Bagian 8 Misteri Anak Harimau Ana—wanita yang hampir berusia 50 tahun itu telah selesai memetik bunga-bunga segar dan diletakkan dalam keranjangnya. Selanjutnya ia merangkai menjadi satu dalam sebuah buket bunga indah. Rencananya akan ia bagikan gratis pada festival bunga, untuk siapa saja yang lewat. Namun, ia tak menambahkan bunga yang wanginya membuat Nay candu saat berkunjung ke kebunnya. Ia tak ingin orang salah menanggapi maksudnya. Agak jauh dari rumahnya, Ana membuka sebuah tempat wisata. Tentu setelah mendapatkan izin dari kepala desa setempat. Dengan syarat tidak mengganggu ketenangan warga desa, yang tentunya bisa membuat harimau putih di atas bukit turun tangan langsung. Tempat wisata itu terletak sedikit jauh di tepi sungai. Menjadi sasaran anak muda terutama gadis-gadis yang tertarik melihat indahnya bunga-bunga yang bermekaran. Awal mulanya saat baru berdiri, Ana masih mengelolanya langsung. Namun, seiring dengan banyaknya lelaki yang menghampirinya, ia pun mundur d
Bagian 9 Kedatangan Sedikit lagi Bagus akan sampai di Bukit Buas, ia sengaja berjalan kaki sebab menghindar dari keramaian. Tak pula berniat berubah menjadi harimau, karena keadaan dulu dan sekarang sudah sangat berbeda. Orang-orang jadi jauh lebih peka dengan segala hal yang aneh. Lelaki berusia 500 tahun itu hanya menjaga kemanan dirinya sendiri saja. Malam itu, di tepi pantai ia duduk sendirian. Membiarkan tubuhnya diterpa air laut. Beristirahat sejenak dari lelahnya menuju rumah dua orang yang amat Bagus rindukan. Ia menggenggam pasir, menghirup amis aroma pantai yang membuat perutnya lapar. Tak ada daging yang bisa ia santap. Menangkap manusia bukanlah jawaban yang tepat. Kemudian, lelaki itu mengubah wujudnya, ketika tubuhnya sudah sampai di kedalaman air laut. Ia berenang terus menangkap ikan-ikan berukuran besar dengan cakar dan taringnya. Setelah cukup manusia harimau itu pun kembai ke permukaan. Mengeringkan dirinya sendiri dengan bantuan angin laut. Bukan tak ingin ia b
Bagian 10 Dia yang Hilang Angin itu membawa aroma seseorang yang telah lama hilang dari hadapan Bagus. Bukan hilang, tepatnya terpisah karena keterpaksaan. Manusia harimau itu berdiri dan berjalan ke belakang rumah yang diberi pagar bambu. Ia melompat dan mengendus setiap lembar baju wanita yang dijemur di sana. Rindunya semakin menggebu untuk bertemu. Pintu belakang itu ia gedor beberapa kali, memanggil sebuah nama yang telah lama tak menggodanya. “Ana. Buka pintunya, aku datang. Menjemputmu,” ucap Bagus beberapa kali. Namun, rumah itu begitu hening. Lelaki berambut sebahu tersebut menajamkan pendengarannya. Tak ia dengar suara Ana atau siapa pun di dalam rumah kayu itu. Bagus pun membuka paksa rumah tersebut. Beberapa kucing hutan terlihat langsung menegakkan bulu ketika melihat wujud asli lelaki di depannya. Bagus tak sempat mengurusi hal-hal seperti itu. Ia pun membuka masing-masing kamar di dalam rumah itu. Pertama ia buka sebuah kamar yang banyak terdapat buku-buku di dalam
Bagian 11 Candramaya “Siapa dia?” tanya Ana yang terbangun karena desisan yang membuatnya merinding. Ia langsung menuju ke dapur dan dihadapkan pada pemandangan seseorang memasukkan kepalanya ke dalam gentong. Andra hanya diam saja tak bisa menjawab. Kepala Maya ke luar dengan susah payah dari penampung air itu. Tak juga bisa, perempuan setengah ular itu lantas menghantam benda itu hingga akhirnya pecah berkeping-keping. Mendengar suara seorang manusia biasa dengan darah yang berbeda membuat Maya langsung tegak. Ia menatap Ana dengan mata anehnya, bisa ia nilai wanita di depannya menyimpan banyak misteri. Namun, darahnya sangat wangi, dan membuat perutnya lapar lagi. Lalu, lidah bercabangnya ke luar dan mengarah pada Ana. Gegas wanita itu langsung merunduk dan Maya hanya menangkap seekor cicak saja. “Maaf, maaf. Nggak bisa dikendalikan,” ujar Maya sembari menutup mulutnya sendiri. Ia sendiri tak bisa menahan gejolak perutnya yang terus saja lapar. Tak hanya sampai di sana saja. Sa
Bagian 12 Mencari Jalan Keluar Maya tak bisa tidur sebab tubuh yang tadinya dingin perlahan-lahan berubah menjadi panas. Darahnya sedang bertukar dari manusia biasa menjadi setengah ular. Perempuan itu tak tahu apa sebabnya hingga ia dikutuk menjadi seperti ini. Sebab, saat bangun, ia sudah melihat sisik ular dari tubunya sendiri. Kini sisik warna-warni itu semakin banyak saja jumlahnya. Di bagian leher juga sudah hampir meyentuh dagu. “Aku ini siapa sebenarnya?” tanya Maya pada cermin di depan wajahnya. Ia kini berada satu kamar dengan Ana. Beristirahat dulu sebentar sebeum melakukan perjalanan ke puncak bukit. “Kenapa aku di sini?” Ia memandang telapak tangannya yang kukunya mulai meruncing. Sesekali lidah bercabangnya ke luar ketika merasakan mangsa berada di dekatnya. Entah itu kupu-kupu atau cicak. “Pakai baju ini, ya. Biar gak menarik perhatian banyak orang.” Ana masuk dan membuyarkan lamunan Maya. Nyaris saja perempuan ular tersebut menyemburkan bisanya karena terkejut. L
Bagian 13 Mimpi Damar berhenti di hutan bambu tempat tinggal Murti, ia mengatur tempat itu menjadi lebih indah, dipenuhi bunga-bunga segar hingga terlihat seperti tempat dilangsungkannya pesta pernikahan. Tak hanya di hutan bambu saja. Bahkan sampai hampir mendekati puncak bukit buas. Kecuali jalan yang telah ia atur agar dilewati oleh Andra dan Maya. Jalan yang penuh rintangan dan siluman di bawah perintahnya. “Sudah lama aku tak memiliki wanita pendamping. Kurasa manusia biasa sepertimu cocok untuk kujadikan mainan. Tak perlu jadi manusia harimau, cukup jadi pengantinku semalam saja.” Damar membentuk sebuah siluet tubuh Ana dari tangannya yang berkuku panjang. “Tak mudah untuk lepas dari jerat kaumku. Kau tentu paham sifat bringas harimau yang menyukai tantangan. Mari kita lihat apakah harimau rendahan dari Hutan Larangan itu berani untuk mengambilku dariku, Ana. Sudah 20 tahun aku mengawasi dan menjaga kalian. Sudah saatnya kau bayar mahal semuanya.” Manusia harimau putih itu m
Bagian 14 Dalam Dekapan Harimau Putih Ana berjalan lurus ke luar dari rumahnya tanpa alas kaki. Gaun putihnya yang panjang menyeret bebatuan warna-warni yang terasa begitu ringan terkena kabut putih. Ya, wanita itu ditutupi oleh kabut yang dikirim oleh Damar. Sebab harimau putih itu tak mau ada satu orang pun yang melihat pengantinnya. “Berjalanlah terus kemari, pengantinku. Aku adalah penguasa tertinggi di sini, saatnya kau berterima kasih padaku.” Mendengar ucapan seperti itu Ana hanya mengangguk saja. Namun, air matanya terus mengalir membasahi wajahnya yang diberi make up lengkap. Ia masih sadar dengan dirinya, hanya saja tak bisa melawan ketika kakinya terus saja melangkah. Sengaja memang Damar berbuat demikian, ia ingin melihat Ana tersiksa dengan perang batinnya sendiri. “Tolong,” ujar Ana perlahan. Namun, suaranya berpendar di dalam kabut putih ciptaan Damar. “Andra, tolong, Mama takut.” Butir air mata keluar dari sudut penglihatan Ana. Menyesal rasanya ia biarkan putran
Bagian 15 Bisikan Sesat Andra berjalan di depan Maya, mereka melewati pematang sawah yang tak lama lagi akan panen. Biasanya Ana selalu mengikuti jual beli apa saja yang ada di desa. Namun, dalam hal memanam padi ibunya lebih memilih tak ikut. Sebab ketika musim panen tiba para tuan tanah akan muncul dan mulai menggodanya. Telinga Maya menangkap suara-suara yang aneh dari dalam sawah. Seketika perutnya kembali berbunyi. Perempuan separuh ular yang tak pernah bisa mengendalikan diri termasuk rasa laparnya, ia langsung berlari menuju sawah yang padinya hampir menguning semua. Ia mengejar tikus-tikus sawah yang berukuran sangat besar. “Dapat!” Maya mengenggam tikus hutan itu dengan kedua tangannya yang berkuku panjang. Lidah bercabang duanya keluar, melilit binatang yang terus mencicit di depannya dan hanya dalam hitungan detik saja tikus hitam itu berpindah ke dalam perutnya. Lagi, sisiknya tumbuh semakin banyak. “Kenapa aku ini? Kenapa nggak bisa tahan lapar.” Maya sendiri ketakut
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi