“Sepertinya dia mencari sesuatu. Aku mencium wangi tubuh …” Candramaya mengendus hidungnya berkali-kali. “Kekasih harimau kuning itu. Kulitnya terbang sampai ke sini. Yang aku tahu Sora bukanlah ular yang baik hati,” ujar harimau putih yang memperhatikan Sora terus melata dan memangsa hewan di depan matanya. “Aku juga bukan ular yang baik. Aku pernah menelan orang yang aku belit sampai mati.” Candra memperhatikan arah kepergian Sora. “Sama, siluman mana ada yang baik. Mereka hanya terlihat baik di depan orang yang disayang. Sepertinya dia menuju Bukit Buas. Ayo, kita harus kembali.” Damar melompat dari atas pohon dan berjalan kaki menuju singgasananya. Sambil berjalan ia terus berpikir apakah harus mencegah Sora mengganggu kehidupan Andra dan Kanaya. “Tapi mereka berdua sudah sangat dewasa, dan bukan urusanku juga. Biarkah saja mereka menghadapinya sendiri. Kalau Sora sudah kelewat batas di Bukit Buas, baru aku yang turun tangan.” Lelaki berusia ribuan tahun itu berjalan tanpa sad
Kanaya dan Andra tertidur di tempat masing-masing. Tidak seranjang meski satu kamar bersama. Sebagai harimau, anak lelaki Bagus itu lebih suka merebahkan diri di lantai yang telah dikalipis karpet bulu sintetis. Sedangkan Nay atau yang sering dipanggil Maya oleh Candra, lebih suka di atas kasur. Sebab bagi Nay kapuk memberikannya cukup kehangatan, manalah sekarang tubunya jadi lebih sering dingin dari biasanya. Keduanya terlelap, sangat nyenyak setelah sibuk menjalani hari. Sampai-sampai sejoli itu tak lagi sempat bercengkrama bersama. Bahkan keduanya tak sadar ketika seekor ular tujuh warna dengan ukuran lebih besar dari biasanya masuk dari celah jendela dan terus turun ke kasur di mana Nay sedang tidur. Nay tak sadar sama sekali ketika binatang melata itu terus saja membeli tubuhnya dari betis sampai ke perut. Ia tak merasa terancam karena sejenis. Pun dengan Andra yang ilmunya jauh di bawah Candra, tak tahu kalau ada tamu tak diundang. Ular tujuh warna itu kini wajahnya telah b
Perlahan-lahan kaki Nay telah sepenuhnya menjadi ekor ular. Semua organ dalam tubuhnya telah berubah menjadi kuat seperti besi. Racun yang diberikan oleh Candra tadi berhasil ia terima tanpa penolakan atau perlawanan. Kini Nay tak lagi separuh ular. Melainkan telah benar-benar menjadi siluman yang sama seperti Candra. Ia pun telah menjadi binatang buas dengan percampuran tujuh warna seperti pelangi. Nay terdiam dan melata menuju ke dalam telaga. Di dalam sana dingin, cocok dengan darahnya. Sejenak, perempuan dengan bola mata tujuh warna itu terdiam dan tertidur di dalamnya. Lalu ia melata naik lagi ke permukaan. Sampai di sana Nay pun tertidur dari sisa malam yang ada sampai pagi menjelang.*** Ada yang merasa kehilangan ketika bangun di pagi buta. Andra mencari Nay ke seluruh penjuru rumah, tapi tidak ada. Bahkan sampai ke kamar Ana juga nihil. Kamar mandi, kolam ikan, dapur, kandang kucing, sama saja. “Ke mana, ya? Nggak biasanya pergi tanpa pamit.” Andra berjalan kembali ke kam
“Andra, kamu, kok, diem aja, sih. Dari tadi, loh aku nanyain.” Nay menyusul langkah manusia harimau yang telah berusia hampir seperempat abad lamanya di mata manusia biasa. “Ya, terus aku harus jawab apa? Mau kamu gimana?” Andra malah bertanya kembali. “Loh, kenapa jadi maunya aku? Maunya kamu itu gimana. Itu yang aku tanyain, kamu ngerti, nggak?” “Nggak!” Lelaki itu malas berdebat. Ia pun enggan menjawab. Lagi pula yang tadi bukan pertanyaan melainkan pernyataan. “Loh, nggak boleh gitu donk, yang jelas kalau ngomong.” Nay masih tak menyerah. Sampai ada jawaban pasti yang keluar dari bibir lelaki yang telah hidup bersamanya selama lima tahun. “Terus kalau aku bilang iya, kamu mau jawab apa? Udah siap memangnya?” Andra berhenti di tepi sawah milik Ana dulu. Anak berdarah campuran itu menatap tajam perempuan ular yang menggunakan kain sutera berwarna merah jambu. Ditanya seperti itu, Nay malah jadi membeku. Labil, walau ia telah menjadi siluman sepenuhnya. “Kan, diem aja. Mending
Bukit Buas, sekalipun tidak musim hujan memang dingin hawanya, karena itu cocok bagi seekor ular untuk tinggal. Bahkan di antara bebatuan yang ditumbuhi lumut. Dan harimau yang tinggal di sana akan semakin tangguh karena panas yang dikeluarkan dari tenaga dalam mereka. Bukit Buas menjadi tempat yang aman bagi manusia. Tapi tak banyak orang yang bisa diterima di sana. Salah satunya Ana yang membawa Andra, dua puluhan tahun lalu. Kini anak itu pula telah menjelma sebagai penjaga desa. Layaknya Murti, ia yang menilai siapa saja manusia yang layak tinggal di sana. Andra memiliki rumah sendiri. Dulu Ana yang membelinya karena memang di Bukit Buas masih sangat asri dan sangat jauh dari jangkauan kehidupan kota yang penuh dengan modernitas menggerus zaman.Terlalu nyaman hingga sulit bagi Andra untuk pindah, menjadi salah satu alasan ia kurang suka mengunjungi dunia luar. Bahkan sekali pun ia tak pernah pergi ke Hutan Larangan tempat ayah dan ibunya dulu bertemu pertama kali. Juga jangan
Nay—perempuan ular pemetik bunga itu merasa senang ketika lelaki yang ia sangka Andra memeluk dan menghirup wangi tubuhnya dari belakang. Biasanya seekor harimau tidak suka melakukan hal demikian diam-diam, selalu terang-terangan tanpa basa basi. Namun, kali ini sangat berbeda. Wanita yang sisiknya masih tumbuh satu demi satu itu memegang tangan Andra. Awalnya ia biasa saja bahkan tak ingin menoleh ke belakang. Tetapi mengapa kali ini kekasihnya terasa sangat dingin. Bahkan lebih dingin dari kulitnya. “Andra,” panggil Nay tapi lelaki itu diam saja. Sora tersenyum lebar sembari menghirup wangi rambut Nay. Ilmu yang dimiliki perempuan ular itu masih amat sangat rendah walau diberikan langsung oleh Candramaya. Jadi ia tak pernah tahu siapa yang mengintainya dari tadi. “Andra, kamu, kok, dingin?” Nay ingin berbalik tapi lelaki itu menahannya agar tak berpaling. Benar Kanaya merasa sangat berbeda. Tidak biasanya Andra dingin padanya. Nay tahu ada yang aneh, tapi sayangnya ia dipaksa t
“Nay, kamu kenapa?” Andra menepuk bahu teman hidupnya yang dari tadi ia perhatikan melihat ke luar jendela. Namun, perempuan ular itu tetap membeku dan pupil matanya semakin mengerucut. Andra tahu ada yang tidak beres. Tak biasanya Nay bertingkah laku demikian. “Nay!” Manusia harimau itu memegang erat bahu Nay bahkan meremasnya sangat kuat. Sejenak perempuan pemetik bunga itu mendesis dan lidah bercabang duanya keluar sampai menyentuh pipi Andra. Andra menatap bola mata Nay sangat dalam. Perlahan-lahan pupil mata yang tadinya mengerucut seperti kristal kemudian membesar dan bulat sempurna. Ular tujuh warna itu menggeleng. Rasanya ia tadi ingin memuntahkan bisa beracunnya ke arah Andra karena ia anggap sebagai pengganggu. “Aku kenapa?” tanya Nay pada Andra. “Mana aku tahu. Jangan lihat ke luar jendela kalau berbahaya, air juga jadi masuk ke dalam kamar.” Lelaki itu menelisik pemandangan di luar kamar. Sejauh mana mata harimaunya mampu melihat, tak ia temukan ada seseorang dengan
Nay terbangun ketika sinar matahari dari celah jendela menerpa kulitnya yang dingin. Perempuan ular itu menggeliat dan bangkit dengan rasa malas. Ia lirik jam dan ternyata hari sudah jam satu siang. Lekas pemetik bunga itu mandi agar suhu tubuhnya tetap dingin seperti biasa. Sabun dan sampo layaknya manusia biasa tetap ia gunakan dengan aroma jeruk yang wanginya tahan lama ditambah bunga di kebun yang ia petik. Berendam ular tujuh warna pelangi di dalam bak air selama beberapa menit. Nay keluar, mengeringkan tubuh dan rambut dan berjalan kembali ke kamar. Namun … “Apa-apaan ini?” Ada banyak sekali ular hitam kecil-kecil di ruang tamu bahkan sampai ke kamar. “Tadi nggak ada. Siapa yang iseng? Nggak mungkin Candramaya.” Nay merasa ular tersebut kiriman dari seseorang yang memebencinya. Tapi siapa? Mengingat diri sendiri sudah lama tinggal di desa. Refleks mulut Nay dipenuhi dengan bisa ularnya. Ia pun menyemburkan pada binatang melata yang terus berjalan ke arahnya. Sebagian langsun
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi