Suara barusan menyentakkan Sarah seketika. Dia pun buru-buru berbalik badan agar tak ketahuan oleh Jeno. Wajahnya pucat pasi. Sementara Dini yang ada di belakangnya geleng-geleng kepala.
“Tumben kamu begini, Ra.”
“Enggak. Cuma …hehe.” Sarah meringis pelan dan mendadak jadi salah tingkah.
“Aih. Kenapa, Ra?” tanya Lira dengan cemas. “Habis dengar Pak Jeno ngomongin apa sih?”
Sarah berusaha memaksakan senyum, meskipun bibirnya terasa kaku. "Enggak apa-apa, kok. Udara di sini panas, ya? Aku jadi pusing." Ia melambaikan tangan untuk mengalihkan perhatian kedua temannya. "Udah yuk. Kita cepetan pergi. Keburu Pak Jeno lihat ntar.”
Dini dan Lira saling pandang. Namun, mereka memilih tidak mendesak lebih jauh.
Langkah Sarah semakin cepat, hampir berlari kecil saat meninggalkan perpustakaan. Nafasnya memburu, sementara bayangan Jeno dan ucapannya tadi masih menghantuinya. "Kamu masih men
Ruang makan keluarga itu terasa begitu tenang malam ini. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Di meja makan, Pak Herman duduk di ujung meja dengan wajah tenang dan penuh wibawa. Di sampingnya, duduk Bu Rini dengan senyum tipis yang khas. Raka, seperti biasa, duduk berhadapan dengan Sarah, istrinya. Mereka menikmati makan malam dalam suasana yang terasa kondusif.Sarah diam saja sejak tadi, menyuapkan nasi ke mulutnya dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang ke percakapan yang ia dengar tadi siang di perpustakaan kampus. Ucapan Jeno terus terngiang-ngiang di kepalanya.Sarah menunduk dalam, berusaha fokus pada makanannya. Ia memutuskan untuk memendam apa yang didengarnya. Setidaknya untuk saat ini, ia belum siap untuk konfrontasi apa pun.“Hei, kamu kenapa?” Raka bertanya pelan sambil menatap Sarah.Sarah tersentak kecil. Ia memaksakan senyum. “Enggak, Mas. Aku cuma capek aja.”Bu Rini melirik Sarah dengan tatapan sok p
Sarah berdiri mematung di tengah kamar. Suara detak jam dinding terdengar nyaring di telinganya, seakan mengejek keheningan yang tiba-tiba memenuhi ruangan. Udara terasa berat, seperti ada sesuatu yang menekan dada Sarah, membuatnya sulit bernapas. Kata-kata Nadia terus berputar di kepalanya, bergema tanpa henti."Ka, kenapa kamu nggak cerita ke Sarah soal malam itu? Atau kamu mau aku yang cerita?”Pikirannya kalut, bercampur aduk antara amarah, kecewa, dan rasa takut. Bayangan Raka bersama Nadia membuat dadanya semakin sesak. Selama ini, Sarah mencoba menutup mata, berusaha mempercayai Raka sebagai suaminya. Tapi sekarang? Semua keyakinan itu retak begitu saja.Hingga malam hari Sarah masih duduk di tepi tempat tidur. Cahaya lampu kamar redup, menciptakan bayangan gelap di setiap sudut ruangan. Tangannya mengepal erat di atas paha, tubuhnya kaku seperti patung. Pintu kamar berderit pelan, dan Raka masuk dengan langkah yang sedikit gontai. Wajahnya lelah, namun senyumnya tipis saat me
Sarah berjalan menyusuri lorong rumah tanpa tujuan yang jelas. Setiap langkah kakinya terasa berat, seakan membawa beban yang tak terlihat. Nafasnya pendek-pendek, tubuhnya masih gemetar setelah pertengkaran itu. Udara malam yang dingin menyusup hingga ke tulangnya, namun ia tak peduli. Semua kata yang keluar dari mulut Raka tadi masih menggema di dalam pikiran, seolah-olah terpatri di setiap sudut ruangan.Begitu mencapai halaman depan, ia berhenti. Matanya menatap langit gelap tanpa bintang. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, ‘Kenapa harus aku? Kenapa harus seperti ini?’Segala sesuatu yang ia pertahankan selama ini terasa rapuh. Seperti dinding kaca yang akhirnya retak dan runtuh tanpa bisa dihentikan.Dari dalam rumah, suara langkah kaki terdengar mendekat. Raka muncul dari balik pintu, berdiri beberapa meter di belakangnya. Wajahnya kusut, rambutnya berantakan. Namun, yang paling jelas adalah sorot mata yang penuh penyesalan dan kebingun
Raka buru-buru menghampiri Sarah yang mematung usai menatapnya. Pria itu lantas berkata, "Kita pulang ya." Namun, Sarah masih bergeming, membuatnya kembali bersuara. "Tolong, Sayang. Jangan pergi dengan emosi begini. Aku tahu aku salah. Kita pulang ya."Sarah tetap diam, tubuhnya kaku seperti patung. Sorot matanya kosong, tapi jelas ada kobaran luka di sana. Nafasnya masih bergetar, dan dadanya naik turun tidak beraturan. Raka mendekat satu langkah, tapi Sarah langsung menoleh, mengangkat tangannya untuk menghentikan.“Sudahlah, Mas,” suaranya dingin dan tajam. “Aku bukan boneka yang bisa kamu permainkan seenaknya.”“Aku nggak mempermainkan kamu, Sarah,” Raka bersikeras. Wajahnya memohon, namun Sarah hanya tertawa sinis.“Nggak mempermainkan? Lalu apa yang kamu lakukan selama ini? Semua kebohongan kamu, semua kata manis kamu yang ternyata cuma palsu? Aku ini apa, Mas? Sekadar pelengkap? Orang yang bisa kamu minta maaf setiap kali kamu salah, lalu seakan semuanya baik-baik saja?”Raka
Raka memaksa Sarah turun dari mobil dan menggenggam pergelangan tangannya erat. Mereka berjalan memasuki rumah, disambut dengan wajah cemas oleh Pak Herman yang sedari tadi menunggu di ruang tamu."Nak?" sapanya lembut pada Sarah.Sarah hanya mengangguk kecil tanpa menatap mertuanya. Raka menghela napas panjang, lalu dengan cepat menarik tangan istrinya, membawanya menuju kamar tanpa banyak bicara. Pak Herman hanya bisa memandang mereka berdua dengan pandangan prihatin.Di dalam kamar, suasana sunyi menyelimuti mereka. Sarah duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong, sementara Raka berdiri mematung di dekat pintu. Napasnya berat seolah menahan kata-kata yang sulit keluar.Raka mendekat perlahan, tetapi Sarah segera mundur, menciptakan jarak di antara mereka."Maafin aku," ucap Raka dengan suara pelan, nyaris bergetar.Sarah tetap diam. Tatapannya kosong, tetapi air mata yang tersisa di ujung matanya jelas menunjukkan betapa hancurnya per
Suara lantang itu menggema di seluruh sudut bagian kantor, mengejutkan banyak karyawan yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka. Beberapa dari mereka bahkan berhenti mengetik dan menoleh ke arah sumber suara. Wajah-wajah penasaran mulai bermunculan di balik bilik-bilik kerja.Sementara di dalam ruangannya, Raka yang sedang fokus memeriksa dokumen-dokumen penting langsung tersentak. Alisnya mengernyit tanda kebingungan, namun ia tetap berusaha untuk tenang.“Pak Raka,” suara ketukan disertai panggilan pelan dari Maya, sekretarisnya, terdengar dari balik pintu.Raka menegakkan tubuhnya. “Ada apa, Maya?”Pintu sedikit terbuka, dan wajah Maya yang tampak pucat muncul. “A-anu, Pak,” Maya berbicara terbata-bata. “Di luar… Pak Hendro sedang marah-marah. Beliau ingin bertemu Bapak sekarang. Padahal sudah saya bilang kalau Pak Herman tidak aktif lagi ke kantor.”Raka menghela napas, menyandarkan tubuhn
“Enggak mungkin. Aku sudah menikah dengan Sarah," jawab Raka dengan lantang, memecah ketegangan yang menggantung di udara. Suaranya tegas, meskipun dalam hati ia merasa ada badai yang siap menghancurkan segalanya.Kata-kata itu menghantam Hendro seperti palu godam. Wajahnya seketika berubah pucat, lalu memerah kembali, penuh dengan amarah yang hampir tidak tertahankan. Sementara itu, Nadia tidak tampak terkejut. Air matanya yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah, membuatnya terlihat semakin rapuh."Kau pikir aku peduli dengan siapa kau menikah sekarang?!" hardik Hendro, suaranya menggelegar. "Kau sudah menghancurkan hidup anakku, dan kau pikir itu selesai begitu saja?!"Raka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu percuma beradu argumen dengan Hendro yang dikuasai emosi. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan tuduhan ini terus menghantui dirinya dan, yang lebih penting, rumah tangganya dengan Sarah."Pak," ujar Raka dengan nada lebih tenang, meskipun tatapannya te
[Besok semua akan berubah. Bersiaplah.] Pesan dari Pak Hendro beberapa detik lalu. Sarah hanya menghela napas pasrah. Ia enggan membangunkan Raka karena suaminya sudah tertidur pulas.Pagi harinya, kekhawatiran Sarah terbukti. Saat ia sedang membereskan meja makan, Raka menerima panggilan telepon yang membuat wajahnya semakin pucat. Setelah panggilan itu selesai, ia segera bergegas pergi ke kantor tanpa sempat sarapan.Sementara itu, di kantor, suasana sudah berubah menjadi medan perang. Beberapa investor utama perusahaan Raka menarik saham mereka secara mendadak. Hal ini menyebabkan kepanikan di antara manajemen, dan rumor mulai beredar di seluruh kantor bahwa penyebabnya adalah isu pribadi yang melibatkan Raka."Pak Raka," ujar Maya, sekretarisnya, dengan nada gugup. "Berita itu sudah menyebar di media sosial. Banyak karyawan yang membicarakan... tentang Anda dan Bu Nadia."Raka m
Sarah menarik napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke bantal yang menopang tubuhnya. Wajahnya masih tampak pucat meski ia berusaha terlihat tegar di depan Raka. Sesekali, tangannya yang lemah mencoba merapikan helai rambut yang keluar dari kerudungnya.Tatapan Sarah kemudian beralih ke arah suaminya, yang duduk dengan kepala tertunduk, tangan terkepal di atas lututnya. Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar samar."Maaf, Mas. Aku cuma nggak mau kamu kepikiran dengan kondisi aku," kata Sarah akhirnya, suaranya pelan namun penuh ketulusan. Ia tahu Raka pasti merasa bersalah, meskipun ia tidak mengungkapkan semuanya secara langsung.Sementara di sudut ruangan, Dini berdiri mematung. Ia memandang keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin campuran antara rasa prihatin dan rasa hormat pada Sarah, yang meski dalam kondisi lemah, tetap berusaha menjaga perasaan suaminya. Dini memilih untuk diam, memberikan ruang kep
Pikiran Raka tak tertuju pada suara Dini yang barusan berbicara, melainkan pada sosok istrinya yang tampak berbeda pagi ini. Ia menatap Sarah yang sudah mengenakan pakaian formal hitam putih yang membuatnya tampak begitu anggun.. Ada rasa bangga dan kagum yang bercampur menjadi satu."Sayang, hari ini kamu sidang?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik.Sarah menoleh, sedikit terkejut dengan perhatian Raka. "Iya, Mas. Do'akan ya, semoga semuanya lancar." Senyumnya tersungging, meski gugup terlihat jelas di wajahnya.Raka mengangguk mantap. "Amin. Kalau gitu Mas yang antar kamu ke kampus," ujarnya tegas.Sarah langsung menggeleng cepat. "Enggak usah, Mas. Aku sama Dini aja."Namun, seolah tak mendengar, Raka mengambil buku-buku Sarah dari tangannya dan memasukkannya ke dalam mobil tanpa banyak bicara.Dini yang berada di dekat pintu menghela napas pendek sebelum akhirnya berkata, "Kita jumpa di kampus aja ya, Ra."Sarah menatap
[Sayang, kamu di mana?]Sarah membaca pesan itu dengan hati yang campur aduk. Meski sedih dengan situasi di antara mereka, ia tidak bisa mengabaikan pesan dari Raka. Ia segera mengetik balasan, mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk.[Aku sudah di rumah, Mas.]Setelah mengirim balasan, Sarah menghela napas panjang. Ia melangkah pelan menuju kamar. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu meja di sudut ruangan. Sarah menghempaskan tubuhnya ke kasur, berharap bisa segera tertidur dan melupakan semua kekacauan ini. Tapi matanya masih terbuka, pikirannya terus berputar-putar memikirkan semua masalah yang ada.Derit pintu kamar yang terbuka tiba-tiba memecah keheningan. Sarah tahu itu pasti Raka. Ia segera memejamkan matanya rapat-rapat, berpura-pura tidur. Langkah kaki Raka terdengar mendekat, semakin lama semakin jelas. Lalu, kasur di sebelahnya bergerak pelan. Sarah merasakan kehangatan tubuh Raka saat pria itu memeluknya dari arah belakang."Sarah," bisik Raka lembut.
