Arya tentu saja menikmati jamuan di depan matanya. Tak ia hiraukan lagi tentang firasat tak baik atau bulu-bulu halusnya yang masih saja berdiri. Sentuhan dari tangan halus Mita membuatnya lupa diri. Pangeran itu bersama istrinya tengah bercengkrama dalam satu selimut yang sama. Mereka saling membalas kecupan tanpa menghiraukan ketakutan dari satu lantai di bawahnya. Dan ketika baju lelaki itu hampir dibuka semua oleh Mita, tiba-tiba saja sang pangeran menjauhkan diri. Ia mendengar suara lelaki menjerit dan suara desisan ular yang teramat lirih. “My lord, mau ke mana?” tanya Mita yang ditinggal begitu saja oleh sang pangeran. Tak menjawab, Arya membuka pintu kamarnya dengan paksa hingga kunci otomatisnya rusak. “Ada aja yang ganggu.” Kesal, Mita pun bangkit dari kasur dan memakai jaket kulit miliknya. Ia pun menyusul Arya yang larinya begitu cepat. Sampai di lantai bawah dengan menggunakan tangga, manusia harimau itu melihat seorang lelaki bermata hitam kelam tengah menggedor pint
Sora terjatuh di aspal bersamaan dengan butiran kaca yang pecah menjadi kepingan yang lebih kecil. Ular hitam itu terbatuk dan mengeluarkan darah segar sambil memegang dadanya. Orang-orang yang melihatnya lekas mendekat dan kaget ketika tahu korban yang jatuh dari lantai belasan masih bisa berdiri. “Perlu bantuan?” “Panggil ambullance.” “Ada yang sakit?” “Kok bisa jatuh, gimana keamanan pihak hotelnya?” Begitu suara-suara sumbang orang yang mendekatinya. Sora menatap lantai dari tempatnya jatuh. Lelaki tak dikenal tadi sangat mengganggunya. “Minggir!” bentak Sora dan semua yang di sana terdiam. Ia pun berjalan tertatih dan menghilang dari keramaian. “Dari dulu, selalu saja manusia harimau yang mengganggu kesenanganku. Kalian semua bedebah. Akan aku buru sampai semua mati,” ucapnya sambil memejamkan mata dan kembali ke lantai kamar di mana Nay menginap. Sampai di lantai atas ternyata penghuninya sudah menghilang. Siluman ular ganas itu kemudian berbaring di ranjang dan menghiru
Arya dan Mita sudah berjalan lebih jauh dari stasiun keretea. Namun, sang pangeran tak tenang sama sekali. Setiap sebentar ia akan menoleh ke belakang. Rasanya pria semalam yang ia hajar tak terlalu jauh dari Nay. “Kenapa sih, My Lord, lihat ke belakang terus. Susah, ya, pisah sama perempuan tadi?” Mita mulai terbakar cemburu tak menentu. “Bukan begitu, aku mengendus jejak harimau seperti kita di tubuh Nay. Dan dia sedang diincar oleh lelaki di lorong hotel tadi malam. Apakah menurutmu aku harus diam saja?” “Tapi, kan, bukan urusan kita,” ujar Mita. “Ya, sudah kalau begitu jalan terus saja, terserah ke mana tujuanmu.” Sang pangeran kemudian digandeng oleh istrinya menuju satu penginapan. Ceritanya melanjutkan bulan madu yang tertunda karena urusan mendadak. Beberapa jam telah berlalu, tapi hati Arya tak tenang. Ia pun mencoba memejamkan mata untuk tidur. Namun, sekelebat bayangan Nay melintas lagi begitu saja. Kalau Mita tahu, perempuan berambut merah itu bisa salah paham dibuatn
Sora menemukan tempat yang cocok untuk dirinya dan Nay bersembunyi dari panas menyengat di siang hari. Taman kota yang didesain sedikit mirip dengan hutan menjadi jawabannya. Lelaki bermata kelam itu kemudian mencari tempat yang lebih gelap lagi. Sebuah sungai yang didesain dengan air terjun kecil di dalamnya, lalu ada bebatuan besar serta kecil yang susunannya rapi. Tidak lupa pula dedaunan dan beberapa pohon besar di tengahnya. Karena sekarang adalah hari orang bekerja, hutan kota sepi dari kunjungan. “Cantik sekali, Kau mengingatkanku dengan keindahan Candra dulu. Dia ular baru jadi seperti dirimu tapi sudah sombong luar biasa. Padahal aku ingin sekali mencicipinya, setelah bosan juga akan aku buang.” Sora meletakkan Nay yang masih tak sadarkan diri di dahan pohon. Ular hitam itu mendengar langkah kaki manusia. Kemudian ia membuat sebuah perisai agar tak ada yang bisa mengganggu kesenangannya berdua dengan ular betina yang kulitnya nyaris seputih susu. “Sebenarnya apa yang kau
Arya membawa istrinya dan Nay kembali ke hutan tempat mereka berkuasa. Hutan itu berada di wilayah gunung yang kata orang amat sangat menyeramkan. Ada memang pendaki, tapi sang pangeran menjamin tidak ada satu pun manusia yang bisa melihat keberadaan keluarganya. “Pulang?” Mita kira tadi ia akan dibawa ke mana. “Tidak ada tempat yang aman selain rumah kita dan Hutan Larangan. Di sini jauh lebih baik.” Arya meletakkan Nay di kursi kayu berlapiskan karpet bulu di mana dulu harimau kecil-kecil sering bermain di sana. “Terus dia gimana?” tanya sang nyonya rumah. “Biarkan dia beristirahat. Nanti kita cari tahu apa yang terjadi. Siapa tadi namanya?” tanya Arya. “Ehm, Raya kali ya, aku lupa, My Lord. Iya kayaknya Raya gitu, sih.” “Aku juga lupa siapa namanya. Kau ganti bajunya, berikan dia pakaian anak kita. Akan aku pikirkan bagaimana cara menolongnya. Sekarang kau tak salah paham lagi, kan, kenapa aku memikirkannya?” Arya memegang kepala Mita dan mengelus rambut merah wanita yang tad
Arya naik ke puncak gunung dengan wujud harimau berukuran sangat besar. Kemudian semua binatang menunduk padanya, sebagai penguasa dan penjaga wilayah ia memang cukup disegani. Lalu harimau itu ketika sampai di puncak, duduk diam memandang pegunungan yang ia diami sejak memutuskan keluar dari Hutan Larangan. Binatang buas setengah manusia tersebut memejamkan mata dan mengembuskan napas panjang. Seketika sebuah perisai tak terlihat menutupi wilayah kekuasaannya. Ada alasan mengapa Arya melakukan hal demikian. Ia yakin untuk mencari ayah dari bayi dalam rahim Nay tak akan memakan waktu sebentar. Sedangkan bisa saja ketika ia pergi, Sora akan kembali sewaktu-waktu. Di rumahnya sekarang tidak ada pejantan, semua pergi berpetualang. Hanya ada empat perempuan yang tak akan sanggup menahan kekuatan gelap milik ular hitam berumur ribuan tahun itu. “Setidaknya ini cukup untuk menahan kalau Sora kembali.” Menjelang senja terbit di kaki gunung, baru Arya selesai membuat perisai. Apabila man
Sora terbang menjauh dari kejaran Arya setelah ia berhasil menghantam lelaki itu dengan satu pukulan telak. Lelaki tersebut jatuh di satu tempat yang amat sangat jorok. Sebuah sungai yang penuh sampah, persis seperti isi kepalanya yang hanya memikirkan selangkangan saja. Lelaki ular hitam itu terbatuk. Darah tak berhenti mengucur dari bibir dan dadanya. Ia tak mudah mati, tapi untuk merasakan sakit juga tak kuat. “Harimau bangsat! Setelah aku sembuh akan aku buru anak dan istrimu,” ucapnya dengan wajah memerah dan batuk lagi. Luar biasa Arya melukainya dengan pedang sakti.Sora tak sadarkan diri ketika luka menganga di dadanya memanas dan sinar matahari menyengatkan kian menjadi. Suara jangkrik dan pergerakan tikus got membuat ular hitam itu terbangun. Meleleh air liurnya melihat tikus seukuran kucing. Lidah cabang tiganya melesat begitu panjang, menangkap, membelit sampai tikus mati karena patah tulagn dan berakhir dalam perutnya. Tak ada yang mengetahui keberadaan Sora, karena i
Mita sedang melukis sebuah pemandangan di pinggir hutan. Ada sembilan ekor harimau di sana dan satu orang manusia yaitu dirinya. Sembilan hewan itu merupakan anak dan suaminya. Tujuh sedang pergi merantau, dua menunggu di rumah. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara orang muntah yang amat menyakitkan. Lukisan Mita tergores. Ia paham sekali rasa perihnya seperti apa. Wanita berambut merah itu meletakkan kuas dan mendatangai Nay yang keadaannya tak lagi buruk seperti waktu pertama kali datang. “Raya, nggak apa-apa, jangan ditahan keluarin semuanya.” Mita menekan pundak Nay berkali-kali. Memang tidak ada apa pun yang keluar tapi, tetap saja sakit sekali. “Aku kenapa ya, Tante, sakit apa sebenarnya?” tanya Nay yang sudah seminggu di sana tapi Mita belum mau cerita sama sekali. “Terus kenapa aku dikurung di sini, aku mau pulang,” rengeknya hampir menangis. Nay kembali menjadi manusia biasa. “Memang kamu punya rumah, Raya?” tanya Mita balik. Nay pun menggeleng saja. Sora menyakitinya te
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi