“Nay, tolong, jangan lupa siapa aku.” Andra memutuskan tak jadi menyerang kekasihnya. Ia tahu pemetik bunga itu sedang dikuasai makhluk lain. Jelas ular besar di atas dahan. Putra Ana tersebut kemudian mematahkan dahan pohon hingga ujungnya berbentuk runcing. Ia kumpulkan tenaga di pergelangan tangan lalu melempar ke arah binatang melata yang menegakkan kepalanya. Namun, Nay menangkap dan melemparkan kembali ke arahnya. “Mati!” ucap Nay dengan pupil mata mengerucut sekali. Ia sudah tak sadar siapa dirinya. “Kita bicarakan baik-baik.” Andra berusaha membawa Nay pergi. Tapi serangan dari ular besar yang mencoba menerkam manusia harimau itu mau tak mau membuat Andra mengubah wujud menjadi binatang buas. Daun, akar, dan pepohonan menjadi saksi bagaimana beringasnya pertarungan binatang berdarah panas serta dingin. Andra terus mencengkeram leher ular di depannya. Sedangkan binatang utusan Sora berusaha membelit tubuh harimau ganas itu sampai tulangnya patah kemudian mati kehabisan nap
Nay keluar dari dalam telaga dengan napas pendek-pendek. Racun dari Sora telah berhasil hilang berkat ia berendam di sana, selama beberapa saatnya lama tak terlalu Nay pahami. Yang jelas Andra masih menunggunya sampai tertidur. Wanita itu keluar, sekujur tubuhnya menjadi lebih dingin daripada biasanya. Tapi tak mengapa daripada harus memanas seperti terbakar. “Udah nggak apa-apa?” tanya Andra. Pemetik bunga itu hanya mengangguk saja. “Kita pulang, ya?” lanjut manusia harimau tersebut. Nay tak bisa menolak. Tak mungkin juga mereka tinggal di pinggir hutan lama-lama, keduanya punya rumah. “Terus ular yang jumlahnya banyak itu gimana?” Nay masih ingat kejadian singkat sebelum mereka berdua diserang. “Kita, nggak, tepatnya aku yang hadapi. Bakar semuanya sampai hangus.” Sepasang kekasih itu berjalan kaki melewati hutan bambu dan parit hingga masuk ke perumahan warga. Hanya satu hal yang menjadi pertanyaan Nay dan Andra. Ke mana perginya Damar selaku penguasa dan Candramaya sebagai pen
Malam hari waktu beristirahat, tidak ada hujan atau angin yang lebih dingin turun menyapa pedesaan di Bukit Buas. Nay atau yang dipanggil Maya oleh Candra sedang bercermin. Iya, wajahnya sudah berubah meski ada sedikit kemiripan ketika masih menjadi manusia biasa. “Pulang pun aku ke rumah, nggak akan ada yang kenal sama aku,” ucap Nay agak sedikit putus asa. “Ya, terus kenapa?” Andra datang dan tiba-tiba memeluk kekasihnya dari belakang. Besok pagi-pagi siluman ular itu sudah pergi, tentu akan sepi rumah terasa. “Ya, nggak apa-apa. Habis makan langsung pulang. Kamu, tahu, nggak, Mama aku dulu buka warung nasi buat hidupun anak-anaknya yang masih kecil.” Jemari halus Nay memegang jemari Andra yang kasar karena bekerja. Bedanya Nay selalu ganti kulit, jadi walau apa pun yang terjadi dia tetap akan cantik. “Makan apa?” tanya manusia harimau itu sambil tersenyum. Tak mungkin juga meminta sepiring nasi dan lauknya di warung orang. “Bawa plastiklah dari rumah, kayak dulu nampung sisa
Mata Andra menatap ular hitam kecil yang terus memandangnya. Binatang melata itu sedang menyampaikan berita yang ia lihat pada Sora. Hingga ketika sudah selesai semua, ia mendapatkan perintah untuk menggigit sang harimau. Binatang melata itu menjalankan tugasnya. Reflesk ia melompat ke wajah Andra. Namun, lelaki itu juga dengan cepat menangkap dengan sebelah tangannya. Ukuran ular yang bahkan tak lebih besar dari jari telunjuknya. “Mati kau!” Andra menarik tubuh binatang itu hingga terbagi menjadi dua dan tewas. “Berguna juga racun dari Nay, aku bisa jadi lebih awas,” ucap Andra sambil menenteng beberapa batang bambu di pundaknya. Ia lempar di halaman rumah Sora dan mulai menyusun dinding lagi. Sora yang akhirnya tahu ke mana pemetik bunga itu pergi, tersenyum amat lebar. Tidak ada jantan lain di sisi Nay akan membuat tujuan ular hitam tersebut jadi lebih mudah lagi untuk digapai. Namun, ular yang punya sifat dasar licik, tentu harus berbasa-basi sedikit. Sora menyambangi Andra yan
Nay turun dari kota. Terbiasa lima tahun hidup di desa yang sunyi, ia menjadi agak ganas ketika disenggol orang yang terburu-buru berjalan. Nay pun harus menahan napas agak tak sembarangan menyemburkan racun. “Padahal aku udah tahu kalau di kota serba sibuk. Tapi tetap aja aku udah jadi binatang.” Perempuan siluman ular itu berjalan lagi mengelilingi kotanya. “Ya, udah anggap aja single kayak dulu lagi.” Pemetik bunga itu memandang gedung dan mall yang selama lima tahun bertambah kehadirannya. Tak lupa ada televisi besar di ujung lampu merah.Perut Nay berbunyi karena lapar. Di rumah ia akan makin daging sampi, kambing, atau ayam yang dimakan mentah atau setengah masak. Kalau di sini, tak mungkin makan orang. “Oke, kita coba ke mall itu, yok, kali aja ada yang jual susi atau daging mentah lainnya.” Nay berjalan sendirian, tapi dengan penuh gangguan di kepalanya. Telinganya mendengar percakapan orang lain yang penuh bisik-bisik manja bersama pasangan. Ia terganggu sekaligus merasa i
Nay mengikuti tiga orang lelaki berbadan tinggi besar yang baru saja merampas uang hasil jualan ibunya. Di sisi lain di sebuah rumah tingkat tiga, Sora memperhatikan bagaimana ular betina itu menyelesaikan masalah. Kalau berat tentu ia akan turun tangan. “Tapi seharusnya untuk membunuh manusia biasa, tidak perlu bersusah payah, Maya, kau bisa mematuk mereka sampai mati kebiruan,” ucap ular hitam yang masih penasaran bagaimana cara kerja Maya menyelesaikan masalah. “Dan ternyata penggoda tetaplah penggoda.” Lelaki bermata sehitam malam itu melihat sambil duduk santai di atap rumah orang. Nay sengaja berjalan lebih cepat dari tiga preman sok jagoan higga ia pun disuit-suitkan oleh mereka. “Cantik, mau ke mana?” “Mau digodain kita, nggak?” ucap mereka tak ada yang sopan. Nay pun berhenti dan melihat calon korbannya satu demi satu. “Wih, bidadari nyasar ke bumi ini. Mau ke mana, Dek? Biar kita anterin, nanti imbalannya giliran aja satu satu nggak apa-apa.” Salah satu dari preman itu
Mita masuk ke dalam kamar hanya berbeda satu lantai dengan keberadaan Nay saja. Ia sedang menikmati nostalgia sebagai manusia biasa setelah puluhan tahun hidup di dalam hutan sebagai manusia harimau. Arya mau tak mau harus mengikuti juga keinginan sang ratu yang terus membujuknya selama beberapa hari. “Nggak ada yang berubah, ya, model kamar hotel gini-gini aja,” ucap perempuan berambut merah itu setelah berbaring di kasur yang empuk dengan sprei putih bersih. “Ayo kita pulang kalau begitu. Jauh lebih menyenangkan tinggal di kerajaan kita sendiri. Di sini terlalu ramai orang, aku bisa lapar nanti.” Sang pangeran yang terjebak cinta bersama manusia biasa mengemas sepatu sang nyonya yang dilempar sembarangan. “Males. Aku ke sini mau liburan, disuruh pulang.” Kemudian Mita guling-guling di ranjang empuk yang sebenarnya tidaklah terlalu menyenangkan dibandingkan rumput hutan yang segar. “Perempuan tadi itu, yang memakai apa namanya di mata, itu kaca?” tanya Arya. “Soflens, kaca mata
Arya tentu saja menikmati jamuan di depan matanya. Tak ia hiraukan lagi tentang firasat tak baik atau bulu-bulu halusnya yang masih saja berdiri. Sentuhan dari tangan halus Mita membuatnya lupa diri. Pangeran itu bersama istrinya tengah bercengkrama dalam satu selimut yang sama. Mereka saling membalas kecupan tanpa menghiraukan ketakutan dari satu lantai di bawahnya. Dan ketika baju lelaki itu hampir dibuka semua oleh Mita, tiba-tiba saja sang pangeran menjauhkan diri. Ia mendengar suara lelaki menjerit dan suara desisan ular yang teramat lirih. “My lord, mau ke mana?” tanya Mita yang ditinggal begitu saja oleh sang pangeran. Tak menjawab, Arya membuka pintu kamarnya dengan paksa hingga kunci otomatisnya rusak. “Ada aja yang ganggu.” Kesal, Mita pun bangkit dari kasur dan memakai jaket kulit miliknya. Ia pun menyusul Arya yang larinya begitu cepat. Sampai di lantai bawah dengan menggunakan tangga, manusia harimau itu melihat seorang lelaki bermata hitam kelam tengah menggedor pint