"Karin," lirih Bayu. "Kamu kan yang menelpon ibunya Intan dan memfitnah Anita?"Karin tersentak. Bagaimana Bayu tahu hal ini? Padahal tidak ada yang tahu selain dirinya. Mungkinkah ibunya yang memberi tahu? Tidak mungkin. Ibunya memang pernah curiga, tetapi ia mengelak dan berhasil meyakinkan ibunya."Ke--napa … Bapak menuduhku begitu?""Malam sebelum kejadian, saat di dapur, kamu meminjam ponsel ibumu. Kamu menyalin salah satu nomor dari ponsel ibumu. Yang kamu simpan itu nomor mamanya Intan kan?" "Aku menyimpan nomor orang lain.""Siapa?" suara Bayu pelan, tetapi membuat badan Karin gemetaran."Nomooor ….""Jujurlah, Karin! Kenapa kamu lakukan itu?""Karena aku benci dia. Aku benci cara Bapak menatapnya. Aku benci cara Bapak memperlakukannya. Aku benci semua yang Bapak berikan padanya," ucap Karin secara beruntun. Seakan-akan kalimat-kalimat itu telah lama terpendam, dan sekarang meledak berhamburan."Kamu puas setelah melakukan itu?""Aku--"Bayu membuka ponselnya, lalu menyerahk
"Mak … sudnya?" "Saya ingin melamar kamu."Hening. Desah napas dan detak jantungnya terasa sangat jelas di telinga Anita. "Aku tau, tidak adil memperistrimu demi merawat Qori. Asal, kamu tahu, aku juga menyukaimu. Aku berharap, kita bertiga bisa bersama, mengisi hari, tanpa ada orang lain." Anita membuka mulut, tetapi ia tutup kembali. Ia perlu waktu untuk mencerna kejutan ini dan perlu waktu untuk memfilter kalimat agar tidak memberi harap, tapi juga tidak melukai. Mungkin juga, sudah saatnya ia membuka hati. "Beri aku waktu," ucap Anita akhirnya, setelah diamnya yang lumayan panjang. "Berapa lama?" "Entahlah. Aku harap bisa secepatnya memberi jawaban." "Baiklah. Aku harap kamu mempertimbangkan Qori yang sangat menyayangimu dan aku janji akan berusaha keras untuk membahagiakan kalian berdua." Tap tapAnita berpaling, mengikuti arah bunyi. "Bayu?!"Bayu mengabaikan panggilannya, bahkan mempercepat langkah.**'Aku harap kamu mempertimbangkan Qori yang sangat menyayangimu dan
"Kenapa pakai masker, Ma?" Bayu segera berdiri demi mendengar suara itu. Di ruang tengah, Anita sudah berada di dekat Qori dan Abbas. "Mama pilek. Jadi harus pakai masker supaya tidak menular kepada Qori."Bayu melihat jelas, mata Anita yang merah juga lingkaran hitamnya. Suara Anita juga terdengar mampet. "Sebaiknya kamu istirahat, Nit. Qori biar bersamaku hari ini," usul Abbas. "Aku tadinya juga mau ngomong itu. Terima kasih atas pengertiannya, Bas. Kalau begitu aku tinggal Qori sekarang, ya?" Anita berlalu setelah mendapat anggukan Abbas. "Ke mana, Nit?" teriak Abbas, ketika melihat Anita bukannya ke rumah belakang, tapi malah keluar menuju pagar.""Jalan-jalan dulu. Barangkali jalan-jalan sambil berjemur, membuat badan lebih fit."Abbas mengangguk, meski tidak sepenuhnya mengerti dengan pendapat Anita. **Anita jalan lurus menuju keluar komplek. Beberapa perempuan di depan rumah menyapa Anita. Ia pun membalas sapaan mereka, tetapi hatinya entah ke mana? Menyusuri jalan i
Anita kembali meringis mendengar ucapan Rama. "Sudahlah! Jangan bicarakan kejadian memalukan itu. Apa aku boleh belajar?"**Dari kejauhan Bayu memerhatikan Anita yang asyik membuat kopi, sesekali melayani pelanggan. Kreasi cake dan kopi sepertinya hobi Anita, sedang anak-anak Rumah Bahagia adalah naluri kepeduliannya. Semua orang tau hobi itu juga bagian dari jiwa seseorang. Anita merelakan separuh jiwanya demi Qori. Lalu apa haknya mengusik hal itu? Siapakah dirinya, terlebih lagi sekarang Anita sangat membencinya. Namun, yang terpenting sekarang ia meminta maaf kepada Anita. Bagaimana respon Anita, ia pasrahkan kepada yang Kuasa. "Pak Bayu," seru Aditya ketika melihat Bayu memasuki kafenya. Bayu hanya menjawab dengan tersenyum. Beberapa pengunjung mulai menatapnya."Nit, Bayu jemput kamu tuh," ucap Aditya kepada Anita yang mengoperasikan mesin espresso."Aku masih lama, duluan saja." Suara Anita timbul tenggelam di antara bunyi mesin. "Aku tunggu," sela Bayu. "Ayolah, Nit!
Namun, kapan Bayu kembali? Ini sudah kreasi mininya yang kedua puluh. Sebentar lagi kulkas akan penuh. Haruskah ia membeli kulkas baru khusus menyimpan cake buatannya untuk Bayu?"Ma … Mama!" Sebuah panggilan memecahkan lamunannya. Ia segera membasuh tangannya, mengeringkan, lalu keluar."Qori, ada apa?" Di luar Qori dan Abbas. "Papa ngajak jalan-jalan. Mama ikutkan?""Kamu kuat berjalan?" Qori menggoyangkan kakinya. "Sekarang sudah kuat, Ma. Sudah mulai bisa melangkah lebih jauh."Anita menatap Abbas yang lagi tersenyum penuh harap."Ke mana?""Ke stadion. Sore-sore begini pasti menyenangkan melihat lahan luas, terlebih hari ini cuacanya terlihat bagus."Refleks Anita menengadah, melihat langit. Benar, langit terlihat biru bersih. Beberapa hari sebelumnya, bumi Banjarmasin yang dikenal dengan sebutan kota seribu sungai selalu diguyur hujan. Seketika ia teringat Bayu. Bagaimana keadaan Baygon itu? Mengingat Baygon, seketika bulu romanya merinding. Ia tak menyangka, bayi besar itu
'Sial, kamu membuatku trauma, Bayu.' Abbas menarik tangannya. Anita memperlihatkan wajah menyesal. Abbas terkekeh. "Tak apa. Tak usah memasang wajah begitu. Kita memang belum menjadi suami istri. Aku mengerti, kok."Anita tersenyum lega. "Terima kasih."Qori tersenyum bahagia melihat Anita semakin dekat dengan ayahnya. Ia berazam dalam dirinya akan menjadikan Anita sebagai ibu sambungnya. Ia tidak ingin kehilangan sosok seorang ibu untuk kedua kalinya.Anita langsung merentangkan tangan, dan memeluk pundaknya. Inilah yang sangat disukainya dari Anita. Tidak segan-segan memberikan ketulusan dan kehangatan. "Masih kuat berjalan?" tanya Anita.Mereka bersisian mengitari tepi lapangan Lambung Mangkurat. Sedang Abbas, berjalan di belakangnya."Masih kuat, Ma. Tenang saja.""Bagaimana bisa tenang? Meskipun kamu sudah bisa berjalan, tetap tidak boleh diforsir tenagamu. Lagi pula …." Anita mendekatkan wajahnya ke telinga Qori. "Ayahmu masih kuat menggendongmu."Qori tertawa sambil menoleh
Anita yang menyadari hal itu segera memegang bahu Huda, tetapi Huda menampik kasar. Huda berlalu. Di ruang tengah, Abbas berdiri mematung. **Dari dalam kamar Abbas mendengar keributan di dapur. Ia keluar, tetapi tepat di pintu langkahnya terhenti. Ia dapat mengetahui akar permasalahan keributan. Ia melihat Huda, yang usianya lebih tua dari putranya sedang kesal dengan Anita. Anita berusaha menolong Huda, tetapi malah ditampik. Huda sempat menatapnya, dari mata Huda, Abbas tahu Huda tidak menyukainya. Anita hanya mematung menatapnya, lalu keluar tanpa sepatah kata. Ia masuk ke dalam kamar, menatap putranya yang tertidur pulas. Satu-satunya cahaya matanya.Ia pun tahu kalau Bayu sangat mencintai Anita, dan Anita pun betapa sangat menyayangi laki-laki itu. Ia sengaja menggunakan Qori, karena tahu anak-anak Rumah Bahagia adalah kelemahan Bayu dan Anita. Ia tahu bahwa dirinya egois dan pengecut. Apa yang dapat dilakukannya? Dirinya hanya seorang ayah yang sangat berharap anaknya ber
"Bayu?!""Memangnya ada yang boleh memelukmu selain aku?" Bayu menyandarkan dagunya di pelipis Anita."Maksudku, aku sedang di depan kompor menyala. Bahaya.""Matikan!" Bayu malah mengeratkan pelukannya, menurunkan dagu ke bahu Anita. Anita mematikan kompor. Ia tidak tahu bagaimana nantinya kematangan kacang yang digorengnya. Mungkin saja telah matang, tapi jika tidak diangkat langsung, kacangnya akan meresap minyak. "Bayu, sebentar … biarkan aku mengangkat kacang ini dulu." Anita berusaha memisahkan dua tangan Bayu yang bertautan, tetapi tangan itu malah semakin meng-erat. "Aku takut, jika dilepaskan, kamu tidak mengizinkanku lagi memelukmu."Anita terkekeh. Bayi besar ini betapa sangat merepotkan. Ia menyentuh pipi Bayu, lalu beralih ke dahi. Badan Bayu masih hangat. "Bayu, kita bukan mahram," bisik Anita. "Kalau begitu, kamu harus menikahiku. Aku bisa gila jika kau terus melarangku."Bayu semakin menekan kepalanya dengan mata terpejam. Perlahan lelah mengalir keluar dari dalam
Mata Anita masih mengerjap. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. "Kita di mana?" "Di rumah sakit. Syukurlah. Akhirnya kau sudah sadar," ucap sambil menciumi tangan Anita. "Maaf. Aku telah mengganggumu malam pertamamu," lirih Anita.Bayu menggeleng. "Jangan ingatkan aku dengan perkawinan itu! Kau membuatku ketakutan." Bayu terisak. Anita mengelus kepala Bayu. "Maaf. Jangan menangis! Aku sudah tidak apa-apa. Bagaimanapun kau mempunyai dua keluarga, kau harus kuat," ucap Anita tertatih. Entah kenapa ia merasakan kebas rasa. Tak punya tenaga, meski hanya untuk cemburu.Bayu merebahkan kepalanya, menjadikan tangan Anita sebagai alas. "Aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin menjadi bayimu. Selamanya."Anita tersenyum. "Dasar, Baygon. Pulanglah!""Jangan memaksaku!""Aku hanya tidak ingin kau jadi laki-laki tidak adil." "Justru tidak adil, jika aku di sana, sedang di sini kau terkulai lemas di sini.""Bayu, malam ini ….""Ah tunggu, kita panggil dokter dulu."Bayu langsung memence
"Nit! Anit!" Tidak ada jawaban. Bayu mempercepat ketukannya. Senyap. Abbas muncul dari kamar lain dengan wajah kusut. Ketukan dan panggilan Bayu mengusik tidurnya. Karin juga keluar. "Ada apa, Pak?" tanya seorang karyawan."Istri saya ada di dalam, bisa minta kartu kunci duplikat?""Sebentar, ya Pak," ucap karyawan dengan sedikit bingung. Sesaat ia sempat menoleh Karin yang masih berpakaian pengantin. Cahya bergegas melihat Bayu berlalu di depan kamar Anita. Qori dan Huda juga mempercepat langkah mereka. Karyawan datang membawakan cardlock duplikat lalu langsung membukakan pintu. Bayu langsung menerobos. Cahya, Huda dan Qori ingin masuk, tetapi Abbas mencegah mereka. "Biarkan Papa Bayu melihatnya."Di dalam kamar gelap. Bayu membuka lampu. Anita tidak terlihat. Bayu terperanjat ketika melihat telapak kaki Anita tergeletak di lantai. "Nit!" Bayu bergegas meraih kepala Anita lalu mengguncangnya. "Nit!" Tidak ada respon. "Huda, Qori!" teriak Bayu panik. Ia segera mengangkat
"Tapi Kakak yang paling terluka di sini.""Ini takdirku, Cahya. Seberapa besar pun aku berusaha melepaskan diri takdir ini, selalu muncul bagian diriku yang tidak tega meninggalkannya." "Jika itu keputusan Kakak, aku dukung." Cahya meraih bahu Kakaknya. Air mata Anita kembali merembes. "Seberapa pun aku menyiapkan diri, tetap saja hati ini getir. Yang lebih nelangsa, aku tidak boleh menangis di depannya, dan kedua anakku. Aku harus kelihatan lebih tegar agar mereka juga bisa kuat." "Allah tidak akan menguji seseorang melebihi kemampuan. Jika Allah buka hati Kakak untuk tetap di sisi Kak Bayu, Allah pasti memberikan kekuatan lain pada Kakak yang mungkin saat ini tidak Kakak sadari."Di luar sepasang mata sendu mengalirkan air mata antara haru dan pilu. Ia tidak menyangka memiliki istri setulus Anita. Ia sempat menilai berprasangka buruk pada Anita karena tiba-tiba meminta lebih dari separuh hartanya. Ia tetap memberi Anita, karena perasaannya yang terlanjur mencinta.Beberapa menit
Sesaat Abbas menatap isi cangkir yang masih mengepulkan asap. "Haruskah dia kubawa kembali ke Balikpapan?" Bayu menarik cangkir di tangannya, lalu meletakkan ke atas meja. Ia memilih duduk di sofa satu dudukan."Jika itu pilihannya dan bisa membuatnya bahagia," tantang Bayu.Abbas mengerutkan kening. Menatap wajah Bayu yang terlihat tenang. Diam-diam Abbas mengagumi sikap Bayu. Tenang, tetapi tegas.Dua sifat inilah yang mengantarkan Bayu bisa setinggi sekarang ini. Abbas duduk di sofa panjang. Refleks ia mengambil cangkir yang tadi diletakkan Bayu. "Tapi kau harus berbalik dan memulainya dari awal, sama seperti kau mengambil kopi itu. Tapi Anita bukan cangkir, bukan pula kopi. Ia memiliki pilihannya sendiri." "Aku tidak rela kau menduakannya.""Kau pikir aku rela? Aku pun berpikir keras bagaimana supaya pernikahanku dengan Karin tidak terjadi.""Haruskah aku yang menikahi Karin?" Bayu tertawa. "Dari mana kau mendapatkan kepercayaan diri setinggi ini?"**"Pak!" Karin tersenyum
Hari pernikahan Bayu dengan Karin sudah ditentukan. Undangan sudah disebarkan. Atas permintaan Acil Imah rencana perkawinan mereka diselenggarakan cukup mewah. Karena Karin anak Acil Imah satu-satunya. Baru beberapa hari undangan disebarkan, Anita semakin merasa tertekan. Berbagai pandangan mengarah kepadanya. Tatapan kasihan, meremehkan bahkan menghina menjadi santapannya beberapa hari terakhir. Sedang beberapa gadis lainnya semakin terang-terangan mendekatinya. Sebuah minuman dalam gelas plastik mendarat di atas mejanya. Ia mencermati nama kafe yang tertulis di gelas itu. Lalu menengadahkan kepala, menatap si pemberi. "Kafe baru buka di dekat sini. Kebetulan aku mampir, jadi aku pesan aja dua. Sekalian buat Bu Anita."Anita terdiam. Mengamati perempuan di depannya. Dibanding Adilia, kali ini pakaian dan tutur katanya lebih sopan. Hanya saja, Anita tetap tidak bisa membuang kecurigaan. "Hallo, Nit." Tiba-tiba seorang laki-laki datang. Dengan santainya ia mengambil gelas itu dan
Bayu tersenyum. Ia mengecup sekilas sepasang merah ranum di wajah Anita. "Memangnya apa yang kau inginkan?""Aku ingin 52% saham dan semua harta dari yang kau miliki."Bayu terperanjat. Ia terdiam, mengamati setiap partikel manik hitam istrinya. Ia memang pebisnis handal, tapi bukan sebagai seorang laki-laki. Meski begitu, ia perlu mencerna setiap situasi. Memprediksi berbagai kemungkinan. Satu hal yang harus ia sadari, pemikiran perempuan lebih rumit daripada struktur perusahaan. Ia curiga ini bukan sekadar permintaan materi, melainkan sebuah ujian. Bukan sekadar dipenuhi atau tidak, melainkan bom waktu. Tak peduli memilih kabel yang mana, keduanya berisiko meledak.Mata Anita bergerak-gerak, menunggu keputusan Bayu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia merasa jawaban Bayu adalah hidup matinya. Iya atau tidak, keduanya berisiko tebasan nyawa.Semenit dua menit berlalu. Keduanya masih terdiam. HeningBayu mempertimbangkan banyak hal. Jika tidak dikabulkan, jawabannya s
"Kalian, ngomong apa? Siapa yang menderita? Mama tidak mengerti." Sekuat tenaga Anita menahan bendungan yang hampir jebol di matanya. "Kalau itu bukan penderitaan, Mama tidak akan pisah dengan Ayah Izza," tukas Huda."Itu beda kasus, Huda. Jangan sama Papa dengan Ayah Izza," sahut Anita."Pada akhirnya Mama diduakan 'kan? Huda tahu, ini juga berat buat Papa karena Papa juga mencintai Mama, tetapi Mama tidak perlu berkorban sejauh itu."Lidah Anita kelu. "Jika Mama ingin pergi dari sini, jangan ragu. Kami akan menjaga Mama.""Huda?!""Ma, ada yang nawar lukisan Huda lagi. Mama jangan khawatir! Huda sudah punya tabungan. Huda akan terus bisa menghasilkan uang."Anita tertawa. Air matanya merembes. "Huda, kamu tidak perlu berbuat sejauh itu. Huda punya ibu kandung yang harus dilindungi. Lagi pula Mama bisa menjaga diri, masih bisa bekerja. Jangan khawatir. Mama tetap stay di sini, itu pilihan Mama."Huda terdiam. Ia mencermati manik hitam milik Anita. "Lihatlah, Mama menangis. Jangan p
"Artinya kau tetap bersamaku?"Hatinya remuk melihat mata Anita yang basah. Egois, jika tetap mempertahankan Anita, sementara dirinya akan mendua. Akan tetapi, dalam satu biduk pun ia tidak bisa jauh dari wanita itu.Bagaimana nanti jika biduknya bertambah lagi? Menambah rumah tangga tak semudah menambah perusahaan. Menambah perusahaan berisiko kerugian materi yang tidak sedikit, tetapi menambah biduk berisiko luka yang mungkin tidak akan sembuh dengan seratus perusahaan.Ia semakin membutuhkan Anita.Anita mendesah. "Entahlah. Aku tidak berani berjanji. Memikirkannya hanyalah membuatku lelah. Kenyataannya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain mundur."Anita menenggelamkan wajahnya ke dada Bayu. Betapa ia sangat menyukai aroma itu, pelukan yang kokoh dan hangat. Betapa ia ingin Bayu selalu di sisinya seumur hidup."Kita nikmati saja hari ini. Biarkan hari ini tanpa memikirkan besok. Hari ini kau milikku, itu sudah lebih dari cukup." Bayu mengecup pucuk kepala istrinya. "Haruskah kit
"Sebaiknya ceraikan saja aku."Bayu tersedak. Anita segera memberikan gelas miliknya. "Pelan-pelan," ucapnya. Bayu menurunkan gelasnya. Susah payahnya ia menelan sisa-sisa cake di mulutnya. Ia meraih tangan Anita. "Kumohon tetap stay di sisiku. Bagiku kamu segala-galanya. Mungkin suatu saat badan ini telah terbagi, tapi percayalah, hati ini hanya untukmu."Anita menggeleng. "Aku percaya padamu. Tapi aku tak percaya pada takdirku.""Nit?!" "Dulu aku berlepas dari Ridwan karena tidak ingin dimadu, ternyata aku mengalami hal serupa denganmu.""Nit, jangan samakan aku dengan Ridwan!" "Aku percaya cintamu. Tapi aku tak percaya pada diriku sendiri." Anita mengangkat wajahnya, menatap Bayu. "Aku sangat mencintaimu. Sangat. … melebihi diri ini. Kau pasti tau, cinta yang berlebihan, akan merasakan sakit yang tidak tertahankan jika terluka.""Nit!" Bayu meremas kedua tangan istrinya. "Aku khawatir nanti akan menyakitimu. Kau tau sifatku yang sewaktu-waktu bisa meledak. Aku tidak ingin bom