Share

Serendipity in Magnanimous
Serendipity in Magnanimous
Penulis: donutmissme

1. Awal Musibah

Penulis: donutmissme
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Saat ini, Titan Darmawan, sedang berusaha mengingat-ingat apa saja dosa yang telah ia lakukan dari kemarin hingga harus berakhir berurusan dengan Tristan, si tukang bolos SMA Garuda. Gadis itu merenung mengamati luka di lututnya yang berdarah dan lebam biru-biru. Ia meringis merasakan perih dan nyeri sekaligus. Untuk berdiri saja, lututnya bahkan terasa terlalu lemas. 

Satu hari yang lalu ....

Titan, seorang gadis berperawakan mungil di bawah 160 sentimeter yang memiliki wajah imut. Rambutnya panjang, jatuh lurus hingga ke punggung. Matanya bulat, dengan bulu mata panjang walau tidak lentik. Hidungnya tidak mancung tapi juga tidak pesek. Bibirnya mungil dan merah alami. Kalau diam saja, orang-orang tentu akan berpikir dirinya adalah seorang gadis feminim. Padahal, semuanya kontras dengan sifat dan mulutnya yang bar-bar. Belum lagi hobinya adalah tidur di kelas dan membuat orang lain frustasi karena tingkahnya. Ia juga malas, tepatnya terlalu malas untuk melakukan banyak hal selain bernapas, makan, dan tidur. Itu juga kenapa ia selalu berusaha menghindari segala macam bentuk drama dalam hidupnya, tapi sepertinya, keinginannya untuk hidup tenang akan berakhir setelah ini.

Kelas XII IPA 4 saat itu sedang mengikuti jam pelajaran Olahraga. Kali ini mereka harus ambil nilai maraton di bawah teriknya matahari yang sedang bersinar cerah di langit Bandung. Tentu saja berhasil membuat semua siswi perempuan mengeluh setiap saat karena takut kulitnya akan gosong. Maka, setelah jam pelajaran yang melelahkan, semua anggota kelas itu langsung berhamburan untuk ganti baju ataupun membeli minum sebentar ke kantin. Termasuk Titan yang ingin segera membasahi tenggorokannya yang sudah kering kerontang sejak tadi. Ia merogoh kantong celana olahraganya yang berwarna merah, ingin memastikan dirinya membawa sejumlah uang di saku. Senyumnya mengembang kala berhasil menarik selembar uang sepuluh ribu dari dalamnya.

"Titan mau ke kantin beli es kopi. Rev, lo temenin Titan mau, nggak?" tanya Titan sambil mengipas-ngipas wajahnya yang kemerahan sehabis lari maraton barusan. Kulit wajahnya yang sensitif, terasa sedikit perih.

Ia melirik temannya yang terlihat ngos-ngosan, terlihat sedang berusaha menetralkan napas setelah ambil nilai maraton barusan. Temannya satu ini tinggi, hampir 170 cm. Merupakan defisi nyata dari kutilang, alias kurus, tinggi, dan langsing. Tiap orang pasti setuju kalau sahabatnya ini sangat cantik, termasuk salah satu jejeran cewek populer di sekolahnya. Namun, Rheva sedikit susah bergaul. Pemikirannya dewasa, dan dengan ajaibnya entah kenapa ia justru bisa merasa nyaman berteman dengan Titan yang kerjaannya suka bikin pusing kepala orang dengan tingkah kekanakannya.

"Nggak deh. Gue mau cepetan ke toilet, kebelet sekalian mau cepat-cepat ganti baju biar nggak kena semprotnya Bu Damara. Lo aja sendiri." Rheva memilih menelantarkan temannya dan masuk zona aman. Memang, guru PPKN mereka, Bu Damara, sangat menakutkan. Bisa membuat semua murid otomatis sungkem kalau sudah berhadapan langsung dengan beliau.

"Rev, lo pasti mau boker sekebon lagi," tebak Titan dengan mata menyipit menatap Rheva. Tahu sekali kebiasaan aneh temannya.

"Nah, pinter emang lo jadi sahabat gue, kayak cenayang nebaknya. Udah ngerti gitu sampai urusan perut gue. Terbaik deh pokoknya." Rheva cengegesan sambil mengacungkan dua jempol. Merasa geli karena sahabatnya sudah hafal betul kebiasaan perutnya yang sering mules di sekolah. Bahkan, tiap bilik toilet perempuan di sekolah, sudah pernah dipakai Rheva untuk boker. Kenapa semua dicoba? Biar ganti suasana supaya tidak bosan katanya.

"Yaudah, Titan ke kantin kalau gitu. Udah nggak nahan ini hausnya. Tenggorokan kering kerontang." Titan lalu berdiri sambil menepuk-nepuk celananya, membersihkan debu yang menempel.

"Ingat, jangan kelamaan lo di kantin. Jangan semua lo pengen beli, lo kan juga belom ganti baju." Rheva memperingati Titan yang notabenenya memang doyan banget makan. Kalau tidak begitu, pasti temannya akan memborong banyak jajanan dan lupa waktu. Bahaya, kalau sampai dihukum.

"Iya-iya. Nitip baju ganti Titan ya. Bawain ke toilet biar nggak usah bolak-balik." Titan lalu beranjak menuju kantin sendirian.

"Aman. Ingat loh ya, jangan kelamaan! Bu Damara tuh galak!" Rheva pun juga beranjak namun ke arah yang berlawanan, menuju kelas XII IPA 4 yang terletak di ujung lantai dua SMA Garuda.

Titan harus naik tangga untuk bisa sampai ke kantin sekolahnya yang berbentuk seperti aula persegi panjang. Lengkap dengan jejeran kios-kios persegi di tiap sisi yang menjual kebutuhan perut para siswa dan guru. Di sana juga terpajang banyak meja persegi panjang dengan bangku kayu berhadapan. Kantinnya juga merupakan area terbuka, jadi hanya dilengkapi kipas-kipas yang menggantung di tiang-tiang kayu peyangga.

Sampai di kantin yang memang lenggang karena masih jam pelajaran, Titan langsung nyelonong ke kiosnya Mang Asep. Begitu panggilan pemilik kios tersebut, yang jajanannya selalu ludes karena menjual gorengan kegemaran semua murid.

"Mang, es kopinya dong satu!" ucap Titan ke Mang Asep.

"Lah si Eneng kenapa dah mukanya merah banget? Shy-shy cat ya ketemu Mang Asep?" Mang Asep mengeluarkan seribu jurus gombalan recehnya.

"Aduh, shy-shy berak kucing iya kali. Cepetan atuh nggak nahan kepanasan ini." Titan mulai mengomel, sudah biasa dikerjai oleh Mang Asep.

"Masalahnya Mang Asep nggak bawa es batu hari ini, Neng. Gara-gara mati lampu kemarin jadi meleleh semua es di kulkas rumah Mang Asep, gimana nih?"

"Alamak. Tega banget sih PLN sama Titan. Titan bakar kantornya baru tau." Oke, sampai sini Titan mulai ngawur.

"Aduh si Eneng mah ada-ada aja. Gimana kalau beli kopi panas setengah cup sama air mineral dingin baru nanti dicampur?" tawar Mang Asep sambil menunjuk kulkas minuman yang terpajang di depan kios.

"Itu mah Mang Asep yang untung. Yaudah deh yang penting es kopi jadinya. Cepetan ya nanti keburu Bu Cemara ngajar," ujar Titan benar-benar tidak sabaran. Dalam hati juga sudah kalang kabut takut terlambat dan harus berhadapan dengan amukan sang guru yang terkenal mampu membuat segala jenis spesies siswa membandel jadi kiceup.

"Bu Cemara siapa, Neng? Guru baru?" Mang Asep kebingungan, secara dia sudah kenal baik dengan guru-guru di SMA Garuda. Namun, tak tahu ada yang namanya Bu Cemara.

"Itu yang doyannya marah-marah kalau upacara. Yang kalau sekali buka mulut depan mikrofon langsung bersabda."

