Kita berdiri di sini saja, diluar panas, aku tak tahan" ucapnya sembari mengibaskan tangan ke wajahnya."Zia, lihat! Apa itu suami gantengmu?" Tanya Tyas menepuk bahuku. "Dimana?" Aku mencari arah yang ditunjukkan Tyas. **** "Di sana," Tyas menunjuk seorang pria berjas hitam yang tengah menelepon tak begitu jauh dari tempat kami berdiri. Aku memandang ke arah yang ditunjukkan Tyas. Mataku tak berkedip melihatnya. Itu memang Mas Rangga, kulihat ia sedang berjalan ke arah eskalator sambil terus memegang ponselnya. "Mau kemana ia?" "Apa kau mau mengikutinya?" Tanya Tyas memancingku. Aku menoleh padanya, segores senyum manis kuberikan padanya, pertanda ucapannya adalah benar. "Ya sudah, ayo. Nanti kita bisa kehilangan jejaknya." Tyas menarik lenganku, kami berjalan sedikit tergesa karena takut kehilangan target. Para pengunjung Mall ini cukup ramai, beberapa kali aku dan Tyas hampir kehilangannya, karena kulihat Mas Rangga sempat berbelok ke arah toilet pria, untuk beberapa saat ka
Suara bariton yang khas itu terdengar lebih dulu, tak lama sosok pria paruh baya itu menampakkan wajahnya dihadapan kami. "Papa!" Sebut Mas Rangga dengan raut wajah terkejut. Aku diam terpaku melihatnya kini melangkah masuk ke dalam kamar. Ya tuhan, mungkinkah papa mendengar semua pertengkaran kami tadi? ****Papa mendelik tajam kearah kami berdua. Aku menundukan kepala, tak berani membalas tatapan matanya. jantungku kini berdegup kencang, tak lama, beliau lalu melangkah menghampiriku. "Apakah semua yang kau katakan itu benar, Zia?" Tanya papa dengan suara keras, membuatku semakin menunduk dan gugup."A-aku ... tadi hanya asal bicara saja pa. Itu hanya gurauan saja," kilahku mencari alasan. Aku memberanikan diri melirik ke arah papa, terlihat beliau menggeleng pelan, sepertinya kecewa dengan Jawaban baru saja yang kuberikan. "Jangan berusaha menutupinya, Zia. Papa sudah mendengar semua pertengkaran kalian tadi." Tegasnya. "Aku bisa menjelaskan ini semua, papa hanya salah paham
"Jangan khawatirkan mereka, mereka berdua bukan anak kecil. Aku yakin, semua akan baik baik saja." Jelas terdengar pembicaraan papa dan Mbak Soraya, aku senang usaha Mbak Soraya untuk meyakinkan papa agar tak lagi mencemaskan kami, berhasil. Aku memandang mobil yang membawa papa dan Mbak Soraya kini sudah berbelok meninggal kompleks perumahan elite ini. Sungguh, ada rasa sesak di dada saat melihat kesedihan di wajah papa. ****Aku menatap kalender meja yang ada di dalam kamar, tinggal seminggu lagi rencana kepergian Mas Rangga dan Kinanti ke Singapura. Jujur saja perasaanku kini sangat gelisah. Sejak kepergian papa ke Singapura seminggu yang lalu, aku memutuskan untuk tinggal di kamar tamu. Keputusan itu membuatku dan Mas Rangga kini semakin jarang bertemu, meskipun itu sekedar sarapan pagi bersama. Hubungan kami tak membaik pasca papa mengetahui semuanya. Kami berdua lebih memilih diam, tak saling bicara. Hingga akhirnya keadaan ini membuatku jengah, dan besok kuputuskan untuk p
Mengapa harus seperti ini, tak bisakah kau membicarakan ini baik baik denganku. Mengapa harus bertemu dibelakangku jika kalian memang sedang menjalin hubungan? Aku sudah lelah, mungkin akan lebih baik bagiku untuk mengakhiri saja pernikahan hambar ini. Maaf mas, aku menyerah. ****Malam ini rasanya terasa gelap dan mencekam. Senada dengan suasana hatiku saat ini yang hitam sekelam malam. Aku tak mengerti mengapa bisa terjebak dalam suasana ini. Andai saja Mas Rangga bisa berkata jujur padaku. Tentu hatiku rasanya tak sesakit ini.Kejadian tadi siang terus mengusikku, wajah Kinanti yang melirikku sambil tersenyum puas terus menari di pelupuk mataku, sikap Kinanti yang seakan mengejekku, membuatku bertambah kesal. Setelah makan malam tadi, aku langsung masuk kekamar, sengaja menghindar agar tak bertemu muka dengan Mas Rangga, terpaksa hal itu aku lakukan karena tak ingin ia membuatku lebih kecewa lagi. Tok ... tok ...! Terdengar suara seseorang dari luar mengetuk pintu. Entah menga
Aku berjalan menuju halaman rumahku. Kutatap rumah sederhana milik Alm. Bapak ini. Membuatku terkenang kembali masa masa bersama ke-dua orang tuaku dulu. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam, rumah ini berdebu karena kosong cukup lama. Kurebahkan sebentar tubuhku lalu mulai membersihkan rumah ini. Setidaknya dengan menyibukkan diri seperti ini membuatku sedikit melupakan masalahku. *** Azan Maghrib sudah berkumandang, aku mengambil wudhu untuk menunaikan kewajibanku, sekaligus melangitkan banyak doa kepada Sang Pemilik Kehidupan. Ku adukan masalahku kepada-Nya berharap Dia segera memberikan jawaban atas semua masalah ini. Setelah menyelesaikan kewajiban pada Sang Khalik, aku mengecek ponselku yang sedari tadi sengaja kumatikan, karena tak ingin Kinanti merusak suasana hatiku lagi. Sebuah pesan singkat dari Mas Rangga membuatku tercekat. Dalam pesan yang dikirimnya, Mas Rangga memintaku untuk pulang. Jujur dalam hati, aku masih kesal. Terasa sesak sekali, aku seperti sulit bernapas, en
"Kau benar benar ingin bercerai, Zia. Haruskah itu?" Pertanyaannya membuatku akhirnya tersenyum. "Iya, mas. Karena aku mulai jatuh cinta padamu, aku takut tak bisa melepaskanmu ketika perasaanku nanti semakin dalam padamu, akan lebih baik bagiku jika kita berpisah saja," ucapku sambil menyeka airmata. ****Aku gugup tak menyangka akhirnya kalimat itu keluar dari bibirku. Aku berdecak kesal ketika menyadari kebodohanku. Kulirik Mas Rangga yang menundukkan kepalanya sejenak lalu, kemudian menatapku sambil mengulas senyum tipis. "Aku senang mendengarnya, Zia!" "Tadinya aku sempat ragu untuk pergi kesana, tapi kata katamu barusan, membuatku tak bisa menundanya. Aku harus pergi!" "Beri aku waktu, Zia. Setelah itu aku berjanji tak akan pernah membohongimu lagi," jelas Mas Rangga. Aku menghela nafas panjang, dadaku kini naik turun, kucoba untuk mengatur emosiku saat ini, aku tak ingin membuat keadaan ini lebih buruk lagi. Tatapan mata Mas Rangga masih bisa kurasakan, entah mengapa memb
"Den Rangga, kita sudah sampai," ucap Pak Arsyad, mengagetkanku. "Mas ...!" Panggil Kinanti. Aku menoleh sebentar padanya," Ayo atau kita akan terlambat nanti," kilahku mengalihkan perhatiannya. Ia mendelik seolah tak terima perlakuanku. Aku keluar dari mobil sambil terus menatap layar ponselku, masih berharap ada pesan darinya "Zia, tunggulah sebentar lagi! setelah itu. Aku akan menerima semua kemarahanmu padaku," bisikku pelan.***Pak Arsyad pun pamit setelah menurunkan kami. Aku berpesan padanya agar tidak lupa menjemput Zia nanti malam. "Tolong jemput Zia, pak!" Pesanku pada Pak Arsyad sesaat sebelum beliau pamit. Aku kembali menepis tangan Kinanti yang berusaha ingin menggandengku. Kulangkahkan kaki sambil menarik koperku. Mengabaikan dirinya. "Mas!" Panggil Kinanti yang berdiri di sebelahku. "Ada apa?" Ketusku. "Kau masih belum memberi tahu alasanmu mengajakku ke Singapura?" Tanya Kinanti. "Kau akan tahu alasanku nanti. Mengapa aku memintamu menemaniku ke Singapura,
Mobil itu adalah Ferarri milik Mas Rangga. Kenapa bisa ada disini? Apa ia sudah pulang dari acara liburannya dengan Kinanti? Ah, jadi teringat dengan rubah betina itu. Mengapa setelah tiba di Singapura ia tak memamerkan kemesraan mereka, atau mengirimkan pesan yang merayakan kemenangan dirinya karena telah berhasil merebut Mas Rangga dari sisiku? Cukup lama aku mengintip dari balik jendela ini. Namun, tak kutemukan sosok pria yang telah membuatku jatuh cinta itu disana. Pergi kemana dia? Karena rasa penasaran tak melihat siapapun diluar, aku pun membuka pintu dan keluar dari rumah. Mataku menjelajah sekeliling lalu berdiri terpaku melihat kearah mobilnya, karena tak ada siapapun yang kulihat, kuputuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, namun langkahku tiba tiba terhenti ketika lenganku ditarik oleh seseorang. "Aku tahu kau pasti akan keluar mencariku, Zia!" Ucapnya sambil menarikku kedalam pelukannya. "M-mas Rangga ...?" Pekikku tertahan. **** "Lepas!" Aku berusaha melepasnya