...Teh-nya aman," kata Raka melanjutkan kalimatnya.Mendengar penuturan barusan, Sarah mengembuskan napas lega. Namun, hal yang bertolak belakang justru terjadi pada Raka. Pria berjambang tipis itu malah mengerutkan dahi."Kenapa, Mas? Bukannya itu kabar baik?" tanya Sarah dengan nada lembut, berusaha memahami kekhawatiran suaminya."Bu Rini pasti punya rencana lain, Sayang. Dia tahu kalau kita mencurigainya," jawab Raka dengan suara rendah, tetapi sarat akan emosi yang tertahan. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi.Sarah mengangguk pelan, mencoba mencerna maksud suaminya. Dengan langkah tenang, dia mendekati Raka dan meraih tangannya. "Mas, aku tahu kamu khawatir. Tapi kita harus tetap fokus. Jangan biarkan rasa curiga ini menguasai pikiranmu."Raka menatap istrinya dengan sorot mata penuh penghargaan. "Kamu benar, Sayang. Tapi aku tidak bisa diam saja. Aku harus memastikan kalau m
Tidak ada yang bisa dilakukan. Mereka hanya harus menunggu dan terus waspada.Pada akhirnya, Rafly pun tak lagi menyarankan apa-apa. "Om Sebastian juga bilang begitu," katanya di sela-sela diskusi mereka."Baiklah, terima kasih untuk semuanya," balas Raka dengan nada penuh penghargaan sebelum berpamitan.Raka melangkah ke parkiran dengan langkah berat, namun pikirannya fokus pada satu tujuan—menjemput Sarah di kampus. Sesampainya di sana, ia melihat istrinya itu tengah berbincang dengan Dini dan Lira."Doain aku ya, biar segera nyusul," ucap Sarah sambil tertawa kecil, membuat Dini dan Lira tersenyum penuh semangat."Aamiin. Makanya harus rajin ke kampus, Ra," kata Dini sambil menggoda."Benar tuh," timpal Lira cepat. "Bilang ke Pak Raka kalau kamu juga butuh waktu untuk diri sendiri. Jangan sampai Pak Jeno ngamuk lagi karena revisianmu numpuk terus."Ketiganya terlihat santai, tetapi tawa kecil mereka segera terhenti saat Raka
Semua orang terdiam sesaat hingga kemudian Pak Herman yang buka suara, "Kamu... serius?"Raka menjawab dengan yakin, "Iya, Pa."Ada wajah keterkejutan dari Ratna, tetapi Raka seolah tak peduli. Suasana di dalam mobil menjadi tegang, meskipun Pak Herman tampak tersenyum kecil, menyembunyikan emosinya.Sementara Sarah yang duduk di sebelah Raka hanya bisa diam, mencoba mencerna keputusan mendadak itu. Ia menatap jalanan dari kaca mobil, pikirannya bercampur aduk, antara kekhawatiran dan rasa ingin mendukung keputusan barusan.Setibanya di rumah, Bu Rini langsung menyambut mereka dengan senyum penuh kepalsuan. "Wah, akhirnya pulang juga. Mas, semoga cepat sehat ya," ucapnya dengan nada basa-basi yang terdengar tidak tulus.Namun, senyum itu memudar begitu Pak Herman berkata, "Raka akan kembali tinggal di sini.""Bukannya kamu yang sudah nolak tinggal di sini?" tanya Bu Rini dengan nada sarkastis, menatap Raka dengan pandangan sinis. Matanya menyipit, memperlihatkan ketidaksukaannya secar
Meninggalkan Sarah di kamar, Raka berjalan dengan langkah hati-hati. Setibanya di ruang tamu, ia menemukan Bu Rini duduk sambil memegang sebuah amplop cokelat."Ini apa, Bu??" tanya Raka langsung."Sebuah kesepakatan," jawab Bu Rini sambil menyodorkan amplop itu. "Ibu ingin kamu tanda tangan untuk memastikan bahwa rumah ini tetap menjadi milik keluarga."Raka membuka amplop tersebut dan membaca isi dokumen di dalamnya. Matanya menyipit ketika memahami maksud sebenarnya. "Ini berarti aku menyetujui kalau aset Papa bisa dialihkan ke pihak lain, kan?"Bu Rini tersenyum tipis. "Hanya jika diperlukan. Lagipula, ini untuk kebaikan semua. Kamu bisa periksa dulu semua yang tertera di sana. Ada persetujuan dari papamu juga. Sebenarnya … ini sudah lama sekali, Ka.""Maaf, Bu. Aku nggak bisa tanda tangan sebelum berbicara dengan Papa," jawab Raka tegas, mengembalikan dokumen tersebut.Ekspresi Bu Rini berubah. "Raka, jangan keras kepala. Kalau k
“Dunia memang sempit ya. Aku pikir kamu enggak pernah kembali lagi ke Indonesia," gumam Raka dengan gaya jumawa.Jeno terkekeh lalu tersenyum sinis dan berkata, "Terserahku. Memang apa urusannya denganmu?"Mendengar itu, Raka mengangguk-angguk. Hingga kemudian suara lain terdengar."Pak."Satu kata barusan lekas mengalihkan atensi Raka. Ternyata Sarah yang menyapa lawan bicaranya tersebut. Pandangan istrinya itu mengarah ke lantai dengan gestur tubuh yang tampak sungkan. Sementara Jeno hanya membalas dengan gumaman."Kalian ... saling kenal?" tanya Raka yang sungguh penasaran.Sarah hendak menjawab, tetapi niatan tadi urung lantaran Jeno yang sudah mendahului dengan kalimat, "Tanyakan saja pada emm … keponakanmu ini."Apa tadi kata Jeno? Enak saja dia menyimpulkan begitu. Jelas Raka tak terima. "Sarah ini istriku."Sekarang giliran Jeno yang mengernyit heran. "Istri? Bukannya kamu dan Nadia—""Dia hanya masa lalu," potong Raka cepat.Ada jeda di antara keduanya. Bayangan masa lampau p
Tidak ada yang perlu dicemaskan. Begitulah yang seharusnya ada di pikiran Raka. Namun, entah mengapa yang ada di benak pria itu malah sebaliknya.Pikiran Raka dipenuhi bayangan pertemuannya dengan Jeno di restoran. Tatapan tajam dan senyum sinis yang dilemparkan oleh teman lamanya tersebut seakan menghujam pikirannya berulang kali.Raka mengenal Jeno cukup baik; pria itu bukan tipe yang melupakan masa lalu dengan mudah. Jika Jeno sudah menunjukkan ekspresi seperti itu, berarti ada sesuatu yang ia simpan, dan hal itu tidak akan berakhir baik.“Kenapa sih, Mas?” tanya Sarah tiba-tiba. Suaranya lembut, tapi cukup untuk menyadarkan Raka dari lamunannya.Raka menoleh dan melihat istrinya tengah menatapnya sambil menyisir rambut di depan meja rias. Wajah Sarah terlihat polos dan sedikit lelah, namun matanya selalu memancarkan ketenangan yang membuat Raka merasa bersalah karena menyembunyikan sesuatu darinya.“Apa karena Pak Jeno? Justru
Suara barusan menyentakkan Sarah seketika. Dia pun buru-buru berbalik badan agar tak ketahuan oleh Jeno. Wajahnya pucat pasi. Sementara Dini yang ada di belakangnya geleng-geleng kepala.“Tumben kamu begini, Ra.”“Enggak. Cuma …hehe.” Sarah meringis pelan dan mendadak jadi salah tingkah.“Aih. Kenapa, Ra?” tanya Lira dengan cemas. “Habis dengar Pak Jeno ngomongin apa sih?”Sarah berusaha memaksakan senyum, meskipun bibirnya terasa kaku. "Enggak apa-apa, kok. Udara di sini panas, ya? Aku jadi pusing." Ia melambaikan tangan untuk mengalihkan perhatian kedua temannya. "Udah yuk. Kita cepetan pergi. Keburu Pak Jeno lihat ntar.”Dini dan Lira saling pandang. Namun, mereka memilih tidak mendesak lebih jauh.Langkah Sarah semakin cepat, hampir berlari kecil saat meninggalkan perpustakaan. Nafasnya memburu, sementara bayangan Jeno dan ucapannya tadi masih menghantuinya. "Kamu masih men
Ruang makan keluarga itu terasa begitu tenang malam ini. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Di meja makan, Pak Herman duduk di ujung meja dengan wajah tenang dan penuh wibawa. Di sampingnya, duduk Bu Rini dengan senyum tipis yang khas. Raka, seperti biasa, duduk berhadapan dengan Sarah, istrinya. Mereka menikmati makan malam dalam suasana yang terasa kondusif.Sarah diam saja sejak tadi, menyuapkan nasi ke mulutnya dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang ke percakapan yang ia dengar tadi siang di perpustakaan kampus. Ucapan Jeno terus terngiang-ngiang di kepalanya.Sarah menunduk dalam, berusaha fokus pada makanannya. Ia memutuskan untuk memendam apa yang didengarnya. Setidaknya untuk saat ini, ia belum siap untuk konfrontasi apa pun.“Hei, kamu kenapa?” Raka bertanya pelan sambil menatap Sarah.Sarah tersentak kecil. Ia memaksakan senyum. “Enggak, Mas. Aku cuma capek aja.”Bu Rini melirik Sarah dengan tatapan sok p
Sarah menarik napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke bantal yang menopang tubuhnya. Wajahnya masih tampak pucat meski ia berusaha terlihat tegar di depan Raka. Sesekali, tangannya yang lemah mencoba merapikan helai rambut yang keluar dari kerudungnya.Tatapan Sarah kemudian beralih ke arah suaminya, yang duduk dengan kepala tertunduk, tangan terkepal di atas lututnya. Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar samar."Maaf, Mas. Aku cuma nggak mau kamu kepikiran dengan kondisi aku," kata Sarah akhirnya, suaranya pelan namun penuh ketulusan. Ia tahu Raka pasti merasa bersalah, meskipun ia tidak mengungkapkan semuanya secara langsung.Sementara di sudut ruangan, Dini berdiri mematung. Ia memandang keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin campuran antara rasa prihatin dan rasa hormat pada Sarah, yang meski dalam kondisi lemah, tetap berusaha menjaga perasaan suaminya. Dini memilih untuk diam, memberikan ruang kep
Pikiran Raka tak tertuju pada suara Dini yang barusan berbicara, melainkan pada sosok istrinya yang tampak berbeda pagi ini. Ia menatap Sarah yang sudah mengenakan pakaian formal hitam putih yang membuatnya tampak begitu anggun.. Ada rasa bangga dan kagum yang bercampur menjadi satu."Sayang, hari ini kamu sidang?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik.Sarah menoleh, sedikit terkejut dengan perhatian Raka. "Iya, Mas. Do'akan ya, semoga semuanya lancar." Senyumnya tersungging, meski gugup terlihat jelas di wajahnya.Raka mengangguk mantap. "Amin. Kalau gitu Mas yang antar kamu ke kampus," ujarnya tegas.Sarah langsung menggeleng cepat. "Enggak usah, Mas. Aku sama Dini aja."Namun, seolah tak mendengar, Raka mengambil buku-buku Sarah dari tangannya dan memasukkannya ke dalam mobil tanpa banyak bicara.Dini yang berada di dekat pintu menghela napas pendek sebelum akhirnya berkata, "Kita jumpa di kampus aja ya, Ra."Sarah menatap
[Sayang, kamu di mana?]Sarah membaca pesan itu dengan hati yang campur aduk. Meski sedih dengan situasi di antara mereka, ia tidak bisa mengabaikan pesan dari Raka. Ia segera mengetik balasan, mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk.[Aku sudah di rumah, Mas.]Setelah mengirim balasan, Sarah menghela napas panjang. Ia melangkah pelan menuju kamar. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu meja di sudut ruangan. Sarah menghempaskan tubuhnya ke kasur, berharap bisa segera tertidur dan melupakan semua kekacauan ini. Tapi matanya masih terbuka, pikirannya terus berputar-putar memikirkan semua masalah yang ada.Derit pintu kamar yang terbuka tiba-tiba memecah keheningan. Sarah tahu itu pasti Raka. Ia segera memejamkan matanya rapat-rapat, berpura-pura tidur. Langkah kaki Raka terdengar mendekat, semakin lama semakin jelas. Lalu, kasur di sebelahnya bergerak pelan. Sarah merasakan kehangatan tubuh Raka saat pria itu memeluknya dari arah belakang."Sarah," bisik Raka lembut.
Sarah mengangguk. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya kini jatuh membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus jejak kesedihan itu. Tapi kata-kata Dini membuyarkan usahanya."Enggak, Ra. Kali ini aku enggak setuju," ujar Dini dengan tegas. Matanya menatap lurus ke arah Sarah, penuh kekhawatiran dan ketegasan yang jarang terlihat dari sahabatnya itu.Sarah menundukkan wajahnya, bahunya bergetar. Air matanya semakin deras mengalir, seolah membebaskan rasa sakit yang sudah lama tertahan di hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang nyaris pecah."Ternyata sakitnya begini ya, Din. Aku enggak sanggup," lirih Sarah akhirnya, suara pelannya nyaris tak terdengar.Dini tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera mendekati Sarah dan memeluknya erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan sahabatnya itu. Dalam pelukan, Sarah hanya terisak, tanpa kata-kata, hanya suara tangisnya yang terdengar. Mereka diam cukup lama, membiarkan suasana mendukung proses penyemb
"Biarkan saja. Ini sudah malam. Seharusnya dia tahu diri," kata Raka dengan nada kesal, menatap layar ponselnya yang masih menyala.Namun, Sarah yang berada di sampingnya menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan rasa iba. "Angkat aja, Mas. Siapa tahu penting," ujarnya lembut.Raka mendesah panjang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, ada apa?" tanyanya singkat, tanpa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.Dari seberang telepon, suara lembut Nadia terdengar. "Aku cuma mau nanya kabarmu, Ka. Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Aku khawatir."Raka mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. "Ini sudah malam, Nadia. Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kita bicara besok saja."Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia menjawab. "Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma... ya sudah, selamat malam, Ka."Raka memutus panggilan tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia meletakkan ponsel di meja deng
Sarah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya masih memegang erat telepon, dan ia tahu bahwa jawaban yang akan diberikan harus terdengar meyakinkan.“Aku lagi di kafe sama Dini dan Lira, Mas,” katanya, mencoba terdengar santai meskipun perasaan gugup menyelimutinya.“Oh, kalau begitu, share loc aja ya. Biar Mas jemput kamu,” kata Raka dengan nada lembut di ujung telepon.Sarah menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari alasan. Ia melirik ke arah Dini dan Lira, yang hanya bisa memberinya pandangan penuh pengertian.“A-aku nanti dianterin Lira, Mas. Kami dijemput sama pacarnya Lira. Kita ketemuan di rumah sakit aja ya?” usul Sarah, berharap alasan itu cukup masuk akal.Ada jeda di telepon sebelum akhirnya Raka menjawab, “Oke. Kalau begitu, Mas tunggu kamu di sana. Jangan lama-lama ya, Sayang.”Telepon terputus, dan Sarah menghela napas panjang. Ia merasa lega tetapi juga tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menatap
Sarah memeluk dirinya sendiri, tangisnya semakin tak tertahankan. “Tolong, Raf!” isaknya sambil memandang Rafly dengan mata memohon. Air mata mengalir deras di pipinya, membuatnya terlihat begitu rapuh.Dini mengangguk pelan, lalu merangkul Sarah. “Udah ya. Aku di sini buat kamu, Ra. Kamu nggak sendirian,” katanya lembut, mencoba menenangkan hati Sarah yang sedang hancur.Namun, Rafly berdiri mematung. Emosinya tak tertahan lagi. Dengan frustrasi, ia menendang angin dan melangkah cepat ke luar ruangan. “Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” gumamnya sebelum pergi.Melihat itu, Lira segera mengejar Rafly. Ia menyusulnya di lorong dan menarik lengannya untuk berhenti. “Raf, tolong dengar aku!” katanya setengah memohon.“Apa lagi, Lira?” Rafly menoleh dengan wajah penuh kekesalan. “Dia terus menyiksa dirinya sendiri, dan kita cuma diem aja? Aku udah capek ngeliat dia kayak gitu!”
Sarah membuka matanya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Suara gaduh di sekelilingnya mulai terdengar perlahan, dan rasa sakit di kepala membuatnya sulit menggerakkan tubuh. Pandangannya masih kabur saat ia mencoba mengenali sosok yang ada di dekatnya.“Kamu udah sadar, Ra?” suara itu terdengar tegas dan cemas. Begitu pandangan Sarah mulai fokus, ia terkejut melihat Rafly duduk di sampingnya.“Raf?” gumam Sarah lemah. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa begitu lemah hingga Rafly harus membantunya.“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu baru saja pingsan,” kata Rafly sambil menyodorkan segelas air putih.Sarah menerima gelas itu dan meminum seteguk kecil. Setelah meletakkan gelas, ia mencoba mencerna keadaannya. “Aku kenapa?” tanyanya pelan.“Kamu pingsan di koridor kampus. Untung saja ada Dini dan Lira. Mereka langsung cari bantuan,” jawab Rafly dengan nada serius.Sarah hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tubuhnya ambruk. Namun, perkataan Ra
"Kenapa Mas diem aja? Kenapa Mas nggak melawan?" tanya Sarah bertubi-tubi.Namun, Raka hanya diam dan pasrah menerima perawatan luka yang diberikan oleh Sarah. Pria itu tahu bahwa dia pantas mendapatkan serangan dari Rafly."Mas??" gumam Sarah lagi setelah mengakhiri pengobatannya.Raka akhirnya menjawab, "Rafly benar. Seharusnya aku nggak menghadirkan luka baru di pernikahan kita.""Nggak usah dengerin Rafly ya. Dia nggak ngerti keadaannya gimana," balas Sarah, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa perih.