Bagian 5 Wanita Paruh Baya Andra melompat ke atas pohon. Pandangan matanya yang hampir sama tajamnya dengan manusia harimau menatap dua pemburu yang akan membidik seekor kucing hutan. Sebelum timah panas itu dilesatkan. Terlebih dahulu pemuda berusia 20 tahun itu melompat dan membuat dua pemburu itu terkejut. “Pergi!” Satu kata peringatan terucap dari bibirnya yang terkadang haus darah. “Bocah sialan! Ganggu aja.” Salah satu pemburu itu ingin menghantamkan pangkal senapan. Namun, terlebih dahulu Andra menepisnya. Ia melempar lelaki itu hingga terpental beberapa meter. Tindakan anak itu membuat kucing hutan yang tadinya sedang tidur, bulu halusnya langsung berdiri semua. “Minta dimatikan ini setan kecil!” Lalu teman pemburu yang terjatuh mengokang senapannya dan menembakkan tepat ke kaki pemuda itu. Andra mengaduh sesaat, perih tetap ia rasakan, hanya saja darahnya tak banyak yang mengalir. “Udah cepet pergi dari sini. Sebelum kita dipidana karena bunuh orang,” ujar pemburu yang
Bagian 6 Telaga Tujuh Warna“Pikirin lagi, deh. Bukit Buas itu menurut legenda dari kita belum lahir, dari Indonesia belum merdeka dari ribuan tahun lalu. Tempat itu bener-bener bahaya. Udah banyak yang hilang di sana. Apalagi kamu, Nay. Mau curi-curi foto harimau putih. Di hap pindah kamu langsung dalam perutnya.” Gadis bernama Sarah melirik teman di sebelahnya yang memperbaiki kamera murahnya.“Itu, kan, cuma legenda, fabel. Belum tentu bener. Lagian tahun udah kelewat milenial gini masih percaya gituan kamu? Serius? Terus gunanya kita mau kuliah untuk apa?” sahut Kanaya walau hatinya juga sebenarnya takut pergi ke Bukit Buas. “Gunanya kuliah ya cari ijazah, sama cari pacar.” Sarah membuka kaca mobilnya. Tak lama lagi mereka akan sampai di desa yang berada di Bukit Buas. Dua orang gadis yang telah bersahabat sejak lama itu hanya diam tanpa suara. Ketika dua kilometer lagi mereka akan sampai. Seseorang penjaga perbatasan meminta Sarah yang sedang menyetir untuk mematikan musiknya.
Bagian 7 Menantang Petaka Kanaya terus melangkah memasuki hutan bambu yang menjadi kediaman Murti, dulu. Kini setahun sekali Damar akan turun ke sana untuk minum dari telaga tujuh warna yang airnya hanya dikhususkan untuk bangsa harimau putih. Bahkan harimau lain saja tak boleh mendekatinya. Apalagi manusia biasa. Hal demikian dipercaya oleh penduduk Desa Bukit Buas dan telah dijaga selama ratusan tahun lamanya. Namun, tidak untuk gadis yang sedang membutuhkan uang seperti Nay. Biaya kuliah serta kebutuhan untuk membeli kamera baru sebagai mata pencahariannya membuat gadis itu abai pada peringatan Ana. “Serius ini tempat yang dihuni sama harimau putih jadi-jadian. Ah, masak, sih? Nggak ada serem-seremnya. Malah kayak taman kota. Bohong kali ya, warga sini biar desanya gak kebanjiran pendatang.” Nay mulai mengambil gambar di sekitar hutan bambu itu. Memang tempat itu diatur oleh Murti agar sesuai dengan keinginan hatinya. Lebih condong pada keindahan untuk wanita daripada sarang han
Bagian 8 Misteri Anak Harimau Ana—wanita yang hampir berusia 50 tahun itu telah selesai memetik bunga-bunga segar dan diletakkan dalam keranjangnya. Selanjutnya ia merangkai menjadi satu dalam sebuah buket bunga indah. Rencananya akan ia bagikan gratis pada festival bunga, untuk siapa saja yang lewat. Namun, ia tak menambahkan bunga yang wanginya membuat Nay candu saat berkunjung ke kebunnya. Ia tak ingin orang salah menanggapi maksudnya. Agak jauh dari rumahnya, Ana membuka sebuah tempat wisata. Tentu setelah mendapatkan izin dari kepala desa setempat. Dengan syarat tidak mengganggu ketenangan warga desa, yang tentunya bisa membuat harimau putih di atas bukit turun tangan langsung. Tempat wisata itu terletak sedikit jauh di tepi sungai. Menjadi sasaran anak muda terutama gadis-gadis yang tertarik melihat indahnya bunga-bunga yang bermekaran. Awal mulanya saat baru berdiri, Ana masih mengelolanya langsung. Namun, seiring dengan banyaknya lelaki yang menghampirinya, ia pun mundur d
Bagian 9 Kedatangan Sedikit lagi Bagus akan sampai di Bukit Buas, ia sengaja berjalan kaki sebab menghindar dari keramaian. Tak pula berniat berubah menjadi harimau, karena keadaan dulu dan sekarang sudah sangat berbeda. Orang-orang jadi jauh lebih peka dengan segala hal yang aneh. Lelaki berusia 500 tahun itu hanya menjaga kemanan dirinya sendiri saja. Malam itu, di tepi pantai ia duduk sendirian. Membiarkan tubuhnya diterpa air laut. Beristirahat sejenak dari lelahnya menuju rumah dua orang yang amat Bagus rindukan. Ia menggenggam pasir, menghirup amis aroma pantai yang membuat perutnya lapar. Tak ada daging yang bisa ia santap. Menangkap manusia bukanlah jawaban yang tepat. Kemudian, lelaki itu mengubah wujudnya, ketika tubuhnya sudah sampai di kedalaman air laut. Ia berenang terus menangkap ikan-ikan berukuran besar dengan cakar dan taringnya. Setelah cukup manusia harimau itu pun kembai ke permukaan. Mengeringkan dirinya sendiri dengan bantuan angin laut. Bukan tak ingin ia b
Bagian 10 Dia yang Hilang Angin itu membawa aroma seseorang yang telah lama hilang dari hadapan Bagus. Bukan hilang, tepatnya terpisah karena keterpaksaan. Manusia harimau itu berdiri dan berjalan ke belakang rumah yang diberi pagar bambu. Ia melompat dan mengendus setiap lembar baju wanita yang dijemur di sana. Rindunya semakin menggebu untuk bertemu. Pintu belakang itu ia gedor beberapa kali, memanggil sebuah nama yang telah lama tak menggodanya. “Ana. Buka pintunya, aku datang. Menjemputmu,” ucap Bagus beberapa kali. Namun, rumah itu begitu hening. Lelaki berambut sebahu tersebut menajamkan pendengarannya. Tak ia dengar suara Ana atau siapa pun di dalam rumah kayu itu. Bagus pun membuka paksa rumah tersebut. Beberapa kucing hutan terlihat langsung menegakkan bulu ketika melihat wujud asli lelaki di depannya. Bagus tak sempat mengurusi hal-hal seperti itu. Ia pun membuka masing-masing kamar di dalam rumah itu. Pertama ia buka sebuah kamar yang banyak terdapat buku-buku di dalam
Bagian 11 Candramaya “Siapa dia?” tanya Ana yang terbangun karena desisan yang membuatnya merinding. Ia langsung menuju ke dapur dan dihadapkan pada pemandangan seseorang memasukkan kepalanya ke dalam gentong. Andra hanya diam saja tak bisa menjawab. Kepala Maya ke luar dengan susah payah dari penampung air itu. Tak juga bisa, perempuan setengah ular itu lantas menghantam benda itu hingga akhirnya pecah berkeping-keping. Mendengar suara seorang manusia biasa dengan darah yang berbeda membuat Maya langsung tegak. Ia menatap Ana dengan mata anehnya, bisa ia nilai wanita di depannya menyimpan banyak misteri. Namun, darahnya sangat wangi, dan membuat perutnya lapar lagi. Lalu, lidah bercabangnya ke luar dan mengarah pada Ana. Gegas wanita itu langsung merunduk dan Maya hanya menangkap seekor cicak saja. “Maaf, maaf. Nggak bisa dikendalikan,” ujar Maya sembari menutup mulutnya sendiri. Ia sendiri tak bisa menahan gejolak perutnya yang terus saja lapar. Tak hanya sampai di sana saja. Sa
Bagian 12 Mencari Jalan Keluar Maya tak bisa tidur sebab tubuh yang tadinya dingin perlahan-lahan berubah menjadi panas. Darahnya sedang bertukar dari manusia biasa menjadi setengah ular. Perempuan itu tak tahu apa sebabnya hingga ia dikutuk menjadi seperti ini. Sebab, saat bangun, ia sudah melihat sisik ular dari tubunya sendiri. Kini sisik warna-warni itu semakin banyak saja jumlahnya. Di bagian leher juga sudah hampir meyentuh dagu. “Aku ini siapa sebenarnya?” tanya Maya pada cermin di depan wajahnya. Ia kini berada satu kamar dengan Ana. Beristirahat dulu sebentar sebeum melakukan perjalanan ke puncak bukit. “Kenapa aku di sini?” Ia memandang telapak tangannya yang kukunya mulai meruncing. Sesekali lidah bercabangnya ke luar ketika merasakan mangsa berada di dekatnya. Entah itu kupu-kupu atau cicak. “Pakai baju ini, ya. Biar gak menarik perhatian banyak orang.” Ana masuk dan membuyarkan lamunan Maya. Nyaris saja perempuan ular tersebut menyemburkan bisanya karena terkejut. L