“Mak, kemarin ada tamu ya?” tanya Akmal basa-basi untuk menyindirkan adiknya. Mereka kini sedang berkumpul di ruang keluarga.“Iya, tamu jauh! Ganteng lagi!” ujar Bu Meilinda. Perempuan lima puluh tahun itu langsung antusias.“Lama nggak Mak tamunya?” tambah Akmal lagi sambil melirik ke adiknya yang sedang sibuk dengan ponsel.“Lumayan, pokoknya cemilan yang Mamak hidangkan ludes!” jelas Bu Meilinda dengan wajah sumringah.“Ayah pasti senang banget nih kedatangan tamu jauh!” ledek Akmal lagi sambil mendudukkan putranya di atas perut.“Kasian sekali Ayah nggak ada di rumah waktu tamu itu datang!” sahut Pak Burhan.“Wah rugi sekali Ayah! Padahal tamunya datang jauh-jauh lho!” Akmal masih senang mengganggu adik perempuannya tapi Mahra pura-pura tak tahu.“Kan bukan mau ketemu Ayah!” sahut Pak Burhan lagi.“Terus mau ketemu siapa juga tamunya?” tanya Akmal. “Woi dek kok cuek aja!”“Apa si Ngoh, males ah,” sahut Mahra dengan juteknya.“Iiii wajahnya merah tuuuu! Lihat tante mu tu nak, lagi
Entah kenapa, akhir-akhir ini, Mahra merasa aneh dengan dirinya. Nama Angga terus saja terbayang-bayang di kepalanya. Dan setiap kali orang menyebutkan nama laki-laki tersebut. Dia selalu merasa kalau ada rasa aneh semacam desiran lain di hatinya. Entahlah Mahra merasa aneh dan sulit mendefinisikan perasaannya."Aduh tolong please nggak usah mikirin dia terus!" gumam Mahra seorang diri. Saat dia duduk di depan komputernya tapi, dia belum menulis apapun. Kalau boleh di jujur hatinya sedang mengeja tentang Angga. Wajahnya, cara dia tersenyum, cara di memanggil Mahra, kesukaannya. Apapun itu, Mahra merasa tidak nyaman dengan apa yang dia rasakan. Ting. Notifikasi di komputernya muncul pertanda ada chat masuk dari seseorang. Dan itu pesan di email.Mahra membukanya, sebuah pesan dari email angga0101@gmail.com."Ah dia lagi!?" Mahra merasa kesal. Kenapa laki-laki itu ada dimana-mana. Di komputernya bahkan ada, dia menyelinap bagai makhluk halus."Salam, dari Angga. Ini file naskah saya
"Mahra!" Panggil Angga beberapa saat setelah keheningan di ruangan itu. Angga membenarkan posisi duduknya, hatinya berdetak kencang."Iya!" sahut Mahra singkat.Sejenak hening, Angga berusaha mengumpulkan kata-kata. Dia seperti terhipnotis, sehingga kehilangan pembendaharaan kata. Padahal perempuan anggun di depannya hanya memakai baju rumahan, tanpa hiasan apapun di wajah. "Aku mau ngomong sesuatu...""Iya silahkan!" Mahra menatap laki-laki di depannya sekilas. Dia bisa merasakan detak jantungnya lebih kencang. Bahkan, sejak masuk pesan darinya lagi on the way ke rumahnya. Apalagi ketika mobilnya sudah di perkarangan rumahnya. Suasana hatinya semakin tak terkontrol."Mahra, maukah kamu menikah denganku?" tanya Angga. Secara langsung lugas dan mantap.Mahra terkesiap, matanya berpendar. Dia mencari sesuatu di wajah laki-laki yang baru saja mengajaknya menikah. Apakah laki-laki itu benar-benar mencintainya. Dan apakah laki-laki tegap di depannya akan menerima segala kekurangannya?"
Setelah bertemu dengan klien. Angga terus memikirkan Lira. Dia merasa prihatin. Sebagai orang yang saling mengenal sejak kecil. Dia merasa prihatin dengan keadaan Lira saat ini.Dia menghubungi beberapa orang yang di kenalinya. Lalu sebuah perusahaan memang membutuhkan seorang karyawan.Keesokan harinya. Angga pulang ke Bandung. Dia menemui Ayahnya.“Yah, Angga kemarin ketemu Lira!” ujar Angga.“Ketemu dimana?” tanya Pak Muhar.“Ayah tahu nggak. Lira sekarang menjadi sopir taksi online di Jakarta!” jelas Angga.“Ayah sudah lama tidak mendengar kabar dari Yatma!” Pak Muhar menutup bukunya.“Ayah tahu, kalau Lira itu bukan anak kandung Om Yatma?” tanya Angga.Muhar terkejut mendengarnya, “Kamu tahu dari mana Ngga?”“Lira yang bilang sendiri!” Angga duduk di depan ayahnya.Sejenak terdiam.“Sebenarnya. Lira itu anak dari adiknya Yatma. Orang tuanya meninggal ketika dia masih kecil karena kecelakaan! Dan perusahaan yang dikelola Yatma selama ini merupakan perusahaan orang tuanya Lira. Bah
Angga bergegas terbang ke Aceh demi melamar sang pujaan hati. Dia mendorong kursi roda ayahnya dengan gembira. Wajahnya berseri, dia tidak sabar untuk duduk di pelaminan dengan perempuan dambaannya sejak dulu. Angga sudah mengabari semua kerabat. Meskipun mereka tidak datang, tapi, semua berjanji akan datang ketika acara pernikahannya nanti.Di Banda Aceh, Angga dan ayahnya serta beberapa bodyguard menginap di hotel mereka. Acara lamaran akan berlangsung hari jumat pagi. Kediaman Mahra sudah dihadiri ramai keluarga, mereka seaakan menyiapkan acara lamaran pertama untuk anak perempuan Pak Burhan itu. Pagi hari, istrinya Akmal, Jelita sudah memesan make up artis ke rumah. “Kak, nggak usahlah pakek make up segala?” protes Mahra.“Dek, please jangan protes ya!” Jelita memegang kedua bahu adik iparnya. “Kamu harus tampil cantik!”“Kak, aku bukan pertama lamaran pun!” Mahra masih belum terima.“Justru karena ingin memulai buka lembaran baru. Adek harus tampil sempurna, memulai semua ini
Di tempat berbeda, di negeri sakura. Refans duduk menatap ke luar jendela dengan mata berkaca-kaca. Setelah bertahun, bercerai kenapa akhir-akhir ini. Dia baru benar-benar sadar betapa berharganya Mahra dalam hidupnya. Selama bekerja di Jepang, mutlak setelah dia berpisah dengan Mahra. Tidak ada lagi orang yang sepeduli mantan istrinya itu padanya. Tidak ada lagi teh hangat menyambutnya di pagi hari. Tidak ada lagi, nasi goreng disuguhkan untuknya sarapan pagi. Tidak ada lagi yang peduli dengan pakaian-pakaiannya. Bahkan hal terkecil, mengingatkan dia mati lampu sebelum tidur. Ada yang lebih membuat Refans tersadar, tidak ada yang lagi mengingatkan dia untuk salat. Bahkan ibunya saat ini.“Abang ayo sarapan dulu!”“Abang ayo salat dulu!”“Abang bajunya sudah siap ya!”Suara merdu Mahra tergiang-giang di telinganya. Membuat dia semakin dilema.Ibu dan Kakaknya hanya tahu memeras uangnya saja. Untuk mengurus rumah dan memasak, Refans harus membayar orang. Padahal ibu dan kakaknya tidak
“Saya terima nikahnya Nadia Asyuratul Mahra Binti Burhanuddin dengan mas kawin sepuluh manyam mas tunai!” ungkap Angga sekali napas. Wajahnya tertunduk menanti pengesahan dari para saksi.“Bagaimana para saksi sah?” tanya penghulu.“SAH,” Jawab para saksi bersamaan.“Alhamdulillah!” ungkap Angga sembari mengusap wajahnya. Seraya menoleh ke belakang. Kea rah Mahra yang duduk anggun di damping ibu dan Kakak iparnya.Serangkaian doa dilafadzkan penghulu. Lalu Cika membantu Angga memakai mahar pada tangan Mahra. Berupa gelang emas murni senilai sepuluh manyam. Di Aceh, emas untuk perhiasan disebut manyam. Satu manyam setara dengan 3,3 gram emas. Demikian juga untuk mahar. Orang Aceh terkenal dengan mahar yang tinggi. Berkisar 8 manyam, 10, 12, 15 bahkan ada yang 3o manyam. Semua itu tergantung, tempat dan tingkat pendidikan.Kebiasannya, untuk perempuan berstatus janda. Mahar hanya sekitar 4 atau 5 manyam saja. Hanya saja. Angga yang cukup paham seluk belum adat Aceh. Dia tidak mau member
Malam sudah menyelimuti kota Banda. Angga dan Mahra salat isya berjamaah di kamarnya. Setelah lelah seharian mengikuti prosesi pernikahan hingga pesta baru siap sore hari.“Mahra!” panggil Angga setelah dia duduk di atas tempat tidur. Sedangkan Mahra masih sibuk menata mukena dan beberapa kain lain. Sebenarnya bukan sibuk. Dia hanya memperlambat merapikan mukenanya. Entah kenapa dia merasa hatinya berdebar-debar, gugup. Bahkan jemarinya bergetar.Mahra menoleh.“Sini!” Angga menepuk tempat tidur di sampingnya. Laki-laki itu masih dengan sarungnya.Mahra sudah memakai hijab instan, serta piyama lengan panjang menutup tubuh rampingnya.Langkah Mahra begitu berat. Tangannya memilin ujung piyama.“Sini lagi dong!” ujar Angga lagi. “Kenapa sih? Takut sama Abang ya? Abang nggak makan orang lho!”Mahra semakin gugup. Wajahnya sudah seperti kepeting rebus.Angga semakin gemes melihat gelagat istrinya. Segera dia gemgam jemari Mahra yang tadi asyik memainkan ujung piyama. Mahra semakin gugup.