Titan sangat mudah lupa dengan nama orang lain. Bawaan diri gadis itu yang memang cuek. Sehingga, ia selalu berujung hanya mengingat samar-samar dan berakhir memelesetkan nama orang lain. Bahkan nama gurunya pun sering jadi korban. 

"Itu mah Bu Damara atuh Neng, namanya," ucap Mang Asep setelah berpikir keras siapa guru yang dimaksud Titan. Mang Asep lalu segera membuatkan kopi panas. Merobek bungkus kopi saset dan menuang air panas dari teko ke dalam cup kertas.

"Eh iya, terserah mau apalah itu namanya," ujar Titan tak peduli, "cepetan Mang, lima menit lagi bel pelajaran kedua. Titan campur sendiri aja nanti kopi sama air dinginnya di kelas kalau sempat." lanjutnya buru-buru sembari mengambil air mineral dingin di kulkas.

"Nih, Neng. Hati-hati bawanya." Mang Asep menyerahkan kopi panas dalam gelas kertas.

"Oke, Mang. Nih uangnya pas ya." Titan mengeluarkan jumlah uang total Rp.7.000,00. Saking seringnya makan di kantin Mang Asep, ia sampai hafal semua harga dagangannya. Sungguh pelanggan yang baik dan tidak mau merepotkan sang penjual untuk berbicara berlebih.

"Makasih, Neng," balas Mang Asep sambil menerima uang tersebut.

Titan segera menuju toilet. Di depan toilet perempuan ia berpapasan dengan Bimo, ketua kelasnya. Kebetulan toilet perempuan memang bersebelahan dengan toilet laki-laki. Cowok itu nampaknya juga baru selesai berganti baju sehabis olahraga tadi. Wajahnya basah sehabis cuci muka, namun warnanya masih memerah seperti tomat. Akibat lari maraton sambil dipanggang di bawah sinar matahari yang sedang naik karena mendekati siang hari.

"Eitsss... Bimoli, nitip kopi sama airnya Titan ya! Lo minum sedikitpun Titan sumpahin lo jadi mandul!" Tanpa menunggu persetujuan dari Bimo ataupun merasa bersalah dengan panggilan serta kutukan yang ia berikan barusan, Titan langsung masuk ke dalam toilet perempuan.

"Lama banget lo di kantin dah. Udah mau bel ganti jam pelajaran ini," ujar Rheva yang sudah selesai dengan ritual ngeden dan ganti bajunya. Ia hendak keluar toilet.

"Wah... tungguin dong," Titan memelas.

"Ogah, entar gue kena amuk bu killer. Gue duluan, itu baju lo ada di samping wastafel." Rheva melenggang keluar dari toilet, dengan segala bentuk tidak berpriketemanannya.

"Elah, punya temen satu kagak pernah mau nungguin. Untung aing teh sabar dan mandiri," Titan mengoceh sambil bergegas ganti baju. Setelah itu ia segera naik ke lantai dua menuju kelasnya yang ada di ujung.

Kelas masih berisik. Guru killer belum datang rupanya. Keberuntungan sepertinya memihak Titan. Ia menghembuskan napas lega lalu tersenyum lega dan segera duduk di kursinya yang berada dekat dengan jendela. Ia menyimpan baju ganti di laci meja dan mulai membuka bungkus plastik kemasan dari botol air mineralnya. Belum sempat ia menghirup aroma kopinya, tiba-tiba terdengar sebuah alarm tanda bahaya.

"WOY PARA MANUSIA!!! BU DAMARA LIMA METER LAGI NYAMPE!!!" Alarm XII IPA 4, yaitu Arham memberi komando sambil mengintip dari jendela di sisi lain kelas.

Serentak semua murid ngacir ke kursi masing-masing. Semuanya panik, menghentikan segala aktivitas masing-masing yang tadinya sedang berlanjut. Segala rutinitas seperti bergosip, selfie, bahkan nobar yang iya-iya pun terhenti serentak, bersiap menyambut datangnya sang "iblis" SMA Garuda.

Titan otomatis juga kalang kabut. Pasalnya, Bu Damara tidak memperbolehkan membawa minuman dari kantin kecuali air mineral. Tidak ada juga tempat menyelundupkan kopinya karena guru tersebut selalu merazia laci dan tas para murid sebelum pelajaran dimulai. Maklum, guru PPKN. Disiplin dan teganya mungkin turunan penjajah kolonial jaman dulu.

"Aduh, mesti diapain nih kopi. Mampus kalolau ketahuan Bu Cemara."

Tiba-tiba lalu muncul ide cemerlang di otaknya. Tanpa perlu pikir panjang, dengan penuh keyakinan Titan membuka jendela di samping tempat duduknya dan membuang kopi tersebut ke bawah dengan mulusnya. Sampai akhirnya ia dikagetkan dengan suara lain yang segera menyusul.

"PAAANAAAASSS!!!"

Terdengar jeritan dari bawah. Titan melongok keluar jendela, mendapati seorang cowok yang tidak sengaja ia siram sedang memegang rokok dengan tiga temannya yang juga memiliki benda yang sama di masing-masing tangan. Mereka adalah spesies yang selalu ada di tiap sekolah, kaum bolos. Kapanpun ada kesempatan, keempat orang itu selalu bolos di belakang sekolah atau entah di mana. Berpindah-pindah tempat agar tak ketahuan. Keberadaan mereka inilah yang membuat para guru harus rajin keliling untuk piket harian.

"Aduh... mampus kena orang lagi," ujarnya dengan polos dan wajah tanpa dosa.

"PANAS BANGET SIALAN!!!" Si korban mengumpat sambil masih kepanasan dan meringis. Mengipas-ngipas bagian tubuhnya yang dirasa melepuh. Saat cowok itu mendongak ke atas, mencari siapa pelaku kejahatan yang barusan menganiayanya, ia mendapati seorang siswi perempuan yang juga tampak terkejut sedang melongok padanya dengan muka cengo dan tampak bodoh.

"LO-" Belum sempat ia mengeluarkan segala makiannya pada cewek itu, jendela sudah ditutup di atasnya. 

•••••

Bab terkait

  • Serendipity in Magnanimous   2. Ini Musibahnya

    Tristan Sagara hanya sedang asyik menyesap rokok yang ia jepit di antara telunjuk dan jari tengahnya. Kepulan asap rokok segera memenuhi udara di sekitarnya, dengan cepat segera menggantikan udara segar dengan karbon monoksida. Ia tidak sendirian, seperti biasa harus selalu bersama ketiga sohibnya yaitu, Bams, Sandi, dan Nyong. Mereka ada di belakang sekolah, tepatnya di samping kelas lantai bawah yang berada di paling ujung. Tempat aman buat bolos karena jauh dari pantauan guru piket. Mereka sudah sering menjadikan tempat ini sebagai lokasi mereka untuk tidak mengikuti pelajaran.Tristan, cowok setinggi 176 cm dengan potongan rambut cepak serta wajah tengil yang cocok dengan kelakuan nakalnya. Sementara Nyong, temannya yang turunan Ambon itu berkulit gelap dan hobinya adalah berpantun ria. Kalau Bams, temannya yang satu ini berambut gondrong, dengan poni panjang yang selalu diikat ke belakang. Terakhir Sandi, yang paling tinggi dan kekar di antara mereka karena mencapai 180 cm, hampir

  • Serendipity in Magnanimous   3.Bad Omens

    Aldo memegang gelas yang pinggirannya berembun. Isinya air dingin. Hendak ia siramkan pada adik perempuan kesayangannya yang sangat kebo dan masih asik bergelung nyaman dalam selimut. Dengan sekali ayunan, isi gelas itu sudah tumpah membasahi si tukang tidur."ADUH DINGINNNNN!!!!" Titan langsung melek selebar-lebarnya, terduduk di kasurnya dengan selimut tersingkap."Bangun nggak?! Atau habis ini gantian lo mau gue siram pakai air termos, Dek?" Aldo mengancam setelah mengguyur adik perempuannya dengan segelas air dingin tadi. Tangannya sudah berkacak pinggang dengan wajah tidak sabaran. Menanti dengan gemas agar adiknya yang bandel itu segera bangun dan lekas bersiap ke sekolah.Namun tetap saja, Titan berusaha tak peduli, ia kembali menarik selimut, hendak melanjutkan bobo cantiknya.

  • Serendipity in Magnanimous   4.Pertanda Sial

    Baiklah, setelah kilas balik yang panjang itu, Titan akhirnya sukses mengingat dosa-dosanya pada Tristan. Sebenarnya ya tidak banyak juga sih kalau dihitung, paling hanya menyiramnya dengan kopi panas sampai melepuh, menyingkap dosanya di depan anak-anak kelas perihal merokok dan bolos, membuatnya dihukum berkali-kali, PR segunung, membersihkan lorong seminggu, sudah itu aja kok. Eh, ditambah menendang selangkangannya juga sampai cowok itu harus berjalan tertatih-tatih.Tapi siapa suruh dia pakai acara bolos-bolos ceria sambil ngerokok segala. Kan dia kegep sama guru piket ya gara-gara salah dia sendiri. Titan mah baik, udah bantuin guru piket nemuin dia yang lagi bolos sama temannya,batin Titan.Titan kembali mengamati lututnya yang berdarah dan lebam berwarna ungu-kebiruan. Perih, sakit juga. Belum lagi Titan juga harus

  • Serendipity in Magnanimous   5.Signal Musuh

    Setelah istirahat pertama yang ternyata berlangsung sejahtera tanpa adanya tanda-tanda dari cowok menyebalkan yang bisa saja datang lagi untuk mengganggunya, Titan dan Rheva kembali masuk kelas untuk mengikuti pelajaran. Ralat, itu tidak berlaku untuk salah satu gadis. Titan seperti biasa langsung lipat tangan di meja, bukan tertib bukan berdoa, ia malah langsung menenggelamkan kepalanya dan tertidur. Yah, sudah kebiasaan memang. Penjelasan guru ia jadikan sebagai dongeng pengantar tidur. Benar-benar murid yang tidak patut dibanggakan....Titan tidur selama tiga jam penuh. Nyenyak sekali tidurnya. Memang ada beberapa guru yang oke-oke saja waktu materinya malah dijadikan dongeng tidur oleh Titan karena nilainya memang tinggi di beberapa mata pelajaran seperti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Olahraga. Iya cuma tiga mata pelajaran itu saja. Sisanya? Tidak usah dibahas. Guru yang lain

  • Serendipity in Magnanimous   6.Pengusik Hidup Tenang

    Hari Senin. Hari terkutuk yang paling dibenci semua siswa SMA Garuda atau bahkan se-Indonesia. Karena dengan diadakannya upacara, membuat semuanya jadi sangat malas dan gerah. Tidak bersemangat walau jarum jam masih menunjukkan pukul delapan.Matahari di langit pagi Bandung memang sedang bersinar dengan teriknya. Bahkan matahari saja mendukung jalannya upacara, membuat Titan yang harus berdiri di barisan paling depan kelasnya merasa sangat dongkol. Selalu di baris depan, karena dia yang paling pendek di antara teman-temannya. Otomatis, dia juga tidak bisa menghindar dari silau dan panasnya matahari yang membakar kulit wajah sensitifnya. Ia jadi merutuki Bu Damara dalam hati karena selalu berpidato panjang lebar di tengah lapangan dengan semangat empat lima yang menggebu-gebu. Sementara semua siswanya semakin loyo di barisan masing-masing.

  • Serendipity in Magnanimous   7.Kesal

    Setelah memakai sepatu Bimo yang sangat-sangat kebesaran, maka Titan dan Rheva kembali ke kelas untuk menyimpan buku komputer, mengambil botol minum, lalu mereka menuju kantin. Untuk menuju ke kantin, mereka perlu menaiki beberapa anak tangga.Ya dan di sanalah si biang keladi sudah menunggu Titan sambil bersandar di salah satu tiang penyangga atap kantin bersama teman-temannya. Tristan, cowok itu langsung gondok begitu melihat gadis yang habis dikerjainya malah datang dengan memakai sepatu. Jelas sekali itu sepatu laki-laki. Merasa tak senang korbannya mendapat bantuan, ia mulai angkat bicara. Ingin cari masalah lagi. Pokoknya, membuat Titan kesal adalah motonya untuk beberapa saat ke depan."Sepatu baru lo?" ucapnya sambil turun satu anak tangga, menjulang di hadapan Titan yang jauh lebih pendek darinya.

  • Serendipity in Magnanimous   8.Gak Kapok

    Hari Selasa. Entah kesialan apa lagi yang akan dialami Titan hari ini. Untuk menyemangati dirinya sendiri, ia memutuskan untuk sedikit berias di pagi hari. Biasanya ia hanya akan menguncir rambutnya, tapi hari ini gadis itu memilih membiarkannya tergerai dan menambahkan sedikitcurlydi bagian bawah. Ia juga memakai bedak tabur tipis ke wajahnya, memberi kesan kulit wajah yang halus. Memakaimascaratipis-tipis untuk menambah kesan manis dan terakhir memoles bibirnya yang mungil denganliptintwarna merah muda natural. Ia tampil benar-benar manis hari ini.Oke, udah dandan cakep-cakep imut jadi harus semangat hari ini,batinnya dalam hati sambil berusaha menyemangati diri sendiri.Titan lalu turun ke lantai bawah dan sarapan bersama Aldo. Baru sebentar duduk, abangny

  • Serendipity in Magnanimous   9.Balas Dong

    Titan masih merasa nyaman bergelung di alam mimpinya sendiri. Setelah melewati dua mata pelajaran sambil molor, ia akhirnya terbangun karena suara grasak-grusuk di sebelahnya. Rheva sepertinya sedang sibuk."Hoaaam.... berisik banget dah lo, Rev. Nyari apaan, sih? Grasak-grusuk mulu dari tadi." Titan melirik malas pada Rheva yang masih terlihat rusuh membongkar semua isi tasnya seperti sedang mencari sesuatu."Jas lab gue ke mana, njir? Gue ingat gue taroh di laci meja." Rheva masih sibuk mencari bahkan sudah berjongkok karena siapa tahu jasnya itu jatuh di lantai. Sementara bel mata pelajaran ketiga sudah berbunyi dan sekarang kelas XII IPA 4 harus menuju ke Laboratorium Biologi."Oh, tadi pas istirahat jatuh di bawah meja lo. Mau gue taruh di laci lo, eh penuh banget jadi daripada en

Bab terbaru

  • Serendipity in Magnanimous   75.Aladdin and His Princess

    "Sayang-sayang pala lo peyang!" sentak Titan kesal seraya meninju bantal tidurnya tak henti-henti. Setelah meninjunya, ia melempar bantal itu ke sembarang arah. Iya, Titan sedang dalam mode siluman ekor rubah. Ia benar-benar kesal kala mengingat bagaimana Tristan memanggilnya sayang tadi saat di aula ketika latihan. Satu aula benar-benar menyorakinya dan ia langsung bingung harus menaruh muka di mana. "Sayang-sayang lo banyak! Bukan cuma Titan doang!" geramnya lagi. Bahkan sekarang ia mulai menggigiti sarung guling saking kesalnya. Ia semakin kesal kala mengingat bagaimana Tristan begitu dekat dengan teman-teman ceweknya yang lain. Mungkin saja kan ada si sayang nomor dua, nomor tiga, dan seterusnya. Mau marah juga rasanya aneh, statusnya bukan siapa-siapa walau tak bisa juga dibila

  • Serendipity in Magnanimous   74.Iya, Sayangku?

    "Cie... habis kena marah ya? Kusut bener mukanya kayak keset depan WC." Titan terkikik geli sekembalinya Tristan setelah sesi berbincang-bincang tidak ria dengan papanya di atap rumah sakit barusan.Sekarang mereka ada di taman rumah sakit, setelah Tristan selesai dengan papanya dan langsung menghubungi Titan untuk bertemu di sana."Kamu juga kusut mukanya," balas Tristan."Hah, masa? Udah cuci muka tadi pakai air padahal." Titan memegang pipinya sendiri dengan punggung tangannya."Iya kusut, kayak kurang asupan perhatian dari aku.""Jijik banget dengernya tahu nggak?" Ekspresi Titan langsung berubah sedatar mungkin."Aku kayaknya y

  • Serendipity in Magnanimous   73.Makanya Jangan Keneng

    Setelah mendapat lokasi balapan motor dengan lagi-lagi harus menelpon Bams, maka Rheva semakin menggas mobilnya. Ia jarang ngebut apalagi kebut-kebutan begini. Alhasil, ia hampir menabrak seorang pejalan kaki yang menyeberang jalan di tengah gelapnya malam ditambah guyuran hujan. Syukur-syukur selamat."Rev." Titan memanggil."....""Rev.""Hm?""Rev!""Apa, sih?!""Lo bawa mobil mahal apa bawa bajaj sih!""Mobil mahal lah ini.""Lelet banget tahu nggak?! Saingan sama siput?!""Yang penting jalan mobilnya.""INI CUMA 20 KILOMETER PER JAM REPPPP!!!! KAPAN NYAMPENYA ISHHH!!! LIMA BELAS MENIT LAGI TENGAH MALEM NIH UDAH MULAI BALAPANNYA ENTAR!!!""Udah cepet ini! Lo mau kita hampir nabrak lagi apa?! Jantung gue tadi rasanya mau loncat keluar tahu nggak?!""Ishhh Rhevaaaaa...." Titan merengek."Entar lagi juga sampe elah. Gue kapok ngebut! Lagian ini hujan, buram kacanya!""Entar mere

  • Serendipity in Magnanimous   72.Kalang Kabut Balap Liar

    "Aku sayang sama kamu, Tan!" teriak Aundy di ujung lorong yang sudah sepi.Tristan ada di hadapannya, menatap dirinya dengan tatapan datar dan tak tertarik sama sekali."Guenya nggak.""Bohong! Kamu meluk aku waktu itu! Waktu di parkiran aku nangis kejer-kejer bahkan di rumah sakit kamu temenin aku sampai malem." Mata gadis itu berkaca-kaca, berusaha meyakinkan dirinya sendiri pada sebuah harapan kosong."Waktu itu, cuma itu yang bisa gue lakuin buat nolongin lo. Jangan kegeeran.""Nggak mungkin cuma gara-gara itu. Kalau emang iya kamu sukanya sama Titan, kamu harusnya ninggalin aku gitu aja. Kamu tahu Titan nggak suka sama aku deketin kamu."

  • Serendipity in Magnanimous   71.Rindu Memang Berat

    Tristan seharian ini tidak sempat bertemu dengan Titan. Entah ke mana gadis itu saat ia mencarinya, mereka tidak berpapasan sama sekali. Mereka juga sudah sibuk dihadang berbagai ujian menjelang UN, membuat kesempatan bertemu semakin sulit karena gadis itu biasanya langsung ngacir pulang begitu selesai ujian.Sekolah tidak pernah terasa seluas ini bagi Tristan, namun ketika dia tidak bisa bertemu Titan, semua berbeda. Hari ini, ketika ia bertemu salah satu siswa laki-laki yang diingatnya sekelas dengan Titan, maka ia pun bertanya di mana keberadaan cewek itu. Cowok itu menjawab, hari ini seharusnya anakbandakan latihan.Maka ia bergegas, mencari ke aula tapi tak ada siapapun di sana. Ia lalu berlari ke ruang musik, namun melihat dari jendela luar saja sudah kelihatan jelas bahwa tempat itu juga kosong, pintunya pun

  • Serendipity in Magnanimous   70.Tolong, Pemilik Hati

    Tristan mengerang, pusing. Ia masih terjebak di tempat ini, Rumah Sakit Medika. Orang tua Aundy mengalami kecelakaan cukup parah, yang memerlukan operasi untuk segera menangani mereka. Luka-luka dan patah tulang. Sementara keluarga Aundy yang lain yaitu om dan tantenya baru saja datang.Pengurusan untuk surat tindakan medis semuanya ditangani mereka yang sudah berusia di atas 21 tahun. Sementara Aundy sendiri hanya bisa menangis sedari tadi, terlebih setelah mendengar penjelasan dokter sebelumnya mengenai kondisi papa dan mamanya yang akan segera ditangani."Tolong temani Aundy dulu, ya. Biar saya dan omnya yang mengurus semua."Tristan tadi dimintai tolong oleh Arini dan Budi yaitu tante dan om dari Aundy agar bantu menenangkan Aundy yang masih histeris. Setelah Arini dan Budi menguru

  • Serendipity in Magnanimous   69.Janji Yang Sebatas Diucap

    Tristan bergegas keluar kelas begitu bel tanda istirahat berbunyi. Ia tidak bolos pagi ini, berhasil memposisikan pantatnya untuk tetap menempel pada kursi walau tidak betah. Jika pantatnya punya nyawa sendiri, sudah pasti pantatnya itu bakalan kabur duluan.Ia uring-uringan sejak kemarin, ketika sempat berselisih dengan Titan sebelum pulang sekolah. Ia sadar ia yang salah. Seharusnya ia tidak boleh egois dengan meminta Titan menunggunya sementara ia akan berdua dengan Aundy walau hanya untuk sekadar latihan drama. Ia seharusnya memilih salah satu antara latihan atau mengantar Titan pulang. Satu yang ia tahu, ia tidak akan senang memilih salah satunya. Ada konsekuensi di antara kedua pilihan itu.Pentas seni sialan,batinnya.Ia akan meminta maaf pada Titan, oleh

  • Serendipity in Magnanimous   68.Terbakar Cemburu

    Esoknya, Tristan datang ke kelasnya seperti kebiasaannya belakangan ini untuk mengajak Titan makan ke kantin. Titan pun tak bisa pura-pura seolah biasa saja. Senyumnya langsung merekah begitu melihat penampakan cowok itu muncul di ambang pintu kelasnya bahkan sebelum Bu Endah yang sedang mengajar di XII IPA 4 keluar kelas."Ngapain kamu mejeng di sini?" Bu Endah yang hendak keluar tentu saja bertemu dengan Tristan di ambang pintu."Mau nyari anak didiknya Bu Endah buat ngajakin makan berdua di kantin. Kenapa? Ibu mau ikutan? Jangan jadi orang ketiga di antara kami dong Bu," jawab Tristan sambil senyum-senyum."Hah, ngawur aja kamu nih. Emang kamu ngajakin siapa toh?""Ini Bu, anaknya udah ketemu." Tristan langsung merangkul pundak Tit

  • Serendipity in Magnanimous   67.Ketempelan Makhluk Gaib

    Tristan menahan napas ketika melihat wujud manusia di depannya. Seketika, bayangan wajah cemburu Titan tergambar di otaknya dan membuatnya berasa sedang selingkuh. Padahal pacaran aja mereka tidak.Aundy.Sesosok gaib-eh manusia yang belakangan ini selalu absen di depan wajahnya tiap hari. Menggerayanginya ke mana-mana sampai terkadang membuat Tristan berasa punya penunggu di punggungnya.Kadang ia kesal sendiri, tapi pernah beberapa kali ia bersikap cukup baik pada cewek itu ketika ingin melihat reaksi Titan bila ia berdua dengan perempuan lain. Makan bersama di kantin beberapa kali dan mengantarnya pulang.Sekarang rasanya ia ingin ganti muka saja. Biar tak terus-terusan dikejar sana-sini. Toh cewek satu ini juga cuma naksir sama ta

DMCA.com Protection Status