Raka memaksa Sarah turun dari mobil dan menggenggam pergelangan tangannya erat. Mereka berjalan memasuki rumah, disambut dengan wajah cemas oleh Pak Herman yang sedari tadi menunggu di ruang tamu."Nak?" sapanya lembut pada Sarah.Sarah hanya mengangguk kecil tanpa menatap mertuanya. Raka menghela napas panjang, lalu dengan cepat menarik tangan istrinya, membawanya menuju kamar tanpa banyak bicara. Pak Herman hanya bisa memandang mereka berdua dengan pandangan prihatin.Di dalam kamar, suasana sunyi menyelimuti mereka. Sarah duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong, sementara Raka berdiri mematung di dekat pintu. Napasnya berat seolah menahan kata-kata yang sulit keluar.Raka mendekat perlahan, tetapi Sarah segera mundur, menciptakan jarak di antara mereka."Maafin aku," ucap Raka dengan suara pelan, nyaris bergetar.Sarah tetap diam. Tatapannya kosong, tetapi air mata yang tersisa di ujung matanya jelas menunjukkan betapa hancurnya per
Suara lantang itu menggema di seluruh sudut bagian kantor, mengejutkan banyak karyawan yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka. Beberapa dari mereka bahkan berhenti mengetik dan menoleh ke arah sumber suara. Wajah-wajah penasaran mulai bermunculan di balik bilik-bilik kerja.Sementara di dalam ruangannya, Raka yang sedang fokus memeriksa dokumen-dokumen penting langsung tersentak. Alisnya mengernyit tanda kebingungan, namun ia tetap berusaha untuk tenang.“Pak Raka,” suara ketukan disertai panggilan pelan dari Maya, sekretarisnya, terdengar dari balik pintu.Raka menegakkan tubuhnya. “Ada apa, Maya?”Pintu sedikit terbuka, dan wajah Maya yang tampak pucat muncul. “A-anu, Pak,” Maya berbicara terbata-bata. “Di luar… Pak Hendro sedang marah-marah. Beliau ingin bertemu Bapak sekarang. Padahal sudah saya bilang kalau Pak Herman tidak aktif lagi ke kantor.”Raka menghela napas, menyandarkan tubuhn
“Enggak mungkin. Aku sudah menikah dengan Sarah," jawab Raka dengan lantang, memecah ketegangan yang menggantung di udara. Suaranya tegas, meskipun dalam hati ia merasa ada badai yang siap menghancurkan segalanya.Kata-kata itu menghantam Hendro seperti palu godam. Wajahnya seketika berubah pucat, lalu memerah kembali, penuh dengan amarah yang hampir tidak tertahankan. Sementara itu, Nadia tidak tampak terkejut. Air matanya yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah, membuatnya terlihat semakin rapuh."Kau pikir aku peduli dengan siapa kau menikah sekarang?!" hardik Hendro, suaranya menggelegar. "Kau sudah menghancurkan hidup anakku, dan kau pikir itu selesai begitu saja?!"Raka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu percuma beradu argumen dengan Hendro yang dikuasai emosi. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan tuduhan ini terus menghantui dirinya dan, yang lebih penting, rumah tangganya dengan Sarah."Pak," ujar Raka dengan nada lebih tenang, meskipun tatapannya te
[Besok semua akan berubah. Bersiaplah.] Pesan dari Pak Hendro beberapa detik lalu. Sarah hanya menghela napas pasrah. Ia enggan membangunkan Raka karena suaminya sudah tertidur pulas.Pagi harinya, kekhawatiran Sarah terbukti. Saat ia sedang membereskan meja makan, Raka menerima panggilan telepon yang membuat wajahnya semakin pucat. Setelah panggilan itu selesai, ia segera bergegas pergi ke kantor tanpa sempat sarapan.Sementara itu, di kantor, suasana sudah berubah menjadi medan perang. Beberapa investor utama perusahaan Raka menarik saham mereka secara mendadak. Hal ini menyebabkan kepanikan di antara manajemen, dan rumor mulai beredar di seluruh kantor bahwa penyebabnya adalah isu pribadi yang melibatkan Raka."Pak Raka," ujar Maya, sekretarisnya, dengan nada gugup. "Berita itu sudah menyebar di media sosial. Banyak karyawan yang membicarakan... tentang Anda dan Bu Nadia."Raka m
Pagi itu, kantor Raka tak ubahnya medan pertempuran yang sepi namun penuh ketegangan. Di ruang rapat utama, para pemegang saham berkumpul dengan wajah penuh kekhawatiran. Dinding kaca yang biasanya memantulkan optimisme kini terasa memenjarakan, seolah ikut menyerap energi gelap yang melingkupi ruangan.Berita tentang dugaan pelecehan yang melibatkan Raka dan Nadia telah menyebar luas, membawa perusahaan ke ambang kehancuran. Saham perusahaan anjlok drastis dalam semalam, meninggalkan kekosongan kepercayaan di kalangan investor.“Pak Raka, ini tidak bisa dibiarkan seperti ini!” seru salah satu pemegang saham senior sambil mengetukkan pena ke meja dengan nada frustrasi. “Perusahaan kita kehilangan nilai jutaan rupiah setiap jamnya. Kami butuh kepastian. Apakah Anda sanggup menyelesaikan masalah ini atau tidak?”Raka duduk di ujung meja, mencoba menahan emosi. Matanya terlihat lelah, tetapi sorot keyakinan masih ada di sana. Ia mengenakan setelan abu-abu yang biasanya memancarkan kharis
"Raka, sampai kapan kamu akan terus menyangkal?" suara keras Bu Rini memecah keheningan di ruang keluarga. Mata wanita paruh baya itu berkaca-kaca, tetapi sorotannya penuh kemarahan. "Perusahaan keluarga kita sudah hancur, dan sekarang Papa kamu terbaring di rumah sakit karena ulahmu!"Raka menundukkan kepala, kedua tangannya terkepal di atas meja. Ia tidak bisa membantah ibu tirinya, tetapi di dalam hati, ia tahu bahwa semua ini bukan sepenuhnya kesalahannya. "Bu, aku sedang berusaha menyelesaikan semuanya. Tolong beri aku waktu," ujarnya dengan suara serak."Waktu? Waktu apa lagi yang kamu butuhkan? Kalau kamu benar-benar peduli pada keluarga ini, kamu akan menikahi Nadia dan mengakhiri semua masalah ini!" desak Bu Rini dengan nada penuh tekanan, menatap Raka seolah ingin menelanjangi setiap argumen yang mungkin keluar darinya.Sarah yang mendengar percakapan itu dari dapur tidak tahan lagi. Ia melangkah masuk ke ruang tamu dengan wajah tegang. "Bu, tidak bisakah kita mencari solusi
Raka duduk di ruang pertemuan besar yang dingin, menghadap seorang pria dengan rambut yang mulai memutih namun tetap terlihat tegas dan berwibawa. Di hadapan mereka, tumpukan dokumen berisi laporan keuangan perusahaan yang sudah hampir hancur tergeletak. Raka mencoba menahan napas, mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut pria itu."Raka," suara berat pria itu memecah keheningan, "saya sudah melakukan yang terbaik untuk membantu perusahaan ini. Tapi lihatlah angka-angka ini, semuanya menunjukkan ke arah yang sama. Perusahaan ini sudah nyaris bangkrut."Raka mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha meredam amarah dan rasa frustasi yang memuncak. "Saya tahu kondisi ini buruk, Pak. Tapi saya yakin masih ada jalan keluar. Kita hanya perlu waktu lebih banyak untuk menarik investor baru dan—"Lawan bicaranya itu mengangkat tangan, menghentikan kalimat Raka. "Waktu? Kita tidak punya waktu lagi, Raka. Saham perusahaanmu sudah jatuh ke titik terendah, dan aku harus j
“Kamu gila ya?" Raka yang semula duduk kini sudah bangkit sembari menatap tajam ke arah Nadia. "Aku enggak akan pisah dari Sarah.""Kata siapa kita pisah, Mas?" ucap Sarah dengan nada lembut namun penuh ketegasan. Ia berdiri di belakang Raka, tatapannya penuh keyakinan."Cukup jadikan aku istri kedua," suara Nadia terdengar tegas namun tetap tenang.Kalimat itu seperti ledakan di dalam kepala Raka. Ia menggeleng cepat, ekspresinya penuh dengan ketidakpercayaan."Ini ide gila. Enggak!" tolak Raka mentah-mentah. Nadanya tak menyisakan ruang untuk kompromi."Mas?" Sarah memanggil lembut, mencoba menenangkan Raka.Namun, Raka langsung memotong, "Aku enggak mau, Sarah. Jangan paksa aku," tegasnya. Ia langsung meninggalkan ruang tamu dengan langkah cepat. Suara pintu yang dibanting keras menggema di seluruh rumah.Nadia menunduk, merasa bahwa kehadirannya mungkin membawa lebih banyak kerumitan daripada solusi. Sarah menatapnya dengan
Sarah menarik napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke bantal yang menopang tubuhnya. Wajahnya masih tampak pucat meski ia berusaha terlihat tegar di depan Raka. Sesekali, tangannya yang lemah mencoba merapikan helai rambut yang keluar dari kerudungnya.Tatapan Sarah kemudian beralih ke arah suaminya, yang duduk dengan kepala tertunduk, tangan terkepal di atas lututnya. Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar samar."Maaf, Mas. Aku cuma nggak mau kamu kepikiran dengan kondisi aku," kata Sarah akhirnya, suaranya pelan namun penuh ketulusan. Ia tahu Raka pasti merasa bersalah, meskipun ia tidak mengungkapkan semuanya secara langsung.Sementara di sudut ruangan, Dini berdiri mematung. Ia memandang keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin campuran antara rasa prihatin dan rasa hormat pada Sarah, yang meski dalam kondisi lemah, tetap berusaha menjaga perasaan suaminya. Dini memilih untuk diam, memberikan ruang kep
Pikiran Raka tak tertuju pada suara Dini yang barusan berbicara, melainkan pada sosok istrinya yang tampak berbeda pagi ini. Ia menatap Sarah yang sudah mengenakan pakaian formal hitam putih yang membuatnya tampak begitu anggun.. Ada rasa bangga dan kagum yang bercampur menjadi satu."Sayang, hari ini kamu sidang?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik.Sarah menoleh, sedikit terkejut dengan perhatian Raka. "Iya, Mas. Do'akan ya, semoga semuanya lancar." Senyumnya tersungging, meski gugup terlihat jelas di wajahnya.Raka mengangguk mantap. "Amin. Kalau gitu Mas yang antar kamu ke kampus," ujarnya tegas.Sarah langsung menggeleng cepat. "Enggak usah, Mas. Aku sama Dini aja."Namun, seolah tak mendengar, Raka mengambil buku-buku Sarah dari tangannya dan memasukkannya ke dalam mobil tanpa banyak bicara.Dini yang berada di dekat pintu menghela napas pendek sebelum akhirnya berkata, "Kita jumpa di kampus aja ya, Ra."Sarah menatap
[Sayang, kamu di mana?]Sarah membaca pesan itu dengan hati yang campur aduk. Meski sedih dengan situasi di antara mereka, ia tidak bisa mengabaikan pesan dari Raka. Ia segera mengetik balasan, mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk.[Aku sudah di rumah, Mas.]Setelah mengirim balasan, Sarah menghela napas panjang. Ia melangkah pelan menuju kamar. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu meja di sudut ruangan. Sarah menghempaskan tubuhnya ke kasur, berharap bisa segera tertidur dan melupakan semua kekacauan ini. Tapi matanya masih terbuka, pikirannya terus berputar-putar memikirkan semua masalah yang ada.Derit pintu kamar yang terbuka tiba-tiba memecah keheningan. Sarah tahu itu pasti Raka. Ia segera memejamkan matanya rapat-rapat, berpura-pura tidur. Langkah kaki Raka terdengar mendekat, semakin lama semakin jelas. Lalu, kasur di sebelahnya bergerak pelan. Sarah merasakan kehangatan tubuh Raka saat pria itu memeluknya dari arah belakang."Sarah," bisik Raka lembut.
Sarah mengangguk. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya kini jatuh membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus jejak kesedihan itu. Tapi kata-kata Dini membuyarkan usahanya."Enggak, Ra. Kali ini aku enggak setuju," ujar Dini dengan tegas. Matanya menatap lurus ke arah Sarah, penuh kekhawatiran dan ketegasan yang jarang terlihat dari sahabatnya itu.Sarah menundukkan wajahnya, bahunya bergetar. Air matanya semakin deras mengalir, seolah membebaskan rasa sakit yang sudah lama tertahan di hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang nyaris pecah."Ternyata sakitnya begini ya, Din. Aku enggak sanggup," lirih Sarah akhirnya, suara pelannya nyaris tak terdengar.Dini tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera mendekati Sarah dan memeluknya erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan sahabatnya itu. Dalam pelukan, Sarah hanya terisak, tanpa kata-kata, hanya suara tangisnya yang terdengar. Mereka diam cukup lama, membiarkan suasana mendukung proses penyemb
"Biarkan saja. Ini sudah malam. Seharusnya dia tahu diri," kata Raka dengan nada kesal, menatap layar ponselnya yang masih menyala.Namun, Sarah yang berada di sampingnya menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan rasa iba. "Angkat aja, Mas. Siapa tahu penting," ujarnya lembut.Raka mendesah panjang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, ada apa?" tanyanya singkat, tanpa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.Dari seberang telepon, suara lembut Nadia terdengar. "Aku cuma mau nanya kabarmu, Ka. Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Aku khawatir."Raka mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. "Ini sudah malam, Nadia. Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kita bicara besok saja."Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia menjawab. "Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma... ya sudah, selamat malam, Ka."Raka memutus panggilan tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia meletakkan ponsel di meja deng
Sarah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya masih memegang erat telepon, dan ia tahu bahwa jawaban yang akan diberikan harus terdengar meyakinkan.“Aku lagi di kafe sama Dini dan Lira, Mas,” katanya, mencoba terdengar santai meskipun perasaan gugup menyelimutinya.“Oh, kalau begitu, share loc aja ya. Biar Mas jemput kamu,” kata Raka dengan nada lembut di ujung telepon.Sarah menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari alasan. Ia melirik ke arah Dini dan Lira, yang hanya bisa memberinya pandangan penuh pengertian.“A-aku nanti dianterin Lira, Mas. Kami dijemput sama pacarnya Lira. Kita ketemuan di rumah sakit aja ya?” usul Sarah, berharap alasan itu cukup masuk akal.Ada jeda di telepon sebelum akhirnya Raka menjawab, “Oke. Kalau begitu, Mas tunggu kamu di sana. Jangan lama-lama ya, Sayang.”Telepon terputus, dan Sarah menghela napas panjang. Ia merasa lega tetapi juga tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menatap
Sarah memeluk dirinya sendiri, tangisnya semakin tak tertahankan. “Tolong, Raf!” isaknya sambil memandang Rafly dengan mata memohon. Air mata mengalir deras di pipinya, membuatnya terlihat begitu rapuh.Dini mengangguk pelan, lalu merangkul Sarah. “Udah ya. Aku di sini buat kamu, Ra. Kamu nggak sendirian,” katanya lembut, mencoba menenangkan hati Sarah yang sedang hancur.Namun, Rafly berdiri mematung. Emosinya tak tertahan lagi. Dengan frustrasi, ia menendang angin dan melangkah cepat ke luar ruangan. “Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” gumamnya sebelum pergi.Melihat itu, Lira segera mengejar Rafly. Ia menyusulnya di lorong dan menarik lengannya untuk berhenti. “Raf, tolong dengar aku!” katanya setengah memohon.“Apa lagi, Lira?” Rafly menoleh dengan wajah penuh kekesalan. “Dia terus menyiksa dirinya sendiri, dan kita cuma diem aja? Aku udah capek ngeliat dia kayak gitu!”
Sarah membuka matanya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Suara gaduh di sekelilingnya mulai terdengar perlahan, dan rasa sakit di kepala membuatnya sulit menggerakkan tubuh. Pandangannya masih kabur saat ia mencoba mengenali sosok yang ada di dekatnya.“Kamu udah sadar, Ra?” suara itu terdengar tegas dan cemas. Begitu pandangan Sarah mulai fokus, ia terkejut melihat Rafly duduk di sampingnya.“Raf?” gumam Sarah lemah. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa begitu lemah hingga Rafly harus membantunya.“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu baru saja pingsan,” kata Rafly sambil menyodorkan segelas air putih.Sarah menerima gelas itu dan meminum seteguk kecil. Setelah meletakkan gelas, ia mencoba mencerna keadaannya. “Aku kenapa?” tanyanya pelan.“Kamu pingsan di koridor kampus. Untung saja ada Dini dan Lira. Mereka langsung cari bantuan,” jawab Rafly dengan nada serius.Sarah hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tubuhnya ambruk. Namun, perkataan Ra
"Kenapa Mas diem aja? Kenapa Mas nggak melawan?" tanya Sarah bertubi-tubi.Namun, Raka hanya diam dan pasrah menerima perawatan luka yang diberikan oleh Sarah. Pria itu tahu bahwa dia pantas mendapatkan serangan dari Rafly."Mas??" gumam Sarah lagi setelah mengakhiri pengobatannya.Raka akhirnya menjawab, "Rafly benar. Seharusnya aku nggak menghadirkan luka baru di pernikahan kita.""Nggak usah dengerin Rafly ya. Dia nggak ngerti keadaannya gimana," balas Sarah, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa perih.