Kaluna menggigit roti panggang buatan Jonathan dengan malas. Bukan, bukan karena roti itu tidak enak, tapi, perasaan Kaluna sedang tidak menentu. Mungkin kemarin malam saat ia dan Jonathan berpelukan di sofa ruang tamu, ia bisa dengan lancar mengatakan kalau semua akan baik-baik saja dan ia memilih Jonathan.Jujur dia memang memilih Jonathan tapi, perasaannya bercabang karena dia juga mengkhawatirkan Emma. Mungkin saat ini ia mematikan ponselnya agar tidak mendapatkan telepon atau chat dari Emma tapi, pikiranny saat ini kalut luar biasa memikirkan Emma."Bu, maaf," bisik Kaluna pelan sambil meletakkan roti bakar di meja, ia melihat layar ponselnya yang hitam sehitam harinya. Layar ponsel itu terlihat memantulkan wajahnya seolah ingin memberitahukan betapa menyedihkannya dirinya saat ini. "I-Ibu," bisik Kaluna pelan sambil mencium layar ponselnya berharap memiliki cukup banyak keberanian untuk menyalakannya dan mengangkat telepon dari Emma atau membalas chat dari wanita yang telah mel
Jonathan terus memangut bibir Kaluna sambil sesekali meremas bokong Kaluna, lidahnya terus menyesap rasa manis yang Kaluna berikan dari bibirnya. Kaluna makin mengeratkan tangannya di leher Jonathan, ia memiringkan kepalanya agar bisa meraup lebih banyak lagi nikmat dari bibir Jonathan. Ia terus mencumbu Jonathan seolah tidak ada hari esok lagi, seolah esok Kaluna tidak bisa lagi mendapatkannya lagi.Kaluna memajukan dadanya dan menekan dada Jonathan sambil sesekali menggesekan payudaranya ke dada Jonathan. Menaburkan kenikmatan di bagian payudaranya walaupun saat ini hatinya terasa sakit dan pikirannya kalang kabut. Jonathan menggeram pelan disela-sela ciumannya saat merasakan puting payudara Kaluna yang sudah menggeras menggesek dadanya. Rasanya nikmat namun entah mengapa saat ini rasa nikmat itu terasa berbeda karena dibalut rasa sesak dan takut kehilangan wanita yang saat ini sedang ia cumbu. Jonathan takut kehilangan wanita yang ada dipelukannya itu, ia takut kalau esok dia ti
"Kamu bisa duduk?" tanya Wisnu yang kepalanya terasa pusing karena melihat Emma yang berjalan hilir mudik tanpa henti.Emma mendelik pada Wisnu dengan kesal sambil tetap berjalan hilir mudik ke kanan dan ke kiri seperti seterikaan. Emma juga meremas-remas kedua tangannya dan melihat ke arah jam dinding juga pintu rumahnya berkali-kali."Dek, sudahlah ... ayo, duduk," pinta Wisnu sambil menepuk sofa empuk dipinggirnya.Emma menggeleng gusar sambil berjalannke arah meja makan dan melihat layar ponselnya yang masih belum ada notifikasi dari Kaluna. Hembusan napas kecewa terdengar jelas dikuping Wisnu. "Dek, sudahlah ... ayo duduk, sini," pinta Wisnu sambil melirik ke arah Emma yang saat ini posisinya berada di belakang tubuhnya. Tiba-tiba saja Wisnu merasa sakit di lehernya karena hampir sepanjang hari lehernya bergerak ke kanan, kiri dan belakang mengikuti Emma."Jangan paksa aku duduk, Mas," ucap Emma sambil melemparkan ponselnya kesal. Rasanya Emma ingin meremas wajah Wisnu karena me
"Kaluna," panggil Emma sambil memanjangkan lehernya berusaha untuk menemukan sosok Kaluna yang terhalang tubuh tegap Jonathan.Kaluna diam tidak bergeming dan malah makin menyembunyikan dirinya di belakang tubug Jonathan. Ia merasakan remasan dari tangan Jonathan yang saat ini sedang menggenggam tangan kanannya, sebuah remasan yang seolah meminta Kaluna untuk membalas sapaan Emma dan memunculkan dirinya dari persembunyiannya."Kaluna," panggil Emma lagi sambil berjalan mendekat dan saat ingin menyambar bahu Kaluna agar anak itu menjauh dari Jonathan tangannya dihalangi oleh Wisnu, "Mas."Wisnu menggeleng pelan, "Nggak sekasar itu, Dek. Hargai Jonathan yang sudah membawa pulang anak gadis kamu, hargai perjuangan Jonathan untuk membujuk Kaluna pulang," bisik Wisnu yang entah kenapa ia merasa tidak asing dengan situasi tersebut. Situasi yang seolah pernah ia alami. Dejavu. "Tap—""Kamu tahu sesulit apa mengubah kekeraskepalaan Kaluna, kan?" tanya Wisnu yang langsung dijawab anggukkan ol
Jonathan memejamkan matanya sambil berusaha menenangkan dirinya sendiri, jujur ia merasa kesal saat Kaluna memaki dirinya. Tapi, apa mau di kata bila ia ada di posisi Kaluna pun, pasti ia akan melakukan hal yang sama."Aku nggak paham kamu lakuin apa sama anak Ibu, sampai-sampai dia mau pulang dan ikutin kemauan Ibu, yah walaupun ...." Emma menoleh melihat kamar Kaluna yang tertutup rapat, dan sesekali terdengar suara gaduh entah apa yang Kaluna buat di dalam kamar sana, "dalam kondisi murka."Jonathan tersenyum tipis, "Kaluna memang keras tapi, untungnya aku tahu cara untuk mengendalikan emosinya," ucap Jonathan."Aku nggak tau apa yang ada dipikiran kamu, aku nggak paham kenapa kamu balikin Kaluna ke sini dan bukan kabur begitu saja bersama Kaluna. Ibu nggak paham tapi, Ibu ucapkan terima kasih untuk itu semuanya," ucap Emma sambil mencoba memberikan senyumannya pada Jonathan."Aku bisa kabur, Bu. Aku bisa menikah tanpa restu Ibu." Jonathan menepuk kedua tangannya pelan, "Kaluna bahk
Jonathan hampir salto ditempat saat mendengar perkataan Emma. Benar kata orang menjadi pria itu selalu serba salah di mata wanita. "Saya sudah bilang, saya tidak mau menempatkan Kaluna di situasi yang tidak mengenakan.""Maksud kamu?""Saya tidak mau kalau Kaluna terjebak dalam situasi yang membingungkan dan membuat dirinya harus memilih. Saya tidak mau dan lagi pilihan yang ada itu semuanya tidak akan menguntungkan untuk Ibu, kalau saya bersikeras bertahan." Jonathan tersenyum penuh arti pada Emma." ...."Jonathan membenarkan posisi duduknya, ia ingin berkata setenang mungkin karena dia ingin Emma sadar apa yang sudah ia korbankan agar hubungannya dengan Kaluna masih tetap berjalan dengan baik, "Kalau Kaluna memilih saya, saya akan membuat dia meninggalkan Ibu."Jonathan berusaha menunjukkan ekspresi paling netral yang ia miliki walaupun sangat sulit, apalagi saat ini Emosi marah bercampur kecewa juga putus asa sedang melilitnya tanpa ampun. Andai membentak dan menggebrak meja adalah
"Lun ... Kaluna, ayo bangun, Nak." Emma membuka pintu kamar Kaluna dan kaget dengan kondisi kamar Kaluna yang gelap gulita. "Ini lampunya rusak? Udah tiga hari nggak pernah Ibu lihat nyala," ucap Emma sambil mencari saklar listrik dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang nampan berisikan makanan.Klik ....Emma menyalakan lampu kamar dan seketika itu juga kamar Kaluna terlihat terang benderang, Emma lalu melihat sekeliling kamar yang terlihat sedikit berantakan. Sudah hampir tiga hari semenjak Jonathan pergi dan merelakan Kaluna, semenjak itu pula Kaluna sama sekali tidak mau keluar kamar dan menangis meraung-raung di ranjangnya."Kamu udah mandi?" tanya Emma mencoba untuk berkomunikasi dengan Kaluna karena selain menangis Kaluna pun menolak untuk merespon semua pertanyaan dari Emma. Emma berjalan makin ke dalam kamar tanpa melihat langkahnya dan tanpa sengaja ia menendang sesuatu."Aduh ... ya ampun, Kaluna. Kenapa kamu nggak makan, ini kan makanan kamu kemarin?" ta
"Apa?" tanya Jonathan sesaat setelah Raka menutup sambungan teleponnya. Raka menoleh lalu menyeringai kesal ke arah Jonathan, "Udah nyuruh, terus ngomongnya judes pula ... emang kagak ada ahlak-nya lo!" sentak Raka sambil menunjuk Jonathan dengan ponselnya lalu menyimpan kembali ponselnya di meja."Berisik, udah jawab aja pertanyaan aku, ini juga bukan pertanyaan sulit sesulit pertanyaan kalkulus, Raka," hardik Jonathan kesal sambil memicingkan matanya ke arah Raka yang langsung mendapatkan wajah ektra masam dari Raka. Andai Jonathan tidak membutuhkan jawaban dari Raka mungkin saat ini Raka sudah habis dimaki-maki oleh Jonathan. "Jawab aja, sudah banget!""Ampun deh, bener-bener nggak ada sopan-sopannya jadi manusia, udah bikin gue rugi karena kurang pegawai, dan sekarang malah marah-marah, sadar Pak!" seru Raka ketus seraya mengambil botol air mineral lalu meminum isinya hingga tandas, tenggorokannya tiba-tiba terasa sangat kering akibat berbicara dengan Jonathan, lelaki ngenes yan