Beberapa menit kemudian, taksi online yang kami pesan berhenti tepat di depan pintu pagar.
Jarak dari kafe ke rumah Miya hanya lima belas menit. Aku buru-buru berganti pakaian di sana. Ibunya Miya sampai keheranan melihat tingkah kami. Apalagi aku yang belingsatan karena bergerak cepat.
"Udah taruh situ saja bajunya, besok biar aku cuci," kata Miya saat kami ganti baju di kamarnya.
"Terima kasih, aku ngrepotin kamu terus," jawabku sambil memakai jilbab di depan cermin rias.
"Lipstik yang kamu kasih hari itu, merah merona. Sampai aku di tegur sama Mas Ilham waktu aku pakai ngantar berkas ke kantornya. Lihat ini, bekasnya juga masih ada." Aku memperlihatkan bibirku.
"Lipstik itu emang tahan lama dan transferproof. Coba pakai malam hari sambil dipadukan dengan lingerie-mu merah menyala, yang kita beli bareng-bareng waktu itu. Kujamin suamimu akan lupa diri karena mabok."
&nbs
Sudah empat hari ini kalau siang aku di rumah Ibu. Pulang sore di antar Pak Nardi kadang juga naik taksi online. Sebelum Mas Ilham pulang aku sudah di rumah.Sejak ada big bos-nya, Mas Ilham pulang menjelang Salat Isya. Daripada bengong di rumah, aku memilih ke rumah Ibu. Bisa bantu-bantu sambil mengawasi Syifa."Vi, apa kabar, Nduk?"Aku yang sibuk di meja kasir langsung mendongak. Ada Umi Salamah di hadapanku. Segera kusalami dan kucium tangan wanita berwajah teduh itu."Baik, Umi. Mari silakan duduk. Umi mau nyari roti atau kue.""Mau kue talam sepuluh biji, roti abon sepuluh, sama kue putu sepuluh. Nanti mau Umi bawa ke rumahnya Zul," jawab wanita itu. Zul adalah putra sulung Umi Salamah yang tinggal di desa lain."Alhamdulillah, Umi dengar dari Ibumu. Kalian sudah berbaikan lagi," kata Umi Salamah sambil duduk di kursi depan etalase.
Syifa sangat gembira sore ini. Sepanjang perjalanan dia menyanyikan lagu Tik Tik Bunyi Hujan yang baru diajarkan di sekolah.Dia sangat bersemangat, setelah beberapa lama tidak kami ajak jalan-jalan.Sampai di mall, kami langsung menuju butik langganan. Seorang pelayan yang mengenal kami langsung menghampiri.Mas Ilham yang lebih dulu mendapatkan pilihannya. Sementara kami berdua masih melihat-lihat, muter dulu hingga beberapa kali. Mencoba baju yang satu ke baju lainnya. Hingga menemukan yang benar-benar cocok ditambah rayuan manis pramuniaganya. Ah, mungkin dia sudah capek mengikuti keliling dan memilih beberapa baju.Harusnya dia sudah paham dengan posturku yang seperti ini, pasti kesulitan cari baju yang pas. Kalau enggak kebesaran pasti kepanjangan. Jengkelnya kalau ketemu baju yang kusukai modelnya, tapi ukurannya yang kebesaran. Mau dibawa ke penjahit untuk di ubah suai, ujung-ujungnya tidak semenarik model asalnya."Ini bagus, k
"Sekarang ngamarnya sama istri, ya! Dulu sama yang lain," sindir Pak Alex yang ternyata berdiri di belakang kami.Mas Ilham spontan membalikan badan. Menatap nanar Pak Alex yang tersenyum santai. Kupeluk erat lengan suami. Takut terjadi kegaduhan di acara penting ini yang akan jadi pusat perhatian banyak orang. Apa yang terjadi jika gosip tentang pergaduhan mereka akan merebak mulai malam ini.Mereka sekarang berhadapan dan saling mengintimidasi. Dadaku berdetak kencang dan mulai gemetar."Mas," panggilku lirih pada Mas Ilham. Dia memegang tanganku yang mulai dingin, tangan yang memeluk lengannya.Pak Alex beralih memandangku, tapi tatapannya meredup."Dapat istri sesempurna ini masih juga dikhianati," ucap Pak Alex lirih."Aku belum memilikinya. Hanya sebatas jatuh cinta saja sudah bisa membuatku menghentikan kegilaanku selama ini."
