Mita sedang melukis sebuah pemandangan di pinggir hutan. Ada sembilan ekor harimau di sana dan satu orang manusia yaitu dirinya. Sembilan hewan itu merupakan anak dan suaminya. Tujuh sedang pergi merantau, dua menunggu di rumah. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara orang muntah yang amat menyakitkan. Lukisan Mita tergores. Ia paham sekali rasa perihnya seperti apa. Wanita berambut merah itu meletakkan kuas dan mendatangai Nay yang keadaannya tak lagi buruk seperti waktu pertama kali datang. “Raya, nggak apa-apa, jangan ditahan keluarin semuanya.” Mita menekan pundak Nay berkali-kali. Memang tidak ada apa pun yang keluar tapi, tetap saja sakit sekali. “Aku kenapa ya, Tante, sakit apa sebenarnya?” tanya Nay yang sudah seminggu di sana tapi Mita belum mau cerita sama sekali. “Terus kenapa aku dikurung di sini, aku mau pulang,” rengeknya hampir menangis. Nay kembali menjadi manusia biasa. “Memang kamu punya rumah, Raya?” tanya Mita balik. Nay pun menggeleng saja. Sora menyakitinya te
Seekor harimau berjalan di pinggiran Bukit Buas. Ia ingin masuk ke sana, tapi mengapa seolah-olah desa itu tanpa penjagaan sama sekali. Arya kemudian mengubah wujudnya menjadi manusia. Suami Mita itu kemudian melangkah memasuki gerbang desa. Terlihat orang desa menyapa dirinya dengan penuh senyuman. Arya bertanya di mana rumah penjaga dan penduduk menunjukkan ke arah rumah Andra yang banyak kebun bunga. “Astaga. Kenapa kepalaku tiba-tiba tidak bisa berpikir,” ucap Arya ketika sampai di depan rumah Andra. Bau harimau jantan dan seekor ular betina dengan jelas tercium. Pencariannya sia-sia saja. “Kenapa aku bisa lupa kalau Andra dulu tinggal di sini. Sial, buang-buang waktuku saja.” Arya melangkah memasuki hutan di Bukit Buas. Dalam wujud harimau ia lebih mudah berlarian lebih cepat. Tujuan sang pangeran yaitu menemukan Andra kembali. Sudah berapa lama ia menyia-nyiakan waktu, padahal yang dicari ada di depan matanya. *** Andra tertududuk lesu di gang sempit tempat orang-orang tak
Andra bermain bersama Lasya yang jarak usia dengannya cukup jauh. Adiknya yang berumur lima tahun itu juga sama seperti Agni. Sudah tumbuh tinggi walau belum seperti dirinya. Ana sendiri sibuk melukis momen yang entah kapan akan terulang kembali. Mengumpulkan semua anaknya yang hanya tiga orang itu sulit sekali. Andra juga sudah punya kehidupan sendiri. Sementara itu Bagus dan Arya memilih duduk dan menatap sesuatu. Entah masa depan atau masa lalu yang harus dirisaukan. “Andai semua ini tak terjadi, Andra tak akan pernah lahir ke dunia ini,” ucap Bagus. Ada sebongkah penyesalan mengapa ia dulu mudah terjerat dalam rayuan seorang manusia biasa, lalu jalan hidup mereka menjadi amat sangat rumit seperti benang kusut. “Berandai-andai tak akan ada gunanya. Yang harus dipikirkan adalah melatih anakmu untuk jadi lebih kuat. Sayangnya bukan aku orangnya,” jawab sang pangeran. Dua orang manusia harimau itu sama-sama mengembuskan asap cerutu yang dulu diperkenalkan oleh orang Belanda saat
Tiga orang lelaki sampai di padang rumput yang cukup luas, di mana beberapa anak harimau bermain. Tak lupa seekor harimau putih mengawasi mereka dan kini berjalan mendekat lalu berubah menjadi Pawana. Lasya sendiri bermain bersama Murti yang membawanya di atas kepala saat baru datang. Wanita yang jarak usianya hanya dua tahun dari Damar itu nampak senang bertemu dengan anak kecil lagi. “Siapa namamu?” tanya Murti sambil menelus kepala Lasya. Rambut keriting kecil-kecilnya menambah imut wajah anak Bagus. “Lasya,” jawab gadis itu. “Apa kemampuan istimewamu?” Murti mengetahui anak berdarah campuran tersebut mewarisi kemampuan seperti ayahnya. Hanya saja dari sisi yang berbeda. Lasya berlari agak jauh dan berdiri di depan pohon. Lalu ia tak terlihat sama sekali, alias warnanya sama persis seperti sesuatu yang ia tempeli. “Seperti bunglon, kemampuan langka.” Murti berdecak kagum. Begitulah cara Lasya ikut pergi berpetualang. Gadis kecil itu menempel di punggung Andra. Tubuhnya yang
“Nay, kamu kembali juga.” Andra bahagia melihat wanita yang ia cari ada di depannya. Saking tak bisa menahan diri, ia pun memelak erat dan mengecup wajah kekasih yang telah hilang selama beberapa hari. “Ih, perbuatan macam apa ini?” Nay mendorong tubuh Andra. “Nay, kamu kenapa. Kamu masih nggak ingat siapa aku?” tanya Andra yang diberi tahu bahwa ingatan Nay dihapuskan. “Nay, siapa Nay?” tanya wanita di depan Andra keheranan. “Kamu Nay, Kanaya, aku Andra, kita sudah tinggal bersama kurang lebih lima tahun, kita makan bersama, tidur bersama, bahkan katanya kamu sudah hamil, itu anak aku.” “Hei, sadar, aku tidak hamil, maksudku belum hamil.” Nay menepuk pipi Andra perlahan. “Jadi, Paman Arya berbohong?” “Arya siapa lagi? Jangan bilang kau bertemu pangeran yang sudah lama hilang. Begini, kurasa kepalamu terbentur pohon maka dari itu kau lupa ingatan …” Nay terus mengoceh dan Andra merasa ada yang berbeda dengan kekasihnya. Gaya bahasa perempuan pemetik bunga itu seperti Bagus.
