Happy Reading*****"Nenek," jawab kedua lelaki itu serempak. Kedua terkejut sekaligus takut. "Iya, Nenek. Kenapa bertengkar di tempat umum? Pake kelahi segala. Nggak malu dilihat banyak orang?" Wajah Rofikoh benar-benar geram melihat perkelahian Fattah dan Hilmi. "Apa sih yang kalian ributkan. Aneh banget. Sudah dewasa juga masih kelahi. Kalian rebutan mainan?""Yang bener saja, Nek. Masak Mas Fattah rebutan mainan kayak anak kecil?" Fattah memajukan bibir, persis ketika masih kecil dimarahi neneknya. "Kalian dari dulu kan sukanya rebutan mainan. Siapa tahu sekarang juga gitu. Masih rebutan mainan yang nggak jelas." Rofikoh menatap orang-orang yang masih berdiri menonton perkelahian dua anak remaja itu. Satu per satu membubarkan diri melihat perempuan sepuh itu melotot."Nggak, Nek," kata Hilmi. "Terus kalian tengkar masalah apa?" Perempuan sepuh itu mendelik pada dua lelaki yang baru akan menginjak dewasa. "Hilmi memaksa Senja untuk pergi. Sementara Senja sudah janji sama Mas. K
Happy Reading. *****"Sabar, Dik. Saat ini, dia bisa menjadi kekasihnya Dara, tapi suatu hari nanti Mas yakin kamulah yang menjadi pendampingnya." Fattah menepuk pundak si bungsu. Datang secara tiba-tiba dan mengenalkan bahwa lelaki yang bersamanya adalah kekasihnya. Dara sudah menghempaskan harapan Hirawan ke jurang patah hati terdalam. Jika kemarin, Dara belum mengakui bahwa lelaki yang memeluk dan memberikan buket mawar adalah kekasihnya. Maka, saat menemui putra Riswa, Dara mengatakan bahwa lelaki itu adalah calon suaminya. "Adik harus segera bertindak, Mas. Jika nggak, Dara akan diambil sama cowok itu. Adik akan bicara sama Papa terkait masalah ini. Papa pasti akan membantuku." Hirawan sudah memutuskan untuk melamar Dara. Jika papanya tidak mau melakukan hal itu, maka dia akan meminta kekeknya. Rasanya tak sanggup melihat Dara bersanding dengan laki-laki lain. Sementara Fattah angguk-angguk saja. Si sulung tahu dengan pasti bahwa adiknya bukan penganut pacaran. "Terserah Adi
Happy Reading*****Baru akan merebahkan tubuhnya, Hirawan terpaksa keluar untuk memeriksa kebenaran foto yang dikirimkan seseorang itu. Di ruang tengah, dia bertemu dengan Fattah. "Mau ke mana, Dik?""Keluar bentar, Mas." Hirawan langsung melenggang pergi.Fattah mencekal lengan saudaranya. "Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu panik gitu?""Mas adik terburu-buru. Nanti saja ceritanya. Adik mau memastikan kebenaran foto itu." Hirawan berusaha melepas tangan Fattah. "Foto apa?" tanya Fattah yang tidak dijawab oleh adiknya. "Kalau gitu, Mas, ikut. Terlalu berbahaya jika kamu nyetir dalam keadaan kalut seperti ini."Gelas berisi kopi yang baru saja dibuat, diletakkan begitu saja. Tanpa mengganti pakaiannya Fattah pergi bersama Hirawan.Entah ke mana Hirawan melajukan kendaraannya. Fattah belum pernah ke daerah atau jalan itu sebelumnya."Sebenarnya kita mau ke mana? Kenapa hampir sampai pelabuhan? Adik mau nyebrang ke Bali?" Fattah benar-benar bingung. Sementara, Hirawan masih saja diam d
Happy Reading*****"Jangan mimpi kamu, Dik! Aku nggak sudi nikah sama kamu! Bagiku, kamu itu seperti adik. Posisinya sama persis seperti Rosma." Dara berkata dengan nada mengejek.Tawa Hirawan terdengar cukup keras. "Aku bisa lebih hot dari pacarmu yang tadi. Mau coba?" balasnya tanpa di duga siapa pun. Jika Hirawan sudah berkata seperti itu, Fattah lebih baik diam. Emosi saudaranya tengah meletup-letup saat ini. Siapa pun bisa berkata ngawur saat hati diliputi kekecewaan. Jelas sekali adegan tak pantas yang dilakukan Dara terlihat jelas. Fattah mungkin tidak akan setenang Hirawan saat hal semacam itu terjadi pada dirinya. "Kamu cuma anak kecil. Nggak bakalan bisa menandingi permainan pacarku. Apa sih yang kamu bisa?""Jangan menghina. Kalau cuma membuat perutmu bunting aku bisa, Kak!" Hirawan memukul setir cukup keras membuat Fattah yang duduk di sebelahnya berjingkat. Sementara Dara terdiam mendengar perkataan si bungsu. Mereka bertiga diam tanpa kata hingga mobil Hirawan tepat
Happy Reading*****"Maksud Papa apa?" tanya Hirawan tak mengerti. "Sudahlah, Pa," kata Risma, mengelus lengan sang suami agar emosinya tak meledak. Hari sudah semakin larut. "Kalian tidurlah. Besok pagi, kita bicara hal yang serius." Sengaja Risma berkata demikian agar emosi suaminya mereda. Kedua putra mereka menurut. Masuk ke kamar masing-masing di lantai dua. Di dalam kamar, Hirawan mulai memikirkan dampak terburuk dari kelakuan Dara tadi. Semakin lama, pikiran negatif itu makin tampak jelas. Dia pun mengambil wudu dan mulai melaksanakan salat. Meminta petunjuk pada Sang Pencipta sesuai anjuran Riswan tadi siang. Setelah itu, Hirawan merebahkan tubuhnya pada ranjang. Esok hari masih banyak hal yang harus dia kerjakan. Termasuk menjawab pertanyaan papanya tadi. *****Suara azan Subuh berkumandang sebagai tanda permulaan hari. Hirawan membuka mata. Baru akan merenggangkan tubuh, suara ketukan terdengar. Fadil memanggil-mangil namanya untuk segera berangkat ke musala. "Dua menit
Happy Reading*****Sepeninggal Rosma, Hirawan memandangi alat yang belum diketahui apa fungsinya. Dia mulai berselancar mencari tahu benda itu di internet sesuai anjuran sang gadis. Setelah menemukan apa kegunaan alat itu, mata si bungsu membulat sempurna. Nyaris mengumpat karena benda mungil digenggamannya ternyata milik orang yang sangat dicintainya."Bodoh! Kenapa aku nggak tahu nama alat ini dan fungsinya. Ke mana saja pas guru menerangkan tentang alat-alat sepenting ini?" Hirawan merutuki dirinya sendiri karena ketidaktahuan benda yang dipegangnya. Sedikit jijik ketika melihat dua garis merah yang terdapat pada alat yang dipegangnya. Begitu hinakah Dara hingga berbuat hal serendah itu? Hirawan tak habis pikir, dia seolah benar-benar tak mengenal sosok pujaan hatinya. Seringkali bertemu dan dekat, tak menjamin Hirawan mengenal lebih dalam perangai sulung Iklima. 'Ya Allah. Kenapa Dara bisa berbuat sejauh ini? Apa dia nggak mikir nama baik Om Farel dan Tante Iklima dipertaruhkan
Happy Reading*****Kebiasaan membereskan kamar putranya dilakukan sendiri oleh Risma setiap sore. Setelah menyiapkan makan malam, dia bergegas ke kamar Fattah. Tersenyum melihat ketarapian kamar si sulung, Risma tersenyum.Sejak mendiang Hamdiyah berpulang. Sikap Fattah sedikit berubah. Tidak pernah merepotkan Risma dan suaminya. Sosoknya lebih santun dan lebih menyayangi Hirawan. Entah apa yang dikatakan neneknya itu, Risma sangat bersyukur. Dia makin menyayangi putra sulungnya. Setelah puas melihat kamar Fattah, Risma keluar dan masuk ke kamar Hirawan. Siang tadi, setelah mereka berdebat tentang calon menantu, si bungsu berangkat kerja dan sampai sekarang belum pulang. Padahal biasanya, dialah orang yang datang lebih awal dari ketiga lelaki lainnya. Masih rapi, selimut dan sprei sudah tertata indah, tetapi tidak dengan meja belajar. Hirawan menaruh buku serta laptop asal-asalan. Mulai aktif membersihkan meja belajar putranya, Risma menemukan benda bulat lonjong. Matanya membulat
Happy Reading*****"Sadar, Dik," kata Riswan, "sekalipun beberapa mazhab membolehkan menikahi perempuan yang hamil akibat berzina, tapi Papa memilih mengikuti mazhab yang mengharamkan demi menjaga nasab keturunan anak cucu. Papa sangat keberatan dengan sikap dan keputusanmu, Dik.""Kakek setuju sama omongan papamu. Menolak keberadaan Dara jika Adik sampai nekat menikahinya," tambah Fadil. Dia mulai geram dengan rasa cinta yang dimiliki Hirawan. Fattah menepuk lengan adiknya. "Jangan sampai karena cinta, hati dan pikiranmu menjadi buta. Bisa jadi, Adik bersedia menikahi Dara, tapi apa mungkin dia bersedia menikah denganmu. Sedangkan, kemarin malam saja, Dara menolak mentah-mentah niatmu itu.""Ucapan masmu bener, Dik," sahut Rofikoh, "pernah nggak Adik membayangkan tindakan Dara? Bisa jadi, dia dan pacarnya itu merencanakan aborsi?""Nenek!" jawab Hirawan keras, "Dara nggak mungkin melakukannya. Saat ini, dia pasti ketakutan dan bingung harus berbuat apa. Mau cerita ke Om dan Tante n
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw