Hari Senin. Hari terkutuk yang paling dibenci semua siswa SMA Garuda atau bahkan se-Indonesia. Karena dengan diadakannya upacara, membuat semuanya jadi sangat malas dan gerah. Tidak bersemangat walau jarum jam masih menunjukkan pukul delapan.
Matahari di langit pagi Bandung memang sedang bersinar dengan teriknya. Bahkan matahari saja mendukung jalannya upacara, membuat Titan yang harus berdiri di barisan paling depan kelasnya merasa sangat dongkol. Selalu di baris depan, karena dia yang paling pendek di antara teman-temannya. Otomatis, dia juga tidak bisa menghindar dari silau dan panasnya matahari yang membakar kulit wajah sensitifnya. Ia jadi merutuki Bu Damara dalam hati karena selalu berpidato panjang lebar di tengah lapangan dengan semangat empat lima yang menggebu-gebu. Sementara semua siswanya semakin loyo di barisan masing-masing.
Alamak... Bu Cemara lama banget pidato udah kayak ceramah mama Dedeh aja. Nggak kepanasan apa dia di tengah lapangan nyerocos mulu, udahan dong, batin Titan memohon.
Setelah waktu yang terasa sangat lama itu, upacara akhirnya selesai juga. Semua murid langsung ngacir seribu langkah. Ada yang menuju kantin tapi lebih banyak lagi yang langsung menuju kelas, niatnya ingin mencari adem di bawah AC setelah dipanggang barusan.
Karena tidak suka keramaian, Titan dan Rheva memilih menuju kantin. Masuk ke kios Mang Asep dan membeli air mineral lalu beranjak menuju lantai dua untuk segera kembali ke kelas. Ternyata saat di tangga, kebetulan ada Tristan dan ketiga temannya. Dua berdiri di sisi kiri dan dua lainnya termasuk Tristan di sisi kanan merapat ke tembok. Titan dan Rheva berjalan biasa, mencoba cuek saja. Saat mereka melalui tangga, Titan yang berada di sisi kanan Rheva otomatis harus berpapasan dengan Tristan.
Mau apa nih cowok sama temen sebobroknya, batin Titan waspada. Alarm tanda bahayanya menyala otomatis kalau sudah melihat Tristan.
Benar saja. Saat hampir berpapasan, Tristan langsung menjulurkan kakinya, maksud hati mau menjegal langkah Titan dan membuat gadis itu jatuh, namun gadis itu tanpa melirik ke bawah pun langsung naik ke anak tangga selanjutnya dengan kaki kanannya sementara kaki kirinya menginjak keras-keras kaki Tristan di anak tangga sebelumnya.
"ADUH, KAMPRET!!!" Tristan memekik kesakitan. Kaget karena Titan menginjak kakinya kuat sekali. Besar juga tenaganya.
Peduli setan, Titan tersenyum penuh kemenangan dalam hati.
"Rasain tuh." Titan memeletkan lidahnya, meledek.
"Cih," Tristan berdecih. Rencananya kali ini gagal namun ia tak berniat menyerah dengan visi misi barunya untuk terus mengusik ketenangan Titan.
****
Sekarang sudah masuk jam pelajaran kedua, tepatnya sebelum istirahat pertama. Kelas XII IPA 4 pun segera menuju ruang komputer di lantai satu. Mereka melepas sepatu masing-masing dan meletakkannya sembarangan di depan pintu ruang komputer, padahal sudah disediakan rak sepatu. Mereka lalu merangsek masuk secara bersamaan.
"Rev, bulu kuduk Titan kok merinding ya. Berasa ada makhluk halus," ujar Titan sambil melepas sepatunya. Ia lalu mengelus-elus kedua lengannya. Seolah benar-benar ada dajjal yabg sedang mengintainya. Atau mungkin, memang ada?
"Ngigau lo." Rheva yang tak peduli dengan ocehan absurd Titan, langsung masuk ke ruang komputer.
"Elah. Suer ini mah padahal. Apa mata batin Titan jadi kebuka ya?" Titan memilih ikut masuk.
Tristan bersama ketiga temannya yang memang sedang bolos di samping ruang komputer, sedari tadi memperhatikan Titan dalam diam. Ia lalu menyeringai lebar. Setelah semua murid masuk, ia beranjak dan mengambil sepatu cewek itu.
"Enaknya gue apain ini?" tanya Tristan pada ketiga temannya sambil memutar-mutar sepatu Titan dengan talinya.
"Niat banget lo balesin tuh cewek." Sandi sebenarnya tidak peduli. Titan cukup manis di matanya. Tidak ada alasan buat dijahili sampai kelewatan begini.
"Nyong mah ngikut aja." Nyong memilih jadi penonton. Menurutnya ini cukup seru.
"Kolam ikan sekolah kita makin asri aja kelihatannya." Bams mengkode. Ia paling jahil dan tidak bisa diam, sama-sama gatal ingin mengerjai Titan.
Tristan yang paham dengan ucapan Bams lalu melempar sepatu di genggamannya ke kolam ikan di depan. Ikan-ikan yang berenang di sana sampai menyingkir. Memang keempat orang ini sudah biasa melakukan dosa bersama.
****
Selesai jam pelajaran komputer, kelas XII IPA 4 langsung lomba lari menuju kantin karena sudah waktunya istirahat. Titan seperti biasa memilih menunggu sepi, lalu keluar. Setelah sepi, ia justru heran. Hanya ada sisa dua pasang sepatu, milik Rheva dan satunya lagi milik guru komputer mereka. Sepatunya sendiri yang tidak ada. Hilang. Entah raib ke mana. Mereka mengerutkan alis dan mulai mencari.
"Sepatu Titan...." Titan berjongkok dan meraba-raba kolong di bawah rak sepatu namun hasilnya nihil. Sepatunya tidak terselip di sana.
"Nggak ada?" tanya Rheva. Temannya itu mencari di sekitaran ruang komputer tapi juga tidak menemukan apa-apa.
"Duh, beneran ada makhluk halus yang gangguin Titan kayaknya." Titan kembali mengelus-elus bulu kuduk di kedua lengannya.
"Halu lo, ngapain setan ngeganggu lo? Kurang kerjaan banget siang bolong gini!"
Rheva berkacak pinggang lalu melirik sekitar, matanya segera memicing ketika menangkap benda tidak asing yang sedang mengambang di tengah kolam ikan dekat ruang komputer. Rheva menunjuk ke tengah kolam lalu ragu-ragu berkata, "Itu sepatu lo kok bisa berenang di sana?"
"Alamak! Siapa sih niat banget iseng gini. Kena azab amin dah." Titan mengutuk. Ia mengambil sapu di lemari samping rak sepatu. Tiap ruangan di sekolah memang disediakan lemari sapu di depannya. Dengan sapu itu ia menyeret sepatunya yang mengambang di tengah kolam. Sepatu converse oldskool miliknya pun basah total.
"Yah... masa Titan seharian nyeker gini. Pasti kelakuannya tuh cowok dajjal sama teman-teman gesreknya deh." Titan mulai paham siapa gerangan udang di balik bakwan ini.
Bimo datang menghampiri mereka. Maksud hati hendak mengambil kotak pensilnya yang ketinggalan di ruang komputer, namun perhatiannya teralihkan dengan Titan yang menatap sedih ke sepatunya yang basah total.
"Sepatu lo kenapa itu?" Bimo menghampiri. Alisnya berkerut memandangi sepatu gadis itu, "kok bisa basah?
"Karena tidak kering."
"Kecebur kolam ikan. Nggak tahu siapa yang nyemplungin." Untung ada Rheva yang bisa bantu menjawab dengan jelas.
"Gile, tega bener. Nggak bakal ketahuan pelakunya karena cctv
lagi rusak," Bimo menimpali sambil melepaskan sepatunya dan menyerahkannya ke Titan, "pakai aja,emang kebesaran tapi dari pada lo nyeker seharian kan.""Terus bimoli gimana? Lo nyeker?" Titan mengangkat alis.
"Gue masih ada sepatu olahraga di loker buat biasa gue ekskul futsal."
"Yaudah, Titan nggak mau sok jaim-jaim nolak. Makasih ya. Titan tarik sumpahnya Titan yang kemaren nyumpahin lo mandul." Titan cengegesan.
"Kampret emang lo bocah." Bimo menepuk kepala Titan lalu beranjak masuk ke dalam ruang komputer, "yaudah gue duluan."
"Bimo itu naksir lo, sadar gak sih?" Rheva menatap temannya yang pasti tidak sadar.
"Hah? Titan memang lucu sih, tapi masa Bimo naksir? Gak cocok banget."
"Emang gak cocok. Dia terlalu wah buat lo yang halah."
"Jahat!"
"Ini gimana? Si Tristan kayaknya bakalan ngisengin lo mulu deh. Jangan mau diginiin."
"Lihat aja entar. Bakalan Titan bales. Siapa suruh doyan banget cari gara-gara." Titan mendengus lalu menenteng kedua sepatunya yang basah. Sekarang dia harus cari plastik untuk membungkus sepatunya itu.
•••••
Setelah memakai sepatu Bimo yang sangat-sangat kebesaran, maka Titan dan Rheva kembali ke kelas untuk menyimpan buku komputer, mengambil botol minum, lalu mereka menuju kantin. Untuk menuju ke kantin, mereka perlu menaiki beberapa anak tangga.Ya dan di sanalah si biang keladi sudah menunggu Titan sambil bersandar di salah satu tiang penyangga atap kantin bersama teman-temannya. Tristan, cowok itu langsung gondok begitu melihat gadis yang habis dikerjainya malah datang dengan memakai sepatu. Jelas sekali itu sepatu laki-laki. Merasa tak senang korbannya mendapat bantuan, ia mulai angkat bicara. Ingin cari masalah lagi. Pokoknya, membuat Titan kesal adalah motonya untuk beberapa saat ke depan."Sepatu baru lo?" ucapnya sambil turun satu anak tangga, menjulang di hadapan Titan yang jauh lebih pendek darinya.
Hari Selasa. Entah kesialan apa lagi yang akan dialami Titan hari ini. Untuk menyemangati dirinya sendiri, ia memutuskan untuk sedikit berias di pagi hari. Biasanya ia hanya akan menguncir rambutnya, tapi hari ini gadis itu memilih membiarkannya tergerai dan menambahkan sedikitcurlydi bagian bawah. Ia juga memakai bedak tabur tipis ke wajahnya, memberi kesan kulit wajah yang halus. Memakaimascaratipis-tipis untuk menambah kesan manis dan terakhir memoles bibirnya yang mungil denganliptintwarna merah muda natural. Ia tampil benar-benar manis hari ini.Oke, udah dandan cakep-cakep imut jadi harus semangat hari ini,batinnya dalam hati sambil berusaha menyemangati diri sendiri.Titan lalu turun ke lantai bawah dan sarapan bersama Aldo. Baru sebentar duduk, abangny
Titan masih merasa nyaman bergelung di alam mimpinya sendiri. Setelah melewati dua mata pelajaran sambil molor, ia akhirnya terbangun karena suara grasak-grusuk di sebelahnya. Rheva sepertinya sedang sibuk."Hoaaam.... berisik banget dah lo, Rev. Nyari apaan, sih? Grasak-grusuk mulu dari tadi." Titan melirik malas pada Rheva yang masih terlihat rusuh membongkar semua isi tasnya seperti sedang mencari sesuatu."Jas lab gue ke mana, njir? Gue ingat gue taroh di laci meja." Rheva masih sibuk mencari bahkan sudah berjongkok karena siapa tahu jasnya itu jatuh di lantai. Sementara bel mata pelajaran ketiga sudah berbunyi dan sekarang kelas XII IPA 4 harus menuju ke Laboratorium Biologi."Oh, tadi pas istirahat jatuh di bawah meja lo. Mau gue taruh di laci lo, eh penuh banget jadi daripada en
Hari ini Titan tidak banyak molor di kelas. Ia justru lebih banyak melamun sepanjang pelajaran. Matanya sendu menatap ke arah ubin kelasnya. Hanya penjelasan dari Bu Fatimah yang mencegahnya agar tidak kesambet. Rheva yang jadi temannya saja sampai heran."Tumben lo nggak molor?" Rheva menepuk jidat sahabatnya dengan pulpen, menyadarkan Titan kalau-kalau temannya itu beneran kesambet."Sssh!" Titan berdesis tapi tatapannya tetap kosong ke depan.Sekarang pulpen Rheva sudah berpindah posisi ke lipatan ketiak Titan. Rheva menggelitiki Titan tapi tak berpengaruh sama sekali. Cewek itu tetap bergeming.Wah kesambet beneran nih anak, batin Rheva.Rheva lalu menarik kunciran rambu
Titan lapar. Cacing-cacing di perutnya memang paling tidak bisa diajak buat kompromi. Di luar langit sudah gelap dan Aldo belum pulang juga. Titan membuang napas kasar lalu beranjak menuju meja belajarnya. Ia mengambil dompet dan berjalan keluar kamar. Menuruni tangga lalu keluar rumah dan mengunci rapat pintu rumahnya.Demi cacing-cacing di perut, Titan datang!!!Ia beranjak keluar kompleks menuju ruko-ruko di depan kompleks perumahan. Ada minimarket di daerah belakang deretan ruko tersebut. Karena letaknya di belakang, maka minimarket tersebut tidak terlalu ramai karena hanya segelintir orang yang tinggal di dekat ruko atau kompleks depan yang tahu letaknya.Titan menarik napas dalam-dalam. Merasakan tiap desiran angin malam yang menyapu anak rambutnya. Tiap tarikan napas ya
Rheva membuang napas kasar. Ia menengok ke jam berbentuk kepala doraemon yang tergantung di atas dinding kamarnya yang bernuansababy blue.Pukul 21.00. Dengan malas, ia beranjak turun dari kasur dan keluar kamar menuju lantai satu. Tiap sudut rumah terang-benderang namun rumahnya selalu benar-benar sepi. Sendiri. Entah kapan terakhir kali suasana rumah ini pernah terasa hangat baginya. Ia sudah terbiasa hidup seperti ini.Ia membuka kulkas namun lagi-lagi hanya bisa menghembuskan napas kasar ketika melihat isinya yang kosong melompong. Ia mengingatkan diri sendiri agar besok meminta mbak yang selalu datang pagi untuk bersih-bersih agar sekalian membelikannya bahan makanan. Akhirnya, ia cuma meminum segelas air di kursibardapurnya.Merogoh kantong celana, Rheva membuka daftar kontak dan mengamati
Titan mendengus kesal karena ucapannya tidak dihiraukan. Ia melangkahkan kakinya menuju toilet perempuan dan memperbaiki ikatan rambutnya di sana. Karena jam pertama adalah olahraga dan ia tidak mau kegerahan karena rambut panjangnya sendiri.Seperti biasa, toilet perempuan akan ramai saat pagi hari dipenuhi siswi-siswi yang berdandan. Mereka memakai berbagai macam dempul yang menurut Titan terlalu tebal. Beberapa dari mereka sudah selesai dan keluar setelah mereka melipat roknya menjadi lebih pendek.Muka kok putihnya udah kayak tukang sapu jalanan aja, ia membatin heran.Setelah selesai memperbaiki kuncirannya, ia hendak beranjak keluar, namun gerakan tangannya untuk membuka pintu terhenti kala mendengar suara salah satu siswi."Eh, lo yang mau keluar, lo yang disamperin Tristan waktu basket kapan lalu kan?" tanya seorang siswi sambil memakailiptint.Titan hanya memandangnya dengan kening berkerut, menunggu lanjutan ucapan
"Lo boleh jadiin temen lo itu buat jadi wasit," ujar Tristan sambil menunjuk Rheva yang berada di pinggir lapangan."Oke," Titan menghampiri Rheva dan berucap, "Rev, jadi wasit gih.""Lo serius nerima tantangan tadi mau ngalahain dia?" Rheva menaikkan sebelah alisnya. Mereka lalu kembali ke tengah lapangan."Iya, gapapa. Lagian kalau kalah juga dia nggak mi-""Enak aja! Kalau lo kalah ya lo juga harus ngabulin dua permintaan gue lah, gimana sih?! Di mana-mana ya gitu aturannya, bego!" potong Tristan yang bisa menebak arah pembicaraan Titan.Bahkan jadi babu gue buat seminggu penuh, Tristan membatin."Cih," Titan hanya berde
"Sayang-sayang pala lo peyang!" sentak Titan kesal seraya meninju bantal tidurnya tak henti-henti. Setelah meninjunya, ia melempar bantal itu ke sembarang arah. Iya, Titan sedang dalam mode siluman ekor rubah. Ia benar-benar kesal kala mengingat bagaimana Tristan memanggilnya sayang tadi saat di aula ketika latihan. Satu aula benar-benar menyorakinya dan ia langsung bingung harus menaruh muka di mana. "Sayang-sayang lo banyak! Bukan cuma Titan doang!" geramnya lagi. Bahkan sekarang ia mulai menggigiti sarung guling saking kesalnya. Ia semakin kesal kala mengingat bagaimana Tristan begitu dekat dengan teman-teman ceweknya yang lain. Mungkin saja kan ada si sayang nomor dua, nomor tiga, dan seterusnya. Mau marah juga rasanya aneh, statusnya bukan siapa-siapa walau tak bisa juga dibila
"Cie... habis kena marah ya? Kusut bener mukanya kayak keset depan WC." Titan terkikik geli sekembalinya Tristan setelah sesi berbincang-bincang tidak ria dengan papanya di atap rumah sakit barusan.Sekarang mereka ada di taman rumah sakit, setelah Tristan selesai dengan papanya dan langsung menghubungi Titan untuk bertemu di sana."Kamu juga kusut mukanya," balas Tristan."Hah, masa? Udah cuci muka tadi pakai air padahal." Titan memegang pipinya sendiri dengan punggung tangannya."Iya kusut, kayak kurang asupan perhatian dari aku.""Jijik banget dengernya tahu nggak?" Ekspresi Titan langsung berubah sedatar mungkin."Aku kayaknya y
Setelah mendapat lokasi balapan motor dengan lagi-lagi harus menelpon Bams, maka Rheva semakin menggas mobilnya. Ia jarang ngebut apalagi kebut-kebutan begini. Alhasil, ia hampir menabrak seorang pejalan kaki yang menyeberang jalan di tengah gelapnya malam ditambah guyuran hujan. Syukur-syukur selamat."Rev." Titan memanggil."....""Rev.""Hm?""Rev!""Apa, sih?!""Lo bawa mobil mahal apa bawa bajaj sih!""Mobil mahal lah ini.""Lelet banget tahu nggak?! Saingan sama siput?!""Yang penting jalan mobilnya.""INI CUMA 20 KILOMETER PER JAM REPPPP!!!! KAPAN NYAMPENYA ISHHH!!! LIMA BELAS MENIT LAGI TENGAH MALEM NIH UDAH MULAI BALAPANNYA ENTAR!!!""Udah cepet ini! Lo mau kita hampir nabrak lagi apa?! Jantung gue tadi rasanya mau loncat keluar tahu nggak?!""Ishhh Rhevaaaaa...." Titan merengek."Entar lagi juga sampe elah. Gue kapok ngebut! Lagian ini hujan, buram kacanya!""Entar mere
"Aku sayang sama kamu, Tan!" teriak Aundy di ujung lorong yang sudah sepi.Tristan ada di hadapannya, menatap dirinya dengan tatapan datar dan tak tertarik sama sekali."Guenya nggak.""Bohong! Kamu meluk aku waktu itu! Waktu di parkiran aku nangis kejer-kejer bahkan di rumah sakit kamu temenin aku sampai malem." Mata gadis itu berkaca-kaca, berusaha meyakinkan dirinya sendiri pada sebuah harapan kosong."Waktu itu, cuma itu yang bisa gue lakuin buat nolongin lo. Jangan kegeeran.""Nggak mungkin cuma gara-gara itu. Kalau emang iya kamu sukanya sama Titan, kamu harusnya ninggalin aku gitu aja. Kamu tahu Titan nggak suka sama aku deketin kamu."
Tristan seharian ini tidak sempat bertemu dengan Titan. Entah ke mana gadis itu saat ia mencarinya, mereka tidak berpapasan sama sekali. Mereka juga sudah sibuk dihadang berbagai ujian menjelang UN, membuat kesempatan bertemu semakin sulit karena gadis itu biasanya langsung ngacir pulang begitu selesai ujian.Sekolah tidak pernah terasa seluas ini bagi Tristan, namun ketika dia tidak bisa bertemu Titan, semua berbeda. Hari ini, ketika ia bertemu salah satu siswa laki-laki yang diingatnya sekelas dengan Titan, maka ia pun bertanya di mana keberadaan cewek itu. Cowok itu menjawab, hari ini seharusnya anakbandakan latihan.Maka ia bergegas, mencari ke aula tapi tak ada siapapun di sana. Ia lalu berlari ke ruang musik, namun melihat dari jendela luar saja sudah kelihatan jelas bahwa tempat itu juga kosong, pintunya pun
Tristan mengerang, pusing. Ia masih terjebak di tempat ini, Rumah Sakit Medika. Orang tua Aundy mengalami kecelakaan cukup parah, yang memerlukan operasi untuk segera menangani mereka. Luka-luka dan patah tulang. Sementara keluarga Aundy yang lain yaitu om dan tantenya baru saja datang.Pengurusan untuk surat tindakan medis semuanya ditangani mereka yang sudah berusia di atas 21 tahun. Sementara Aundy sendiri hanya bisa menangis sedari tadi, terlebih setelah mendengar penjelasan dokter sebelumnya mengenai kondisi papa dan mamanya yang akan segera ditangani."Tolong temani Aundy dulu, ya. Biar saya dan omnya yang mengurus semua."Tristan tadi dimintai tolong oleh Arini dan Budi yaitu tante dan om dari Aundy agar bantu menenangkan Aundy yang masih histeris. Setelah Arini dan Budi menguru
Tristan bergegas keluar kelas begitu bel tanda istirahat berbunyi. Ia tidak bolos pagi ini, berhasil memposisikan pantatnya untuk tetap menempel pada kursi walau tidak betah. Jika pantatnya punya nyawa sendiri, sudah pasti pantatnya itu bakalan kabur duluan.Ia uring-uringan sejak kemarin, ketika sempat berselisih dengan Titan sebelum pulang sekolah. Ia sadar ia yang salah. Seharusnya ia tidak boleh egois dengan meminta Titan menunggunya sementara ia akan berdua dengan Aundy walau hanya untuk sekadar latihan drama. Ia seharusnya memilih salah satu antara latihan atau mengantar Titan pulang. Satu yang ia tahu, ia tidak akan senang memilih salah satunya. Ada konsekuensi di antara kedua pilihan itu.Pentas seni sialan,batinnya.Ia akan meminta maaf pada Titan, oleh
Esoknya, Tristan datang ke kelasnya seperti kebiasaannya belakangan ini untuk mengajak Titan makan ke kantin. Titan pun tak bisa pura-pura seolah biasa saja. Senyumnya langsung merekah begitu melihat penampakan cowok itu muncul di ambang pintu kelasnya bahkan sebelum Bu Endah yang sedang mengajar di XII IPA 4 keluar kelas."Ngapain kamu mejeng di sini?" Bu Endah yang hendak keluar tentu saja bertemu dengan Tristan di ambang pintu."Mau nyari anak didiknya Bu Endah buat ngajakin makan berdua di kantin. Kenapa? Ibu mau ikutan? Jangan jadi orang ketiga di antara kami dong Bu," jawab Tristan sambil senyum-senyum."Hah, ngawur aja kamu nih. Emang kamu ngajakin siapa toh?""Ini Bu, anaknya udah ketemu." Tristan langsung merangkul pundak Tit
Tristan menahan napas ketika melihat wujud manusia di depannya. Seketika, bayangan wajah cemburu Titan tergambar di otaknya dan membuatnya berasa sedang selingkuh. Padahal pacaran aja mereka tidak.Aundy.Sesosok gaib-eh manusia yang belakangan ini selalu absen di depan wajahnya tiap hari. Menggerayanginya ke mana-mana sampai terkadang membuat Tristan berasa punya penunggu di punggungnya.Kadang ia kesal sendiri, tapi pernah beberapa kali ia bersikap cukup baik pada cewek itu ketika ingin melihat reaksi Titan bila ia berdua dengan perempuan lain. Makan bersama di kantin beberapa kali dan mengantarnya pulang.Sekarang rasanya ia ingin ganti muka saja. Biar tak terus-terusan dikejar sana-sini. Toh cewek satu ini juga cuma naksir sama ta