“Eh, apa yang ingin kalian lakukan? Aku tidak mau!” protes Irish yang spontan bergerak mundur. Entah apa yang Arthur rencanakan. Kini di rumahnya ada beberapa make up artis yang sudah siap dengan peralatan lengkap. Melihat kedatangannya, Arthur langsung memerintah mereka untuk mendandaninya. Tentu saja ia menolak. Dirinya tak ingin pergi ke mana pun setelah ini. “Kita akan menghadiri resepsi pernikahan kolega bisnisku. Sudah agak terlambat, tapi tidak masalah. Acaranya sampai tengah malam. Kamu masih bisa mandi dan bersiap-siap. Mereka akan membantumu,” jelas Arthur yang menghampiri Irish. Irish menganga tak percaya. Ia mengetahui tentang pesta pernikahan salah satu kolega bisnis Arthur yanh berlangsung malam ini. Namun, dirinya tak mendapat undangan. Dan sekarang, tiba-tiba Arthur mengajaknya ke sana. Bahkan, setelah acara berlangsung. Padahal tadi siang mereka bertemu. “Aku tidak mau! Kamu tidak bisa seenaknya! Aku baru pulang dan belum istirahat!” Irish langsung menolak mentah-
Perubahan yang signifikan terlihat jelas dari wajah Arthur. Irish tahu pertanyaannya pasti menyinggung lelaki itu. Ia sengaja bertanya sekarang agar Arthur tidak bisa langsung melampiaskan amarah. Bukankah menahan amarah sangat menyebalkan?Jujur saja, sampai sekarang Irish memang masih memikirkan ‘tanggung jawab' pada Elyza yang pernah Arthur katakan. Berbagai asumsi muncul di kepalanya, termasuk yang ini. Sebab, Arthur dan Elyza mungkin telah melakukan banyak hal bersama. Irish sudah menunggu jika Arthur akan melampiaskan amarah. Namun, setelah cukup lama terdiam, lelaki itu malah tertawa. Kening Irish mengerut. Tidak mengerti bagian mana yang lucu. Atau jangan-jangan dugaannya memang benar? “Kalau kamu menghamilinya, maka bertanggungjawab lah dengan benar. Jangan buat namanya semakin buruk di mata publik,” bisik Irish lagi. Perasaan campur aduk mulai menggerayangi dada Irish. Namun, ekspresinya tetap tenang. Seolah-olah dirinya tak merasakan apa pun. Ia tidak terlalu terkejut ji
“Apa? Katakan saja,” balas Arthur seraya menyimpan minyak kayu putih di atas nakas. “Pertama, kamu tidak boleh menggangguku. Terutama saat aku sedang bekerja. Kecuali jika benar-benar penting.” Irish membuka matanya untuk melihat reaksi Arthur dan lelaki itu masih berekspresi tenang. “Kedua, kamu tidak boleh asal menemuiku saat aku bekerja. Kecuali, aku sudah memberi izin. Kalau aku menolak, kamu tidak bisa memaksa,” lanjut Irish. Arthur menatap Irish yang berbaring di sampingnya dengan sebelah alis terangkat. Namun, ekspresi lelaki itu tetap datar. Irish mengira Arthur akan melontarkan protes. Ternyata tidak. Atau mungkin belum. Protes dalam bentuk apa pun tak akan mengubah keputusannya. “Dan yang ketiga. Kamu harus siap saat aku membutuhkanmu. Kamu harus datang tepat waktu dan melakukan apa pun yang aku inginkan,” pungkas Irish dengan senyum puas. Tak ada yang lebih Irish inginkan selain kebebasan. Namun, ia juga ingin sedikit mengerjai Arthur. Mungkin saja dengan begitu lelaki
“Kamu yakin ingin menginap di sini?” tanya Billy setelah Irish selesai bertelepon dengan Arthur. Irish mengangguk tanpa ragu sembari meletakkan ponselnya di tempat semula. “Tidak boleh ya? Ya sudah kalau begitu.”Tadinya Irish tidak berniat menginap. Namun, telepon dari Arthur membuatnya kesal. Belum sampai setengah jam dirinya berada di sini dan Arthur sudah bertanya kapan dirinya akan pulang. Sekalian saja ia bilang ingin menginap agar lelaki itu tak banyak bertanya lagi. “Bukan begitu. Aku tidak keberatan kamu menginap di sini. Ada kamar kosong di samping kamarku. Aku tidak yakin suamimu akan memberi izin. Dia tahu apartemen ini. Dia bisa datang kapan saja,” jawab Billy sembari mengangkat bahunya. “Tidak akan. Aku bilang kalau kamu ada di rumah kakek. Dia tidak mungkin berani datang. Lagi pula, sepertinya dia tidak tahu di mana rumah kakek,” jawab Irish sembari tertawa pelan. Sebelum berangkat kemari, Irish memang mengatakan pada Arthur jika dirinya akan mengunjungi rumah ‘kake
Seharusnya Billy atau Irish yang bertanya seperti itu. Namun, pertanyaan tersebut malah meluncur dari tamu tak diundang yang kini menatap mereka dengan sorot mengintimidasi. Siapa lagi kalau bukan Arthur. Dan tanpa basa-basi, lelaki itu langsung menarik Irish ke sisinya. Tindakan Arthur tak menyakiti Irish. Lelaki itu hanya menarik pelan dan menggenggam tangan Irish. Namun, begitu saja sudah membuat Irish sangat terkejut. Irish tak menyangka Arthur akan menyusulnya ke sini. Ia sudah mengatakan jika dirinya berada di rumah Prayoga saat ini. Sebab, Irish yakin Arthur tak mungkin nekat ke sana. Ia curiga jangan-jangan Arthur memasang GPS di ponsel atau mobilnya. “Kamu tidak terlihat seperti orang sakit. Sengaja ingin mencari simpatik istriku?” sindir Arthur sinis. “Aku tidak berbohong. Aku hanya sakit, bukan sekarat. Dan aku tidak mencari simpatik Irish. Kalau kamu ingin marah, marah lah padaku. Irish sudah berniat baik menjenguk dan menemaniku. Kami tidak melakukan apa pun,” jawab B
“Kamu sendirian? Di mana Arthur?” tanya Irish setelah memesan makanan. Irish mengedarkan pandangan, menelisik keberadaan Arthur. Sebab, biasanya lelaki itu selalu berdampingan dengan Carla—sekretarisnya. Namun, sekarang Irish mendapati Carla seorang diri. Tidak mungkin Carla makan siang sendiri di sini karena jaraknya agak jauh dari kantor Arthur. “Tadi kami meeting di sini dengan klien. Tapi, Pak Arthur sudah pergi lebih dulu. Karena ada urusan dengan ... urusan pribadi.” Carla tampak tak enak hati menyampaikannya pada Irish. Sebab, Arthur memang pergi karena dihubungi Elyza. Sebelah sudut bibir Irish terangkat membentuk senyum sinis. Ia tahu apa yang Carla maksud. Dirinya tak terkejut. Arthur memang selalu seperti itu terhadap apa pun yang berhubungan dengan Elyza. Dan bisa-bisanya kemarin lelaki itu sangat marah hanya karena dirinya berada di apartemen Billy. “Elyza? Tenang saja. Tidak perlu merasa tak enak hati,” jawab Irish seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
“Selamat ulang tahun, Sayang.”Irish membeku selama beberapa saat. Hingga matahari benar-benar terbenam, Irish masih belum bereaksi sama sekali. Manik matanya berkaca-kaca. Hari ini dirinya yang ingin memberi kejutan dengan mengerjai Arthur. Namun, malah dirinya yang dibuat lebih terkejut lagi. Melihat Irish yang hanya diam saja membuat Arthur heran. “Kenapa? Kamu tidak suka?”“Ka-kamu tahu hari ulang tahunku?” tanya Irish terbata. Irish tak pernah merayakan ulang tahunnya sejak kecil. Ketika ayahnya masih ada pun hari ulang tahunnya selalu terlewatkan begitu saja. Irish mengira ayah dan ibunya terlalu sibuk hingga tak pernah mengingat hari ulang tahunnya. Kemudian, Irish tahu jika hari kelahirannya bersamaan dengan hari kepergian ibu kandungnya. Sejak saat itu, Irish tak pernah menganggap hari ulang tahunnya sebagai hari yang penting. Ia selalu ingat, namun tak pernah berniat merayakannya. Dan sekarang Arthur tiba-tiba membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Kejutan yang tak perna
“Apa dia benar-benar tidak punya keluarga?” gumam Irish dengan ekspresi merengut. Tak masalah Elyza ingin menghubungi Arthur. Namun, setidaknya wanita itu juga harus tahu waktu. Sekarang sudah tengah malam. Memangnya sepenting apa masalah yang ingin wanita itu bicarakan sampai harus menelepon Arthur sekarang?Yang membuat Irish heran adalah Elyza selalu menghubungi Arthur setiap terjadi sesuatu semenjak kembali. Padahal dua tahun ke belakang, wanita itu menghilang tanpa jejak. Jika memang tak memiliki siapa pun di sini, seharusnya tidak perlu kembali. Irish tak ingin ikut campur dan kembali meletakkan ponsel Arthur di tempat semula. Namun, ponsel itu terus bergetar dan Arthur tak kunjung keluar dari toilet. Irish berdecak kesal dan kembali meraih benda pipih tersebut. Lalu, beranjak dari ranjang. Tok! Tok! Tok!“Arthur, kenapa lama? Elyza meneleponmu!” seru Irish sembari mengetuk pintu toilet. Irish tak akan bisa tidur kalau Elyza belum berhenti menghubungi Arthur. Sebab, ia tahu
BRAK! CIITTT ....Irish tak tahu apa yang terjadi hingga seseorang mendorongnya sangat kuat. Wanita itu jatuh terjerembab dan belanjaannya berhamburan ke mana-mana. Di saat yang sama, terdengar suara tabrakan sangat kencang di belakangnya. “Arthur!” pekik Irish melihat Arthur yang kini sudah bersimbah darah di tengah jalan. Tanpa memedulikan luka pada kaki dan tangannya, Irish langsung berlari menghampiri Arthur. Tangannya gemetar bersamaan dengan air matanya yang bercucuran. Lelaki itu masih setengah sadar, namun tampak sudah sangat tak berdaya. “Apa yang kamu lakukan? Bodoh! Kenapa kamu menyelamatkan aku?” tanya Irish dengan suara bergetar di sela isak tangisnya. Arthur terkekeh pelan dengan mata setengah terpejam. “Aku lebih bodoh kalau membiarkan kamu celaka di depan mataku. Mungkin dengan cara ini kamu bisa memaafkaanku. Aku tidak akan bisa mengganggumu lagi setelah ini. Jangan khawatir.”“Kamu bicara apa?! Jangan pejamkan matamu!” Irish bergegas bangkit dan hendak mencari ba
Irish mengejapkan matanya. Ia ingat hari anniversary pernikahannya, namun tak memiliki niatan untuk merayakannya lagi. Irish malah mengantarkan surat gugat cerainya pada Arthur di hari anniversary pernikahan mereka. Tentunya, ia tak berharap Arthur akan mengingat hari itu juga. “Aku ingat. Tapi, baru sempat datang kemari. Aku ingin langsung memberikannya padamu, bukan melalui kurir,” jelas Arthur yang tak ingin Irish salah paham. “Oke, terima kasih.” Irish tetap menerima buket bunga dan paper bag tersebut. Anggap saja untuk menebus rasa bersalahnya karena membuat Arthur semalaman berada di sini. “Harusnya kamu tidak perlu repot-repot membelikan apa pun. Proses perceraian kita sedang berjalan. Tidak ada yang perlu dirayakan,” imbuh Irish datar. Irish meletakkan buket dan paper bag pemberian Arthur di bangku taman yang tersedia. Kemudian, duduk di sana tanpa menawari Arthur untuk duduk juga. Lelaki itu sudah kembali berlutut di depan stroller si kembar sembari mengajak keduanya meng
Mendengar pemberitahuan pelayan tersebut membuat ekspresi Irish berubah seketika. Ia nyaris tak percaya. Namun, ketika mengintip dari jendela di kamarnya yang terhubung dengan halaman depan rumah, Irish tak bisa menyangkal. Arthur benar-benar ada di sini. Arthur tahu dirinya dan anak-anak mereka berada di sini sejak melarikan diri dari rumah ayahnya. Selama itu juga, Arthur tak pernah sekali pun datang kemari. Dan sekarang, setelah lelaki itu mengacaukan sidang perceraian mereka, dia malah muncul di depan rumah kakeknya. “Apa dia ingin cari mati?” gerutu Irish sembari menatap Arthur yang bersandar di belakang pintu gerbang tinggi yang kini masih tertutup rapat. Dari kamarnya yang berada di lantai dua, Irish dapat melihat lelaki itu dengan jelas. Pintu gerbang yang tak dibuka padahal ada tamu menunjukkan jika Arthur tak boleh masuk. Seharusnya lelaki itu mengerti dan langsung pergi, bukan malah menunggu. Hari ini, kakeknya dan Billy memang sedang berada di luar kota. Seharusnya Iri
Penuturan Arthur membuat Irish terbelalak. Ia bisa menerima jika Arthur marah padanya karena dirinya tiba-tiba menggugat cerai lelaki itu. Namun, seharusnya kemarahan itu hanya Arthur perlihatkan saat bersamanya saja. Tak perlu membuat onar di tempat seperti ini. Irish tak menyangka Arthur akan melakukan ini. Memfitnah keluarganya seolah-olah keluarganya telah melakukan kesalahan. Keluarganya tak pernah memperalatnya. Justru, Irish mengurus gugatan ini sendirian. Kakeknya hanya membantunya mencari pengacara saja. “Jangan bicara sembarangan! Aku memang ingin bercerai denganmu!” balas Irish tajam. Irish sampai spontan berdiri. Jika akhirnya akan seperti ini, lebih baik Arthur tak perlu mendatangi persidangan ini. Ia kembali duduk saat menyadari orang-orang mulai menatapnya dengan sorot aneh. Ia memejamkan matanya sejenak, tak ingin semakin tersulut emosi. “Hubungan kita baik-baik saja. Lalu, tiba-tiba keluargamu membawamu pergi diam-diam. Kalai mereka mengancammu, harusnya kamu kata
“Mario masih belum mau mengaku siapa yang menyuruhnya. Tapi, aku sudah yakin orangnya pasti Arthur. Dia sangat loyal pada Arthur. Apa pun yang Arthur katakan pasti dituruti,” ucap Billy pada Irish yang sengaja ia ajak makan siang di ruangannya. Kunyahan Irish terhenti sejenak. Namun, setelah itu ia kembali melanjutkan makan siangnya dengan tenang. Sebenarnya Irish sudah mengetahui persoalan ini dari kakeknya. Dan entah bagaimana cara menyelesaikannya karena Mario benar-benar tak mau mengatakan apa pun. Mario sudah Billy jebloskan ke penjara sejak lelaki itu menyerangnya tempo hari. Akan tetapi, hingga saat ini Mario tak mau membuka suara tentang siapa yang menyuruhnya. Lelaki itu malah mengatakan bergerak sendiri karena keinginannya. Alasan tersebut kurang masuk akal karena Irish tak memiliki masalah dengan Mario. Jangankan bersinggungan, saling berbicara pun hanya beberapa kali saja selama bertahun-tahun ini. Padahal jika lelaki itu mengaku, penyidikan akan lebih mudah dilakukan.
Bunyi ketukan high heelsnya terdengar seiring laju langkah Irish. Hampir setahun dirinya tak berani memakai high heels lagi karena khawatir akan membahayakan kandungannya. Setelah itu pun, sandal biasa masih menjadi andalannya karena lebih nyaman digunakan. Irish sudah terbiasa menangani butik, namun belum pernah bekerja di kantor sungguhan. Apalagi kantor sebesar milik kakeknya. Namun, cepat atau lambat, ia memang harus ikut mengelola perusahaan tersebut. Sebenarnya kakeknya memberinya pilihan, bekerja di kantor atau mencari butik baru, dan Irish memilih bekerja di kantor. Irish masih belum selesai dengan traumanya atas insiden di butik lamanya. Ia belum siap mengelola butik baru, lengkap dengan segala persiapannya. Untuk saat ini, masuk ke perusahaan kakeknya lebih masuk akal. Ini juga menjadi caranya untuk mempelajari strategi bisnis yang baik.“Selamat pagi, Bu Irish!” sapa beberapa karyawan yang berpapasan dengan Irish. “Pagi semuanya!” Irish menghentikan langkah sejenak dan m
Bukan hanya Arthur yang terkejut, Irish tampak jauh lebih terkejut lagi. Mendadak wanita itu menyentuh tangan Arthur, khawatir Arthur kalap dan memukul kakeknya. Dan benar saja, Arthur sudah menunjukkan gelagat akan mengamuk. Namun, orang-orang kakeknya lebih dulu datang. “Belum cukup Anda membunuh ayahku?! Anda juga ingin membunuh ibuku dan semua orang yang ada di sana?!” sentak Arthur dengan suara menggelegar. Beberapa orang sudah memegangi Arthur, seolah takut lelaki itu akan bertindak nekat. Melihat itu membuat Irish tak tega. Seharusnya tak perlu sampai seperti itu. Lelaki itu hanya ingin menuntut penjelasan darinya, bukan ingin menyakiti siapa pun. “Itu karena kamu membakar butik milik mendiang putriku. Ibunya Irish. Kamu yang menggunakan cara kotor untuk menjerat cucuku, itu hanya balasan kecil yang aku berikan. Rumahmu tidak rata dengan tanah seperti butik milik putriku!” balas Prayoga tak kalah tegas. “Aku menentang hubunganmu dan Irish. Selama ini kamu hanya menyakiti cu
Arthur menjadi tamu terakhir yang tiba di pesta yang diselenggarakan oleh Prayoga Mahesa. Ekspresi malas dan enggan tampak jelas di wajahnya. Namun, Arthur terpaksa mendatangi pesta tak penting ini demi mencari keberadaan Irish. Asistennya mengatakan jika supir taksi online yang Irish tumpangi saat melarikan diri itu pernah menemui Billy dan pergi bersama. Sejak awal, Arthur sudah curiga jika Billy ada kaitannya dengan menghilangnya Irish dan anak-anaknya. Dan ia harus menemukan Irish di sini. Arthur dan sekretarisnya menempati satu-satunya meja yang kosong di dekat pintu masuk. Karena saat ini sudah detik-detik menjelang waktu pembukaan acara, tidak perlu ada basa-basi tak penting. Arthur bisa langsung duduk dan mengabaikan beberapa orang yang menyapanya. “Ck! Kenapa acaranya lama sekali?!” Belum sampai 10 menit duduk, Arthur sudah mulai menggerutu. Arthur hanya ingin melihat Irish. Namun, sejauh mata memandang, ia belum menemukan keberadaan wanita itu. Entah karena memang Irish
“Bagaimana pun caranya, cari keberadaan istri dan anak-anakku secepatnya. Atau kalian akan aku pecat!” titah Arthur pada asisten dan lima orang anak buahnya. Sudah seminggu berlalu dan tidak ada satu pun anak buahnya yang berhasil menemukan Irish. Memang tak ada petunjuk mengenai keberadaan istri dan anak-anaknya. Meskipun begitu, seharusnya mereka tetap bisa menemukan petunjuk. Satu minggu bukan waktu yang singkat. “Baik, Tuan!” jawab seluruh anak buah Arthur secara bersamaan sebelum melenggang pergi dari ruangan sang tuan. Hanya asisten baru Arthur yang tersisa di sana. Sang asisten meletakkan sebuah undangan di atas meja Arthur. “Ada undangan dari Billy Mahesa. Acaranya pekan depan.”Arthur tak berminat melirik undangan tersebut sama sekali. Ia sedang tidak mau menghadiri acara tak penting, apalagi hanya undangan dari Billy. Fokusnya sekarang adalah mencari dan menemukan keberadaan Irish dan anak-anaknya. Bahkan, selama seminggu ini ia selalu menolak undangan di luar jam kerjany