Tentara Belanda dengan bedil itu sudah pergi. Maya dan Satya keluar dari persembunyian mereka. Wanita yang kulitnya kuning cenderun gelap melirik ke kiri dan kanan, lalu memastikan mereka benar-benar aman. “Sudah hilang mereka, Kang Mas,” ucap Satya. “Tahu, aku lihat sendiri dengan mataku.” Andra kesal, bukan oleh Nay. Tapi karena lemah dirinya yang bahkan tak bisa apa-apa. “Iya, maaf, bukan maksudku mengguruimu. Ayo kita cari ikan untuk makan hari ini.” Maya menarik suaminya yang agak malas melangkah. Tapi walau bagaimanapun menolak, ujian itu harus dilewati oleh Andra sendiri, atau Nay yang asli keburu dibunuh oleh Sora. Maya menunjuk sungai di mana biasanya ikan-ikan muncul. Melihat suaminya diam saja, Maya pun tak mau memaksa. Ia ingin turun, tapi saat itu juga lengannya ditarik oleh Satya. “Biar aku saja, kau duduk dan tunggu.” Andra membuka baju atasnya yang tak sempurna menutupi seluruh tubuh. “Nanti kalau ada yang datang, aku beri tahu. Pakai ini Kang Mas, buat tangkap
Maya dan Andra berjalan sambil makan ubi jalar rebus menuju tempat di mana para lelaki yang masih sehat berkumpul. Manusia harimau yang kekuatannya tersegel sementara itu mengecap rasa dari umbi berwarna kuning pekat. “Manis juga, ya. Kukira rasanya getir.” “Seperti baru kali ini saja makan ubi jalar,” sahut Maya. Ya memang begitu adanya. Sayur, nasi, buah, umbi-umbian dari dulu Andra tak pernah memakannya. “Itu di sana bukan tempat berkumpulnya?” tunjuk Andra di mana ada sebuah kuda ditambatkan, juga beberapa lelaki seperti dirinya berdiri tegak. “Datang juga kau akhirnya. Kupikir kau pengecut seperti kata orang-orang.” Bagus melompat dari tunggangannya. Berita yang adipati itu dengar bahwa Satya merupakan pria pemalas, suka mabuk, dan kasar pada istri. “Iya, Tuan Adipati, aku datang memenuhi panggilanmu,” jawab Andra sambil memandang ayahnya begitu dalam. Bagus membawa keris, pedang, panah dan segala macam alat-alat yang dibutuhkan untuk melatih para lelaki. Sebab satu demi
Usia kandungan Nay sudah memasuki satu setengah bulan. Ya, waktu berjalan tanpa kenal apa pun masalah orang. Beruntung saja pemetik bunga itu berada di tengah—anggap saja orang—yang baik. Siluman ular yang kekuatannya sedang tersegel itu sudah diberi tahu bahwa ia tak tinggal di rumah manusia. Awal mulanya Nay tak percaya, tapi ketika melihat ada dua ekor harimau yang berkeliaran di dalam rumah, ia pun menerima semua ketetapan yang terjadi. “Jadi aku ini apa, Tante?” tanya kekasih Andra ketika Mita menyuguhkan sekerat daging setengah matang di piring untuknya. “Katanya kamu itu ular,” jawab Mita. “Katanya, kata siapa?” Nay mengerutkan kening. “Kata Andra.” “Andra siapa?” “Bapak bayi dalam kandungan kamu. Jangan ngerasa nggak pernah buat anak. Emang tiba-tiba aja gitu ada janin tumbuh. Dikira hamil bisa main tiup aja kali, ya.” Alana ketus lagi. Ia yang bisa melihat masa depan merasa bahaya tak lama lagi akan datang ke rumah. “Alan, udah donk, kan, dia lupa ingatan, lupa, lupa
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi