Hari ini Titan tidak banyak molor di kelas. Ia justru lebih banyak melamun sepanjang pelajaran. Matanya sendu menatap ke arah ubin kelasnya. Hanya penjelasan dari Bu Fatimah yang mencegahnya agar tidak kesambet. Rheva yang jadi temannya saja sampai heran.
"Tumben lo nggak molor?" Rheva menepuk jidat sahabatnya dengan pulpen, menyadarkan Titan kalau-kalau temannya itu beneran kesambet.
"Sssh!" Titan berdesis tapi tatapannya tetap kosong ke depan.
Sekarang pulpen Rheva sudah berpindah posisi ke lipatan ketiak Titan. Rheva menggelitiki Titan tapi tak berpengaruh sama sekali. Cewek itu tetap bergeming.
Wah kesambet beneran nih anak, batin Rheva.
Rheva lalu menarik kunciran rambu
Titan lapar. Cacing-cacing di perutnya memang paling tidak bisa diajak buat kompromi. Di luar langit sudah gelap dan Aldo belum pulang juga. Titan membuang napas kasar lalu beranjak menuju meja belajarnya. Ia mengambil dompet dan berjalan keluar kamar. Menuruni tangga lalu keluar rumah dan mengunci rapat pintu rumahnya.Demi cacing-cacing di perut, Titan datang!!!Ia beranjak keluar kompleks menuju ruko-ruko di depan kompleks perumahan. Ada minimarket di daerah belakang deretan ruko tersebut. Karena letaknya di belakang, maka minimarket tersebut tidak terlalu ramai karena hanya segelintir orang yang tinggal di dekat ruko atau kompleks depan yang tahu letaknya.Titan menarik napas dalam-dalam. Merasakan tiap desiran angin malam yang menyapu anak rambutnya. Tiap tarikan napas ya
Rheva membuang napas kasar. Ia menengok ke jam berbentuk kepala doraemon yang tergantung di atas dinding kamarnya yang bernuansababy blue.Pukul 21.00. Dengan malas, ia beranjak turun dari kasur dan keluar kamar menuju lantai satu. Tiap sudut rumah terang-benderang namun rumahnya selalu benar-benar sepi. Sendiri. Entah kapan terakhir kali suasana rumah ini pernah terasa hangat baginya. Ia sudah terbiasa hidup seperti ini.Ia membuka kulkas namun lagi-lagi hanya bisa menghembuskan napas kasar ketika melihat isinya yang kosong melompong. Ia mengingatkan diri sendiri agar besok meminta mbak yang selalu datang pagi untuk bersih-bersih agar sekalian membelikannya bahan makanan. Akhirnya, ia cuma meminum segelas air di kursibardapurnya.Merogoh kantong celana, Rheva membuka daftar kontak dan mengamati
Titan mendengus kesal karena ucapannya tidak dihiraukan. Ia melangkahkan kakinya menuju toilet perempuan dan memperbaiki ikatan rambutnya di sana. Karena jam pertama adalah olahraga dan ia tidak mau kegerahan karena rambut panjangnya sendiri.Seperti biasa, toilet perempuan akan ramai saat pagi hari dipenuhi siswi-siswi yang berdandan. Mereka memakai berbagai macam dempul yang menurut Titan terlalu tebal. Beberapa dari mereka sudah selesai dan keluar setelah mereka melipat roknya menjadi lebih pendek.Muka kok putihnya udah kayak tukang sapu jalanan aja, ia membatin heran.Setelah selesai memperbaiki kuncirannya, ia hendak beranjak keluar, namun gerakan tangannya untuk membuka pintu terhenti kala mendengar suara salah satu siswi."Eh, lo yang mau keluar, lo yang disamperin Tristan waktu basket kapan lalu kan?" tanya seorang siswi sambil memakailiptint.Titan hanya memandangnya dengan kening berkerut, menunggu lanjutan ucapan
"Lo boleh jadiin temen lo itu buat jadi wasit," ujar Tristan sambil menunjuk Rheva yang berada di pinggir lapangan."Oke," Titan menghampiri Rheva dan berucap, "Rev, jadi wasit gih.""Lo serius nerima tantangan tadi mau ngalahain dia?" Rheva menaikkan sebelah alisnya. Mereka lalu kembali ke tengah lapangan."Iya, gapapa. Lagian kalau kalah juga dia nggak mi-""Enak aja! Kalau lo kalah ya lo juga harus ngabulin dua permintaan gue lah, gimana sih?! Di mana-mana ya gitu aturannya, bego!" potong Tristan yang bisa menebak arah pembicaraan Titan.Bahkan jadi babu gue buat seminggu penuh, Tristan membatin."Cih," Titan hanya berde
Bel istirahat pertama berbunyi. Kali ini, tanpa menunggu kelas sepi, Titan langsung ngacir keluar kelas. Sementara Rheva tidak mengikutinya karena hari ini cewek itu dibuatkan bekal oleh asisten rumah tangganya.Titan tahu ke mana kakinya harus melangkah. Area belakang sekolah. Ia akan menagih piala kemenangannya.Benar saja, ia melihat ada empat cowok yang sedang merokok di sana. Titan datang menghampiri Tristan yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Keempat cowok itu terlihat asik sekali sampai tidak sadar akan keberadaan Titan yang semakin mendekat.Langsung saja, Titan mengambil rokok di tangan Tristan lalu membuang dan menginjaknya di tanah. Tristan yang kaget otomatis langsung kesal begitu melihat siapa yang datang. Bukan lagi kesal karena rokoknya, melainkan karena ia tahu
"Makasih ya, minyak goreng." Titan turun dari motor Bimo lalu melepas helm dan mengembalikannya pada si empunya."Pala lu minyak goreng. Seenak jidat kalau gonta-ganti nama orang. Kenapa sih, lo nggak pernah bener manggil nama orang? Kalau panggilannya bagus aja gak apa. Sekali-kali panggil gue si cakep lah." Bimo menerima lalu memakai helm itu, kemudian merapikan rambut Titan yang berantakan."Cerewet lo, soalnya nama kalian pada susah-susah sih." Titan cuma balas nyengir."Terserah udel lo aja lah. Yaudah, gue duluan ya," ujar Bimo."Hm...." Titan tersenyum singkat sambil melambaikan tangannya pada Bimo yang sudah berlalu dengan motornya, lalu ia berbalik ingin mengetuk-ngetuk gembok pagar rumahnya.
Mereka berjalan melewati beberapa rumah. Tristan dan Timo di depan, sementara Titan hanya mengikuti beberapa langkah di belakang mereka dalam diam."Adaw!" Titan menabrak bahu Tristan."Melamun aja mulu. Ini rumah gue," ujar Tristan sambil maju lalu membuka pagar dengan sebelah tangannya yang menganggur tidak menggendong Timo."Eh iya." Titan mengamati rumah di depannya.Rumah dua lantai di depannya ini terlihat sangat asri. Dimulai dengan pagar pendek di ujung kiri yang langsung mengarah pada garasi terbuka. Dari samping garasi,ada jalan berbatu dengan kerikil putih yang membelah halaman berumput.Halamannya terbilang cukup luas, terbukti dengan beberapa pohon yang tumbuh di sana da
Setelah menghabiskan makan malamnya, ponsel Titan bergetar. Titan mengangkat ponselnya. Tertera nama "Iblis Senior" di sana, oh abangnya."Halo,Bang Aldo udah di mana?" Titan langsung membuka pembicaraan.".....""Oh, Titan lagi di rumah teman di blok sebelah. Sebentar Titan kirim alamatnya.""Abang kamu mau jemput? Nggak usah ya? Biar Tristan aja yang antarin kamu," pinta Riana tiba-tiba setelah paham isi pembicaraan mereka dari apa yang ia dengar.Tristan langsung cemberut."Eh, Tante nggak usah repot-repot gitu. Abangnya Titan udah dekat kok," ujar Titan sembari menjauhkan ponselnya.
"Sayang-sayang pala lo peyang!" sentak Titan kesal seraya meninju bantal tidurnya tak henti-henti. Setelah meninjunya, ia melempar bantal itu ke sembarang arah. Iya, Titan sedang dalam mode siluman ekor rubah. Ia benar-benar kesal kala mengingat bagaimana Tristan memanggilnya sayang tadi saat di aula ketika latihan. Satu aula benar-benar menyorakinya dan ia langsung bingung harus menaruh muka di mana. "Sayang-sayang lo banyak! Bukan cuma Titan doang!" geramnya lagi. Bahkan sekarang ia mulai menggigiti sarung guling saking kesalnya. Ia semakin kesal kala mengingat bagaimana Tristan begitu dekat dengan teman-teman ceweknya yang lain. Mungkin saja kan ada si sayang nomor dua, nomor tiga, dan seterusnya. Mau marah juga rasanya aneh, statusnya bukan siapa-siapa walau tak bisa juga dibila
"Cie... habis kena marah ya? Kusut bener mukanya kayak keset depan WC." Titan terkikik geli sekembalinya Tristan setelah sesi berbincang-bincang tidak ria dengan papanya di atap rumah sakit barusan.Sekarang mereka ada di taman rumah sakit, setelah Tristan selesai dengan papanya dan langsung menghubungi Titan untuk bertemu di sana."Kamu juga kusut mukanya," balas Tristan."Hah, masa? Udah cuci muka tadi pakai air padahal." Titan memegang pipinya sendiri dengan punggung tangannya."Iya kusut, kayak kurang asupan perhatian dari aku.""Jijik banget dengernya tahu nggak?" Ekspresi Titan langsung berubah sedatar mungkin."Aku kayaknya y
Setelah mendapat lokasi balapan motor dengan lagi-lagi harus menelpon Bams, maka Rheva semakin menggas mobilnya. Ia jarang ngebut apalagi kebut-kebutan begini. Alhasil, ia hampir menabrak seorang pejalan kaki yang menyeberang jalan di tengah gelapnya malam ditambah guyuran hujan. Syukur-syukur selamat."Rev." Titan memanggil."....""Rev.""Hm?""Rev!""Apa, sih?!""Lo bawa mobil mahal apa bawa bajaj sih!""Mobil mahal lah ini.""Lelet banget tahu nggak?! Saingan sama siput?!""Yang penting jalan mobilnya.""INI CUMA 20 KILOMETER PER JAM REPPPP!!!! KAPAN NYAMPENYA ISHHH!!! LIMA BELAS MENIT LAGI TENGAH MALEM NIH UDAH MULAI BALAPANNYA ENTAR!!!""Udah cepet ini! Lo mau kita hampir nabrak lagi apa?! Jantung gue tadi rasanya mau loncat keluar tahu nggak?!""Ishhh Rhevaaaaa...." Titan merengek."Entar lagi juga sampe elah. Gue kapok ngebut! Lagian ini hujan, buram kacanya!""Entar mere
"Aku sayang sama kamu, Tan!" teriak Aundy di ujung lorong yang sudah sepi.Tristan ada di hadapannya, menatap dirinya dengan tatapan datar dan tak tertarik sama sekali."Guenya nggak.""Bohong! Kamu meluk aku waktu itu! Waktu di parkiran aku nangis kejer-kejer bahkan di rumah sakit kamu temenin aku sampai malem." Mata gadis itu berkaca-kaca, berusaha meyakinkan dirinya sendiri pada sebuah harapan kosong."Waktu itu, cuma itu yang bisa gue lakuin buat nolongin lo. Jangan kegeeran.""Nggak mungkin cuma gara-gara itu. Kalau emang iya kamu sukanya sama Titan, kamu harusnya ninggalin aku gitu aja. Kamu tahu Titan nggak suka sama aku deketin kamu."
Tristan seharian ini tidak sempat bertemu dengan Titan. Entah ke mana gadis itu saat ia mencarinya, mereka tidak berpapasan sama sekali. Mereka juga sudah sibuk dihadang berbagai ujian menjelang UN, membuat kesempatan bertemu semakin sulit karena gadis itu biasanya langsung ngacir pulang begitu selesai ujian.Sekolah tidak pernah terasa seluas ini bagi Tristan, namun ketika dia tidak bisa bertemu Titan, semua berbeda. Hari ini, ketika ia bertemu salah satu siswa laki-laki yang diingatnya sekelas dengan Titan, maka ia pun bertanya di mana keberadaan cewek itu. Cowok itu menjawab, hari ini seharusnya anakbandakan latihan.Maka ia bergegas, mencari ke aula tapi tak ada siapapun di sana. Ia lalu berlari ke ruang musik, namun melihat dari jendela luar saja sudah kelihatan jelas bahwa tempat itu juga kosong, pintunya pun
Tristan mengerang, pusing. Ia masih terjebak di tempat ini, Rumah Sakit Medika. Orang tua Aundy mengalami kecelakaan cukup parah, yang memerlukan operasi untuk segera menangani mereka. Luka-luka dan patah tulang. Sementara keluarga Aundy yang lain yaitu om dan tantenya baru saja datang.Pengurusan untuk surat tindakan medis semuanya ditangani mereka yang sudah berusia di atas 21 tahun. Sementara Aundy sendiri hanya bisa menangis sedari tadi, terlebih setelah mendengar penjelasan dokter sebelumnya mengenai kondisi papa dan mamanya yang akan segera ditangani."Tolong temani Aundy dulu, ya. Biar saya dan omnya yang mengurus semua."Tristan tadi dimintai tolong oleh Arini dan Budi yaitu tante dan om dari Aundy agar bantu menenangkan Aundy yang masih histeris. Setelah Arini dan Budi menguru
Tristan bergegas keluar kelas begitu bel tanda istirahat berbunyi. Ia tidak bolos pagi ini, berhasil memposisikan pantatnya untuk tetap menempel pada kursi walau tidak betah. Jika pantatnya punya nyawa sendiri, sudah pasti pantatnya itu bakalan kabur duluan.Ia uring-uringan sejak kemarin, ketika sempat berselisih dengan Titan sebelum pulang sekolah. Ia sadar ia yang salah. Seharusnya ia tidak boleh egois dengan meminta Titan menunggunya sementara ia akan berdua dengan Aundy walau hanya untuk sekadar latihan drama. Ia seharusnya memilih salah satu antara latihan atau mengantar Titan pulang. Satu yang ia tahu, ia tidak akan senang memilih salah satunya. Ada konsekuensi di antara kedua pilihan itu.Pentas seni sialan,batinnya.Ia akan meminta maaf pada Titan, oleh
Esoknya, Tristan datang ke kelasnya seperti kebiasaannya belakangan ini untuk mengajak Titan makan ke kantin. Titan pun tak bisa pura-pura seolah biasa saja. Senyumnya langsung merekah begitu melihat penampakan cowok itu muncul di ambang pintu kelasnya bahkan sebelum Bu Endah yang sedang mengajar di XII IPA 4 keluar kelas."Ngapain kamu mejeng di sini?" Bu Endah yang hendak keluar tentu saja bertemu dengan Tristan di ambang pintu."Mau nyari anak didiknya Bu Endah buat ngajakin makan berdua di kantin. Kenapa? Ibu mau ikutan? Jangan jadi orang ketiga di antara kami dong Bu," jawab Tristan sambil senyum-senyum."Hah, ngawur aja kamu nih. Emang kamu ngajakin siapa toh?""Ini Bu, anaknya udah ketemu." Tristan langsung merangkul pundak Tit
Tristan menahan napas ketika melihat wujud manusia di depannya. Seketika, bayangan wajah cemburu Titan tergambar di otaknya dan membuatnya berasa sedang selingkuh. Padahal pacaran aja mereka tidak.Aundy.Sesosok gaib-eh manusia yang belakangan ini selalu absen di depan wajahnya tiap hari. Menggerayanginya ke mana-mana sampai terkadang membuat Tristan berasa punya penunggu di punggungnya.Kadang ia kesal sendiri, tapi pernah beberapa kali ia bersikap cukup baik pada cewek itu ketika ingin melihat reaksi Titan bila ia berdua dengan perempuan lain. Makan bersama di kantin beberapa kali dan mengantarnya pulang.Sekarang rasanya ia ingin ganti muka saja. Biar tak terus-terusan dikejar sana-sini. Toh cewek satu ini juga cuma naksir sama ta