Sarah mengangguk. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya kini jatuh membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus jejak kesedihan itu. Tapi kata-kata Dini membuyarkan usahanya."Enggak, Ra. Kali ini aku enggak setuju," ujar Dini dengan tegas. Matanya menatap lurus ke arah Sarah, penuh kekhawatiran dan ketegasan yang jarang terlihat dari sahabatnya itu.Sarah menundukkan wajahnya, bahunya bergetar. Air matanya semakin deras mengalir, seolah membebaskan rasa sakit yang sudah lama tertahan di hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang nyaris pecah."Ternyata sakitnya begini ya, Din. Aku enggak sanggup," lirih Sarah akhirnya, suara pelannya nyaris tak terdengar.Dini tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera mendekati Sarah dan memeluknya erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan sahabatnya itu. Dalam pelukan, Sarah hanya terisak, tanpa kata-kata, hanya suara tangisnya yang terdengar. Mereka diam cukup lama, membiarkan suasana mendukung proses penyemb
"Biarkan saja. Ini sudah malam. Seharusnya dia tahu diri," kata Raka dengan nada kesal, menatap layar ponselnya yang masih menyala.Namun, Sarah yang berada di sampingnya menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan rasa iba. "Angkat aja, Mas. Siapa tahu penting," ujarnya lembut.Raka mendesah panjang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, ada apa?" tanyanya singkat, tanpa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.Dari seberang telepon, suara lembut Nadia terdengar. "Aku cuma mau nanya kabarmu, Ka. Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Aku khawatir."Raka mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. "Ini sudah malam, Nadia. Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kita bicara besok saja."Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia menjawab. "Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma... ya sudah, selamat malam, Ka."Raka memutus panggilan tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia meletakkan ponsel di meja deng
Sarah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya masih memegang erat telepon, dan ia tahu bahwa jawaban yang akan diberikan harus terdengar meyakinkan.“Aku lagi di kafe sama Dini dan Lira, Mas,” katanya, mencoba terdengar santai meskipun perasaan gugup menyelimutinya.“Oh, kalau begitu, share loc aja ya. Biar Mas jemput kamu,” kata Raka dengan nada lembut di ujung telepon.Sarah menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari alasan. Ia melirik ke arah Dini dan Lira, yang hanya bisa memberinya pandangan penuh pengertian.“A-aku nanti dianterin Lira, Mas. Kami dijemput sama pacarnya Lira. Kita ketemuan di rumah sakit aja ya?” usul Sarah, berharap alasan itu cukup masuk akal.Ada jeda di telepon sebelum akhirnya Raka menjawab, “Oke. Kalau begitu, Mas tunggu kamu di sana. Jangan lama-lama ya, Sayang.”Telepon terputus, dan Sarah menghela napas panjang. Ia merasa lega tetapi juga tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menatap
Sarah memeluk dirinya sendiri, tangisnya semakin tak tertahankan. “Tolong, Raf!” isaknya sambil memandang Rafly dengan mata memohon. Air mata mengalir deras di pipinya, membuatnya terlihat begitu rapuh.Dini mengangguk pelan, lalu merangkul Sarah. “Udah ya. Aku di sini buat kamu, Ra. Kamu nggak sendirian,” katanya lembut, mencoba menenangkan hati Sarah yang sedang hancur.Namun, Rafly berdiri mematung. Emosinya tak tertahan lagi. Dengan frustrasi, ia menendang angin dan melangkah cepat ke luar ruangan. “Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” gumamnya sebelum pergi.Melihat itu, Lira segera mengejar Rafly. Ia menyusulnya di lorong dan menarik lengannya untuk berhenti. “Raf, tolong dengar aku!” katanya setengah memohon.“Apa lagi, Lira?” Rafly menoleh dengan wajah penuh kekesalan. “Dia terus menyiksa dirinya sendiri, dan kita cuma diem aja? Aku udah capek ngeliat dia kayak gitu!”
Sarah membuka matanya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Suara gaduh di sekelilingnya mulai terdengar perlahan, dan rasa sakit di kepala membuatnya sulit menggerakkan tubuh. Pandangannya masih kabur saat ia mencoba mengenali sosok yang ada di dekatnya.“Kamu udah sadar, Ra?” suara itu terdengar tegas dan cemas. Begitu pandangan Sarah mulai fokus, ia terkejut melihat Rafly duduk di sampingnya.“Raf?” gumam Sarah lemah. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa begitu lemah hingga Rafly harus membantunya.“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu baru saja pingsan,” kata Rafly sambil menyodorkan segelas air putih.Sarah menerima gelas itu dan meminum seteguk kecil. Setelah meletakkan gelas, ia mencoba mencerna keadaannya. “Aku kenapa?” tanyanya pelan.“Kamu pingsan di koridor kampus. Untung saja ada Dini dan Lira. Mereka langsung cari bantuan,” jawab Rafly dengan nada serius.Sarah hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tubuhnya ambruk. Namun, perkataan Ra
"Kenapa Mas diem aja? Kenapa Mas nggak melawan?" tanya Sarah bertubi-tubi.Namun, Raka hanya diam dan pasrah menerima perawatan luka yang diberikan oleh Sarah. Pria itu tahu bahwa dia pantas mendapatkan serangan dari Rafly."Mas??" gumam Sarah lagi setelah mengakhiri pengobatannya.Raka akhirnya menjawab, "Rafly benar. Seharusnya aku nggak menghadirkan luka baru di pernikahan kita.""Nggak usah dengerin Rafly ya. Dia nggak ngerti keadaannya gimana," balas Sarah, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa perih.