"Ibu yakin ini akan berhasil? Kalau sampai Mas Raka tahu, dia pasti akan marah besar.""Dia tidak akan tahu, Nak," ujar Bu Rini yakin. "Tugasmu hanya memastikan kamu ada di sisi yang tepat saat waktunya tiba."Di kontrakan, Sarah mendapati Raka masih terjaga, wajahnya penuh ketegangan. "Mas, kamu nggak bisa begini terus. Tidur dulu, ya? Kamu nggak bisa mikirin semuanya sendirian."Raka menggeleng pelan. "Sarah, kamu nggak ngerti. Bu Rini selalu punya rencana. Dan aku yakin, Ratna itu bagian dari rencana besarnya. Aku cuma takut Papa jadi korban lagi.""Kita akan hadapi ini sama-sama, Mas. Kamu nggak sendirian," jawab Sarah dengan nada lembut.Namun, sebelum Raka bisa membalas, ponselnya berdering. Ia mengambilnya dengan cepat, melihat nama perawat rumah sakit di layar. "Halo?"Suara di ujung sana terdengar tegang. "Pak Raka, kondisi ayah Anda menurun lagi. Kami butuh Anda di sini sekarang."Raka langsung berdiri. "Kami akan segera ke sana."Tanpa pikir panjang, ia menggenggam tangan S
“Mas Raka,” suara di ujung sana terdengar familiar. Itu suara salah satu perawat yang biasa menjaga ayahnya. “Saya perlu memberitahu sesuatu. Ada hal aneh yang saya temukan.”“Aneh? Apa maksudnya?” tanya Raka dengan tegang.“Saya nggak bisa bicara banyak di telepon. Tapi tolong temui saya di ruang administrasi. Ini penting.”Raka langsung berdiri, wajahnya penuh tekad. “Saya akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, ia menoleh ke Sarah. “Aku harus pergi sebentar. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan.”“Aku ikut,” kata Sarah tanpa ragu.Raka ingin menolak, tetapi tatapan Sarah menunjukkan bahwa ia tidak akan menerima penolakan. Akhirnya, mereka berdua berjalan cepat menuju ruang administrasi.Setibanya di ruang administrasi, mereka bertemu dengan perawat yang tadi menelepon. Wanita itu, seorang perawat senior bernama Bu Mira, tampak gelisah.“Ada apa, Bu?” tanya Raka tanpa basa-basi.Bu Mira melirik sekitar sebelum berbicara. “Ada sesuatu yang aneh dengan obat-obatan yang diberik
Pria itu kini tersenyum manis. Tatapan hangat dan memujanya masih tak berubah ketika melihat sosok Sarah. Jelas membuat Raka menjadi semakin kesal berkali-kali lipat.“Dunia memang sempit ya ternyata,” kata pria itu, santai tapi terdengar menggoda. “Om Sebastian sedang berada di New York. Jadi, dia minta aku yang ke sini buat bantuin temannya. Eh, ternyata malah Om Raka.”Sarah yang berada di samping Raka tampak bingung, namun ia hanya diam sambil memerhatikan dua pria itu. Raka mendengus kecil, jelas menunjukkan ketidaksenangannya.“Saya tidak butuh bantuanmu,” tegas Raka, menolak dengan nada dingin.Rafly tertawa kecil, sama sekali tidak terganggu dengan sikap dingin Raka. “Yah, jangan egois, Om. Aku dengar dari Om Sebastian kalau Om orangnya memang gengsian. Tapi ingat. Ini masalah yang serius.”“Kau??” Raka mulai mengeraskan rahangnya.“Aku di sini hanya untuk membantu.”Raka mengepalkan tangan, mencoba menahan emosinya. Tapi tatapan Sarah yang memohon agar ia tetap tenang membuat
"Maaf ya, Mas. Aku bawa Ratna kemari enggak ngomong dulu ke kamu," kata Bu Rini dengan nada manis serta senyuman penuh kepalsuan. "Lagian aku yakin pasti Raka enggak senang kalau aku ke sini, karena..."Ucapan Bu Rini terjeda saat melihat tatapan tajam Raka.Raka berdiri di sisi ranjang ayahnya dengan rahang yang mengeras. Tangannya terkepal erat di balik saku celana. Sementara itu, Sarah berdiri di sampingnya, menatap Bu Rini dengan sorot penuh kehati-hatian. Di belakang mereka, Rafly tetap diam, memperhatikan perkembangan situasi dengan seksama.Bu Rini melangkah mendekat ke ranjang Pak Herman dengan gaya sok manis, lalu merapikan selimut pria paruh baya itu seolah-olah penuh perhatian. "Mas Herman, aku sudah datang, membawa Ratna juga. Kasihan dia, sudah lama sekali kutinggal di desa."Dari belakang tubuh ramping seorang wanita muda muncul. Ratna, mengenakan gaun sederhana tetapi rapi, menampilkan senyuman kecil yang tampaknya dibuat-buat. "Om, aku kangen sekali sama Om. Senang rasa
...Teh-nya aman," kata Raka melanjutkan kalimatnya.Mendengar penuturan barusan, Sarah mengembuskan napas lega. Namun, hal yang bertolak belakang justru terjadi pada Raka. Pria berjambang tipis itu malah mengerutkan dahi."Kenapa, Mas? Bukannya itu kabar baik?" tanya Sarah dengan nada lembut, berusaha memahami kekhawatiran suaminya."Bu Rini pasti punya rencana lain, Sayang. Dia tahu kalau kita mencurigainya," jawab Raka dengan suara rendah, tetapi sarat akan emosi yang tertahan. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi.Sarah mengangguk pelan, mencoba mencerna maksud suaminya. Dengan langkah tenang, dia mendekati Raka dan meraih tangannya. "Mas, aku tahu kamu khawatir. Tapi kita harus tetap fokus. Jangan biarkan rasa curiga ini menguasai pikiranmu."Raka menatap istrinya dengan sorot mata penuh penghargaan. "Kamu benar, Sayang. Tapi aku tidak bisa diam saja. Aku harus memastikan kalau m
Tidak ada yang bisa dilakukan. Mereka hanya harus menunggu dan terus waspada.Pada akhirnya, Rafly pun tak lagi menyarankan apa-apa. "Om Sebastian juga bilang begitu," katanya di sela-sela diskusi mereka."Baiklah, terima kasih untuk semuanya," balas Raka dengan nada penuh penghargaan sebelum berpamitan.Raka melangkah ke parkiran dengan langkah berat, namun pikirannya fokus pada satu tujuan—menjemput Sarah di kampus. Sesampainya di sana, ia melihat istrinya itu tengah berbincang dengan Dini dan Lira."Doain aku ya, biar segera nyusul," ucap Sarah sambil tertawa kecil, membuat Dini dan Lira tersenyum penuh semangat."Aamiin. Makanya harus rajin ke kampus, Ra," kata Dini sambil menggoda."Benar tuh," timpal Lira cepat. "Bilang ke Pak Raka kalau kamu juga butuh waktu untuk diri sendiri. Jangan sampai Pak Jeno ngamuk lagi karena revisianmu numpuk terus."Ketiganya terlihat santai, tetapi tawa kecil mereka segera terhenti saat Raka
Semua orang terdiam sesaat hingga kemudian Pak Herman yang buka suara, "Kamu... serius?"Raka menjawab dengan yakin, "Iya, Pa."Ada wajah keterkejutan dari Ratna, tetapi Raka seolah tak peduli. Suasana di dalam mobil menjadi tegang, meskipun Pak Herman tampak tersenyum kecil, menyembunyikan emosinya.Sementara Sarah yang duduk di sebelah Raka hanya bisa diam, mencoba mencerna keputusan mendadak itu. Ia menatap jalanan dari kaca mobil, pikirannya bercampur aduk, antara kekhawatiran dan rasa ingin mendukung keputusan barusan.Setibanya di rumah, Bu Rini langsung menyambut mereka dengan senyum penuh kepalsuan. "Wah, akhirnya pulang juga. Mas, semoga cepat sehat ya," ucapnya dengan nada basa-basi yang terdengar tidak tulus.Namun, senyum itu memudar begitu Pak Herman berkata, "Raka akan kembali tinggal di sini.""Bukannya kamu yang sudah nolak tinggal di sini?" tanya Bu Rini dengan nada sarkastis, menatap Raka dengan pandangan sinis. Matanya menyipit, memperlihatkan ketidaksukaannya secar
Meninggalkan Sarah di kamar, Raka berjalan dengan langkah hati-hati. Setibanya di ruang tamu, ia menemukan Bu Rini duduk sambil memegang sebuah amplop cokelat."Ini apa, Bu??" tanya Raka langsung."Sebuah kesepakatan," jawab Bu Rini sambil menyodorkan amplop itu. "Ibu ingin kamu tanda tangan untuk memastikan bahwa rumah ini tetap menjadi milik keluarga."Raka membuka amplop tersebut dan membaca isi dokumen di dalamnya. Matanya menyipit ketika memahami maksud sebenarnya. "Ini berarti aku menyetujui kalau aset Papa bisa dialihkan ke pihak lain, kan?"Bu Rini tersenyum tipis. "Hanya jika diperlukan. Lagipula, ini untuk kebaikan semua. Kamu bisa periksa dulu semua yang tertera di sana. Ada persetujuan dari papamu juga. Sebenarnya … ini sudah lama sekali, Ka.""Maaf, Bu. Aku nggak bisa tanda tangan sebelum berbicara dengan Papa," jawab Raka tegas, mengembalikan dokumen tersebut.Ekspresi Bu Rini berubah. "Raka, jangan keras kepala. Kalau k
Hari itu, udara terasa begitu tenang. Raka dan Sarah tengah duduk berdua di ruang keluarga, ditemani oleh Nasha yang sedang bermain dengan mainan di lantai. Meskipun suasana terasa begitu damai, ada sesuatu yang terasa berat di hati Raka. Ada semacam pertanda yang tak terucapkan, seolah dunia sedang mengingatkan mereka untuk lebih menghargai waktu yang ada. Beberapa hari sebelumnya, mereka baru saja merayakan ulang tahun pertama Nasha dengan penuh kebahagiaan. Momen itu, yang dipenuhi dengan tawa anak-anak panti asuhan dan sentuhan kasih sayang keluarga besar, memberikan Raka dan Sarah sebuah pemahaman baru tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Pak Herman kini mendatangi Raka yang sedang bersantai di taman belakang. Suaranya yang berat dan penuh makna terasa sangat berbeda dari biasanya. “Raka, ada hal penting yang ingin Papa sampaikan padamu,” kata Pak Herman saat teleponnya berbunyi. Suaranya terdengar agak lemah, namun tetap penuh kehangatan. Raka segera duduk tegak, khawat
Hari itu, langit tampak cerah, seakan ikut merayakan hari istimewa dalam keluarga kecil Raka dan Sarah. Nasha genap berusia satu tahun. Bukan pesta besar yang mereka persiapkan, tetapi sebuah acara syukuran sederhana yang penuh makna. Raka dan Sarah sepakat untuk merayakan ulang tahun pertama putri mereka dengan berbagi kebahagiaan di sebuah panti asuhan.Panti asuhan itu bukan tempat yang asing bagi mereka. Sejak kejadian penculikan Nasha dan konspirasi Bu Rini yang membuat mereka hampir kehilangan segalanya, Raka dan Sarah lebih banyak merenungi arti keluarga dan kasih sayang. Mereka ingin mengajarkan kepada Nasha bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang perayaan mewah, tetapi juga tentang berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.Pagi itu, suasana panti asuhan sudah mulai ramai. Anak-anak di sana terlihat bersemangat menyambut kedatangan tamu istimewa mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah mengenal Sarah dan Raka karena kunjungan-kunjungan sebelumnya. Pak
Setelah berhasil menyelamatkan Nasha dari tangan penculiknya, Raka, Sarah, dan Jeno kembali ke tempat persembunyian sementara mereka. Malam itu mereka beristirahat sejenak, meski pikiran mereka masih dipenuhi ketegangan. Namun, mereka tahu bahwa semua ini belum benar-benar berakhir.Keesokan paginya, Jeno menerima laporan dari timnya bahwa beberapa anak buah Bu Rini yang terlibat dalam penculikan telah tertangkap. Namun, dalang utama di balik kejadian ini masih menjadi misteri."Aku sudah melacak transaksi dan komunikasi mereka. Satu nama yang terus muncul adalah seorang pria bernama Anton," kata Jeno dengan serius. "Dia adalah tangan kanan Bu Rini yang selama ini bekerja di balik layar. Sepertinya dialah yang mengatur segalanya."Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, dia yang selama ini mengancam keluargaku?"Jeno mengangguk. "Dia sangat licin dan punya banyak koneksi. Tapi aku sudah menghubungi seseorang yang bisa membantu kita menangkapnya."Tak la
Malam semakin larut, tetapi Raka, Sarah, dan Jeno masih terjaga. Pikiran mereka penuh dengan kekhawatiran dan strategi. Pesan singkat yang baru saja diterima Raka seolah menjadi alarm bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu lagi."Kita harus menemukan keberadaan mereka sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih gila," kata Jeno dengan nada serius. "Aku sudah menghubungi seseorang yang pernah bekerja untuk Bu Rini. Dia setuju untuk bertemu, tapi dengan syarat kita harus berhati-hati."Raka mengangguk. "Di mana kita bisa menemuinya?""Sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dia bilang tempat itu aman, jauh dari pantauan orang-orang yang mungkin bekerja untuk Bu Rini," jawab Jeno.Sarah menggenggam tangan Raka erat. "Aku takut, Mas. Bagaimana jika ini jebakan?"Raka menatap dalam ke mata istrinya. "Kita tidak punya pilihan lain, Sayang. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Aku janji, aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau Nasha."Jeno menghela napas. "Baiklah, kita be
Sarah menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah lagi. Raka masih duduk di sebelahnya, ponsel di tangannya terasa dingin, seperti ancaman yang baru saja mereka terima. Jeno, yang berdiri di seberang mereka, mengetik sesuatu di ponselnya dengan cepat. Pria itu kemudian menatap Raka dengan sorot mata penuh kewaspadaan."Aku sudah menghubungi seseorang untuk melacak sumber video itu. Butuh waktu, tapi kita akan menemukan mereka," kata Jeno dengan suara dalam.Raka mengangguk, tangannya masih menggenggam jemari Sarah erat. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Nasha lebih lama lagi. Tapi kita harus berhati-hati, mereka jelas tahu pergerakan kita."Sarah menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang menggerogoti hatinya. "Siapa yang cukup kejam untuk melakukan ini, Mas? Aku yakin ini bukan Ratna. Dia ada di penjara. Lalu siapa?"Hening. Raka menatap Sarah, begitu pula Jeno. Tidak ada yang bisa menjawabnya saat itu.Namun, di balik keheningan itu, otak Raka be
"NASHA?"Suara Sarah memekik lantang. Tangannya gemetar saat ia melihat layar ponselnya. Tak lama kemudian, sebuah kiriman video berputar otomatis, menampilkan seorang bayi mungil berusia tiga bulan yang menangis keras. Mata Sarah membelalak, napasnya tercekat. Itu Nasha. Anak mereka telah diculik.Raka segera meraih ponsel dari tangan Sarah, matanya membelalak saat melihat rekaman itu. Nasha berada di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Tangisan bayi mereka menggema, membuat dada Sarah dan Raka terasa sesak. Tak ada suara lain dalam video itu, hanya isakan kecil yang semakin memilukan.Sebuah pesan muncul sesaat setelah video berakhir."Kalian ingin Nasha kembali? Jangan hubungi polisi. Kami akan memberitahu langkah selanjutnya."Sarah menatap Raka dengan wajah penuh ketakutan. "Mas... kita harus melakukan sesuatu. Nasha masih kecil, dia butuh kita."Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyen
Aula pengadilan dipenuhi dengan desas-desus dan tatapan tajam dari berbagai pihak. Sidang gugatan terhadap Ratna akhirnya dimulai, menjadi momen yang akan menentukan nasib keluarga Raka. Dengan bukti yang hilang, mereka harus mencari celah lain untuk melawan Ratna di hadapan hakim.Raka dan Sarah duduk di barisan penggugat, didampingi oleh pengacara mereka, Pak Rendy. Di seberang, Ratna tampak percaya diri dengan pengacara handalnya, seorang pria berpenampilan rapi dengan senyum yang mengintimidasi. Sorot matanya penuh dengan kesombongan, seolah yakin bahwa dirinya akan menang.Hakim mengetuk palu tanda sidang dimulai. "Sidang gugatan keluarga Raka Prasetya terhadap Ratna Wijayanti dibuka. Penggugat, silakan sampaikan tuntutan Anda."Pak Rendy berdiri. "Yang Mulia, kami memiliki bukti kuat bahwa tergugat telah memindahkan aset keluarga secara ilegal ke rekening pribadinya, tanpa persetujuan dari pewaris sah, yang menyebabkan kerugian besar bagi kel
Kehidupan Raka dan Sarah dalam beberapa minggu terakhir terasa seperti berjalan di atas bara api. Terlebih saat Jeno diserang oleh beberapa orang tak dikenal.Saat ini gugatan hukum terhadap Ratna telah menjadi berita utama di keluarga besar dan di luar sana. Ratna, seperti yang diperkirakan, tidak tinggal diam. Ia menggunakan segala cara, dari intimidasi hingga permainan kotor untuk menggagalkan perjuangan Raka dan Sarah.Hari itu, Raka dan Sarah sedang mengatur dokumen-dokumen penting di ruang kerja kecil di rumah mereka. Flash drive yang berisi dokumen-dokumen penting, termasuk bukti transfer aset ilegal Ratna, menjadi inti dari rencana mereka. Raka memastikan semua file telah dicadangkan dengan baik.“Sayang, aku rasa kita harus menyimpan salinan file ini di tempat yang lebih aman. Flash drive ini terlalu berisiko kalau hanya kita simpan di sini,” kata Raka sambil memegang benda kecil itu.Sarah mengangguk, setuju dengan saran suaminya. &l
Raka masih memikirkan ancaman terselubung Ratna saat sidang sementara Sarah merasa tertekan setelah mengetahui kondisi Pak Herman kembali memburuk. Beban dari kasus ini mulai menyusup ke dalam hubungan mereka.“Mas, kamu yakin bukti itu aman di tangan Jeno?” tanya Sarah sambil menuangkan kopi ke cangkir.Raka yang duduk di kursi makan, hanya mengangguk tanpa menatap Sarah. “Jeno sudah buktikan dia bisa dipercaya, Sayang. Aku rasa kita nggak punya pilihan lain.”Sarah menghela napas panjang. “Tapi kita juga harus waspada. Ratna mungkin akan bertindak lebih gila kalau dia tahu Jeno berpihak pada kita.”Raka menatap istrinya dengan mata yang penuh beban. “Aku tahu kamu khawatir, Sayang. Tapi kita sudah sampai sejauh ini. Kalau kita goyah sekarang, Ratna yang menang.”Sarah menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa kesal. “Aku bukan goyah, Mas. Aku cuma… aku cuma nggak mau kehilangan apa yang sudah kita perjuangkan.”Raka berdiri dan berjalan mendekati Sarah, menyentuh pundaknya lemb