Kupandangi wajah Zia yang masih pucat. Luka di kepalanya kini sudah diperban, matanya masih tertutup membuatku masih dilanda gelisah. "Maaf Zia, aku lalai menjagamu, tolong bangunlah!" Sesalku sambil terus menggenggam tangannya. *****PoV. Rangga Papa menatapku dengan raut wajah kesal, begitu ia tiba di klinik ini, Aku tak berani membantahnya karena ini juga kesalahanku. "Harusnya kau tinggalkan sebentar pekerjaanmu, lihat akibat dari kelalaianmu ini," gerutu papa saat aku meneleponnya, memberi tahu kabar buruk ini. "Jika memang kau tidak punya waktu, tidak usah mengajaknya pergi jauh." Sambung papa lagi. Aku hanya bisa diam, tak satu pun kalimat pembelaan keluar dari mulutku. Aku membiarkan papa mengeluarkan segala kemarahannya, dengan begitu ia akan lega. Jika tidak, Papa akan melampiaskan kekesalannya pada orang lain. Aku tak mau itu terjadi. Aku memberitahu papa dan Mbak Soraya, mengenai hal buruk yang menimpa Zia di villa, setengah jam setelah Zia dibawa ke klinik ini. Du
"Masuklah, Zia!" Mbak Soraya membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk, menuruti permintaannya. Papa duduk bersama Pak Arsyad di depan, sementara aku dan Mbak Soraya berada di kursi belakang, sedang, Mas Rangga, ia kembali ke villa. Mengambil laptopnya dan tas yang berisi buku-buku kuliahku, yang masih tertinggal di sana. Lalu menyusul kami pulang ke Jakarta. **** Hari sudah menjelang senja dan matahari sudah mulai terbenam, begitu kami tiba di rumah, untuk beberapa saat aku menatap kearah pagar rumah, berharap mobil Mas Rangga juga tiba dirumah. Namun, hingga beberapa detik aku terpaku, mobil Mas Rangga belum juga terlihat. Aku berjalan perlahan memasuki rumah ini, lalu melangkah ke kamarku. Tadinya papa memaksa untuk langsung memeriksa kondisiku ke rumah sakit, namun aku menolaknya halus. Kupikir aku bisa beristirahat lebih baik di rumah dibandingkan dengan kamar rumah sakit. Bi Ijah terlihat sangat cemas takkala melihatku yang masih memegangi kepala, yang memang masih te
Aku merebahkan tubuhku pelan pelan, rasa perih masih terasa dari luka dikepalaku, perlahan kupejamkan mata, beristirahat. "Entah siapa yang berniat buruk padaku. Semoga saja, pelaku itu segera ditemukan," doaku dalam hati. **** rira_faradina****Kicauan burung murai batu milik papa seolah menjadi instrumen musik pembuka hari ini, sisa sisa hujan semalam masih menyisakan titik titik air di dedaunan dan genangan air di halaman. Hembusan angin masih sejuk terasa ketika membelai lembut wajahku, membuat perasaan menjadi sedikit lebih nyaman. Selepas sarapan tadi, aku memilih duduk di halaman samping rumah, menikmati udara pagi yang masih segar, sekaligus menikmati keindahan dan keharuman bunga mawar yang dirawat Bi Ijah di sini. "Ah, Nikmat mana lagi yang bisa hamba-Mu dustakan, Tuhan." Aku berucap syukur.Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di villa itu, kondisiku juga mulai semakin membaik, hanya sesekali masih terasa berdenyut jika obatnya telat kuminum. Sebenarnya, tiga hari y
Perkataannya langsung membuatku menatap Mas Rangga, mungkinkah yang sedang berbicara ditelepon saat ini denganku adalah .... [A-apa kau Kinanti?] Tanyaku dengan suara gemetar Tak ada jawaban darinya, lalu sekian detik kemudian, ia memutuskan sambungan teleponnya. ****Aku terdiam sesaat sambil menatap layar ponselku. Ponsel berwarna hitam ini adalah ponsel hadiah yang dibelikan Mas Rangga beberapa hari sebelum resepsi pernikahan kami, ponsel dengan logo apel tergigit separuh ini juga dibeli bersama dengan sebuah SIM card yang baru. Sepanjang yang kutahu, selain penghuni rumah ini, Tyas, Bagian Administrasi Kampus, dan Bu Aliyah, Psikologku saja yang mengetahui nomer ponselku yang baru. Lalu, darimana Kinanti mengetahuinya? "Apa benar itu telepon dari teman kuliahmu, Zia?" Tanya Mas Rangga tiba tiba, membuatku terkejut dan membuyarkan lamunanku. "I-iya mas," Jawabku gugup. Bagaimana jika Mas Rangga tahu bahwa yang meneleponku tadi adalah Kinanti? Haduh, memikirkannya saja sudah
"Aku belum membuat janji apapun dengannya. Katakan saja padanya jika Zivara, ingin bertemu dengannya. Ah, tidak, katakan jika aku harus bertemu dengannya." Tegasku sambil memandang seorang wanita yang menatap tajam kearahku dibalik pagar rumah ini.****Aku mengumpulkan segenap keberanian, berbicara dengan Kinanti harus hati hati, karena wanita itu sangat pandai memainkan kata kata. Sejujurnya, perasaanku mulai gelisah dan cemas. Datang kesini seperti masuk ke kandang singa. Namun, aku terus menepis semuanya. Aku sangat yakin ia tak akan berani mencelakaiku di rumahnya sendiri. "Baik bu, sebentar akan saya sampaikan pada non Kinanti." Jawabnya, lalu berbalik membelakangiku. Wanita dibalik pagar itu terus menatapku, tak berselang lama, wanita itu, diiringi satpam penjaga yang tadi bicara denganku, berjalan mendekat, menghampiri kami. "Kau ... untuk apa kau datang kerumahku?" Ia menatapku penuh tanya. "Aku sengaja datang kesini untuk mencarimu! Aku ingin bicara, apa kau punya waktu?
Aku masih diam, tanpa kusadari aku berjalan meninggalkan gazebo ini, meninggalkan ia yang masih menertawakanku. Kuseka air mataku yang jatuh tanpa dicegah. Aku terus berjalan menuju jalan keluar rumah ini, tak kugubris Mbak Dian yang menyapa dan menanyakan kondisiku. Yang kuinginkan saat ini adalah secepatnya pulang kerumah. **** Sudah lima hari berlalu sejak pembicaraanku dengan Kinanti, selama itu aku hanya diam. Lebih banyak menghabiskan waktu sendiri di kamar. Aku bahkan tidak mendatangi jadwal sesi konselingku kemarin, meskipun begitu aku tetap pergi ke kampus, mengikuti kuliah seperti biasa. Aku tak ingin membuat papa khawatir. Aku selalu menghindari pembicaraan apapun dengan Mas Rangga, aku juga selalu berusaha tidur lebih awal dan bangun lebih pagi demi menghindari bertatap muka dengannya dikamar. Mas Rangga selama ini telah berbohong padaku. Aku masih ingat jika ia pernah mengatakan bahwa ia sudah memblokir nomor telepon Kinanti, dan tak lagi berhubungan dengan rubah beti
Kita berdiri di sini saja, diluar panas, aku tak tahan" ucapnya sembari mengibaskan tangan ke wajahnya."Zia, lihat! Apa itu suami gantengmu?" Tanya Tyas menepuk bahuku. "Dimana?" Aku mencari arah yang ditunjukkan Tyas. **** "Di sana," Tyas menunjuk seorang pria berjas hitam yang tengah menelepon tak begitu jauh dari tempat kami berdiri. Aku memandang ke arah yang ditunjukkan Tyas. Mataku tak berkedip melihatnya. Itu memang Mas Rangga, kulihat ia sedang berjalan ke arah eskalator sambil terus memegang ponselnya. "Mau kemana ia?" "Apa kau mau mengikutinya?" Tanya Tyas memancingku. Aku menoleh padanya, segores senyum manis kuberikan padanya, pertanda ucapannya adalah benar. "Ya sudah, ayo. Nanti kita bisa kehilangan jejaknya." Tyas menarik lenganku, kami berjalan sedikit tergesa karena takut kehilangan target. Para pengunjung Mall ini cukup ramai, beberapa kali aku dan Tyas hampir kehilangannya, karena kulihat Mas Rangga sempat berbelok ke arah toilet pria, untuk beberapa saat ka
Suara bariton yang khas itu terdengar lebih dulu, tak lama sosok pria paruh baya itu menampakkan wajahnya dihadapan kami. "Papa!" Sebut Mas Rangga dengan raut wajah terkejut. Aku diam terpaku melihatnya kini melangkah masuk ke dalam kamar. Ya tuhan, mungkinkah papa mendengar semua pertengkaran kami tadi? ****Papa mendelik tajam kearah kami berdua. Aku menundukan kepala, tak berani membalas tatapan matanya. jantungku kini berdegup kencang, tak lama, beliau lalu melangkah menghampiriku. "Apakah semua yang kau katakan itu benar, Zia?" Tanya papa dengan suara keras, membuatku semakin menunduk dan gugup."A-aku ... tadi hanya asal bicara saja pa. Itu hanya gurauan saja," kilahku mencari alasan. Aku memberanikan diri melirik ke arah papa, terlihat beliau menggeleng pelan, sepertinya kecewa dengan Jawaban baru saja yang kuberikan. "Jangan berusaha menutupinya, Zia. Papa sudah mendengar semua pertengkaran kalian tadi." Tegasnya. "Aku bisa menjelaskan ini semua, papa hanya salah paham