"Praangg."
Sebuah suara menggangu momen intim antara Andira dan Bagas. Keduanya menoleh ke arah sumber suara dan ternyata itu ulah Kevin sang atasan yang sengaja melempar botol bekas soda. "Ingat, di jalan tidak boleh mesum!" Ucapnya, lalu dia masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi.
Bagas tergelak saat melihat tingkah aneh atasan kekasihnya itu.
"Hei, kenapa tertawa?" Tanya Andira menautkan kedua alisnya.
"Tidak, tidak apa-apa. Aku heran kenapa dia kepo sekali dengan kita." Ucapnya yang masih di selingi dengan tawa.
"Apa jangan-jangan, tadi kamu sengaja untuk mengerjai Pak Kevin ya?" Tanya Andira yang kemudian di angguki oleh Bagas.
"Kenapa? Apa kamu ingin, sayang? Boleh aku melakukannya sekarang?" Tanyanya dengan nada menggoda.
"Cih, kamu itu bicara apa. Ayo cepat pulang." Tangan Andira meraih helmnya namun Bagas menahannya.
"Aku pakaikan." Dengan telaten Bagas kembali memasangkan helm pada Andira. Sepertinya hal itu sudah menjadi kebiasaannya saat ini. "Hmm sayang, apa kamu sudah mengajukan cuti pada atasanmu?" Tanya Bagas.
"Sudah, besok siang aku berangkat."
"Apa? Secepat itu? Apa gak sekalian bareng saja berangkatnya?" Tanya Bagas dengan polosnya.
"Mana bisa begitu." Andira tergelak dengan penuturan kekasihnya. "Mulai besok kita di pingit, jadi belum boleh ketemu sebelum ada kata sah dari penghulu."
"Tapi telepon masih bisa kan?" Tanya Bagas lagi.
Andira tersenyum dan menggelengkan kepala dengan tingkah Bagas saat ini. "Ayo pulang, hari sudah mulai gelap." Serunya yang kemudian menaiki motor Bagas.
Bagas melajukan motornya namun dengan kecepatan yang sangat rendah, rasanya dia tidak ingin cepat-cepat sampai kali ini.
"Tuben pelan?" Tanya Andira di balik punggung Bagas.
"Agar bisa berlama-lama dengan kamu." Serunya. Tangan kirinya menggenggam erat tangan Andira yang melingkar sempurna di pinggangnya.
Andira tersenyum, malu. Lagi-lagi Bagas selalu saja bisa membuatnya merona seperti ini.Bias cahaya warna jingga memancar menyinari keromantisan mereka berdua.
***
Waktu cepat berlalu, hari ini adalah hari di mana Andira akan menjalani momen penting yang akan menandai awal dari kehidupannya bersama sang kekasih. Matahari belum juga terbangun dari tidurnya. Namun aktivitas di sebuah rumah nampak sudah sibuk, padahal waktu masih menunjukkan pukul 04.00 wib.Sepetak lahan dengan dinding kayu beratapkan terpal, mereka bangun untuk dijadikan sebuah dapur dadakan. Di mana tempat itu di kuasai oleh para wanita paruh baya, yang rata-rata memang memiliki keahlian untuk memasak. Keahlian mereka kini ditunjukkan kala mendapat manat dari sang tuan rumah untuk menyiapkan beberapa macam menu hidangan yang akan disajikan kepada para besan dan para tamu undangan.
Sedangkan Andira, sang tokoh utama dalam acara ini tengah mempersiapkan diri untuk tampil secantik mungkin, di bantu oleh 2 orang wanita yang berprofesi sebagai MUA. Setelah memakan waktu yang cukup lama, para MUA itu berhasil memoles wajah Andira. Make up yang di gunakan adalah warna tone cenderung nude untuk lipstik dan blush, sementara untuk bagian mata cenderung hitam bold. Highlighter tampak kentara dikenakan untuk menyesuaikan dengan kebaya warna putih yang ia pakai. Hijab warna senada dengan hiasan kepala mirip seperti sebuah mahkota dengan untaian bunga melati yang melekat di samping kanan dan kiri telinganyapun, menambah kesan anggun dan mempesona bagi Andira.
Jantung Andira berdegup cukup kencang, saat suara hiruk pikuk para tamu undangan terdengar ramai dari dalam kamarnya. Apa lagi kala sang calon pengantin pria beserta rombongannya datang.
Sementara Bagas, tubuhnya sudah bekeringat dingin saat sang pemuka agama mulai membaca doa untuk membuka acara. Setelah pembacaan doa selesai, acara akan berlanjut pada acara inti yaitu pengucapan ijab qobul.
Deg, Bagas tiba-tiba merasa ada sesuatu yang tak nyaman pada dada sebelah kirinya. Keringat dingin pun mulai bercucuran membasahi baju pengantin yang ia pakai. Sesak dan nyeri di bagian dadanya kembali terasa di saat Sulaeman, calon mertua yang sekaligus orang akan menjadi wali dari calon mempelai perempuan duduk berhadap-hadapan dengannya. Seluruh oksigen seolah tak menemukan celah untuk masuk ke dalam paru-paru.
Angin tiba-tiba berhembus kencang, menyapu tengkuk Bagas yang basah karena keringat. Punggungnya pun terasa panas dan sangat berat, seolah tengah memikul beras 10 karung sekaligus. Sekuat tenaga ia mencoba untuk bertahan agar tubuhnya tidak ambruk sebelum ia menuntaskan ijab qobulnya. Bayang-bayang kematian seolah bermunculan di benaknya dan dalam sekejab, zeeesh.
Bagas seolah memasuki dunia lain. Dia seolah bisa meliat dirinya sendiri tengah duduk bersila dan berjabat tangan dengan sang penghulu sekaligus calon mertuanya sendiri. Di saat itu juga dia bisa melihat dengan jelas sosok yang sudah sangat lama ia rindukan, dia tengah mengenakan pakaian serba putih yang seolah bersinar, sedang duduk di belakang tubuhnya yang lain.
"Bapak." Serunya. Ya, sosok itu adalah sosok sang bapak yang sudah lama tiada. Wajah pucat di kulit keriput sang bapak tidak mengusik rasa rindunya terhadap sosok tersebut. Entah kenapa dia juga bisa merasakan sentuhan, saat ia melihat sosok sang bapak tengah menyentuh bahu sebelah kanan tubuhnya yang tengah bersila. Tiba-tiba Bagas seolah tersedot dan kembali ke tubuhnya seperti semula, bertepatan dengan waktunya ia mengucapkan qobul. "Saya terima nikahnya dan kawinnya putri Bapak yang bernama Andira Alishba Beyza binti Sulaeman Basyir untuk diriku dengan maskawin tersebut tunai"
"Sah, sah, sah." Ucap para tamu undangan secara bersamaan.
Seketika rasa nyeri di dada Bagas hilang, bersamaan dengan seruan para tamu undangan. Meski kini dia bisa bernafas lega tapi tak dapat di pungkiri jantungnya kembali berpacu dengan cepatnya saat sang mertua memanggil mempelai wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya. Rasa rindu selama 2 minggu tak berjuma dengan sang pujaan hati, menambah rasa gemetar di jantungnya.
Kedua matanya tak mampu berpaling tatkala wanita yang sekarang sudah berstatus sebagai istrinya, keluar dari dalam kamarnya. Jantungnya berdenyut lebih dalam, saat memandang sang istri yang nampak sangat cantik dengan balutan kebaya putih yang indah. Kulit putihnya terlihat sangat kontras dengan kebaya putih tersebut. Penampilan Andira yang bak seorang ratu, benar-benar mengalihkan dunia Bagas saat ini.
"Hati-hati, nanti ilernya banjir."
Bagas mengerjapkan kedua matanya saat suara sang kakak membuyarkan lamunannya. "Kak Ema, ganggu suasana saja!" Ia melirik dengan ekor matanya ke arah sang kakak.
"Makanya, kondisikan tuh mata. Belum juga para tamu pulang, wajahmu sudah berubah jadi bringas." Entah kenapa, saat ini Ema ingin sekali menggoda sang adik.
"Ka..." Ucapan Bagas tercekat saat sang istri sudah berada di hadapannya. Apa lagi sang fotografer mengarahkan dirinya untuk melakukan sesi sungkeman kepada orang tua kedua belah pihak. Sesi sungkeman pun berlangsung sangat dramatis tatkala Leni, ibu dari Bagas teringat akan mendiang suaminya. Bagas juga tak mampu menahan air matanya kala sang ibu tercinta mengucapkan syukur dan memberi restunya kepada kedua mempelai.
Apalagi Andira yang merupakan anak semata wayang Suleiman dan Aisyah. Suleiman tak kuasa menahan derai air matanya saat harus melepas putri satu-satunya yang ia miliki. "Jaga nama baik suamimu baik-baik sayang, sekarang syurgamu berada di telapak kaki suamimu. Jadi apapun yang di perintahkan oleh suamimu jika itu baik, kamu harus mematuhinya." Titah sang Ayah yang kemudian dianggki oleh Andira. Tangannya mengusap lembut kepala Andira yang di balut dengan hijab berwarna putih.
Tangis Andira pun pecah, kala sang ibu yang merupakan pahlawan hidupnya merengkuh tubuhnya dan mendekapnya dengan sangat erat. "Tidak terasa kamu sudah dewasa sayang, padahal ibu merasa baru kemarin ibu melahirkanmu." Serunya dengan linangan air mata. "Jaga dirimu baik-baik di sana sayang dan layani suamimu dengan baik." Titahnya.
Andira tak mampu menjawab, dia hanya menangis dalam pelukan sang ibu. Hingga pria yang bertugas sebagai fotografer menyadarkannya untuk melanjutkan dengan sesi pemotretan.
Andira beranjak dan memoles make up nya terlebih dahulu yang luntur karena menangis. Pemotretan berlangsung tidak cukup lama dan para tamu undangan pun mulai banyak yang pulang.
Para keluarga besar yang tengah berkumpulpun membuat kedua mempelai harus bercengkrama lebih lama lagi dengan mereka. Belum lagi setelah itu, mereka juga akan melanjutkan dengan acara resepsi yang akan di selenggarakan malam ini juga.
Sinar rembulan mulai menyapu seluruh belahan bumi, menyinari rasa dingin karena angin malam yang menerjang bumi. Malam ini adalah malam pertama Andira memulai hidupnya sebagai seorang istri dari pria yang sudah 3 bulan berstatus sebagai kekasihnya. Maski hubungan mereka terbilang sebentar, tapi Bagas berhasil meyakinkan Andira dan mempersunting dirinya menjadi seorang istri. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun Bagas dan Andira masih enggan untuk terlelap, meski tubuh mereka benar-benar terasa lelah karena acara pernikahan tadi. Andira yang bisanya tidur seorang diri di kamarnya mendadak gugup dan gelisah, saat untuk pertama kalinya dia harus berbagi kamar dengan seorang pria. Detak jantungnya semakin berpacu seolah tengah lari maraton, tubuhnya pun kini berkeringat dingin. Sama halnya dengan Bagas. Tubuhnya juga berkeringat dingin, tapi bukan karena dia tidak terbiasa jika harus berbagi ranjang. Melainkan karena dia harus berperang dengan hasrat
Cahaya terang yang menyelinap di sela-sela jendela kamar, tidak dihiraukan oleh sepasang insan yang sedang malakukan pemanasan pagi hari. Meski tidak dengan penyatuan tubuh, tapi mereka mampu menghasilkan desahan serta erangan kenikmatan di atas ranjang mereka yang masih berhiaskan bunga. Ya, karena melihat penderitaan sang suami yang terjaga semalaman karena hasrat yang tak bisa tersalurkan, akhirnya Andira membiarkan Bagas untuk mencumbu dan menikmati tubuhnya dan mau tidak mau Bagas juga harus menuntaskan hasratnya secara soloist. Setelah Bagas berhasil menuntaskan hasratnya, dia tertidur dengan sangat pulas. Sedangkan Andira, karena kini dia hanya tinggal berdua saja di rumah baru pemberian sang mertua, jadi dia harus menyelesaikan tugasnya di dapur untuk menyiapkan sarapan paginya bersama sang suami. Setelah semua selesai, Andira memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu lalu kemudian bersolek sebelum akhirnya ia membangunkan sang suami untuk sarapan be
"S-siapa?" Tanya Andira dengan suara yang gemetar karena ketakutan. "Dira, ini kakak." Seketika, ada perasaan lega yang menyelimuti hati Andira saat mendengar suara yang sangat ia kenali. Dia bergegas melangkah ke arah pintu, lalu kamudian memutar gagang kunci untuk membuka pintu rumahya. Wuussh... Angin berhembus kencang bersamaan dengan terbukanya pintu rumah, menerjang tubuh Andira yang berdiri di ambang pintu. Dedaunan yang mengeringpun ikut terbawa angin, masuk hingga ke teras rumah. Andira mengedarkan pandangannya, mencari pemilik suara yang ia kira kenali namun hasilnya nihil. "Kak? Kak Ema di mana? Ini tidak lucu loh Kak." Hawa dingin mulai menerpa kulit Andira, menusuk hingga ke tulang dan membuat bulu kuduknya merinding.Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam melesat cepat di taman samping rumahnya. "S-siapa itu? K-kak Ema, apa itu dirimu?" Andira memberanikan diri untuk memeriksanya, pelan-pelan ia melangkah
Entah kemana perginya jiwa Bagas yang sesungguhnya dan siapa yang tengah bersemayam dalam jasadnya saat ini. Yang pasti, malam ini tubuh Bagas benar-benar brutal dan tidak bisa di kendalikan. Wanita yang sangat berarti dalam hidupnyapun kini terisak di bawah kungkungannya karena perlakuan buruknya. "Tidak sayang, jangan lakukan itu." Seru Andira di tengah-tengah isak tangisnya. Tubuhnya yang lemah tidak bisa menandingi kekuatan tubuh Bagas. Dia hanya bisa menangis dan mencoba untuk menyadarkan sang suami. "Aaaargh..." Andira berteriak saat tubuh Bagas kembali mengambil ancang-ancang untuk melukai dirinya. Bruugh. Tubuh Bagas terjungkal saat mendapat tendangan dari seseorang. Plakk, satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Bagas. "Bagas! Apa yang kamu lakukakan? Dia itu istri kamu!" Hardik Deni, sang kakar ipar. "Kakak?" Ya, Ema serta Deni sang suami yang baru saja datang, langsung berlari saat mendengar teriakan Andira dari dalam. Berunt
Andira berlari dengan tangisnya yang sudah kembali pecah. Sesekali tangannya mengusap bulir-bulir bening yang mengalir membasahi kedua pipinya. Entah apa yang ada di dalam pikiran suaminya kali ini, Andira sama sekali tidak bisa memahaminya. "Dira sayang, kamu kenapa?" Leni yang baru saja turun dari mushollah bersama Deni dan juga Ema, terkejut saat berpapasan dengan Andira yang tengah berlari sambil menangis. "Aaaaarrrrgghh.." Tiba-tiba erangan panjang seseorang mengalihkan perhatian mereka. "Bagas." Leni memekik dan berlari ke arah sumber suara yang diikuti oleh Ema, Deni dan Andira di belakangnya. "Bagas, buka pintunya. Kamu kenapa?" Teriak Leni saat mendapati pintu kamarnya terkunci dari dalam. "Tidak, bawa Andira pergi dari sini Bu. Aku tidak ingin menyakitinya lagi. Aaarrrgh." Seru Bagas dari dalam kamar. "Apa maksudmu? Cepat buka pintunya." Leni yang tak mengerti, tetap berusaha membuka pintu kamar itu. "Mereka datang Bu, mereka
Suara berat itu terdengar menggema di dalam kamar Bagas dan membuat Leni, sang ibu terkejut. "Hah? K-kenapa suara Bagas terdengar berbeda?" "Itu bukan Nak Bagas Bu, itu suara mereka yang bersembunyi di dalam tubuhnya." Imbuh Ustadz Syafi. Deg, seketika rasa tak tenang menghantui hati Leni. "M-mereka? A-apa firasatku itu benar?" Leni berharap jika apa yang ada di pikirannya tidak benar-benar terjadi, namun harapannya sirna begitu saja kala sang Ustadz mengangukkan kepala tanda mengiyakan. "KALIAN PARA MANUSIA, SERAKAH! TIDAK PERNAH BERSYUKUR DENGAN APA YANG KALIAN MILIKI. ANAK INI MEMILIKI SUATU KEISTIMEWAAN. TAPI SAYANG, KARENA SIKAPNYA YANG SALAH, DIA BAHKAN MENANAMKAN KEDENGKIAN DI HATI SESEORANG, DAN ITU AKAN MENJADI CAMBUK DALAM BIDUK RUMAH TANGGANYA. HAHAHA.." "Tidak. Kami tidak percaya dengan kalian para jin! Terutama kau yang Siluman!" Tunjuk Ustadz Syafi ke arah Bagas. "A-apa, S-siluman?" Terkejut. Ya, tentu saja Andira s
Pyaarrr.Semua kaca jendela hancur berkeping-keping bersamaan dengan suara teriakan Bagas, bahkan semua orang histeris saat melihat tubuh bagas yang melayang ke atas. "AAAAAAARRRRRRRRGGGGHHH..." Bagas mengerang panjang, tubuhnya bahkan terlihat mengejang hingga kepalanya tertarik ke belakang. Kedua matanya yang memerah, melotot serta mulutnya pun menganga sangat lebar. Dia berteriak sangat keras, seolah mendorong sesuatu yang sangat besar yang akan keluar dari sana. Buugh, tubuh Bagas terhempas dengan sangat keras ke atas lantai, bersamaan dengan darah segar yang menyembur keluar dari mulutnya. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" Andira berhambur memeluk tubuh Bagas yang terkulai lemas. Bahkan rasa paniknya tak terbendung kala melihat darah yang bercucuran dari mulut suaminya. "Buka matamu sayang." *** "Sepertinya ini akan sagat sulit." Seru seorang pria tua yang sedang duduk di sebuah kursi rotan di ruang tamunya. Kepalanya mang
Kedua mata Tari melebar kala merasakan sentuhan itu kian menjalar ke atas pundaknya, bahkan sentuhan itu terasa semakin panas seolah membakar punggungnya. Namun, karena rasa ingin tahunya yang lebih besar dari rasa takutnya, hingga hatinya terus saja mendorong pikirannya untuk selalu memastikan apa yang membuatnya penasaran. Meski kini jantungnya tengah berdegup sangat cepat, Tari mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk melihat apa yang bergerak di balik punggungnya saat ini. "Aarrgh." Dengan cepat Tari beringsut menjauh menutupi wajahnya dangan kedua tangannya. Dia sangat terkejut saat ekor matanya menangkap sebuah tangangan yang memiliki kuku hitam yang sangat panjang, merayap di balik punggungnya. Tangan tersebut bahkan terlihat mengitam dengan banyak belatung yang menggeliat di balik dagingnya yang mengering. "T-tangan s-siapa itu Mbah?" Tanyanya dengan suara yang bergetar, wajahnya pun kini memucat karena ketakutan. Kedua matanya kembali menelisik seluruh ruang
Cahaya merah mendadak muncul di atas mobil Bagas, sesosok ular besar yang berkepala manusia pun mendadak muncul dan membelit mobil mereka.Kretek, kretek.Mobil pun terdengar mulai meretak saat sosok ular besar itu melilitnya dengan sangat kuat. Andira pun semakin ketakutan sambil meremas jok mobilnya."Ashadualla ilahailallah, wa ashadu anna muhammadarrasulullah."Andira langsung menoleh saat mendengar suaminya mengucapkan syahadat. Namun tiba-tiba ia langsung terbelalak, ketika cahaya putih yang memancar dari tubuh Bagas perlahan semakin menebal dan semakin melebar."Aaaargh!" erangan mahluk-mahluk itu tiba-tiba menggema di telinga keduanya. Tubuh mahluk-mahluk itu seketika hancur menjadi asap, saat cahaya putih itu mulai menyentuh mereka.***Klotak,klotak.Mbah Kaji pun langsung menghentikan ritualnya saat suara lemparan batu, terdengar di atap rumahnya."Pak Kaji, keluar! Kami tidak ingin punya warga seorang dukun! Keluar! Kalau tidak, k
Perlahan Andira mulai membuka kedua matanya ketika Ia baru saja sadar dari pingsannya. ia pun langsung meringis ketika pusing tersa di kepalanya. Beberapa saat kemudian kedua matanya pun langung terbelalak, saat mendapati dirinya dalam keadaan terikat di atas meja dan di kelilingi taburan bunga."Mmm... Mmm..."Andira pun berusaha meronta dan melepas ikatannya. Namun ikatannya sangat kuat, dia juga tidak bisa berteriak karena mulutnya tersumpal. Seketika Andira langsung menangis ketakutan, ketika puluhan mahluk menyeramkan tiba-tiba mengelilingi dirinya. Meski sebelumnya dia sudah terbiasa dengan mereka, entah kenapa kali ini dia merasa berbeda.Tubuhnya pun langsng gemetar ketika salah satu makluk meyeramkan itu tiba-tiba menjilati bagian perutya, seolah tak sabar akan menikmati makanan yang sangat lezat.Brak!Pintu ruangan tiba-tiba terbuka paksa, bersamaan dengan pintu yang terbuka, semua mahluk menyeramkan itu juga mendadak menghilang seketika. Bagas pu
"Mereka lagi bahas apa sih! lama amat." keluh Dion kesal. Ya, setelah ia memberikn alamat Andira pada Tari, entah kenapa perasaannya mendadak tidak tenang. Dan seharian ini pun, dia terus mengikuti kemana Tari pergi kalau-kalau dia sampai berbuat sesuatu yang nekat pada Andira.Hingga malam hari tiba, Tari pun akhirnya benar-benar menemui Andira. Namun ketika Dion menunggunya di sudut jalan tak jauh dari rumah Andira, Tari malah tak kunjung keluar dari rumah Andira. Dion pun semakin merasa gelisah, ingin rasanya ia langsung masuk ke sana dan langsung membawa Tari pergi dari sana. Namun semua itu tidak mungkin, karena Andira akan merasa curiga padanya.Hingga sekian lama Dion menunggu, mobil Tari tiba-tiba terlihat keluar dari rumah Andira. Ketika mobil itu melaju dan melewati dirinya, seketika itu juga Dion pun langsung tersentak, saat tanpa sengaja kedua matanya melihat Andira tak sadarkan diri di jok belakang mobil Tari.Dion pun langsung bergegas mengikuti mobil
Pagi harinya, Tari tiba-tiba memanggil Dion ke ruangannya dan Dion pun dengan sangat terpaksa menurutinya. Dengan langkah kaki yang berat, ia mengikuti langkah kaki Tari yang sedang menuju ruang kerja pribadinya."Duduklah." titah Tari."Tidak perlu basa-basi, cepat katakan apa maumu?" Ketus Dion dengan nada kesalnya.Tari langsung menghentikan langkahnya. "Tolong jaga sikapmu! Ini kantor, jadi hargai aku sebagai atasanmu." ucap Tari yang langsung menatap tajam ke arah Dion.Seketika, Dion pun langsung terbungkam. Meski sebenarnya di dalam hatinya ia masih menggerutu kesal pada wanita yang sedang berada di hadapannya saat ini.Tari mengambil nafas dalam, lalu kemudian ia mendudukkan bokongnya di atas kursi kebesaranya. "Aku ingin tahu tempat tingga Andira yang baru." ucapnya kemudian.Seketika, Diaon langsung mendongak lalu ia menatap tajam ke arah Tari. "Aku tidak tahu!" ketusnya seketika."Hahaha..." Tari pun langsung tergelak, lalu kemudian wajahn
Seketika, penglihatan itu langsung menghilang dan membawa Bagas kembali ke tempat semula."Yang lalu, biarlah berlalu Nak. Sekarang, waktunya untuk kamu memperbaiki segalanya." Bagas langsung menoleh, dan menatap kakek buyutnya. Ia pun bertanya-tanya, apa maksud dari memperbaiki segalanya. "Maksudnya apa Kek? tanyanya kemudian."Kemarilah Nak." sang kakek melambaikan tangan, menandakan agar Bagas semakin mendekat padanya.Bagas pun menurut dan perlahan mulai mendekati kakeknya. Tiba-tiba, tangan kanan sang kakek terangat dan langsung menyentuh pucuk kepalanya. Dan seketika, pucuk kepalanya pun langsung terasa sejuk, di mana semakin lama rasa sejuk itu semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. "Aku titipkan ilmuku padamu, jaga baik-baik dan gunakanlah untuk membatu sesama." titah sang kakek yang kemudian melepaskan tangannya dari pucuk kepala bagas. "Sekarang, bersiaplah. Sesuatu yang besar akan segera terjadi. Segera bersihkan tubuhmu dan langsung ambil w
Malam harinya, Bagas pun bisa bernafas lega saat ia bisa melaksanakan kembali, ibadah yang selama ini dia tinggalkan. Meski di bagian dadanya masih terasa sedikit nyeri dan punggungnya pun juga masih terasa sangat berat, tapi setidaknya ia masih bisa menahannya dan melakukan ibadahnya sampai selesai.Tinggal seorang diri seperti ini, membuat Bagas merasa kesepian. Ia rindu gelak tawa wanita yang selama ini sabar mengahadapinya. Ia rindu semua ocehan yang keluar dari bibir manisnya. Rindu saat dia berteriak kesal, saat ia terus saja mengusili dirinya. Bagas pun tersenyum saat mengingat semua itu.Setelah melaksanakan sholat isya', Bagas hanya menghabiskan waktunya dengan berdzikir dan mengaji. Semenjak ia membuang barang-barang pemberian dari pak Soleh, tidak ada lagi mahluk gaib yang menggangu atau pun menampakkan dirinyanya.Bagas kini bisa melakukan aktifitasnya seperti sedia kala. Hingga jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul dua belas malam, Bagas pun mulai m
"Kurang ajar! Bagas berhasil mematahkan mantra pengunci kita." pak Soleh langsung emosi saat dia sadar, semua benda-benda pemberiannya telah Bagas buang."Bagaimana mungkin, dia sampai tahu? Bukannya selama ini, kita sudah behasil memanipulasi pikiran dia?" ucap Tari yang juga ikut kesal. Keduanya kini duduk bersila, di ruangan khusus yang biasa pak Soleh gunakan untuk melakukan ritualnya. "Dia bukan pria sembarangan!"Suara seseorang tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Keduanya pun lantas menoleh dan mendapati seseorang yang mereka kenal, sudah bediri di sana."Akang?" pak Soleh langsung beranjak dari duduknya dan menyambut kedatangan saudara tertuanya itu."Sepertinya kita salah orang untuk saling mengadu ilmu." ucap mbah Kaji yang kemudian ikut bersila dan bergabung dengan mereka. "Dia bukan keturunan orang biasa. Leluhurnya yang dulu, kini datang untuk mewariskan semua ilmunya." jelas mbah Kaji lagi."Leluhurnya?" tanya pak Soleh yang langsung meng
Amin yang merasa dipanggil namanya, langsung berhenti seketika. Ia lalu menoleh dan langsung menunduk saat Bagas trlihat menghampirinya."Bang Amin, kenapa?" tanya Bagas terheran."Maaf, tadi saya hanya pergi memancing saja. Ini sudah mau pulang."ucap Amin dengan gugup. Ia kemudian langsung berbalik dan hendak pergi dari sana. Namun tiba-tiba, langkahnya langsung terhenti saat Bagas menahan bahunya."Ampun Pak, saya nggak ngapa-ngapain kok." ucap Amin lagi dengan tubuhnya yang sudah gemetar."Bang Amin kenapa sih! Aku kan hanya ingin minta tolong." balas Bagas.Seketika Amin langsung menoleh, ia juga langsung menelisik dan menatap Bagas dari atas sampai ujung kaki. "Ini beneran Pak Bagas, 'kan?" tanyanya kemudian."Bang Amin ini ngomong apa sih! Masak iya, aku hantu." ucap Bagas lagi."Alahmudillah Pak, ini beneran bapak?" Amin langsung berhambur dan memeluk Bagas. "Bang Amin jadi bantuin saya, nggak?" tanya Bagas lagi."Eh. Jadi Pak, jadi."
Setelah Andira resmi bercerai dengan suaminya, kehidupan Andira kembali berjalan seperti biasanya. Dia juga sudah kembali bekerja dengan Kevin. Meski ia masih kerap mengalami gangguan-gangguan mistis di rumahnya, namun entah kenapa ia menjadi tak takut lagi. Mereka pun juga tidak pernah menyakitinya lagi. Kini Andira pun menjadi lebih sering merasakan hal-hal gaib di sekitarnya. Meski begitu, saat ia mengabaikan dan pura-pura tidak melihatnya, sosok yang tiba-tiba menampakkan diri padanya, langsung menghilang begitu saja. Seperti saat ini pun saat ia tengah makan siang bersama Kevin, sosok wanita yang memiliki lidah panjang, tiba-tiba menampakkan diri di atas meja makannya. Sosok yang berwajah runcing dengan kedua mata dan telinga yang lebar itu terlihat menganga, air liurnya pun jadi menetes dan mengalir ke piring makanan yang tersaji di hadapannya. Seketika Andira pun langsung merasa mual. Ia juga langsung menutupi mulutnya saat sesuatu terasa mengaduk-aduk isi lamb