Kaluna bergerak di ranjang, berusaha untuk mendapatkan posisi paling enak untuk tidur. Matanya sudah perih dan ngantuk bukan main tapi, dari tadi ia sama sekali tidak bisa tidur. Pikirannya kembali pada obrolannya dengan Jonathan tadi sore. Ia ingat setelah ia menangis meraung dan Jonathan membujuknya agar mau di tes HIV akhirnya lelaki itu membuat janji bertemu dengan dokter yang merawatnya dan besok Kaluna akan bertemu dengan dokter itu. "Argh!" Kaluna berteriak keras sambil menggerakkan seluruh tubuhnya hingga membuat ranjang miliknya berderit. Tok ... tok ...."Kaluna ... hei, Kaluna ....""Ibu," bisik Kaluna sambil turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu, saat melewati cermin ia melihat kalau matanya sangat bengkak dan dirinya benar-benar berantakan. Dengan cepat Kaluna mengambul kaca mata hitam dan mengenakannya juga scraf untuk menutupi rambutnya."Iya Bu.""Astaga! Kaluna," teriak Emma kaget melihat penampakan Kaluna yang sudah seperti maling, "kamu ngapain pake kaca m
"Yang ... Yang, hei," panggil Jonathan sambil menyentuh pelan bahu Kaluna mencoba membangunkan kekasihnya itu walau ia tidak tega karena saat ia menjemput Kaluna di rumahnya Jonathan sadar kalau Kaluna kurang tidur dan terlihat sangat membutuhkan tidur."Yang, hei ... Sayang, bangun," bisik Jonathan sambil mengusap-usap pipi Kaluna hingga membuat wanita itu menggeliat pelan dan menoleh menatap dirinya."Bangun, Sayang kita udah nyampe rumah sakit," bisik Jonathan sambil terus mengusapi pipi Kaluna. Melihat bibir ranum Kaluna, Jonathan tergoda untuk menciumnya. Tanpa sadar Jonathan mendekati bibir Kaluna dan mencoba menciumnya namun ....Kaluna spontan menolehkan kepalanya hingga lelaki itu hanya bisa mencium pipi Kaluna. Kaluna bergidik pelan entah karena merasa dingin atau merasa jijik. Entahlah Kaluna tidak paham, mengetahui penyakit Jonathan benar-benar membuat Kaluna salah tingkah dan bingung dalam bersikap, semua informasi tentang HIV yang Kaluna dapatkan seolah hanya lewat saja d
"Jangan bercanda, Dok," ucap Kaluna sangsi, "mana ada orang sepercaya diri Dokter saat menyatakan kalau pasangan Dokter itu HIV," lanjut Kaluna bingung dengan keberanian Fani yang dengan santainya menyebutkan kalau pasangannya HIV.Fina tersenyum sambil mengetuk-ngetuk jemarinya, Fina sudah biasa mendapatkan tatapan jijik, bingung dan pertanyaan yang Kaluna ajukan tadi sepanjang dirinya menikah dengan suaminya, "Buat apa saya bohong," sahut Fina sambil mengambil salah satu figura yang ada di hadapannya lalu diputar figura itu agar Kaluna bisa melihat apa fotonya.Kaluna melihat figura yang ada di hadapannya dengan seksama, di sana ia bisa melihat Dokter Fina sedang tersenyum bersama seorang pria asing bermata biru dan dua orang anak yang sedang tersenyum manis pada dirinya."Suami saya pria kebangsaan Italia namanya Aldo, dia terkena HIV akibat dulunya adalah pemakai narkoba jenis suntikan. Lalu dia insyaf dan bertemu dengan saya, saat akan menikah dia mencek kesehatannya dan menemuka
"Yang." Jonathan berdiri setelah melihat Kaluna berjalan mendekatinya, jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat Kaluna yang terliha kuyuh dan lesu. Ia hampir gila membayangkan kalau Kaluna tertular HIV dari dirinya."Jo, aku udah di tes ... hasil tesnya tiga hari lagi keluar," sahut Kaluna sambil mengusap lengannya yang terasa ngilu setelah pengambilan darah. Ia menghentikan langkahnya saat ia merasa sudah berada di jarak aman dengan Jonathan. Tidak terlalu dekat.Jonathan menarik lengan Kaluna agar wanita itu mau berdiri lebih dekat lagi dengan dirinya, tapi, sayangnya Kaluna membatu dan tidak mau mendekati Jonathan lebih dekat lagi. "Yang, bisa lebih dekat?""Segini udah dekat," ucap Kaluna sambil melihat ke sekelilingnya, walaupun dirinya sudah diberitahu apa yang terjadi pada Jonathan dan tentang cara penularan HIV juga beberapa keterangan lainnya dari Fina tetap saja tubuhnya seolah menolak untuk terlalu dekat dengan Jonathan.Alam bawah sadarnya seolah memaksa Kaluna untuk m
"Maksunya gimana?" tanya Jonathan yang kaget dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulut Kaluna. Dia berusaha melihat Kaluna sebaik mungkin dan berharap kekasihnya itu kerasukan atau mengalami penyakit tertentu yang membuat Kaluna berbicara melantur tak tentu arah. "Aku ...." Kaluna mengangkat kedua tangannya dengan lemah, ia menghela napas pelan sambil melihat Jonathan, "aku capek ... aku capek, aku nggak kuat dan aku nggak sanggup, Jo.""Emang aku nggak ngerasain itu juga, Yang? Aku juga sama kaya kamu, aku capek, aku nggak kuat dan aku nggak sanggup, Yang. Tapi, aku nggak ngomong kalimat itu." Jonathan melihat sekelilingnya dan bersyukur tidak ada satu orang pun di sana karena Jonathan yakin teriakkan mereka berdua tadi mampu menembus pintu mobil dan menarik perhatian orang yang berada di luar."Aku lebih capek, Jo! Aku lebih ...." Kaluna menunjuk dadanya dengan telunjuk yang bergetar hebat sedang wajahnya terlihat penuh dengan rasa marah, matanya terlihat menyalak garang ke a
Brak ... brak ... brak ....Jonathan memukul lemari gantinya dengan menggunakan jaket chef miliknya, berusaha menumpahkan rasa marah, kesal, sedih, sakit hati yang bercampur menjadi satu. Ia beberapa kali menendang angin dan akhirnya bersandar ke dinding hingga tubuhnya merosot turun. Terduduk."Ya Tuhan, Lun ... ini harus gimana! Aku harus kaya apa?" teriak Jonathan sambil menutup matanya menahan amarahnya yang sialnya malah membuat ia kembali mengingat saat Kaluna mengucapkan kata putus dan dengan pongahnya dia mengatakan iya! Oh Tuhan, bodoh sekali dirinya! Padahal saat ini Jonathan sangat membutuhkan Kaluna untuk ada di sampingnya, rasanya ia ingin mengecam Tuhan dan memakinya walau pun bukan sesuatu yang bijak ia lakukan. Tapi, ia ingin melakukan itu, ia ingin mempertanyakan maksud dan tujuan mengapa sang pencipta kembali mempertemukan dirinya dan Kaluna?Mengapa harus Kaluna yang ia temui di Indonesia? Mengapa gadis itu malah jadi chef bukan menjadi apa ... entahlah, mungkin se
Kaluna mengusap keringat yang terus mengalir di keningnya, sudah hampir satu jam ia menggosok kompor yang ada di hadapannya. Selama itu pula pikiran Kaluna berkelana ke sana kemari, mencoba mencari jalan keluar dari situasi hidupnya saat ini dan mencoba untuk menenangkan dirinya.Rasa lelah akibat bekerja di tambah rasa lelah karena pikiran membuat tubuh Kaluna lelah bukan main tapi, Kaluna menolak untuk diam tanpa mengerjakan sesuatu. Dia harus bergerak kalau dia diam yang ada dia akan kembali menangis."Lun ... woi, Lun."Kaluna mengabaikan seseorang yang memanggilnya di belakang, ia terus menggosok kompor seolah menggosok kompor itu adalah pekerjaan paling mulia di muka bumi. "Kaluna, hei ... Kaluna." Hening ...."Kaluna! Woi, budek lo, yeh?" "Apa?" tanya Kaluna judes sambil menolehkan kepalanya melewati bahu dan mendapati Okhe yang sedang berkacak pinggang di belakangnya. Dengan enggan Kaluna melemparkan sikatnya ke atas kompor, "Apa? Ih ... tadi aja manggil-manggil, sekarang u
"Kaluna ... Kaluna."Suara panggilan Emma membuat Kaluna mempercepat acara dandannya. Saat ini ia sedang berusaha untuk menyamarkan mata bengkaknya akibat menangis semalaman karena sadar kalau Jonathan sudah berusaha untuk mengabaikan dirinya. Perih."Kaluna.""Iya, Bu ... sebentar Kaluna lagi dandan ini, kan kemarin Kaluna udah bilang kalau Kaluna nggak kerja tapi mau pergi," sahut Kaluna sambil menepuk sponge bedak ke bagian bawah matanya. Sebuah sentuhan akhir yang membuat Kaluna tidak terlalu terlihat seperti zombie."Ya ampun, Kaluna lama bener sih," ucap Emma lagi dari arah dapur.Kaluna dengan cepat mengambil tas dan jaketnya, "Iya ... iya," sahut Kaluna."Apa sih Ibu ini? Ngapain manggil-manggil? Aku kan juga nggak kerja hari ini, aku bilang aku mau pergi jadi nggak usah di buru-buru," keluh Kaluna sambil terus berjalan hingga sampai ke ruang tamu karena ternyata sumber suara Emma bukan dari dapur tapi dari ruang tamu.Saat ia sampai di ruang tamu langkahnya terhenti saat meli