“Kamu yakin ingin menginap di sini?” tanya Billy setelah Irish selesai bertelepon dengan Arthur. Irish mengangguk tanpa ragu sembari meletakkan ponselnya di tempat semula. “Tidak boleh ya? Ya sudah kalau begitu.”Tadinya Irish tidak berniat menginap. Namun, telepon dari Arthur membuatnya kesal. Belum sampai setengah jam dirinya berada di sini dan Arthur sudah bertanya kapan dirinya akan pulang. Sekalian saja ia bilang ingin menginap agar lelaki itu tak banyak bertanya lagi. “Bukan begitu. Aku tidak keberatan kamu menginap di sini. Ada kamar kosong di samping kamarku. Aku tidak yakin suamimu akan memberi izin. Dia tahu apartemen ini. Dia bisa datang kapan saja,” jawab Billy sembari mengangkat bahunya. “Tidak akan. Aku bilang kalau kamu ada di rumah kakek. Dia tidak mungkin berani datang. Lagi pula, sepertinya dia tidak tahu di mana rumah kakek,” jawab Irish sembari tertawa pelan. Sebelum berangkat kemari, Irish memang mengatakan pada Arthur jika dirinya akan mengunjungi rumah ‘kake
Seharusnya Billy atau Irish yang bertanya seperti itu. Namun, pertanyaan tersebut malah meluncur dari tamu tak diundang yang kini menatap mereka dengan sorot mengintimidasi. Siapa lagi kalau bukan Arthur. Dan tanpa basa-basi, lelaki itu langsung menarik Irish ke sisinya. Tindakan Arthur tak menyakiti Irish. Lelaki itu hanya menarik pelan dan menggenggam tangan Irish. Namun, begitu saja sudah membuat Irish sangat terkejut. Irish tak menyangka Arthur akan menyusulnya ke sini. Ia sudah mengatakan jika dirinya berada di rumah Prayoga saat ini. Sebab, Irish yakin Arthur tak mungkin nekat ke sana. Ia curiga jangan-jangan Arthur memasang GPS di ponsel atau mobilnya. “Kamu tidak terlihat seperti orang sakit. Sengaja ingin mencari simpatik istriku?” sindir Arthur sinis. “Aku tidak berbohong. Aku hanya sakit, bukan sekarat. Dan aku tidak mencari simpatik Irish. Kalau kamu ingin marah, marah lah padaku. Irish sudah berniat baik menjenguk dan menemaniku. Kami tidak melakukan apa pun,” jawab B
“Kamu sendirian? Di mana Arthur?” tanya Irish setelah memesan makanan. Irish mengedarkan pandangan, menelisik keberadaan Arthur. Sebab, biasanya lelaki itu selalu berdampingan dengan Carla—sekretarisnya. Namun, sekarang Irish mendapati Carla seorang diri. Tidak mungkin Carla makan siang sendiri di sini karena jaraknya agak jauh dari kantor Arthur. “Tadi kami meeting di sini dengan klien. Tapi, Pak Arthur sudah pergi lebih dulu. Karena ada urusan dengan ... urusan pribadi.” Carla tampak tak enak hati menyampaikannya pada Irish. Sebab, Arthur memang pergi karena dihubungi Elyza. Sebelah sudut bibir Irish terangkat membentuk senyum sinis. Ia tahu apa yang Carla maksud. Dirinya tak terkejut. Arthur memang selalu seperti itu terhadap apa pun yang berhubungan dengan Elyza. Dan bisa-bisanya kemarin lelaki itu sangat marah hanya karena dirinya berada di apartemen Billy. “Elyza? Tenang saja. Tidak perlu merasa tak enak hati,” jawab Irish seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
“Selamat ulang tahun, Sayang.”Irish membeku selama beberapa saat. Hingga matahari benar-benar terbenam, Irish masih belum bereaksi sama sekali. Manik matanya berkaca-kaca. Hari ini dirinya yang ingin memberi kejutan dengan mengerjai Arthur. Namun, malah dirinya yang dibuat lebih terkejut lagi. Melihat Irish yang hanya diam saja membuat Arthur heran. “Kenapa? Kamu tidak suka?”“Ka-kamu tahu hari ulang tahunku?” tanya Irish terbata. Irish tak pernah merayakan ulang tahunnya sejak kecil. Ketika ayahnya masih ada pun hari ulang tahunnya selalu terlewatkan begitu saja. Irish mengira ayah dan ibunya terlalu sibuk hingga tak pernah mengingat hari ulang tahunnya. Kemudian, Irish tahu jika hari kelahirannya bersamaan dengan hari kepergian ibu kandungnya. Sejak saat itu, Irish tak pernah menganggap hari ulang tahunnya sebagai hari yang penting. Ia selalu ingat, namun tak pernah berniat merayakannya. Dan sekarang Arthur tiba-tiba membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Kejutan yang tak perna
“Elyza sudah kembali. Bersiaplah, sebentar lagi Arthur akan meninggalkanmu.”“Setelah dua tahun menikah, bahkan kamu tidak bisa memberinya anak. Benar-benar tidak berguna.”Bisikan sang ibu mertua membuat manik mata Irish semakin memerah dan berkaca-kaca. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan desakan air mata yang nyaris keluar. Tanpa memedulikan kata-katanya yang telah melukai menantunya, Maudy—mertua Irish langsung beranjak pergi dari sana. Irish masih membeku di posisi yang sama. Menatap lurus ke arah gerbang yang kini sudah kembali ditutup oleh security. Kemudian, tatapan beralih ke meja makan yang sedikit terlihat dari pintu utama. Meja yang masih penuh dengan berbagai menu masakannya yang belum tersentuh sama sekali. Arthur—suaminya terburu-buru pergi setelah menerima telepon entah dari siapa. Lelaki itu tak menjawab meski Irish sudah mencoba bertanya. Meninggalkan dirinya begitu saja padahal hari ini adalah anniversary pernikahan mereka yang kedua. Jangankan ing
Ringisan pelan lolos dari bibir Irish karena cengkraman Arthur hingga membuat pergelangan tangannya terasa perih. “Sakit. Lepas!” Irish pikir Arthur akan mengabulkan permintaannya dengan mudah. Namun, yang dirinya dapati malahan ekspresi lelaki itu semakin gelap. Tanpa peduli dengan Irish yang meringis meminta dilepaskan, Arthur malah sengaja menarik Irish hingga menabrak tubuhnya. “Apa? Cerai?” desis Arthur sinis. “Beraninya kamu meminta cerai? Kamu bukan siapa-siapa tanpa diriku!” sembur Arthur penuh penekanan. Sekuat tenaga Irish mendorong Arthur hingga akhirnya cekalan lelaki itu terlepas dari tangannya. Menyisakan rasa perih hingga berdenyut-denyut. Namun, ia mempertahankan ekspresinya tetap datar. Wanita itu mengangkat kepala membalas tatapan Arthur tak kalah sengit. “Aku ingin kita berpisah secepatnya. Dia sudah kembali. Kurasa sudah waktunya pernikahan ini berakhir,” jawab Irish tanpa ragu. Ekspresinya memang tampak sangat meyakinkan. Seolah-olah inilah yang di
Usapan lembut di kepalanya membuat Irish terbangun. Namun, ketika membuka mata, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah tatapan tajam suaminya. Ia spontan mengalihkan pandangan dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Saat itu pula Irish menyadari dirinya sedang berada di rumah sakit. Dan sudah pasti Arthur telah mengetahui kehamilannya. Lelaki itu tampak marah besar. Entah karena Irish menyembunyikan kehamilannya atau karena kabar kehamilan Irish bukanlah kabar yang menyenangkan bagi lelaki itu. Sepertinya opsi kedua lah yang paling tepat. Irish yakin Arthur pasti merasa jika kehamilannya hanya akan menjadi penghalang hubungan lelaki itu dengan Elyza. Ia menyentuh perutnya, khawatir Arthur gelap mata dan melakukan sesuatu yang buruk pada janinnya. “Kamu tidak bisa membawa anakku pergi,” ucap Arthur dingin. Suara dingin itu terasa amat menusuk hingga Irish bergidik ngeri. Ia berdeham pelan dan berkata, “Dia bukan anakmu. Tenang saja, aku tidak akan meminta pertanggungjawaban
Penjelasan pria paruh baya di sampingnya membuat Irish berkaca-kaca. Tadinya ia tidak langsung mempercayai cerita pria itu. Namun, setelah melihat semua bukti yang Prayoga bawa, akhirnya Irish percaya jika pria paruh baya itu adalah kakeknya. Ayah kandung ibunya. Irish tidak pernah mengenal keluarga ibunya sebelumnya. Sebab, ibunya meninggal dunia saat melahirkannya. Dan yang merawatnya selama ini adalah ibu tirinya. Tak pernah ada yang menceritakan tentang keluar mendiang ibu kandungnya. Tidak ada juga yang menemuinya selama ini. “Irish, Kakek tahu kamu pasti terkejut dan belum mempercayai Kakek sepenuhnya. Tapi, Kakek tidak berbohong. Kakek mencarimu selama ini. Maaf, Kakek terlambat menemukanmu,” tutur Prayoga sembari menggenggam tangan Irish yang berada di atas meja. “Harusnya Kakek menemuimu lebih awal. Sebelum mereka membuatmu menderita. Mereka benar-benar pandai menyembunyikan kebusukan mereka di depan umum,” lanjut Prayoga dengan alis menukik tajam, menunjukkan amarah terta
“Selamat ulang tahun, Sayang.”Irish membeku selama beberapa saat. Hingga matahari benar-benar terbenam, Irish masih belum bereaksi sama sekali. Manik matanya berkaca-kaca. Hari ini dirinya yang ingin memberi kejutan dengan mengerjai Arthur. Namun, malah dirinya yang dibuat lebih terkejut lagi. Melihat Irish yang hanya diam saja membuat Arthur heran. “Kenapa? Kamu tidak suka?”“Ka-kamu tahu hari ulang tahunku?” tanya Irish terbata. Irish tak pernah merayakan ulang tahunnya sejak kecil. Ketika ayahnya masih ada pun hari ulang tahunnya selalu terlewatkan begitu saja. Irish mengira ayah dan ibunya terlalu sibuk hingga tak pernah mengingat hari ulang tahunnya. Kemudian, Irish tahu jika hari kelahirannya bersamaan dengan hari kepergian ibu kandungnya. Sejak saat itu, Irish tak pernah menganggap hari ulang tahunnya sebagai hari yang penting. Ia selalu ingat, namun tak pernah berniat merayakannya. Dan sekarang Arthur tiba-tiba membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Kejutan yang tak perna
“Kamu sendirian? Di mana Arthur?” tanya Irish setelah memesan makanan. Irish mengedarkan pandangan, menelisik keberadaan Arthur. Sebab, biasanya lelaki itu selalu berdampingan dengan Carla—sekretarisnya. Namun, sekarang Irish mendapati Carla seorang diri. Tidak mungkin Carla makan siang sendiri di sini karena jaraknya agak jauh dari kantor Arthur. “Tadi kami meeting di sini dengan klien. Tapi, Pak Arthur sudah pergi lebih dulu. Karena ada urusan dengan ... urusan pribadi.” Carla tampak tak enak hati menyampaikannya pada Irish. Sebab, Arthur memang pergi karena dihubungi Elyza. Sebelah sudut bibir Irish terangkat membentuk senyum sinis. Ia tahu apa yang Carla maksud. Dirinya tak terkejut. Arthur memang selalu seperti itu terhadap apa pun yang berhubungan dengan Elyza. Dan bisa-bisanya kemarin lelaki itu sangat marah hanya karena dirinya berada di apartemen Billy. “Elyza? Tenang saja. Tidak perlu merasa tak enak hati,” jawab Irish seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Seharusnya Billy atau Irish yang bertanya seperti itu. Namun, pertanyaan tersebut malah meluncur dari tamu tak diundang yang kini menatap mereka dengan sorot mengintimidasi. Siapa lagi kalau bukan Arthur. Dan tanpa basa-basi, lelaki itu langsung menarik Irish ke sisinya. Tindakan Arthur tak menyakiti Irish. Lelaki itu hanya menarik pelan dan menggenggam tangan Irish. Namun, begitu saja sudah membuat Irish sangat terkejut. Irish tak menyangka Arthur akan menyusulnya ke sini. Ia sudah mengatakan jika dirinya berada di rumah Prayoga saat ini. Sebab, Irish yakin Arthur tak mungkin nekat ke sana. Ia curiga jangan-jangan Arthur memasang GPS di ponsel atau mobilnya. “Kamu tidak terlihat seperti orang sakit. Sengaja ingin mencari simpatik istriku?” sindir Arthur sinis. “Aku tidak berbohong. Aku hanya sakit, bukan sekarat. Dan aku tidak mencari simpatik Irish. Kalau kamu ingin marah, marah lah padaku. Irish sudah berniat baik menjenguk dan menemaniku. Kami tidak melakukan apa pun,” jawab B
“Kamu yakin ingin menginap di sini?” tanya Billy setelah Irish selesai bertelepon dengan Arthur. Irish mengangguk tanpa ragu sembari meletakkan ponselnya di tempat semula. “Tidak boleh ya? Ya sudah kalau begitu.”Tadinya Irish tidak berniat menginap. Namun, telepon dari Arthur membuatnya kesal. Belum sampai setengah jam dirinya berada di sini dan Arthur sudah bertanya kapan dirinya akan pulang. Sekalian saja ia bilang ingin menginap agar lelaki itu tak banyak bertanya lagi. “Bukan begitu. Aku tidak keberatan kamu menginap di sini. Ada kamar kosong di samping kamarku. Aku tidak yakin suamimu akan memberi izin. Dia tahu apartemen ini. Dia bisa datang kapan saja,” jawab Billy sembari mengangkat bahunya. “Tidak akan. Aku bilang kalau kamu ada di rumah kakek. Dia tidak mungkin berani datang. Lagi pula, sepertinya dia tidak tahu di mana rumah kakek,” jawab Irish sembari tertawa pelan. Sebelum berangkat kemari, Irish memang mengatakan pada Arthur jika dirinya akan mengunjungi rumah ‘kake
“Apa? Katakan saja,” balas Arthur seraya menyimpan minyak kayu putih di atas nakas. “Pertama, kamu tidak boleh menggangguku. Terutama saat aku sedang bekerja. Kecuali jika benar-benar penting.” Irish membuka matanya untuk melihat reaksi Arthur dan lelaki itu masih berekspresi tenang. “Kedua, kamu tidak boleh asal menemuiku saat aku bekerja. Kecuali, aku sudah memberi izin. Kalau aku menolak, kamu tidak bisa memaksa,” lanjut Irish. Arthur menatap Irish yang berbaring di sampingnya dengan sebelah alis terangkat. Namun, ekspresi lelaki itu tetap datar. Irish mengira Arthur akan melontarkan protes. Ternyata tidak. Atau mungkin belum. Protes dalam bentuk apa pun tak akan mengubah keputusannya. “Dan yang ketiga. Kamu harus siap saat aku membutuhkanmu. Kamu harus datang tepat waktu dan melakukan apa pun yang aku inginkan,” pungkas Irish dengan senyum puas. Tak ada yang lebih Irish inginkan selain kebebasan. Namun, ia juga ingin sedikit mengerjai Arthur. Mungkin saja dengan begitu lelaki
Perubahan yang signifikan terlihat jelas dari wajah Arthur. Irish tahu pertanyaannya pasti menyinggung lelaki itu. Ia sengaja bertanya sekarang agar Arthur tidak bisa langsung melampiaskan amarah. Bukankah menahan amarah sangat menyebalkan?Jujur saja, sampai sekarang Irish memang masih memikirkan ‘tanggung jawab' pada Elyza yang pernah Arthur katakan. Berbagai asumsi muncul di kepalanya, termasuk yang ini. Sebab, Arthur dan Elyza mungkin telah melakukan banyak hal bersama. Irish sudah menunggu jika Arthur akan melampiaskan amarah. Namun, setelah cukup lama terdiam, lelaki itu malah tertawa. Kening Irish mengerut. Tidak mengerti bagian mana yang lucu. Atau jangan-jangan dugaannya memang benar? “Kalau kamu menghamilinya, maka bertanggungjawab lah dengan benar. Jangan buat namanya semakin buruk di mata publik,” bisik Irish lagi. Perasaan campur aduk mulai menggerayangi dada Irish. Namun, ekspresinya tetap tenang. Seolah-olah dirinya tak merasakan apa pun. Ia tidak terlalu terkejut ji
“Eh, apa yang ingin kalian lakukan? Aku tidak mau!” protes Irish yang spontan bergerak mundur. Entah apa yang Arthur rencanakan. Kini di rumahnya ada beberapa make up artis yang sudah siap dengan peralatan lengkap. Melihat kedatangannya, Arthur langsung memerintah mereka untuk mendandaninya. Tentu saja ia menolak. Dirinya tak ingin pergi ke mana pun setelah ini. “Kita akan menghadiri resepsi pernikahan kolega bisnisku. Sudah agak terlambat, tapi tidak masalah. Acaranya sampai tengah malam. Kamu masih bisa mandi dan bersiap-siap. Mereka akan membantumu,” jelas Arthur yang menghampiri Irish. Irish menganga tak percaya. Ia mengetahui tentang pesta pernikahan salah satu kolega bisnis Arthur yanh berlangsung malam ini. Namun, dirinya tak mendapat undangan. Dan sekarang, tiba-tiba Arthur mengajaknya ke sana. Bahkan, setelah acara berlangsung. Padahal tadi siang mereka bertemu. “Aku tidak mau! Kamu tidak bisa seenaknya! Aku baru pulang dan belum istirahat!” Irish langsung menolak mentah-
Irish terkesiap dan spontan mundur selangkah. Ia membekap mulutnya yang nyaris memekik. Matanya melebar sempurna melihat guci besar setinggi kurang lebih satu meter yang tak sengaja dirinya pecahkan. Padahal, ia merasa berdiri agak jauh dari guci tersebut. Irish sengaja diam-diam berdiri di dekat pintu ruangan Arthur karena masih ingin menguping. Ia sangat penasaran dengan apa yang dibahas oleh Elyza dan Arthur. Namun, dirinya sangat ceroboh dan malah menghancurkan properti bernilai ratusan juta itu. Tak pernah mendengar Arthur berkata ketus pada Elyza sebelumnya membuat rasa penasaran Irish kian bertambah. Sebab, yang dirinya tahu lelaki itu selalu bersikap lembut pada Elyza. Kapan pun dan di mana pun itu. Bahkan, selalu mengabulkan permintaan wanita itu tanpa ragu. “Nyonya, Anda baik-baik saja?” tanya sekretaris Arthur yang langsung menghampiri Irish. “Maaf, aku tidak sengaja,” jawab Irish dengan perasaan campur aduk. Ceklek!Keributan yang terjadi tentu saja terdengar hingga k
“Maaf, aku tidak bisa,” tolak Irish di saat dirinya dan Arthur sudah sangat berantakan. Sedari tadi Irish berusaha mengumpulkan sisa-sisa kewarasannya. Sebesar apa pun keinginannya, ia tak ingin terlena lagi. Untungnya, kalimat itu sempat terucap sebelum mereka benar-benar melakukannya. Meskipun sudah sangat terlambat. Irish menyadari seharusnya sejak awal dirinya menolak. Bukan malah diam saja dan membiarkan Arthur menyentuhnya. Sayangnya, ia perlu mengumpulkan sisa kewarasannya sebelum benar-benar menghilang. Dan akhirnya membiarkan Arthur melakukan apa pun. Arthur memang tidak memaksakan, sejak awal pernikahan mereka pun begitu. Tentunya dulu Irish senang karena merasa dianggap oleh lelaki itu. Namun, entah kenapa sekarang ada saja yang mengganjal di benaknya dan membuatnya tak nyaman melakukan itu.Meskipun Arthur masih berstatus sebagai suaminya dan melakukan ini bukanlah yang pertama bagi mereka. “Oke,” jawab Arthur setelah terdiam cukup lama. Kekecewaan itu tampak sangat j