Pada malam yang sangat dingin, Candramaya—perempuan ular penghuni telaga naik ke atas bukit. Meski tanpa perintah sama sekali dari tuannya. Damar—manusia harimau putih dengan mata berwarna biru yang masih ia cintai bahkan sejak masih menjadi manusia biasa. Keduanya dulu adalah manusia biasa yang mudah terluka bahkan nyaris mati. Lalu takdir membuat mereka terpisah dan menjadi berbeda. Sayangnya Candramaya tak mampu melupakan Damar. Damar bagaimana? Dulu dia memiliki istri dan anak yang nasibnya … tak baik. Terdengar suara gesekan sisik ular dengan tanah dan dedaunan. Damar sebagai penguasa tunggal Bukit Buas lantas membuka matanya. Ia tak tidur, ia sedang memikirkan sesuatu. Hal yang tak bisa ia abaikan begitu saja. “Ada apa kau datang kemari? Aku tidak memanggilmu,” tanya Damar ketika ular tujuh warna itu semakin dekat ke arahnya. Ia tahu Candramaya begitu setia. Tapi bagi Damar wanita cantik itu hanya sebatas penunggu telaga atau mungkin ada perasaan yang enggan Damar akui. “T
“Sepertinya dia mencari sesuatu. Aku mencium wangi tubuh …” Candramaya mengendus hidungnya berkali-kali. “Kekasih harimau kuning itu. Kulitnya terbang sampai ke sini. Yang aku tahu Sora bukanlah ular yang baik hati,” ujar harimau putih yang memperhatikan Sora terus melata dan memangsa hewan di depan matanya. “Aku juga bukan ular yang baik. Aku pernah menelan orang yang aku belit sampai mati.” Candra memperhatikan arah kepergian Sora. “Sama, siluman mana ada yang baik. Mereka hanya terlihat baik di depan orang yang disayang. Sepertinya dia menuju Bukit Buas. Ayo, kita harus kembali.” Damar melompat dari atas pohon dan berjalan kaki menuju singgasananya. Sambil berjalan ia terus berpikir apakah harus mencegah Sora mengganggu kehidupan Andra dan Kanaya. “Tapi mereka berdua sudah sangat dewasa, dan bukan urusanku juga. Biarkah saja mereka menghadapinya sendiri. Kalau Sora sudah kelewat batas di Bukit Buas, baru aku yang turun tangan.” Lelaki berusia ribuan tahun itu berjalan tanpa sad
Kanaya dan Andra tertidur di tempat masing-masing. Tidak seranjang meski satu kamar bersama. Sebagai harimau, anak lelaki Bagus itu lebih suka merebahkan diri di lantai yang telah dikalipis karpet bulu sintetis. Sedangkan Nay atau yang sering dipanggil Maya oleh Candra, lebih suka di atas kasur. Sebab bagi Nay kapuk memberikannya cukup kehangatan, manalah sekarang tubunya jadi lebih sering dingin dari biasanya. Keduanya terlelap, sangat nyenyak setelah sibuk menjalani hari. Sampai-sampai sejoli itu tak lagi sempat bercengkrama bersama. Bahkan keduanya tak sadar ketika seekor ular tujuh warna dengan ukuran lebih besar dari biasanya masuk dari celah jendela dan terus turun ke kasur di mana Nay sedang tidur. Nay tak sadar sama sekali ketika binatang melata itu terus saja membeli tubuhnya dari betis sampai ke perut. Ia tak merasa terancam karena sejenis. Pun dengan Andra yang ilmunya jauh di bawah Candra, tak tahu kalau ada tamu tak diundang. Ular tujuh warna itu kini wajahnya telah b
Perlahan-lahan kaki Nay telah sepenuhnya menjadi ekor ular. Semua organ dalam tubuhnya telah berubah menjadi kuat seperti besi. Racun yang diberikan oleh Candra tadi berhasil ia terima tanpa penolakan atau perlawanan. Kini Nay tak lagi separuh ular. Melainkan telah benar-benar menjadi siluman yang sama seperti Candra. Ia pun telah menjadi binatang buas dengan percampuran tujuh warna seperti pelangi. Nay terdiam dan melata menuju ke dalam telaga. Di dalam sana dingin, cocok dengan darahnya. Sejenak, perempuan dengan bola mata tujuh warna itu terdiam dan tertidur di dalamnya. Lalu ia melata naik lagi ke permukaan. Sampai di sana Nay pun tertidur dari sisa malam yang ada sampai pagi menjelang.*** Ada yang merasa kehilangan ketika bangun di pagi buta. Andra mencari Nay ke seluruh penjuru rumah, tapi tidak ada. Bahkan sampai ke kamar Ana juga nihil. Kamar mandi, kolam ikan, dapur, kandang kucing, sama saja. “Ke mana, ya? Nggak biasanya pergi tanpa pamit.” Andra berjalan kembali ke kam
“Andra, kamu, kok, diem aja, sih. Dari tadi, loh aku nanyain.” Nay menyusul langkah manusia harimau yang telah berusia hampir seperempat abad lamanya di mata manusia biasa. “Ya, terus aku harus jawab apa? Mau kamu gimana?” Andra malah bertanya kembali. “Loh, kenapa jadi maunya aku? Maunya kamu itu gimana. Itu yang aku tanyain, kamu ngerti, nggak?” “Nggak!” Lelaki itu malas berdebat. Ia pun enggan menjawab. Lagi pula yang tadi bukan pertanyaan melainkan pernyataan. “Loh, nggak boleh gitu donk, yang jelas kalau ngomong.” Nay masih tak menyerah. Sampai ada jawaban pasti yang keluar dari bibir lelaki yang telah hidup bersamanya selama lima tahun. “Terus kalau aku bilang iya, kamu mau jawab apa? Udah siap memangnya?” Andra berhenti di tepi sawah milik Ana dulu. Anak berdarah campuran itu menatap tajam perempuan ular yang menggunakan kain sutera berwarna merah jambu. Ditanya seperti itu, Nay malah jadi membeku. Labil, walau ia telah menjadi siluman sepenuhnya. “Kan, diem aja. Mending
Bukit Buas, sekalipun tidak musim hujan memang dingin hawanya, karena itu cocok bagi seekor ular untuk tinggal. Bahkan di antara bebatuan yang ditumbuhi lumut. Dan harimau yang tinggal di sana akan semakin tangguh karena panas yang dikeluarkan dari tenaga dalam mereka. Bukit Buas menjadi tempat yang aman bagi manusia. Tapi tak banyak orang yang bisa diterima di sana. Salah satunya Ana yang membawa Andra, dua puluhan tahun lalu. Kini anak itu pula telah menjelma sebagai penjaga desa. Layaknya Murti, ia yang menilai siapa saja manusia yang layak tinggal di sana. Andra memiliki rumah sendiri. Dulu Ana yang membelinya karena memang di Bukit Buas masih sangat asri dan sangat jauh dari jangkauan kehidupan kota yang penuh dengan modernitas menggerus zaman.Terlalu nyaman hingga sulit bagi Andra untuk pindah, menjadi salah satu alasan ia kurang suka mengunjungi dunia luar. Bahkan sekali pun ia tak pernah pergi ke Hutan Larangan tempat ayah dan ibunya dulu bertemu pertama kali. Juga jangan
Nay—perempuan ular pemetik bunga itu merasa senang ketika lelaki yang ia sangka Andra memeluk dan menghirup wangi tubuhnya dari belakang. Biasanya seekor harimau tidak suka melakukan hal demikian diam-diam, selalu terang-terangan tanpa basa basi. Namun, kali ini sangat berbeda. Wanita yang sisiknya masih tumbuh satu demi satu itu memegang tangan Andra. Awalnya ia biasa saja bahkan tak ingin menoleh ke belakang. Tetapi mengapa kali ini kekasihnya terasa sangat dingin. Bahkan lebih dingin dari kulitnya. “Andra,” panggil Nay tapi lelaki itu diam saja. Sora tersenyum lebar sembari menghirup wangi rambut Nay. Ilmu yang dimiliki perempuan ular itu masih amat sangat rendah walau diberikan langsung oleh Candramaya. Jadi ia tak pernah tahu siapa yang mengintainya dari tadi. “Andra, kamu, kok, dingin?” Nay ingin berbalik tapi lelaki itu menahannya agar tak berpaling. Benar Kanaya merasa sangat berbeda. Tidak biasanya Andra dingin padanya. Nay tahu ada yang aneh, tapi sayangnya ia dipaksa t
“Nay, kamu kenapa?” Andra menepuk bahu teman hidupnya yang dari tadi ia perhatikan melihat ke luar jendela. Namun, perempuan ular itu tetap membeku dan pupil matanya semakin mengerucut. Andra tahu ada yang tidak beres. Tak biasanya Nay bertingkah laku demikian. “Nay!” Manusia harimau itu memegang erat bahu Nay bahkan meremasnya sangat kuat. Sejenak perempuan pemetik bunga itu mendesis dan lidah bercabang duanya keluar sampai menyentuh pipi Andra. Andra menatap bola mata Nay sangat dalam. Perlahan-lahan pupil mata yang tadinya mengerucut seperti kristal kemudian membesar dan bulat sempurna. Ular tujuh warna itu menggeleng. Rasanya ia tadi ingin memuntahkan bisa beracunnya ke arah Andra karena ia anggap sebagai pengganggu. “Aku kenapa?” tanya Nay pada Andra. “Mana aku tahu. Jangan lihat ke luar jendela kalau berbahaya, air juga jadi masuk ke dalam kamar.” Lelaki itu menelisik pemandangan di luar kamar. Sejauh mana mata harimaunya mampu melihat, tak ia temukan ada seseorang dengan