“Ah, tidak apa-apa, Pak. Saya baik-baik saja. Oh iya, saya permisi keluar dulu. Ada sesuatu yang harus saya ambil di mobil,” pamitku dengan dalih ketinggalan suatu barang. Namun, itu hanya alasanku agar bisa keluar dari ruangan ini. Kakek Arum dan Bu Rina mengangguk mengiyakan. Tidak menunggu lama aku keluar dengan langkah gontai.Aku berjalan meninggalkan ruang tamu di Yayasan ini. Namun, secara tidak sengaja kulihat Arum sedang tertawa dengan anak-anak panti ini. Di belakangnya ada pria yang dikatakan sebagai suami barunya duduk sambil memperhatikan dengan tatapan yang entah. Seketika dadaku bergemuruh, tangan ini mengepal menahan gejolak cemburu yang semakin menyiksa. Berbeda saat melihat Satria dengan Arum, meski tetap merasakan cemburu, namun aku masih yakin bisa mendapatkan kembali hatinya. Akan tetapi, seolah harapan itu musnah mengetahui kenyataan yang sangat menyakitkan ini.Namun, dalam pikiranku masih bertanya-tanya, bagaimana bisa Arum bertemu dengan pria itu? Bukankah se
Aku mengerjap beberapa kali, memandang sekeliling ruangan yang didominasi warna putih. Aroma obat tercium oleh hidung ini. Aku tahu ini Rumah Sakit. Namun, apa yang telah terjadi? Kenapa aku sampai dirawat di sini? Diri ini mengingat-ingat apa yang telah terjadi padaku sebelumnya. Ah, iya. Aku ingat telah menabrak gerobak soto dan menyerempet pedagangnya. Seketika mataku membulat mengingat kejadian tersebut, merasa khawatir dengan orang yang sudah menjadi korban tabrak olehku. “Alhamdullilah kamu sudah sadar, Sayang,” pekik Mama sambil memeluk membuatku meringis menahan sakit di sekujur tubuh. Mendengarku kesakitan Mama melepaskan dekapannya. “Maafkan Mama. Mama enggak sengaja. Gara-gara seneng lihat kamu sadar, Mama lepas kontrol,” jelasnya sembari tersenyum lega. “Aku baik-baik saja, Ma.” Aku mencoba menenangkan tidak ingin wanita yang kusayangi tersebut khawatir. Aku mencoba bangun, namun tidak bisa. Apa yang terjadi dengan tubuhku? “Mau ke mana, Ga?” tanya Mama ingin membant
Papa mengangguk mengikuti apa yang kuinginkan. Kemudian, beliau berpamitan, katanya akan ke rumah mereka untuk menyampaikan secara langsung keinginanku. Di satu sisi aku tidak tenang telah mencelakai orang meski tidak sengaja, di sisi lain pula terus saja memikirkan Arum. Sampai saat ini aku belum rela kalau dia menjadi milik orang lain. Papa dan Mama belum tahu mengenai kabar terbaru mantan istriku itu. Apa sebaiknya aku menceritakan kepada mereka? Kira-kira bagaimana reaksi Mama dan Papa jika tahu Arum sudah menikah kembali? Tiba-tiba, rasa sesak kembali bergelayut di dalam hati ini. Bagaimana bisa aku menjalani hidupku tanpa Arum? Bolehkah aku egois masih ingin memilikinya meski dia telah menjadi milik orang lain? Seseorang mengetuk pintu ruangan ini, lalu Mama membuka dengan terperangah. Memangnya siapa yang datang ke sini sehingga Mama seperti setengah terkejut? Terdengar suara wanita yang memberi salam, dari suaranya kenapa aku merasa itu Arum? Benarkah dia datang kemari men
Mama pamit keluar sebentar dengan alasan ingin membeli sesuatu. Namun, aku tahu, itu hanya alasannya saja. Beliau mengerti kami perlu menjaga privasi. Akan tetapi, yang kutak habis pikir. Pria angkuh, suami Arum itu sama sekali tidak ingin beranjak dari tempatnya duduk. Dia bergeming sejak tadi dengan posisi yang sama sambil menggeser-geserkan layar ponsel di tangannya. Entah kesibukan apa yang dilakukannya. Bahkan, kacamata hitam yang dia pakai sama sekali tidak pernah lepas. Dasar pria aneh dan sombong. Apalagi sikapnya yang menurutku terlalu dingin sama sekali tidak kusuka. Mungkinkah Arum bisa jatuh cinta pada orang seperti dia? Tidak mungkin! Aku tahu Arum memang wanita yang baik, tidak pernah banyak menuntut. Namun, sebagai seorang wanita pastinya menyukai pria yang perhatian dan hangat. Bagaimana mungkin Arum tahan memiliki suami seperti dia. “Mas sebelumnya aku minta maaf mungkin kata-kataku akan menyakiti hati Mas Arga. Tapi, aku harus mengatakan ini untuk yang terakhir ka
Aku hampa. Separuh hatiku serasa kosong kini. Wanita yang kucintai telah benar-benar pergi tanpa bisa kembali. Jika, ada orang yang tahu ingin tahu apa itu definisi kehilangan, inilah yang kurasakan sekarang. Kosong! Itu yang kurasakan setelah separuh jiwaku pergi.Aku termenung di dalam ruangan ini sendirian. Mama belum juga kembali ke mari. Membuatku hanya merenung dengan air mata yang takbisa lagi kutahan. Aku tahu, untuk seorang pria, menangis adalah hal yang tabu. Akan tetapi, bukankah tidak salah jika itu kulakukan sekarang? Hari itu telah tiba, hari yang kutakutkan di mana diri ini harus melepaskan Arum untuk selamanya bersama pria lain. Kuambil ponsel dan dompet di atas nakas. Membuka galeri foto yang penuh dengan potret Arum yang sedang tersenyum di sana. Sangat manis, senyum yang bisa memabukkan serta membuatku tergila-gila. Akan tetapi, hanya karena satu kesalahanku yang bernama nafsu. Diri ini kehilangan Arum untuk selamanya. Menyesal, itu yang kurasakan kini. Akan tet
“Rezeki, Jodoh, dan Maut sudah ditakdirkan Allah SWT saat kita masih di dalam rahim.”💞💞💞Hari ini dokter menyatakan kalau aku sudah boleh pulang dari Rumah Sakit. Kondisiku sudah membaik. Tinggal penyembuhan luka dalam saja. Namun, itu tidak akan berangsur lama. Sebelum pulang ke rumah, aku meminta Papa untuk mampir dulu ke rumah almarhum Pak Sastro, orang yang tidak sengaja kutabrak.Papa menuruti apa yang kuinginkan. Beliau membawaku ke rumahnya. Hunian mereka berada di sebuah perkampungan biasa. Dengan rumah yang saling berdempetan serta akses jalan yang hanya bisa dilalui satu mobil saja. Harus kuakui, warganya bukan dari kalangan atas, tetapi suasananya cukup asri dan bersih. Aku salut kepada para warga yang sangat menjaga lingkungan agar tetap bersih seperti ini. Itu membuktikan kalau mereka dipastikan akan sehat secara rohani serta jasmani.Mobil Papa berhenti di depan sebuah rumah sederhana, namun bersih. Meski rumah tersebut tidak sebagus dari hunian sekitarnya. Akan tet
Beberapa bulan ini, kegiatan seorang Arga tidak terlalu banyak. Hari-hari kulakui hanya untuk memulihkan kembali kesehatan kakiku. Mama selalu menemani putranya ini untuk terapi, berharap secepatnya aku akan lekas sembuh. Untuk urusan pekerjaan, sudah kuserahkan tanggung jawab itu kepada teman sesama Dokter yang dapat dipercaya. Sedangkan, untuk restoran, setiap dua hari sekali aku akan datang ke sana untuk mengontrolnya ditemani Mang Mansur.Jangan ditanya rasaku saat ini, setiap malam masih saja merindukan mantan istriku Arum. Meski sudah kucoba untuk merelakannya tetap saja hati ini berat. Memang benar, seorang suami yang telah menyia-nyiakan istrinya akan menyesal saat sudah menjadi mantan dan bersama dengan pria lain. Arum sudah cukup memberikanku kesempatan kedua sehingga mustahil untukku mendapatkan yang ketiga kalinya. Hari-hari kulakui dengan kesepian, akan tetapi diri ini masih bersyukur, setidaknya masih bisa diberikan waktu untuk pria bodoh ini agar bisa memperbaiki diri.
“Iya, Pak. Saya mau melamar kerja di sini. Kata teman restoran ini membuka lowongan pekerjaan untuk menjadi kasir, jadi saya datang ke sini untuk mencari peruntungan,” ujarnya sambil menundukkan kepalanya.Apa gadis ini pemalu? Kenapa dari tadi hanya menundukkan kepalanya? Tiba-tiba terbersit wajah Arum saat melihat sekilas gadis ini. Jika dilihat-lihat, penampilannya seperti mantan istriku dulu saat pertama kali kami bertemu. Aku meraba dadaku, merasakan sesuatu di dalam sana. Perasaan apa ini?Aku menggeleng mencoba menghilangkan pikiran bodoh ini. Mengalihkan pikiranku kepada hal lain.“Jangan panggil saya, Pak. Itu terkesan tua sekali. Padahal saya belum sesepuh itu,” ujarku sambil menyodorkan tangan meminta berkas yang ada di tangan gadis di hadapanku. Dengan tergesa dia memberikannya dengan senyum yang kaku. Mungkinkah dia gugup? Gadis yang aneh dan terlihat lucu di mataku.“Dengan nilai IPK kamu yang tinggi ini, kenapa hanya melamar jadi seorang kasir?” tanyaku heran saat melih
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal