"Sampai kapan kamu akan terus mengabaikan aku?"
Suara seseorang yang sangat Andira kenal membuayarkan lamunannya. "K-kamu..." Andira tak dapat meneruskan kalimatnya saat tiba-tiba ubuhnya di rengkuh dan di peluk sangat erat.
"Menangislah, jangan pernah memendam masalahmu sendiri. Aku siap untuk menjadi tamengmu saat kamu ingin menangis." Ya, dia adalah Bagas, pria yang selama ini memberi perhatian lebih padanya.
Entah kenapa, kata-kata Bagas membuat kedua matanya kembali berair. Andira melingkarkan kedua tangannya di pinggang Bagas, membenamkan wajahnya ke dalam dada bidang pria itu. Dia menangis, meluapkan semua sedih dan rasa sakit hatinya di dalam dekapan pria yang tadinya ingin sekali Andira hindari, saat ini justru tengah berada di dekatnya, bahkan memeluknya.
"Benar, menangislah." Ucap Bagas, tangannya membelai lembut rambut hitam panjang Andira yang tergerai sangat indah. "Maaf. Karena aku, kamu jadi begini."
"Apa yang kamu katakan?" Andira melepas pelukannya, lalu menatap dalam pria yang selalu ada di saat kapanpun ia membutuhkan seseorang sebagai sandaran.
"Aku tahu, pasti ini terjadi karena aku." Seru Bagas yang menundukkan wajahnya.
Andra memberanikan diri untuk menggenggam tangan Bagas."Ini bukan salahmu. Ini semua takdir, jadi kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri seperti ini." Serunya kemudian. Tak dapat dipungkiri jika Andira sebenarnya juga menyukai pria yang ada di hadapannya saat ini, pria yang selalu ada untuknya.
Perlahan Bagas mengangkat pandangannya, dia menatap kedua mata indah Andira. Sungguh, dia sangat beruntung bisa bertemu dan mencintai gadis sebaik Andira. "Aku janji akan membantumu untuk mencari pekerjaan." Ucapnya yang kemudian diangguki oleh Andira.
"Terima kasih." Seru Andira tulus.
"Hei, tidak perlu begitu. Apa pun akan aku lakukan untukmu." Bagas memberanikan diri mencubit kedua pipi chuby yang selalu terlihat menggemaskan itu dan hal itu sukses membuat keduanya merona. "Hmm, apakah kamu masih belum siap untuk menjawab pertanyaanku?"
Andira menautkan kedua alisnya. Pertanyaan yang mana, batinnya.
Bagas menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal saat melihat wajah kebingungan Andira. Masak iya aku harus mengatakannya lagi. Padahal waktu itu saja sudah berkeringat dingin, batinnya. "I-itu.." Serunya seraya menyatukan kedua telunjuk jarinya. Dari mana aku harus memulainya, pikirnya. Entah kenapa Bagas jadi lupa kata-kata yang akan dia ucapkan, padahal waktu itu dia sangat lantang mengutarakan perasaannya di rumah sakit.
"Iya." Jawab Andira tiba-tiba.
Bagas terkejut, dia membulatkan kedua matanya saat mendengar jawaban dari Andira. "Benar, iyaa?" Tanyanya untuk memastikan dan Andira tentu saja mengangguk.
"Aargh." Karena sangat senang, Bagas kembali reflek mencubit kedua pipi menggemaskan milik Andira.
"Eh, eh maaf sayang. Aku terlalu senang saat ini." Bagas gelagapan dan mengelus pipi Andira. Dia bahkan merutuki tangannya yang membuat kekasih barunya jadi kesakitan.
Andira mengangguk. Entah kenapa panggilan sayang yang di sematkan Bagas, membuat kedua pipinya kembali merona.
"Ayo aku antar pulang, nanti keburu hujan." Untuk pertama kalinya Bagas menggengam tangan Andira, meski sebenarnya jantungnya tengah berdisko ria dan membuat kedua otot kakinya serasa melemah.
"Tapi aku bawa motor sendiri."
Bagas terdiam. Benar juga, batinya. "Tidak apa-apa, yang penting kamu aku antar pulang." Masa bodoh dengan dua motor itu, yang penting aku bisa mengantar kekasihku pulang seperti yang lain, pikirnya.
"Terus kantor?" Andira kembali mengerutkan keningnya. Padahal ini masih jam kantor, kenapa Bagas sangat ingin mengantarnya pulang.
"Aku sudah ijin sakit." Jawab Bagas dengan senyum manisnya.
Andira menggeleng, kenapa Bagas bisa berubah konyol seperti ini. Padahal biasanya dia akan terlihat sangat berwibawa di kantor. Akhirnya kedunya melaju meninggalkan taman dengan motor masing-masing.
***
Waktu kian cepat berlalu. Selang 3 bulan kabar di pecatnya Andira secara tidak adil pun kian tenggelam. Tapi tidak dengan hubungan Andira bersama bagas, keduanya sudah resmi menjalin hubungan sejak 3 bulan yang lalu dan sebentar lagi Bagas akan menunjukkan keseriusannya untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Andira juga saat ini sudah mendapat pekerjaan baru, dia menjadi sekretaris pribadi di salah satu perusahaan sejak 1 bulan yang lalu. Meski perusahaan itu tak sebesar perusahaan Andira dulu, tapi Andira cukup betah karena dia diperlakukan cukup baik di sana.Tari yang sejatinya juga masih memendam perasaan kepada Bagas, tidak dapat menahan amarahnya saat ia mendengar rencana pernikahan Andira dan Bagas yang akan di laksanakan 2 minggu lagi. Meski Tari dan Bagas kini tak saling sapa, tapi Bagas masih menghargai Tari sebagai seniornya dan mau memberikan undangan padanya. Namun Tari tidak terima, dia justru beranggapan jika Bagas tengah memenas-manasi dirinya dengan memberikan undangan tersebut. Terlebih, Bagas yang lebih memilih Andira dari pada dirinya. Tari memutuskan pergi ke sebuah desa yang terletak di pinggiran pantai sebelah timur kota untuk menemui seseorang.
"Apa yang kamu inginkan?" Tanya mbah Kaji, pria tua yang berumur 65 tahun, dengan keriput yang memenuhi sekujur tubuhnya. Pakaian khas jawa yang melekat di tubuhnya, serta tudung kepala dengan motif batik membuat mbah Kaji terlihat seperti seorang bangsawan di jaman dulu. Dia sedang duduk bersila dengan baskom yang terbuat dari tanah liat yang berisikan arang menyala di dalamnya. Sesekali dia menaburi dupa ke atas arang tersebut hingga bau kemenyan menyeruak keseluruh penjuru ruangan. Tampah bambu berisi tujuh macam jenis bunga dengan berbagai warna, juga tersaji di hadapan mbah Kaji.
"Mbah, saya ingin mengirim teluh pada seseorang." Jawab seorang wanita muda berambut ikal sebahu dengan kulit sawo matangnya, wanita itu tak lain adalah Tari. Meski awalnya dia enggan untuk memasuki rumah bambu sederhana ini, namun karena rasa benci dan sakit hati terhadap seorang pria, membuat dia lupa akan konsekuensi yang akan dia hadapi nanti. Hatinya seolah terdorong untuk menemui pemilik dari rumah bambu ini, hingga akhirnya di sinilah dia berada. Sebuah ruangan beralaskan kain berwarna merah tanpa perabot apapun, hanya sebuah meja persegi dengan kaki meja yang dipangkas hingga berukuran jauh lebih kecil dari biasanya. Berbagai benda-benda pusaka seperti keris, tombak, panah serta berbagai patung-patung berwajah menyeramkan menambah kesan angker di ruangan ini. "Aku tahu. Semua orang yang datang menemuiku, pasti memiliki tujuan yang sama. Yang aku maksud, mau kamu apakan orang itu?" Tari tampak ragu-ragu untuk mengutarakan niatnya. Namun samar-samar, teli
"Halo sayang, apa kamu sudah siap?" Tanya Bagas di seberang telepon sana. Seperti biasa sejak Andira diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta 1 bulan yang lalu, Bagas selalu mengantar jemput Andira seperti halnya hari ini."Sudah sayang.""Kalau begitu, buka pintunya. Aku sudah di depan."Andira segera mematikan panggilannya dan bergegas membuka pintu rumahnya. Benar saja, Bagas sudah berdiri dengan gagahnya di depan gerbang rumahnya. Kemeja putih yang Bagas kenakan, begitu pas melekat di tubuh kekarnya hingga membuat Andira terpana akan ketampanan dan kegagahan prianya itu. Andira segera mengunci pintu rumahnya terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia berlari menemui Bagas."Hei, kamu kenapa sayang?" Bagas mencubit gemas hidung Andira, saat kekasihnya itu menatap dirinya tanpa berkedip sedikitpun. "Apa kamu baru sadar kalau kekasihmu ini sangat tampan?" Godanya.Andira mengerjapkan kedua matanya, ia baru tersadar saat Bagas menggodany
"Praangg." Sebuah suara menggangu momen intim antara Andira dan Bagas. Keduanya menoleh ke arah sumber suara dan ternyata itu ulah Kevin sang atasan yang sengaja melempar botol bekas soda. "Ingat, di jalan tidak boleh mesum!" Ucapnya, lalu dia masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Bagas tergelak saat melihat tingkah aneh atasan kekasihnya itu. "Hei, kenapa tertawa?" Tanya Andira menautkan kedua alisnya. "Tidak, tidak apa-apa. Aku heran kenapa dia kepo sekali dengan kita." Ucapnya yang masih di selingi dengan tawa. "Apa jangan-jangan, tadi kamu sengaja untuk mengerjai Pak Kevin ya?" Tanya Andira yang kemudian di angguki oleh Bagas. "Kenapa? Apa kamu ingin, sayang? Boleh aku melakukannya sekarang?" Tanyanya dengan nada menggoda. "Cih, kamu itu bicara apa. Ayo cepat pulang." Tangan Andira meraih helmnya namun Bagas menahannya. "Aku pakaikan." Dengan telaten Bagas kembali
Sinar rembulan mulai menyapu seluruh belahan bumi, menyinari rasa dingin karena angin malam yang menerjang bumi. Malam ini adalah malam pertama Andira memulai hidupnya sebagai seorang istri dari pria yang sudah 3 bulan berstatus sebagai kekasihnya. Maski hubungan mereka terbilang sebentar, tapi Bagas berhasil meyakinkan Andira dan mempersunting dirinya menjadi seorang istri. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun Bagas dan Andira masih enggan untuk terlelap, meski tubuh mereka benar-benar terasa lelah karena acara pernikahan tadi. Andira yang bisanya tidur seorang diri di kamarnya mendadak gugup dan gelisah, saat untuk pertama kalinya dia harus berbagi kamar dengan seorang pria. Detak jantungnya semakin berpacu seolah tengah lari maraton, tubuhnya pun kini berkeringat dingin. Sama halnya dengan Bagas. Tubuhnya juga berkeringat dingin, tapi bukan karena dia tidak terbiasa jika harus berbagi ranjang. Melainkan karena dia harus berperang dengan hasrat
Cahaya terang yang menyelinap di sela-sela jendela kamar, tidak dihiraukan oleh sepasang insan yang sedang malakukan pemanasan pagi hari. Meski tidak dengan penyatuan tubuh, tapi mereka mampu menghasilkan desahan serta erangan kenikmatan di atas ranjang mereka yang masih berhiaskan bunga. Ya, karena melihat penderitaan sang suami yang terjaga semalaman karena hasrat yang tak bisa tersalurkan, akhirnya Andira membiarkan Bagas untuk mencumbu dan menikmati tubuhnya dan mau tidak mau Bagas juga harus menuntaskan hasratnya secara soloist. Setelah Bagas berhasil menuntaskan hasratnya, dia tertidur dengan sangat pulas. Sedangkan Andira, karena kini dia hanya tinggal berdua saja di rumah baru pemberian sang mertua, jadi dia harus menyelesaikan tugasnya di dapur untuk menyiapkan sarapan paginya bersama sang suami. Setelah semua selesai, Andira memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu lalu kemudian bersolek sebelum akhirnya ia membangunkan sang suami untuk sarapan be
"S-siapa?" Tanya Andira dengan suara yang gemetar karena ketakutan. "Dira, ini kakak." Seketika, ada perasaan lega yang menyelimuti hati Andira saat mendengar suara yang sangat ia kenali. Dia bergegas melangkah ke arah pintu, lalu kamudian memutar gagang kunci untuk membuka pintu rumahya. Wuussh... Angin berhembus kencang bersamaan dengan terbukanya pintu rumah, menerjang tubuh Andira yang berdiri di ambang pintu. Dedaunan yang mengeringpun ikut terbawa angin, masuk hingga ke teras rumah. Andira mengedarkan pandangannya, mencari pemilik suara yang ia kira kenali namun hasilnya nihil. "Kak? Kak Ema di mana? Ini tidak lucu loh Kak." Hawa dingin mulai menerpa kulit Andira, menusuk hingga ke tulang dan membuat bulu kuduknya merinding.Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam melesat cepat di taman samping rumahnya. "S-siapa itu? K-kak Ema, apa itu dirimu?" Andira memberanikan diri untuk memeriksanya, pelan-pelan ia melangkah
Entah kemana perginya jiwa Bagas yang sesungguhnya dan siapa yang tengah bersemayam dalam jasadnya saat ini. Yang pasti, malam ini tubuh Bagas benar-benar brutal dan tidak bisa di kendalikan. Wanita yang sangat berarti dalam hidupnyapun kini terisak di bawah kungkungannya karena perlakuan buruknya. "Tidak sayang, jangan lakukan itu." Seru Andira di tengah-tengah isak tangisnya. Tubuhnya yang lemah tidak bisa menandingi kekuatan tubuh Bagas. Dia hanya bisa menangis dan mencoba untuk menyadarkan sang suami. "Aaaargh..." Andira berteriak saat tubuh Bagas kembali mengambil ancang-ancang untuk melukai dirinya. Bruugh. Tubuh Bagas terjungkal saat mendapat tendangan dari seseorang. Plakk, satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Bagas. "Bagas! Apa yang kamu lakukakan? Dia itu istri kamu!" Hardik Deni, sang kakar ipar. "Kakak?" Ya, Ema serta Deni sang suami yang baru saja datang, langsung berlari saat mendengar teriakan Andira dari dalam. Berunt
Andira berlari dengan tangisnya yang sudah kembali pecah. Sesekali tangannya mengusap bulir-bulir bening yang mengalir membasahi kedua pipinya. Entah apa yang ada di dalam pikiran suaminya kali ini, Andira sama sekali tidak bisa memahaminya. "Dira sayang, kamu kenapa?" Leni yang baru saja turun dari mushollah bersama Deni dan juga Ema, terkejut saat berpapasan dengan Andira yang tengah berlari sambil menangis. "Aaaaarrrrgghh.." Tiba-tiba erangan panjang seseorang mengalihkan perhatian mereka. "Bagas." Leni memekik dan berlari ke arah sumber suara yang diikuti oleh Ema, Deni dan Andira di belakangnya. "Bagas, buka pintunya. Kamu kenapa?" Teriak Leni saat mendapati pintu kamarnya terkunci dari dalam. "Tidak, bawa Andira pergi dari sini Bu. Aku tidak ingin menyakitinya lagi. Aaarrrgh." Seru Bagas dari dalam kamar. "Apa maksudmu? Cepat buka pintunya." Leni yang tak mengerti, tetap berusaha membuka pintu kamar itu. "Mereka datang Bu, mereka
Cahaya merah mendadak muncul di atas mobil Bagas, sesosok ular besar yang berkepala manusia pun mendadak muncul dan membelit mobil mereka.Kretek, kretek.Mobil pun terdengar mulai meretak saat sosok ular besar itu melilitnya dengan sangat kuat. Andira pun semakin ketakutan sambil meremas jok mobilnya."Ashadualla ilahailallah, wa ashadu anna muhammadarrasulullah."Andira langsung menoleh saat mendengar suaminya mengucapkan syahadat. Namun tiba-tiba ia langsung terbelalak, ketika cahaya putih yang memancar dari tubuh Bagas perlahan semakin menebal dan semakin melebar."Aaaargh!" erangan mahluk-mahluk itu tiba-tiba menggema di telinga keduanya. Tubuh mahluk-mahluk itu seketika hancur menjadi asap, saat cahaya putih itu mulai menyentuh mereka.***Klotak,klotak.Mbah Kaji pun langsung menghentikan ritualnya saat suara lemparan batu, terdengar di atap rumahnya."Pak Kaji, keluar! Kami tidak ingin punya warga seorang dukun! Keluar! Kalau tidak, k
Perlahan Andira mulai membuka kedua matanya ketika Ia baru saja sadar dari pingsannya. ia pun langsung meringis ketika pusing tersa di kepalanya. Beberapa saat kemudian kedua matanya pun langung terbelalak, saat mendapati dirinya dalam keadaan terikat di atas meja dan di kelilingi taburan bunga."Mmm... Mmm..."Andira pun berusaha meronta dan melepas ikatannya. Namun ikatannya sangat kuat, dia juga tidak bisa berteriak karena mulutnya tersumpal. Seketika Andira langsung menangis ketakutan, ketika puluhan mahluk menyeramkan tiba-tiba mengelilingi dirinya. Meski sebelumnya dia sudah terbiasa dengan mereka, entah kenapa kali ini dia merasa berbeda.Tubuhnya pun langsng gemetar ketika salah satu makluk meyeramkan itu tiba-tiba menjilati bagian perutya, seolah tak sabar akan menikmati makanan yang sangat lezat.Brak!Pintu ruangan tiba-tiba terbuka paksa, bersamaan dengan pintu yang terbuka, semua mahluk menyeramkan itu juga mendadak menghilang seketika. Bagas pu
"Mereka lagi bahas apa sih! lama amat." keluh Dion kesal. Ya, setelah ia memberikn alamat Andira pada Tari, entah kenapa perasaannya mendadak tidak tenang. Dan seharian ini pun, dia terus mengikuti kemana Tari pergi kalau-kalau dia sampai berbuat sesuatu yang nekat pada Andira.Hingga malam hari tiba, Tari pun akhirnya benar-benar menemui Andira. Namun ketika Dion menunggunya di sudut jalan tak jauh dari rumah Andira, Tari malah tak kunjung keluar dari rumah Andira. Dion pun semakin merasa gelisah, ingin rasanya ia langsung masuk ke sana dan langsung membawa Tari pergi dari sana. Namun semua itu tidak mungkin, karena Andira akan merasa curiga padanya.Hingga sekian lama Dion menunggu, mobil Tari tiba-tiba terlihat keluar dari rumah Andira. Ketika mobil itu melaju dan melewati dirinya, seketika itu juga Dion pun langsung tersentak, saat tanpa sengaja kedua matanya melihat Andira tak sadarkan diri di jok belakang mobil Tari.Dion pun langsung bergegas mengikuti mobil
Pagi harinya, Tari tiba-tiba memanggil Dion ke ruangannya dan Dion pun dengan sangat terpaksa menurutinya. Dengan langkah kaki yang berat, ia mengikuti langkah kaki Tari yang sedang menuju ruang kerja pribadinya."Duduklah." titah Tari."Tidak perlu basa-basi, cepat katakan apa maumu?" Ketus Dion dengan nada kesalnya.Tari langsung menghentikan langkahnya. "Tolong jaga sikapmu! Ini kantor, jadi hargai aku sebagai atasanmu." ucap Tari yang langsung menatap tajam ke arah Dion.Seketika, Dion pun langsung terbungkam. Meski sebenarnya di dalam hatinya ia masih menggerutu kesal pada wanita yang sedang berada di hadapannya saat ini.Tari mengambil nafas dalam, lalu kemudian ia mendudukkan bokongnya di atas kursi kebesaranya. "Aku ingin tahu tempat tingga Andira yang baru." ucapnya kemudian.Seketika, Diaon langsung mendongak lalu ia menatap tajam ke arah Tari. "Aku tidak tahu!" ketusnya seketika."Hahaha..." Tari pun langsung tergelak, lalu kemudian wajahn
Seketika, penglihatan itu langsung menghilang dan membawa Bagas kembali ke tempat semula."Yang lalu, biarlah berlalu Nak. Sekarang, waktunya untuk kamu memperbaiki segalanya." Bagas langsung menoleh, dan menatap kakek buyutnya. Ia pun bertanya-tanya, apa maksud dari memperbaiki segalanya. "Maksudnya apa Kek? tanyanya kemudian."Kemarilah Nak." sang kakek melambaikan tangan, menandakan agar Bagas semakin mendekat padanya.Bagas pun menurut dan perlahan mulai mendekati kakeknya. Tiba-tiba, tangan kanan sang kakek terangat dan langsung menyentuh pucuk kepalanya. Dan seketika, pucuk kepalanya pun langsung terasa sejuk, di mana semakin lama rasa sejuk itu semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. "Aku titipkan ilmuku padamu, jaga baik-baik dan gunakanlah untuk membatu sesama." titah sang kakek yang kemudian melepaskan tangannya dari pucuk kepala bagas. "Sekarang, bersiaplah. Sesuatu yang besar akan segera terjadi. Segera bersihkan tubuhmu dan langsung ambil w
Malam harinya, Bagas pun bisa bernafas lega saat ia bisa melaksanakan kembali, ibadah yang selama ini dia tinggalkan. Meski di bagian dadanya masih terasa sedikit nyeri dan punggungnya pun juga masih terasa sangat berat, tapi setidaknya ia masih bisa menahannya dan melakukan ibadahnya sampai selesai.Tinggal seorang diri seperti ini, membuat Bagas merasa kesepian. Ia rindu gelak tawa wanita yang selama ini sabar mengahadapinya. Ia rindu semua ocehan yang keluar dari bibir manisnya. Rindu saat dia berteriak kesal, saat ia terus saja mengusili dirinya. Bagas pun tersenyum saat mengingat semua itu.Setelah melaksanakan sholat isya', Bagas hanya menghabiskan waktunya dengan berdzikir dan mengaji. Semenjak ia membuang barang-barang pemberian dari pak Soleh, tidak ada lagi mahluk gaib yang menggangu atau pun menampakkan dirinyanya.Bagas kini bisa melakukan aktifitasnya seperti sedia kala. Hingga jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul dua belas malam, Bagas pun mulai m
"Kurang ajar! Bagas berhasil mematahkan mantra pengunci kita." pak Soleh langsung emosi saat dia sadar, semua benda-benda pemberiannya telah Bagas buang."Bagaimana mungkin, dia sampai tahu? Bukannya selama ini, kita sudah behasil memanipulasi pikiran dia?" ucap Tari yang juga ikut kesal. Keduanya kini duduk bersila, di ruangan khusus yang biasa pak Soleh gunakan untuk melakukan ritualnya. "Dia bukan pria sembarangan!"Suara seseorang tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Keduanya pun lantas menoleh dan mendapati seseorang yang mereka kenal, sudah bediri di sana."Akang?" pak Soleh langsung beranjak dari duduknya dan menyambut kedatangan saudara tertuanya itu."Sepertinya kita salah orang untuk saling mengadu ilmu." ucap mbah Kaji yang kemudian ikut bersila dan bergabung dengan mereka. "Dia bukan keturunan orang biasa. Leluhurnya yang dulu, kini datang untuk mewariskan semua ilmunya." jelas mbah Kaji lagi."Leluhurnya?" tanya pak Soleh yang langsung meng
Amin yang merasa dipanggil namanya, langsung berhenti seketika. Ia lalu menoleh dan langsung menunduk saat Bagas trlihat menghampirinya."Bang Amin, kenapa?" tanya Bagas terheran."Maaf, tadi saya hanya pergi memancing saja. Ini sudah mau pulang."ucap Amin dengan gugup. Ia kemudian langsung berbalik dan hendak pergi dari sana. Namun tiba-tiba, langkahnya langsung terhenti saat Bagas menahan bahunya."Ampun Pak, saya nggak ngapa-ngapain kok." ucap Amin lagi dengan tubuhnya yang sudah gemetar."Bang Amin kenapa sih! Aku kan hanya ingin minta tolong." balas Bagas.Seketika Amin langsung menoleh, ia juga langsung menelisik dan menatap Bagas dari atas sampai ujung kaki. "Ini beneran Pak Bagas, 'kan?" tanyanya kemudian."Bang Amin ini ngomong apa sih! Masak iya, aku hantu." ucap Bagas lagi."Alahmudillah Pak, ini beneran bapak?" Amin langsung berhambur dan memeluk Bagas. "Bang Amin jadi bantuin saya, nggak?" tanya Bagas lagi."Eh. Jadi Pak, jadi."
Setelah Andira resmi bercerai dengan suaminya, kehidupan Andira kembali berjalan seperti biasanya. Dia juga sudah kembali bekerja dengan Kevin. Meski ia masih kerap mengalami gangguan-gangguan mistis di rumahnya, namun entah kenapa ia menjadi tak takut lagi. Mereka pun juga tidak pernah menyakitinya lagi. Kini Andira pun menjadi lebih sering merasakan hal-hal gaib di sekitarnya. Meski begitu, saat ia mengabaikan dan pura-pura tidak melihatnya, sosok yang tiba-tiba menampakkan diri padanya, langsung menghilang begitu saja. Seperti saat ini pun saat ia tengah makan siang bersama Kevin, sosok wanita yang memiliki lidah panjang, tiba-tiba menampakkan diri di atas meja makannya. Sosok yang berwajah runcing dengan kedua mata dan telinga yang lebar itu terlihat menganga, air liurnya pun jadi menetes dan mengalir ke piring makanan yang tersaji di hadapannya. Seketika Andira pun langsung merasa mual. Ia juga langsung menutupi mulutnya saat sesuatu terasa mengaduk-aduk isi lamb