Jonathan memejamkan matanya sambil berusaha menenangkan dirinya sendiri, jujur ia merasa kesal saat Kaluna memaki dirinya. Tapi, apa mau di kata bila ia ada di posisi Kaluna pun, pasti ia akan melakukan hal yang sama."Aku nggak paham kamu lakuin apa sama anak Ibu, sampai-sampai dia mau pulang dan ikutin kemauan Ibu, yah walaupun ...." Emma menoleh melihat kamar Kaluna yang tertutup rapat, dan sesekali terdengar suara gaduh entah apa yang Kaluna buat di dalam kamar sana, "dalam kondisi murka."Jonathan tersenyum tipis, "Kaluna memang keras tapi, untungnya aku tahu cara untuk mengendalikan emosinya," ucap Jonathan."Aku nggak tau apa yang ada dipikiran kamu, aku nggak paham kenapa kamu balikin Kaluna ke sini dan bukan kabur begitu saja bersama Kaluna. Ibu nggak paham tapi, Ibu ucapkan terima kasih untuk itu semuanya," ucap Emma sambil mencoba memberikan senyumannya pada Jonathan."Aku bisa kabur, Bu. Aku bisa menikah tanpa restu Ibu." Jonathan menepuk kedua tangannya pelan, "Kaluna bahk
Jonathan hampir salto ditempat saat mendengar perkataan Emma. Benar kata orang menjadi pria itu selalu serba salah di mata wanita. "Saya sudah bilang, saya tidak mau menempatkan Kaluna di situasi yang tidak mengenakan.""Maksud kamu?""Saya tidak mau kalau Kaluna terjebak dalam situasi yang membingungkan dan membuat dirinya harus memilih. Saya tidak mau dan lagi pilihan yang ada itu semuanya tidak akan menguntungkan untuk Ibu, kalau saya bersikeras bertahan." Jonathan tersenyum penuh arti pada Emma." ...."Jonathan membenarkan posisi duduknya, ia ingin berkata setenang mungkin karena dia ingin Emma sadar apa yang sudah ia korbankan agar hubungannya dengan Kaluna masih tetap berjalan dengan baik, "Kalau Kaluna memilih saya, saya akan membuat dia meninggalkan Ibu."Jonathan berusaha menunjukkan ekspresi paling netral yang ia miliki walaupun sangat sulit, apalagi saat ini Emosi marah bercampur kecewa juga putus asa sedang melilitnya tanpa ampun. Andai membentak dan menggebrak meja adalah
"Lun ... Kaluna, ayo bangun, Nak." Emma membuka pintu kamar Kaluna dan kaget dengan kondisi kamar Kaluna yang gelap gulita. "Ini lampunya rusak? Udah tiga hari nggak pernah Ibu lihat nyala," ucap Emma sambil mencari saklar listrik dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang nampan berisikan makanan.Klik ....Emma menyalakan lampu kamar dan seketika itu juga kamar Kaluna terlihat terang benderang, Emma lalu melihat sekeliling kamar yang terlihat sedikit berantakan. Sudah hampir tiga hari semenjak Jonathan pergi dan merelakan Kaluna, semenjak itu pula Kaluna sama sekali tidak mau keluar kamar dan menangis meraung-raung di ranjangnya."Kamu udah mandi?" tanya Emma mencoba untuk berkomunikasi dengan Kaluna karena selain menangis Kaluna pun menolak untuk merespon semua pertanyaan dari Emma. Emma berjalan makin ke dalam kamar tanpa melihat langkahnya dan tanpa sengaja ia menendang sesuatu."Aduh ... ya ampun, Kaluna. Kenapa kamu nggak makan, ini kan makanan kamu kemarin?" ta
"Apa?" tanya Jonathan sesaat setelah Raka menutup sambungan teleponnya. Raka menoleh lalu menyeringai kesal ke arah Jonathan, "Udah nyuruh, terus ngomongnya judes pula ... emang kagak ada ahlak-nya lo!" sentak Raka sambil menunjuk Jonathan dengan ponselnya lalu menyimpan kembali ponselnya di meja."Berisik, udah jawab aja pertanyaan aku, ini juga bukan pertanyaan sulit sesulit pertanyaan kalkulus, Raka," hardik Jonathan kesal sambil memicingkan matanya ke arah Raka yang langsung mendapatkan wajah ektra masam dari Raka. Andai Jonathan tidak membutuhkan jawaban dari Raka mungkin saat ini Raka sudah habis dimaki-maki oleh Jonathan. "Jawab aja, sudah banget!""Ampun deh, bener-bener nggak ada sopan-sopannya jadi manusia, udah bikin gue rugi karena kurang pegawai, dan sekarang malah marah-marah, sadar Pak!" seru Raka ketus seraya mengambil botol air mineral lalu meminum isinya hingga tandas, tenggorokannya tiba-tiba terasa sangat kering akibat berbicara dengan Jonathan, lelaki ngenes yan
Kaluna melihat ponselnya dan menggerakkan jempolnya naik turun untuk melihat beratus-ratus chat yang ia berikan untuk Jonathan. Sesekali terdengar suara helaan napas berat Kaluna saat dirinya membaca chat-an kekesalah pada Jonathan karena merelakan dirinya semudah itu pada Emma. Pengecut!"Kamu maunya apa sih?" tanya Kaluna sambil bangkit dari tidurnya dan memukul-mukul ponselnya dengan gemas, "kamu bilang percaya sama kamu, percaya kalau kamu nggak bakal lepasin aku, tapi ...."Kaluna mengambil bantal dan melemparkannya ke sembarang tempat, "Argh!!! Berengsek kamu Jonathan!" maki Kaluna geram sambil mengacak rambutnya dengan kedua tangannya seperti orang kurang waras."Kamu itu, aduh ... ampun deh, mana kamu nggak bisa dihubungi karena nomer kamu malah kartu sim card-nya di kasihin ke Ibu! Kok kamu semunafik itu sih!" maki Kaluna lagi sambil melemparkan tubuhnya ke samping dan kembali menangis kesal.Kaluna mengusap bagian bawah matanya yang mulai terasa perih dan sakit karena lecet
"Ini, Pak, makasih," ucap Kaluna sambil menyerahkan uang ke supir taksi yang membawanya ke depan restoran Moon yang terlihat masih sepi karena waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kaluna yang paham dengan ritme kerja restoran paham kalau jam sepuluh pagi, restoran masih bersiap untuk buka di jam sebelas siang. Kaluna yakin semua sedang sibuk dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya masing-masing. Dengan menyeret langkahnya ia mencoba masuk ke dalam restoran yang memiliki berjuta kenangan antara dirinya dan Jonathan. Di setiap sudut restoran moon memiliki kisahnya sendiri yang berhubungan dengan percintaan Jonathan dan Kaluna. Saat Kaluna melangkahkan kakinya ke teras restoran, spontan ia melihat ke kiri mencoba mencari sepeda Jonathan yang selalu terparkir di sana.Dengan kesal ia memalingkan mukanya untuk kembali melihat ke dalam restoran karena ia kembali mengingat senyuman Jonathan di berita yang ia lihat tadi. Kesal, iya ... hanya satu kata itu saja yang bisa melukiskan pera
"Kamu tenang dulu, aku nggak paham kamu ngomong apa kalau kamu marah-marah, gini, loh, Dek," ucap Wisnu sambil menekan telunjuknya ke lubang telinga supaya bisa mendengar perkataan Emma yang lebih terdengar seperti orang yang sedang kumur-kumur dari pada berbicara."Gi-gimana aku mau tenang, itu anak udah keterlaluan, Mas ... aku ngerasa nggak dihargai, Mas, coba ...."Wisnu berkacak pinggang sambil melihat ke arah luar jendela, melihat pemandangan lahan sawit yang terhampar. Saat ini ia sedang berada di salah satu lokasi lahan sawit miliknya yang berada di Sumatera Selatan, ada sesuatu hal yang harus ia urus hingga mau tidak mau ia harus ke sana dan meninggalkan Emma yang masih dalam keadaan tidak stabil pasca Jonathan merelakan Kaluna."Dek ... Mas nggak paham kalau kamu ngomongnya sambil nangis dan ngebut kaya gini, coba ngomongnya pelan-pelan yang manis, gitu, biar Mas paham," pinta Wisnu mencoba menenangkan Emma yang terus mengoceh tanpa titik dan koma. "Mas nggak pernah paham p
"Kamu ngapain ke sini dan gimana caranya kamu tahu alamat kantor saya?" tanya Wisnu sambil meminum kopi hitam yang terasa pahit di lidahnya dimana Wisnu berharap rasa pahit itu bisa membuat ia mengalihkan kesemberautan pikirannya saat ini."Ingat waktu Om saya tabrak?" tanya Jonathan yang langsung di jawab anggukkan oleh Wisnu, "Om kan, kasih kartu nama ke saya dan entah gimana caranya kemarin tiba-tiba saya menemukan kartu nama itu di saku celana yang saya pakai."Wisnu tertawa tipis, kocak rasanya mendengarkan penuturan Jonathan yang terdengar sangat klise dan mirip seperti alur cerita cinta picisan yang suka ada di salah satu TV swasta berlogo ikan terbang. "Ntah saya harus percaya atau nggak. Tapi, melihat kamu ada di sini yah, saya percaya aja. Padahal kamu bisa bilang dengan cari nama saya di Googleeeee," ucap Wisnu."Saya nggak kepikiran." Jonathan tertawa geli karena apa yang dikatakan Wisnu benar, kenapa dia tidak sampai berpikir ke sana dan malah berpatokan pada kartu nama W