Aku membiarkan anak dan papanya bercanda di depan TV. Sementara aku pergi ke toko menemui Ibu."Beberapa hari ini Bre nanyain kamu, Vi," kata Ibu setelah aku duduk di sebelahnya."Oh, ya?"Ibu mengangguk."Sejak kalian sama-sama masih sekolah dulu, Ibu sudah mengira kalau dia suka sama kamu."Aku tersenyum."Sudah, jangan dipikirkan. Ibu hanya kasihan saja, karena sampai sekarang masih melajang.""Ibu ini yang berlebihan. Bre melajang bukan karena aku, Bu. Bisa jadi ada trauma lain.""Iya, ya." Ibu terkekeh."Kalian pulang jam berapa tadi malam?" tanya Ibu."Sudah malam, Bu. Entah jam berapa aku lupa," jawabku bohong.Ibu tidak bertanya lagi. Kami sibuk membungkus roti dan memasukkan ke dalam kotak. Ini pesanan untuk acara nikahan.&nb
Ilham's POVAku melihatnya memandang hujan dari balik jendela kaca. Ada gundah yang jelas terlihat meski dia diam. Walaupun selalu tersenyum, tapi aku tahu hati Vi tidak setenang itu. Aku tahu dia masih belum baik-baik saja. Apalagi setelah mendengar ucapan Alex tadi.Ketakutan jika kehilangan dia makin merajam di hati. Itulah kekhawatiranku terbesar saat ini. Entah apa yang terjadi jika aku harus berpisah dengan Vi. Aku tahu seberat apa kesalahanku, tapi salahkah kalau aku masih tetap ingin mempertahankannya?Jangankan disentuh, dipandangi pria macam Alex tadi saja sudah membuat dadaku bergemuruh. Tentu ini yang dirasakan Vi dulu, ketika menghadapi kegilaanku.Mas," panggilnya setelah aku menyelimuti tubuhnya, sesaat setelah percintaan kami sepagi ini."Ya," jawabku sambil menatap beningnya mata wanitaku."Jika suatu hari nanti, aku enggak sanggup lagi menghapus jejak perselingkuhan kemarin. Bisakah kita pi
Ilham's POVBaru jam dua siang, tapi gerimis sudah turun bersama dengan datangnya kabut. Aku dan Vi berada di teras kamar kami bersama anak-anak sambil menatap rintik hujan.Beberapa snack di buka sebagai camilan."Dinar dan Syifa, suka liburan ke sini?""Suka, Om. Dingiiin. Enggak seperti di tempat kita. Di sana panas," jawab keponakanku."Katanya ada tempat permainannya, Pa. Di mana?" tanya Syifa."Ada, nanti kita cari kalau hujan sudah reda."Syifa mengangguk.Mereka berdua makan popcorn sambil bermain lego.Aku dan Vi berdiri dekat pagar teras yang terbuat dari kayu berplitur cokelat dan setinggi pinggangku. Kami memperhatikan ke sekeliling. Beberapa pengunjung juga menikmati rintik hujan dari teras kamar mereka.Di parkiran tadi memang full mobil pengunjung. Tentunya mereka seperti kami. Menghabiskan akhir tahun di sini."Mas, aku ngambil ponsel dulu. Kemarin Miy
Dulu ucapan cintanya bagaikan borgol yang membelenggu hatiku. Namun sekarang, terlalu hambar saat kudengar lagi. Dia hanya ingin memenangkan hatiku yang telah terluka parah.Sepanjang liburan ini keceriaan tampil menghiasi wajahnya yang rupawan. Mas Ilham bahagia. Bisa menikmati quality time yang jarang kami punya.Kulepas hijab dan menggantungnya di hanger yang tergantung di tembok samping."Sini!" Dia menepuk lengannya. Aku mendekati dan berbaring seperti hari-hari kemarin."Anak-anak sudah tidur?""Ya."Kami baru saja pulang dari menemani anak-anak bermain. Pulang ke penginapan kelelahan dan tidur setelah makan siang.Di luar kabut mulai turun dan menebarkan hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Mataku mulai memejam."Ngantuk, ya?" tanya Mas Ilham sambil mengusap pipiku."Enggak, dingin saja."Mas Ilham menarik selimut hingga menutupi tubuh kami sampai ke dada. Dia juga memelukku.Tig
Aku hanya agak terganggu dengan sikap Mas Ilham yang berubah posesif. Jika biasa aku membeli apa-apa sendiri, kini harus menunggunya off kerja dulu. Atau dia menyuruhku untuk pesan lewat aplikasi online saja.Cemburu? Ini berlebihan, Pak Ilham.Namun, langit tidak selamanya cerah. Mendung kembali membayang saat sebuah foto dikirim oleh nomer tidak kukenal. Sebuah resit hotel atas nama Ilham Bagaskara dengan dua orang yang ditulis keterangan di sana.Resit itu sudah dua tahun yang lalu. Dan aku tidak pernah diajak menginap di hotel yang namanya tertera di resit pembayaran.Setelah terluka sekian lama, aku tidak lagi menangisinya. Tidak. Aku sudah lelah. Aku memasa bodohkan semua itu. Namun tidak kupungkiri, meski mengabaikan pada kenyataannya dadaku sesak juga.Miya, hanya kepada dia aku bercerita."Abaikan saja, Vi. Jika kamu melihat ke belakang lagi, kapan lukamu sembuh. Toh, Mas Ilham sudah menyadari kesalahannya.
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T