak Abian keliling ke beberapa spot keren yang dekat dengan tempat tinggal kami. Pemandangannya benar-benar indah, makanya tempat ini dijadikan resort.Aku mengambil beberapa foto untuk kukirim kepada Ibu dan Miya.Setelah mandi dan sarapan, Mas Ilham sibuk di kantor bersama beberapa karyawan."Dari mana tadi?" tanya Mas Ilham, saat dia masuk kamar setelah aku baru kembali dari luar."Jalan-jalan di sekitar sini saja.""Jangan jauh-jauh. Jangan ke tempat-tempat yang asing."Aku termenung sejenak. "Ah, enggak."Jadi merinding mendengar larangan Mas Ilham. Aku jadi ingat kalau tempat-tempat yang jarang di jamah manusia begini, pasti ada kisah misterinya."Mas kembali dulu ke kantor."Aku mengangguk. Kulepas bergo yang kupakai. Terus memeriksa ponsel sebent
Aku tersenyum. Suka sekali melihat mimik wajahnya yang gusar. Tatapannya yang sendu."Apa mungkin Mas harus menunggu sampai beberapa tahun lagi?"Wajah itu kubingkai dengan kedua tanganku. Kukecup bibirnya sesaat. "Enggak perlu ungkapan, yang penting aku telah membuktikan.""Vi.""Hmm.""Jika dulu kita tidak punya Abian. Apa Vi akan ninggalin Mas.""Mungkin," jawabku sambil terus menatapnya. Sedikit menggodanya tidak apa-apa, 'kan?Mas Ilham menjatuhkan tubuhnya. Hembus napasnya terdengar jelas dan hangat di pipiku."Untungnya kamu lekas hamil lagi. Mas bersyukur punya Syifa dan Abian," bisiknya pelan."Aku juga bersyukur memiliki mereka."Malam makin larut, selarut percakapan kami di malam keempat pertemuan itu.🌺🌺🌺J
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T