Happy Reading*****"Kenapa Ayah lihatnya sama kami. Mas, bahagia dijodohkan sama Dik Risma karena dari dulu memang sudah ada hati," jujur Riswan tanpa aling-aling mengakui semua perasaannya. Di sampingnya, sang istri tersenyum malu-malu. "Benarkah?" Iklima mulai memprovokasi."Iyain ajalah, Bun. Kasihan temenmu ntar banyak yang bully," kata Farel mulai menyulut api agar semua orang mem-bully Riswan. "Ish, nggak percayaan banget. Tanya saja sama istriku yang cantik ini." Riswan merangkul Risma. "Hadeh, Mas. Gitu aja pamer," sahut Zikri sengaja memancing amarah Riswan. "Aku usir kalian berdua baru tahu rasa." Tampang Riswan mulai serius dengan mode sedikit emosi. "Katanya udah cinta sejak lama, meskipun dijodohkan, tapi kok ...?" Intan sengaja menggantungkan kalimatnya. Riswan mendelik pada Ibu satu anak itu. Belum sempat dijawab, suara salam terdengar. Semua orang terdiam dan menatap siapa orang yang baru datang. Pakaiannya memang sudah tertutup sekarang ini sangat berbeda denga
Happy Reading*****"Mas, tunggu! Kenapa Adik selalu ditinggal, sih." Seorang anak kecil dengan potongan rambut belah pinggir dan kulit kuning langsat mengejar bocah yang tengah berlari."Awan, jangan lari-lari," sahut seorang gadis cilik yang baru saja turun dari mobil. Rambutnya panjang kepang dua dengan kulit kuning langsat. Dialah Dara putri Iklima bersama mendiang suami pertama. Bocah yang dipanggil menoleh. "Eh, Kak Dara?" ucap si kecil yang tak lain adalah Hirawan Eka Putra. "Kenapa mesti lari-lari? Nanti kalau jatuh gimana?" "Biarin saja dia jatuh, Kak. Emang apa pedulinya sama Kakak?" tanya gadis kecil di sebelah Dara. Dialah Rosmalia, putri pasangan Dokter Iklima dan Farel. "Kok, gitu, Dik?" tanya Dara. "Masnya nggak usah dikejar, Dik.""Kalau nggak dikejar, kasihan Mas Fattah. Bekalnya ketinggalan. Tadi Mama nyuruh buat ngasih ke Mas Fattah.""Sini bekalnya Fattah. Kelasnya kan deket sama kelas Kakak. Awan masuk aja, ya," pinta Dara. Dia juga mengambil kotak berisi beka
Happy Reading*****"Kak Dara," teriak Hirawan dan langsung berhambur dalam pelukan Dara. "Kenapa Kakak lama sekali? Aku nggak punya temen tahu.""Awan lebay. Gitu aja ngadu sama Kak Dara," sahut Rosmalia. Hirawan menjulurkan lidah. "Biarin. Cuma Kak Dara yang bisa main bareng aku.""Kak, Bunda tinggal, ya. Jaga adik-adikmu dengan baik. Jangan sampai Rosma dan Awan bertengkar." Iklima mengelus rambut sulungnya. "Siap, Bun." Dara mengangkat tangan memberi hormat. "Kita main apa enaknya. Kakak nggak bawa mainan.""Aku bawa, Kak, tapi mainannya boneka berbie. Terus nanti Mas Awan mau main apa. Masak mainan kayak kita."Dara mengerutkan kening. "Adik tadi manggil apa sama Awan. Tumben?""Nggak manggil apa-apa. Kak Dara, ih." Rosmalia mengguncang pelan lengan kakaknya. "Ributin apa, Kak?" tanya Hirawan sok cool. Gayanya sudah seperti orang dewasa saja. Bersedekap dengan kaki menyilang khas lelaki. "Awan nggak denger panggilan Dik Rosma tadi?"Hirawan menggelengkan kepala. "Emang manggi
Happy Reading. *****Dara memeluk seorang lelaki dengan buket mawar merah di tangan kanannya. Hari ini, memanglah ulang tahun gadis berambut lurus dengan bulu mata lentik itu. "Terima kasih, Mas. Repot-repot ngasih kejutan buat ultahku," kata Dara yang jelas terdengar di telinga putra Risma. Namun, kehadiran Hirawan belum disadari oleh sang gadis. Hingga ketika Dara mengurai pelukannya, barulah dia berteriak. "Awan! Sejak kapan datang? Ayo sini masuk!" ajaknya. Hirawan melangkah dengan malas. Tangan kirinya masih bersembunyi di saku dengan mengepal, sedangkan tangan kanannya menenteng paper bag berisi boneka barbie. "Sorry ganggu kemesraan Kak Dara," ucapnya dengan nada kesal, "aku cuma mau ngasih ini buat Kak Dara sebagai kado ultah. Maaf, baru bisa memenuhi janjiku hari ini."Hirawan menyodorkan paper bag yang dia sembunyikan di belakang punggungnya sejak tadi. "Apa ini dan janji apa yang kamu maksud?" Dara mengerutkan kening. Dibukanya paper bag yang diberikan oleh Hirawan. Se
Happy Reading*****'Salah satu putri sahabatku? Siapa yang Awan maksud? Apa mungkin Rosmalia atau Senja? Aduh jadi pusing sendiri. Kenapa dia ngasih teka-teki.' Risma bertanya-tanya dalam hati. "Adik, jelaskan siapa?" "Iya nanti Adik jelaskan. Sekarang Adik mau mandi dulu," jawab Hirawan dengan berteriak."Dasar." Risma beralih ke arah meja makan mendekati sang Bunda. "Adik lagi jatuh cinta sama siapa, sih, Bun?" tanyanya. Rofikoh yang baru duduk dan sedang melanjutkan mengupas apel, menoleh. "Mana Bunda tahu. Dia cuma cerita sakit hati melihat cewek yang dicintainya berpelukan sama laki-laki lain.""Oh, jadi paket yang baru sampai tadi buat cewek incerannya. Pantes, baru pulang kerja langsung keluar lagi bawa bungkusan.""Paket? Bunda nggak tahu paket apa yang kamu maksud, Mbak."Risma duduk di sebelah Rofikoh. Menuang air putih ke gelas, lalu meminumnya. Setelahnya, dia berkata, "Tadi ada paket dari luar negeri. Entah apa isinya, Bu, tapi Awan langsung pergi membawanya keluar."
Happy Reading*****Risma masih merenungi perkataan si bungsu tadi. Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suami tercintanya, duduk bersandar pada kepala ranjang. Perempuan itu masih termenung, pandangan menatap langit-langit kamar membuat Riswan khawatir. "Ma, kamu kenapa? Dari tadi kok bengong saja. Mikir apa?"Risma menoleh pada suaminya, mengembuskan napas sebentar, baru berkata. "Lagi khawatir sama anak kesayangan kita, Pa.""Siapa? Mas Fattah atau si Adik?""Adik. Mama khawatir sama perasaan tak biasa yang dia punya.""Mama ngomong apa, sih." Riswan naik di sisi Risma duduk. Menaikkan sebagian selimut hingga bagian kaki tertutupi. "Mama cerita yang jelas. Ada apa sama Adik?"Tangan kanan Riswan merengkuh istrinya dalam pelukan. Kepala Risma kini sudah menempel pada dada suaminya. "Adik tadi cerita, dia suka sama seorang cewek putri salah satu sahabat kita.""Bagus, dong. Terus apa yang Mama khawatirkan. Kita kan tahu kapasitas putri dari para sahabat kita. Mereka semua ba
Happy Reading*****"Awan nggemesin banget, sih." Iklima menyentuh pipi Hirawan. "Kak Dara itu sudah ada yang punya. Lebih baik sama Rosma. Lagian kamu lebih cocok jadi adik. Bentar, Tante panggil Rosma."Setengah berteriak Iklima memanggil putri bungsunya yang sudah terlelap dalam tidur. "Tante, nggak perlu berteriak gitu. Awan datang ke sini nggak nyariin Rosma. Bener, deh. Awan cuma mau nganter cemilan tadi buat Kak Dara. Kan, Kak Dara lagi belajar. Mikir keras butuh asupan makanan biar nggak pusing." Seakan menegaskan perkataannya, Hirawan menatap ke arah Dara. Setelahnya, si lelaki pamit karena sudah larut malam. Jika pulang lebih jam sepuluh pastilah Riswan dan Risma akan bertanya-tanya. Hirawan memang tidak pernah kelayapan do malam hari. Dara mengantar Hirawan sampai teras. "Dik, kamu jangan aneh-aneh. Nggak lucu, ih, bercandanya.""Canda apa, Kak? Memang aku nggak boleh suka sama Kak Dara?" Hirawan memasang tampang serius. Sudah saatnya dia mengungkapkan seluruh isi hatiny
Happy Reading*****"Nenek," jawab kedua lelaki itu serempak. Kedua terkejut sekaligus takut. "Iya, Nenek. Kenapa bertengkar di tempat umum? Pake kelahi segala. Nggak malu dilihat banyak orang?" Wajah Rofikoh benar-benar geram melihat perkelahian Fattah dan Hilmi. "Apa sih yang kalian ributkan. Aneh banget. Sudah dewasa juga masih kelahi. Kalian rebutan mainan?""Yang bener saja, Nek. Masak Mas Fattah rebutan mainan kayak anak kecil?" Fattah memajukan bibir, persis ketika masih kecil dimarahi neneknya. "Kalian dari dulu kan sukanya rebutan mainan. Siapa tahu sekarang juga gitu. Masih rebutan mainan yang nggak jelas." Rofikoh menatap orang-orang yang masih berdiri menonton perkelahian dua anak remaja itu. Satu per satu membubarkan diri melihat perempuan sepuh itu melotot."Nggak, Nek," kata Hilmi. "Terus kalian tengkar masalah apa?" Perempuan sepuh itu mendelik pada dua lelaki yang baru akan menginjak dewasa. "Hilmi memaksa Senja untuk pergi. Sementara Senja sudah janji sama Mas. K
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw