Aku sedikit tertegun saat melihat sepiring tumis pepaya muda yang disajikan Bi Imas diatas meja makan sebagai menu makan malam kami. Buah pepaya muda itu oleh Bi Imas, ditumis pedas, dicampur dengan jamur kancing serta sedikit potongan daging ayam.Cukup lama aku menatap lauk itu, rasanya sudah lama sekali tak mencicipinya. Mengingatkan akan kehidupanku dulu sebelum menikah dengan Mas Rangga. "Ada apa, Zia. Apa ada masalah?" Tanya Mas Rangga, sontak membuyarkan lamunanku. *** rira-faradina ***"Tak ada apa apa mas, hanya saja begitu melihat tumis pepaya ini, jadi teringat sesuatu," jawabku. Ia tersenyum sambil menggeser piring berisi tumis pepaya itu kehadapanku."Kau lihatlah ini, Zia. Sepiring Tumis Pepaya Muda yang disajikan ini terlihat mewah dan menarik. Bahan dasarnya memang hanya buah pepaya muda, Tapi, Bi Imas membuatnya terlihat menarik. Karena diberi tambahan jamur dan potongan daging ayam." "Ini sama denganmu," lanjutnya sambil tersenyum menatapku. Aku semakin tak meng
"Mas Rangga ...." Aku mencoba berteriak memanggilnya, namun sayang, suaraku tak bisa keluar bersamaan dengan kesadaranku yang semakin menghilang***PoV. Rangga Aku melirik Zia yang mengambil sebuah cardigan dari dalam lemari lalu memakainya. Aku ingat Cardigan itu milik Mbak Soraya yang sering dipakainya semasa ia belum menikah dulu, terlihat sangat cocok dipakai oleh Zia. Cuaca pagi ini dingin, terasa menusuk kulit, meski aku telah mengatur suhu AC di kamar ini ke mode kipas, tetap saja masih membuat tubuh ini kedinginan. Ada pekerjaan yang masih belum kuselesaikan kemarin dan harus kuselesaikan pagi ini, Karena masih pagi, kupikir lebih baik aku mengurus pekerjaanku sebentar, lalu setelah sarapan, aku akan mengajak Zia jalan jalan. Berkali-kali istriku itu melirik ke arahku, mungkin ia bosan, tak lama kemudian ia meraih topi rajut yang ada di dekat tempat tidur, yang tadi sempat ia keluarkan dari lemari. "Aku mau jalan jalan sebentar kehalaman depan," cetus Zia sambil memakai
"Zia ...! Jika kau mendengar, ayo cepat pulang!" teriakku.Hening. Tak ada jawaban. Tak lama Mang Ujang mendekat. "Hati hati den! Semalam gerimis, tanah disekitar situ licin, nanti bisa terpeleset," ujar Mang Ujang mengingatkan. Aku memandang rimbunan dedaunan semak ini. Mungkinkah jika Zia terpeleset kejurang ini? ***'Aku menepis jauh pikiran buruk itu, namun tak bisa kupungkiri jika hatiku kini mulai semakin khawatir dan gelisah. "Mang, seberapa dalam jurang ini?" Tanyaku menunjuk jurang yang berada tepat dua meter didepanku ini. "Sekitar dua puluh meter lebih den, dan banyak batu batu besar didasar tuk kulihat ada tiga tangkai Bunga Marigold yang tergeletak diatas tanah, tak jauh dari tempatku berdiri saat ini, segera, aku bergegas mengambilnya. Tangkai bunga yang sama, dan kelihatannya juga baru dipetik. Mungkinkah Zia terpeleset di jurang ini? "Mang, tolong bantu aku. Kita turun kejurang ini! Aku khawatir jika Zia terpeleset ke dasar jurang," pintaku. "Baik den. Sebent
Kupandangi wajah Zia yang masih pucat. Luka di kepalanya kini sudah diperban, matanya masih tertutup membuatku masih dilanda gelisah. "Maaf Zia, aku lalai menjagamu, tolong bangunlah!" Sesalku sambil terus menggenggam tangannya. *****PoV. Rangga Papa menatapku dengan raut wajah kesal, begitu ia tiba di klinik ini, Aku tak berani membantahnya karena ini juga kesalahanku. "Harusnya kau tinggalkan sebentar pekerjaanmu, lihat akibat dari kelalaianmu ini," gerutu papa saat aku meneleponnya, memberi tahu kabar buruk ini. "Jika memang kau tidak punya waktu, tidak usah mengajaknya pergi jauh." Sambung papa lagi. Aku hanya bisa diam, tak satu pun kalimat pembelaan keluar dari mulutku. Aku membiarkan papa mengeluarkan segala kemarahannya, dengan begitu ia akan lega. Jika tidak, Papa akan melampiaskan kekesalannya pada orang lain. Aku tak mau itu terjadi. Aku memberitahu papa dan Mbak Soraya, mengenai hal buruk yang menimpa Zia di villa, setengah jam setelah Zia dibawa ke klinik ini. Du
"Masuklah, Zia!" Mbak Soraya membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk, menuruti permintaannya. Papa duduk bersama Pak Arsyad di depan, sementara aku dan Mbak Soraya berada di kursi belakang, sedang, Mas Rangga, ia kembali ke villa. Mengambil laptopnya dan tas yang berisi buku-buku kuliahku, yang masih tertinggal di sana. Lalu menyusul kami pulang ke Jakarta. **** Hari sudah menjelang senja dan matahari sudah mulai terbenam, begitu kami tiba di rumah, untuk beberapa saat aku menatap kearah pagar rumah, berharap mobil Mas Rangga juga tiba dirumah. Namun, hingga beberapa detik aku terpaku, mobil Mas Rangga belum juga terlihat. Aku berjalan perlahan memasuki rumah ini, lalu melangkah ke kamarku. Tadinya papa memaksa untuk langsung memeriksa kondisiku ke rumah sakit, namun aku menolaknya halus. Kupikir aku bisa beristirahat lebih baik di rumah dibandingkan dengan kamar rumah sakit. Bi Ijah terlihat sangat cemas takkala melihatku yang masih memegangi kepala, yang memang masih te
Aku merebahkan tubuhku pelan pelan, rasa perih masih terasa dari luka dikepalaku, perlahan kupejamkan mata, beristirahat. "Entah siapa yang berniat buruk padaku. Semoga saja, pelaku itu segera ditemukan," doaku dalam hati. **** rira_faradina****Kicauan burung murai batu milik papa seolah menjadi instrumen musik pembuka hari ini, sisa sisa hujan semalam masih menyisakan titik titik air di dedaunan dan genangan air di halaman. Hembusan angin masih sejuk terasa ketika membelai lembut wajahku, membuat perasaan menjadi sedikit lebih nyaman. Selepas sarapan tadi, aku memilih duduk di halaman samping rumah, menikmati udara pagi yang masih segar, sekaligus menikmati keindahan dan keharuman bunga mawar yang dirawat Bi Ijah di sini. "Ah, Nikmat mana lagi yang bisa hamba-Mu dustakan, Tuhan." Aku berucap syukur.Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di villa itu, kondisiku juga mulai semakin membaik, hanya sesekali masih terasa berdenyut jika obatnya telat kuminum. Sebenarnya, tiga hari y
Perkataannya langsung membuatku menatap Mas Rangga, mungkinkah yang sedang berbicara ditelepon saat ini denganku adalah .... [A-apa kau Kinanti?] Tanyaku dengan suara gemetar Tak ada jawaban darinya, lalu sekian detik kemudian, ia memutuskan sambungan teleponnya. ****Aku terdiam sesaat sambil menatap layar ponselku. Ponsel berwarna hitam ini adalah ponsel hadiah yang dibelikan Mas Rangga beberapa hari sebelum resepsi pernikahan kami, ponsel dengan logo apel tergigit separuh ini juga dibeli bersama dengan sebuah SIM card yang baru. Sepanjang yang kutahu, selain penghuni rumah ini, Tyas, Bagian Administrasi Kampus, dan Bu Aliyah, Psikologku saja yang mengetahui nomer ponselku yang baru. Lalu, darimana Kinanti mengetahuinya? "Apa benar itu telepon dari teman kuliahmu, Zia?" Tanya Mas Rangga tiba tiba, membuatku terkejut dan membuyarkan lamunanku. "I-iya mas," Jawabku gugup. Bagaimana jika Mas Rangga tahu bahwa yang meneleponku tadi adalah Kinanti? Haduh, memikirkannya saja sudah
"Aku belum membuat janji apapun dengannya. Katakan saja padanya jika Zivara, ingin bertemu dengannya. Ah, tidak, katakan jika aku harus bertemu dengannya." Tegasku sambil memandang seorang wanita yang menatap tajam kearahku dibalik pagar rumah ini.****Aku mengumpulkan segenap keberanian, berbicara dengan Kinanti harus hati hati, karena wanita itu sangat pandai memainkan kata kata. Sejujurnya, perasaanku mulai gelisah dan cemas. Datang kesini seperti masuk ke kandang singa. Namun, aku terus menepis semuanya. Aku sangat yakin ia tak akan berani mencelakaiku di rumahnya sendiri. "Baik bu, sebentar akan saya sampaikan pada non Kinanti." Jawabnya, lalu berbalik membelakangiku. Wanita dibalik pagar itu terus menatapku, tak berselang lama, wanita itu, diiringi satpam penjaga yang tadi bicara denganku, berjalan mendekat, menghampiri kami. "Kau ... untuk apa kau datang kerumahku?" Ia menatapku penuh tanya. "Aku sengaja datang kesini untuk mencarimu! Aku ingin bicara, apa kau punya waktu?