Baiklah, setelah kilas balik yang panjang itu, Titan akhirnya sukses mengingat dosa-dosanya pada Tristan. Sebenarnya ya tidak banyak juga sih kalau dihitung, paling hanya menyiramnya dengan kopi panas sampai melepuh, menyingkap dosanya di depan anak-anak kelas perihal merokok dan bolos, membuatnya dihukum berkali-kali, PR segunung, membersihkan lorong seminggu, sudah itu aja kok. Eh, ditambah menendang selangkangannya juga sampai cowok itu harus berjalan tertatih-tatih.
Tapi siapa suruh dia pakai acara bolos-bolos ceria sambil ngerokok segala. Kan dia kegep sama guru piket ya gara-gara salah dia sendiri. Titan mah baik, udah bantuin guru piket nemuin dia yang lagi bolos sama temannya, batin Titan.
Titan kembali mengamati lututnya yang berdarah dan lebam berwarna ungu-kebiruan. Perih, sakit juga. Belum lagi Titan juga harus mendapat hukuman karena terlambat, tapi anehnya dia hanya dihukum sendiri. Dia berakhir berdiri di lapangan upacara sambil hormat bendera hingga jam pelajaran pertama berakhir, yang entah kenapa cowok gesrek satu itu malah tidak ketahuan kalau dia juga terlambat. Ilmu nakalnya mungkin sudah sampai ke tahap profesional.
Cowok itu tadi langsung nyelonong duluan sih nggak ngajak-ngajak. Nggak tau dia jadi transparan apa gimana sampai nggak ketahuan, eh boro-boro ngajak, ngerasa bersalah aja gak tuh dia,
batinnya meringis.Titan kembali ke kelas setelah penderitaannya di lapangan berakhir. Tas ranselnya ia seret-seret di sepanjang lantai. Wajahnya banjir keringat dan juga memerah sehabis dijemur di lapangan, ekspresinya kelihatan sangat lesu dengan bibir kering yang pucat. Padahal ini masih pagi tapi gadis itu sudah kelihatan persis seperti gembel. Rheva jadi harus mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi, heran karena melihat Titan yang kelihatan seperti tak punya semangat hidup itu.
"Udah kelar hukuman lo? Kok cepat? Kirain gue bakal sampai istirahat?" tanya Rheva bingung. Dia memajukan kursinya agar Titan bisa masuk ke bangkunya sendiri.
"Rev, kok lo tahu Titan kena hukum?" Ia memilih mengabaikan harapan temannya perihal dia yang harusnya dihukum sampai istirahat. Sambil lesu duduk di kursinya dan langsung meletakkan dagu di atas meja. Kedua telapak tangannya ia gunakan untuk mengipas-ngipasi wajahnya yang sedikit perih karena matahari tadi.
"Iyalah, kan pas ijin ke toilet gue dari atas liat lu berdiri di tengah lapangan kayak orang bego hormat sendirian." Rheva geleng-geleng kepala. Lantas mengeluarkan sebungkus tisu pocket untuk menyodorkannya pada Titan yang masih keringatan walau sudah berada dalam ruangan ber-AC.
"Oh gitu, tunggu-tunggu... lo kenapa nggak nyamperin Titan kalau gitu? Kasih minum dong, lap ini keringet juga. Minimal kasih Titan semangat buat ngejalanin hukuman. Tega amat lo cuma lihatin terus lewat doang." Titan membuka perekat di depan bungkusnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar tisu dari dalam sana dan segera mengelap keringatnya yang mengucur deras.
"Bodo, lagian siapa suruh telat. Ngapain juga gue lap keringet lo? Lo pasti bau kecut. Lagian tadi gue udah ngebet pingin boker."
Nih cewek emang pencernaannya yang bagus kelewat lancar apa emang doyan boker?
batin Titan, masih keheranan dengan perut temannya."Kayaknya tiap bilik toilet di sekolah udah pernah lu bokerin deh," tebaknya.
"Iya, udah gue cobain semua satu-satu mana yang bisa bikin gue tenang ngeden."
"Sarap emang lo cantik-cantik."
"Itu.... lutut lo kenapa bercorak merah-biru?" Rheva menunjuk lutut Titan yang terluka. Tadinya tidak kelihatan saat cewek itu berjalan karena tertutup rok sepannya yang di bawah lutut. Tapi saat cewek itu duduk hingga roknya sedikit tersingkap, luka dan lebamnya bisa terlihat jelas.
"Pas Titan manjat pagar belakang, si cowok yang kemarin itu tahunya juga telat. Titan nggak sadar kalau tuh pagar nggak digembok. Eh, dia malah sengaja tendang itu pagar makanya Titan jatuh." Titan mengamati nasib tragis lututnya.
"Kasihan banget nasib lo. Begitu malang sampai luka-luka gitu. Lagian itu kenapa juga belum diobatin, sih? Entar kalau infeksi gimana? Bego amat kan harusnya udah dibersihin dari tadi lukanya." Rheva mengomel dan sudah siap-siap untuk berdiri. Tangannya membuat kode agar Titan segera berdiri mengikutinya.
"Titan nggak ngeh gimana cara ngobatinnya." ujar Titan pasrah sambil kembali memperhatikan tato baru di lututnya. Setelah itu dia berdiri, sambil meringis merasakan sakit yang kembali hadir.
"Yaudah ayo, ke UKS sekarang. Gue obatin. Bikin ribet aja deh lo, ah." Rheva memang salah satu anak PMR. Walau terkesan cuek,sebenarnya dia bisa peduli garis keras dengan orang terdekatnya, seperti Titan.
****
"Kenapa lo cengengesan mulu? Kerasukan jin tomang lo pagi-pagi? Serem nih gue lihatnya. Idih...." Bams bergidik ngeri melirik kelakuan sahabatnya dari tadi, Tristan. Dia juga sengaja memelankan suaranya dengan hanya berani beribisik-bisik, takut kalau sampai ketahuan Pak Hadi yang sedang mengajar di depan sana. Bisa gawat, dia belum mau mendapat hukuman baru lagi setelah segunung hukumannya kemarin.
"Tadi gue datang telat, makanya lewat gerbang belakang. Terus ketemu sama tuh cewek yang kemarin di sana. Gue berhasil balas kelakuan sama ucapan dia yang kemarin. Ya jadi, gue puas lah." Tristan seperti bocah yang baru saja berhasil cebok sendiri dan melaporkannya pada orang tuanya. Kelihatannya bangga sekali.
Kalau mengingat bagaimana ekspresi terkejut gadis itu dan wajah menahan kesalnya setelah tahu kalau Tristan yang sengaja mengisenginya, rasanya Tristan puas banget. Seolah nasib sialnya kemarin sedikit terbayar karena kejadian tadi pagi.
"Lo apain tuh cewek?" Bams juga mulai kepo hingga sedikit menggeser kursinya dan menajamkan telinga untuk mendengar cerita Tristan selanjutnya. Ya iyalah, secara dia juga kena hukuman kemarin, kena imbas dari si cewek gesrek alias Titan.
"Dia manjat pagar, telat juga kan kayak gue. Dia nggak sadar kalau tuh pagar nggak digembok sebenarnya. Sengaja gue tunggu pas dia mau lompat. Pas dia udah di atas banget, gue tendang itu pagar sampai dia nyungsep ke bawah." Bagi yang punya mata batin, bisa dilihat deh sudah ada dua tanduk merah di atas kepala Tristan. Cowok itu bahkan menyeringai puas.
"Terus? Apa lagi? Lo apain lagi?" Bams berbinar-binar karena tidak sabaran.
"Udah sih, gitu aja."
"Elah... kagak seru lo." Bams selaku pendengar terlihat kecewa, nampaknya menginginkan pertunjukan lebih.
"Ya, jadi mesti gue apain?" Tristan mulai terpancing. Ingin semakin iseng membalas Titan nantinya.
"Usilin lagi aja. Tuh cewek cebol gitu manis-manis tapi nyebelin banget. Tipe kayak gitu biasanya lo usilin dikit lagi juga bakalan kapok. Mungkin nangis deh." Setan memang idenya Bams.
"Boleh juga. Tunggu aja nanti. Siapa nama tuh cewek? Gue lupa padahal dia selalu manggil diri sendiri pakai nama." Tristan berusaha mengingat-ingat, tapi gagal.
"Titan Darmawan." Bams menyeringai.
****
Istirahat pertama akhirnya tiba. Semua murid langsung tancap gas ke kantin. Titan dan Rheva pun tak mau kalah hingga langsung berjubelan juga, takut kehabisan makanan karena keburu diembat siswa lapar lainnya. Begitu mereka berdua sampai di kantin, Titan langsung menuju ke kios langganannya, tentu saja kios Mang Asep. Dia membeli beberapa gorengan dan segelas es kopi. Tak nyambung memang, tapi apa yang tidak aneh sih, kalau sudah menyangkut gadis itu?
Setelah itu mereka berdua mencari sisa tempat kosong dengan bergabung bersama di meja siswa siswi lainnya. Rheva juga sudah memesan nasi kuning untuknya dan ditemani segelas es teh.
"Kalau tuh cowok kemarin nyamperin lo nanti, bisa mampus lo. Pasti mau balas dendam lagi." Rheva seolah sudah siap akan nasib sial yang menunggu sahabatnya. Siap menonton maksudnya.
"Titan bakal coba minta maaf dulu sama dia. Kalau dia mau maafin ya syukur, kalau nggak berarti dia emang ngajak tempur." Titan bersikap cuek, tak mau ribet memikirkannya. Karena sekarang ada fokus yang lebih lenting, yaitu perutnya dengan segala warga negara cacing di dalam sana.
Ia lalu segera melahap gorengannya dengan rakus. Harus isi tenaga dulu supaya tidur di kelas nanti bisa nyaman dengan perut kenyang.
•••••
Setelah istirahat pertama yang ternyata berlangsung sejahtera tanpa adanya tanda-tanda dari cowok menyebalkan yang bisa saja datang lagi untuk mengganggunya, Titan dan Rheva kembali masuk kelas untuk mengikuti pelajaran. Ralat, itu tidak berlaku untuk salah satu gadis. Titan seperti biasa langsung lipat tangan di meja, bukan tertib bukan berdoa, ia malah langsung menenggelamkan kepalanya dan tertidur. Yah, sudah kebiasaan memang. Penjelasan guru ia jadikan sebagai dongeng pengantar tidur. Benar-benar murid yang tidak patut dibanggakan....Titan tidur selama tiga jam penuh. Nyenyak sekali tidurnya. Memang ada beberapa guru yang oke-oke saja waktu materinya malah dijadikan dongeng tidur oleh Titan karena nilainya memang tinggi di beberapa mata pelajaran seperti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Olahraga. Iya cuma tiga mata pelajaran itu saja. Sisanya? Tidak usah dibahas. Guru yang lain
Hari Senin. Hari terkutuk yang paling dibenci semua siswa SMA Garuda atau bahkan se-Indonesia. Karena dengan diadakannya upacara, membuat semuanya jadi sangat malas dan gerah. Tidak bersemangat walau jarum jam masih menunjukkan pukul delapan.Matahari di langit pagi Bandung memang sedang bersinar dengan teriknya. Bahkan matahari saja mendukung jalannya upacara, membuat Titan yang harus berdiri di barisan paling depan kelasnya merasa sangat dongkol. Selalu di baris depan, karena dia yang paling pendek di antara teman-temannya. Otomatis, dia juga tidak bisa menghindar dari silau dan panasnya matahari yang membakar kulit wajah sensitifnya. Ia jadi merutuki Bu Damara dalam hati karena selalu berpidato panjang lebar di tengah lapangan dengan semangat empat lima yang menggebu-gebu. Sementara semua siswanya semakin loyo di barisan masing-masing.
Setelah memakai sepatu Bimo yang sangat-sangat kebesaran, maka Titan dan Rheva kembali ke kelas untuk menyimpan buku komputer, mengambil botol minum, lalu mereka menuju kantin. Untuk menuju ke kantin, mereka perlu menaiki beberapa anak tangga.Ya dan di sanalah si biang keladi sudah menunggu Titan sambil bersandar di salah satu tiang penyangga atap kantin bersama teman-temannya. Tristan, cowok itu langsung gondok begitu melihat gadis yang habis dikerjainya malah datang dengan memakai sepatu. Jelas sekali itu sepatu laki-laki. Merasa tak senang korbannya mendapat bantuan, ia mulai angkat bicara. Ingin cari masalah lagi. Pokoknya, membuat Titan kesal adalah motonya untuk beberapa saat ke depan."Sepatu baru lo?" ucapnya sambil turun satu anak tangga, menjulang di hadapan Titan yang jauh lebih pendek darinya.
Hari Selasa. Entah kesialan apa lagi yang akan dialami Titan hari ini. Untuk menyemangati dirinya sendiri, ia memutuskan untuk sedikit berias di pagi hari. Biasanya ia hanya akan menguncir rambutnya, tapi hari ini gadis itu memilih membiarkannya tergerai dan menambahkan sedikitcurlydi bagian bawah. Ia juga memakai bedak tabur tipis ke wajahnya, memberi kesan kulit wajah yang halus. Memakaimascaratipis-tipis untuk menambah kesan manis dan terakhir memoles bibirnya yang mungil denganliptintwarna merah muda natural. Ia tampil benar-benar manis hari ini.Oke, udah dandan cakep-cakep imut jadi harus semangat hari ini,batinnya dalam hati sambil berusaha menyemangati diri sendiri.Titan lalu turun ke lantai bawah dan sarapan bersama Aldo. Baru sebentar duduk, abangny
Titan masih merasa nyaman bergelung di alam mimpinya sendiri. Setelah melewati dua mata pelajaran sambil molor, ia akhirnya terbangun karena suara grasak-grusuk di sebelahnya. Rheva sepertinya sedang sibuk."Hoaaam.... berisik banget dah lo, Rev. Nyari apaan, sih? Grasak-grusuk mulu dari tadi." Titan melirik malas pada Rheva yang masih terlihat rusuh membongkar semua isi tasnya seperti sedang mencari sesuatu."Jas lab gue ke mana, njir? Gue ingat gue taroh di laci meja." Rheva masih sibuk mencari bahkan sudah berjongkok karena siapa tahu jasnya itu jatuh di lantai. Sementara bel mata pelajaran ketiga sudah berbunyi dan sekarang kelas XII IPA 4 harus menuju ke Laboratorium Biologi."Oh, tadi pas istirahat jatuh di bawah meja lo. Mau gue taruh di laci lo, eh penuh banget jadi daripada en
Hari ini Titan tidak banyak molor di kelas. Ia justru lebih banyak melamun sepanjang pelajaran. Matanya sendu menatap ke arah ubin kelasnya. Hanya penjelasan dari Bu Fatimah yang mencegahnya agar tidak kesambet. Rheva yang jadi temannya saja sampai heran."Tumben lo nggak molor?" Rheva menepuk jidat sahabatnya dengan pulpen, menyadarkan Titan kalau-kalau temannya itu beneran kesambet."Sssh!" Titan berdesis tapi tatapannya tetap kosong ke depan.Sekarang pulpen Rheva sudah berpindah posisi ke lipatan ketiak Titan. Rheva menggelitiki Titan tapi tak berpengaruh sama sekali. Cewek itu tetap bergeming.Wah kesambet beneran nih anak, batin Rheva.Rheva lalu menarik kunciran rambu
Titan lapar. Cacing-cacing di perutnya memang paling tidak bisa diajak buat kompromi. Di luar langit sudah gelap dan Aldo belum pulang juga. Titan membuang napas kasar lalu beranjak menuju meja belajarnya. Ia mengambil dompet dan berjalan keluar kamar. Menuruni tangga lalu keluar rumah dan mengunci rapat pintu rumahnya.Demi cacing-cacing di perut, Titan datang!!!Ia beranjak keluar kompleks menuju ruko-ruko di depan kompleks perumahan. Ada minimarket di daerah belakang deretan ruko tersebut. Karena letaknya di belakang, maka minimarket tersebut tidak terlalu ramai karena hanya segelintir orang yang tinggal di dekat ruko atau kompleks depan yang tahu letaknya.Titan menarik napas dalam-dalam. Merasakan tiap desiran angin malam yang menyapu anak rambutnya. Tiap tarikan napas ya
Rheva membuang napas kasar. Ia menengok ke jam berbentuk kepala doraemon yang tergantung di atas dinding kamarnya yang bernuansababy blue.Pukul 21.00. Dengan malas, ia beranjak turun dari kasur dan keluar kamar menuju lantai satu. Tiap sudut rumah terang-benderang namun rumahnya selalu benar-benar sepi. Sendiri. Entah kapan terakhir kali suasana rumah ini pernah terasa hangat baginya. Ia sudah terbiasa hidup seperti ini.Ia membuka kulkas namun lagi-lagi hanya bisa menghembuskan napas kasar ketika melihat isinya yang kosong melompong. Ia mengingatkan diri sendiri agar besok meminta mbak yang selalu datang pagi untuk bersih-bersih agar sekalian membelikannya bahan makanan. Akhirnya, ia cuma meminum segelas air di kursibardapurnya.Merogoh kantong celana, Rheva membuka daftar kontak dan mengamati
"Sayang-sayang pala lo peyang!" sentak Titan kesal seraya meninju bantal tidurnya tak henti-henti. Setelah meninjunya, ia melempar bantal itu ke sembarang arah. Iya, Titan sedang dalam mode siluman ekor rubah. Ia benar-benar kesal kala mengingat bagaimana Tristan memanggilnya sayang tadi saat di aula ketika latihan. Satu aula benar-benar menyorakinya dan ia langsung bingung harus menaruh muka di mana. "Sayang-sayang lo banyak! Bukan cuma Titan doang!" geramnya lagi. Bahkan sekarang ia mulai menggigiti sarung guling saking kesalnya. Ia semakin kesal kala mengingat bagaimana Tristan begitu dekat dengan teman-teman ceweknya yang lain. Mungkin saja kan ada si sayang nomor dua, nomor tiga, dan seterusnya. Mau marah juga rasanya aneh, statusnya bukan siapa-siapa walau tak bisa juga dibila
"Cie... habis kena marah ya? Kusut bener mukanya kayak keset depan WC." Titan terkikik geli sekembalinya Tristan setelah sesi berbincang-bincang tidak ria dengan papanya di atap rumah sakit barusan.Sekarang mereka ada di taman rumah sakit, setelah Tristan selesai dengan papanya dan langsung menghubungi Titan untuk bertemu di sana."Kamu juga kusut mukanya," balas Tristan."Hah, masa? Udah cuci muka tadi pakai air padahal." Titan memegang pipinya sendiri dengan punggung tangannya."Iya kusut, kayak kurang asupan perhatian dari aku.""Jijik banget dengernya tahu nggak?" Ekspresi Titan langsung berubah sedatar mungkin."Aku kayaknya y
Setelah mendapat lokasi balapan motor dengan lagi-lagi harus menelpon Bams, maka Rheva semakin menggas mobilnya. Ia jarang ngebut apalagi kebut-kebutan begini. Alhasil, ia hampir menabrak seorang pejalan kaki yang menyeberang jalan di tengah gelapnya malam ditambah guyuran hujan. Syukur-syukur selamat."Rev." Titan memanggil."....""Rev.""Hm?""Rev!""Apa, sih?!""Lo bawa mobil mahal apa bawa bajaj sih!""Mobil mahal lah ini.""Lelet banget tahu nggak?! Saingan sama siput?!""Yang penting jalan mobilnya.""INI CUMA 20 KILOMETER PER JAM REPPPP!!!! KAPAN NYAMPENYA ISHHH!!! LIMA BELAS MENIT LAGI TENGAH MALEM NIH UDAH MULAI BALAPANNYA ENTAR!!!""Udah cepet ini! Lo mau kita hampir nabrak lagi apa?! Jantung gue tadi rasanya mau loncat keluar tahu nggak?!""Ishhh Rhevaaaaa...." Titan merengek."Entar lagi juga sampe elah. Gue kapok ngebut! Lagian ini hujan, buram kacanya!""Entar mere
"Aku sayang sama kamu, Tan!" teriak Aundy di ujung lorong yang sudah sepi.Tristan ada di hadapannya, menatap dirinya dengan tatapan datar dan tak tertarik sama sekali."Guenya nggak.""Bohong! Kamu meluk aku waktu itu! Waktu di parkiran aku nangis kejer-kejer bahkan di rumah sakit kamu temenin aku sampai malem." Mata gadis itu berkaca-kaca, berusaha meyakinkan dirinya sendiri pada sebuah harapan kosong."Waktu itu, cuma itu yang bisa gue lakuin buat nolongin lo. Jangan kegeeran.""Nggak mungkin cuma gara-gara itu. Kalau emang iya kamu sukanya sama Titan, kamu harusnya ninggalin aku gitu aja. Kamu tahu Titan nggak suka sama aku deketin kamu."
Tristan seharian ini tidak sempat bertemu dengan Titan. Entah ke mana gadis itu saat ia mencarinya, mereka tidak berpapasan sama sekali. Mereka juga sudah sibuk dihadang berbagai ujian menjelang UN, membuat kesempatan bertemu semakin sulit karena gadis itu biasanya langsung ngacir pulang begitu selesai ujian.Sekolah tidak pernah terasa seluas ini bagi Tristan, namun ketika dia tidak bisa bertemu Titan, semua berbeda. Hari ini, ketika ia bertemu salah satu siswa laki-laki yang diingatnya sekelas dengan Titan, maka ia pun bertanya di mana keberadaan cewek itu. Cowok itu menjawab, hari ini seharusnya anakbandakan latihan.Maka ia bergegas, mencari ke aula tapi tak ada siapapun di sana. Ia lalu berlari ke ruang musik, namun melihat dari jendela luar saja sudah kelihatan jelas bahwa tempat itu juga kosong, pintunya pun
Tristan mengerang, pusing. Ia masih terjebak di tempat ini, Rumah Sakit Medika. Orang tua Aundy mengalami kecelakaan cukup parah, yang memerlukan operasi untuk segera menangani mereka. Luka-luka dan patah tulang. Sementara keluarga Aundy yang lain yaitu om dan tantenya baru saja datang.Pengurusan untuk surat tindakan medis semuanya ditangani mereka yang sudah berusia di atas 21 tahun. Sementara Aundy sendiri hanya bisa menangis sedari tadi, terlebih setelah mendengar penjelasan dokter sebelumnya mengenai kondisi papa dan mamanya yang akan segera ditangani."Tolong temani Aundy dulu, ya. Biar saya dan omnya yang mengurus semua."Tristan tadi dimintai tolong oleh Arini dan Budi yaitu tante dan om dari Aundy agar bantu menenangkan Aundy yang masih histeris. Setelah Arini dan Budi menguru
Tristan bergegas keluar kelas begitu bel tanda istirahat berbunyi. Ia tidak bolos pagi ini, berhasil memposisikan pantatnya untuk tetap menempel pada kursi walau tidak betah. Jika pantatnya punya nyawa sendiri, sudah pasti pantatnya itu bakalan kabur duluan.Ia uring-uringan sejak kemarin, ketika sempat berselisih dengan Titan sebelum pulang sekolah. Ia sadar ia yang salah. Seharusnya ia tidak boleh egois dengan meminta Titan menunggunya sementara ia akan berdua dengan Aundy walau hanya untuk sekadar latihan drama. Ia seharusnya memilih salah satu antara latihan atau mengantar Titan pulang. Satu yang ia tahu, ia tidak akan senang memilih salah satunya. Ada konsekuensi di antara kedua pilihan itu.Pentas seni sialan,batinnya.Ia akan meminta maaf pada Titan, oleh
Esoknya, Tristan datang ke kelasnya seperti kebiasaannya belakangan ini untuk mengajak Titan makan ke kantin. Titan pun tak bisa pura-pura seolah biasa saja. Senyumnya langsung merekah begitu melihat penampakan cowok itu muncul di ambang pintu kelasnya bahkan sebelum Bu Endah yang sedang mengajar di XII IPA 4 keluar kelas."Ngapain kamu mejeng di sini?" Bu Endah yang hendak keluar tentu saja bertemu dengan Tristan di ambang pintu."Mau nyari anak didiknya Bu Endah buat ngajakin makan berdua di kantin. Kenapa? Ibu mau ikutan? Jangan jadi orang ketiga di antara kami dong Bu," jawab Tristan sambil senyum-senyum."Hah, ngawur aja kamu nih. Emang kamu ngajakin siapa toh?""Ini Bu, anaknya udah ketemu." Tristan langsung merangkul pundak Tit
Tristan menahan napas ketika melihat wujud manusia di depannya. Seketika, bayangan wajah cemburu Titan tergambar di otaknya dan membuatnya berasa sedang selingkuh. Padahal pacaran aja mereka tidak.Aundy.Sesosok gaib-eh manusia yang belakangan ini selalu absen di depan wajahnya tiap hari. Menggerayanginya ke mana-mana sampai terkadang membuat Tristan berasa punya penunggu di punggungnya.Kadang ia kesal sendiri, tapi pernah beberapa kali ia bersikap cukup baik pada cewek itu ketika ingin melihat reaksi Titan bila ia berdua dengan perempuan lain. Makan bersama di kantin beberapa kali dan mengantarnya pulang.Sekarang rasanya ia ingin ganti muka saja. Biar tak terus-terusan dikejar sana-sini. Toh cewek satu ini juga cuma naksir sama ta