"Ayahnya memilih meninggalkan Kaesar dan ibunya, demi hidup bersama wanita yang dia cintai.""Ibu yang tadi, Kakek?" tanya Zira, di mana saat ini dia masih di ruang santai–muka masih penuh dengan bedak. Setelah bermain game dengan sang kakek, Zira lanjut bercerita-cerita dengan sang kakek, membahas suaminya. "Bukan." Axen menggelengkan kepala, "itu istri ketiga ayah Kaesar. Istri pertamanya ibu kandung Kaesar, lalu menceraikannya dan menikah dengan wanita yang dia cintai–bernama Parita. Lalu menikah lagi dengan adiknya Parita setelah Parita meninggal delapan tahun yang lalu." "Oh, begitu." Zira memangut-mangut pelan. Jika Parita adalah istri kedua ayah mertuanya, lalu kenapa mereka menghasilkan anak yang lebih tua dari Kaesar? Yah, pria di meja makan yang tak dia kenali tadi adalah kakak suaminya, lebih tua dua tahun dari Kaesar. "Tapi … kenapa Kak Kaesar punya Kakak dari pernikahan ayah dan ibunya yang kedua? Harusnya kan adik?""Dulu Parita dan Diego adalah sepasang kekasih. Tetap
Besoknya. Kaesar membawa Zira menuju kediaman ayahnya, cukup jauh dari mansion sang kakek. Malam ini Zira sangat cantik, mengenakan dress hitam elegan yang indah. Rambut perempuan itu dikepang setengah lalu sisanya dibiarkan tergerai.Malam ini-- Zira seperti seorang lady dari keluarga bangsawan. Namun, memang benar bukan jika dia seorang tuan putri dari keluarga terhormat. Mulai dari tiba di pesta ini, sampai acara hampir selesai, Kaesar sama sekali tak melepas genggamannya dari tangan Zira. Tidak! Istrinya terlalu cantik ditempat terbuka seperti sekarang. "Kaesar Axelion, putraku dan merupakan pewaris utama Axelion," ucap Diego, memperkenalkan putranya sebagai pewaris utama di depan seluruh tamu undangan. Sejujurnya ada tamu spesial yang ia undang dan ingin ia pamerkan pada tamu lain–Reigha Abbas Azam, penguasa di dunia bisnis yang disegani oleh para penghuninya. Namun sayang, pria misterius itu mengatakan tidak bisa hadir karena ada hal penting. Hah, padahal Axelion cukup deka
Setelah kejadian semalam, di mana Kaesar dan Zira tak punya baju ganti, untungnya paginya Raka datang untuk mengantar pakaian ke duanya. Rencananya mereka ingin pulang ke mansion, tetapi ayah Kaesar meminta agar Kaesar ikut dengannya. Diego ingin mengatakan suatu hal penting pada Kaesar. Saat Kaesar menemui ayahnya, Zira menunggu di ruang tamu–ditemani oleh para maid di rumah ini. "Ada apa?" tanya Kaesar setelah duduk di sebuah sofa yang berada di ruangan ayahnya. "Hah." Diego menghela napas, memijit pelipis sejenak karena cukup terhenyak saat Kaesar berbicara tanpa embel-embel ayah padanya. Sialnya, dia mengira setelah mengumumkan Kaesar sebagai pewaris, Kaesar akan mau memanggilnya ayah. Namun, sayangnya dia salah. Ternyata anaknya ini tetap enggan bersikap sopan padanya, bahkan lebih parah karena sekarang Kaesar secara terang-terangan melayangkan tatapan tak suka padanya. "Harusnya tadi malam Ayah dan Ibu merayakan ulang tahunmu. Tetapi kau dan tunangan-mu sudah lebih dulu meni
"Kak Kaesar …," lirihnya, menangis sesenggukan ketika Erik mendekatinya–ingin melakukan suatu hal yang buruk padanya. Zira perlahan mundur, takut ketika Erik mendekatinya. Senyuman pria itu mengembang, benar-benar mengerikan di mata Zira. Ditambah tatapannya yang sangat aneh, itu semakin membuat Zira menggigil ketakutan. "Aromamu sangat harum, Sayang. Pantas saja Kaesar sangat tergila-gila padamu," ucap Erik, mencondongkan wajah ke arah leher Zira. Satu tangannya bergerak, menyentuh rambut Zira. Dia membelai rambut tersebut, tersenyum lebih jahat dengan tatapan penuh hasrat, "bahkan helai rambutmu yang indah sangat menggodaku," ucapnya serak. "A--aku tidak mengerti apa yang anda katakan. Menjauh!" kesal Zira, menepis kasar tangan Erik dari rambutnya. "Jangan kasar padaku, Zira sayang. Kau bisa membuatku marah," ucap Erik, mencengkeram lengan Zira dengan kuat–menariknya agar Zira merapat dengannya. Namun, tiba-tiba saja …-Bug'Seseorang menendang Erik dengan kuat, tepat di pingg
"Kak, lukamu …."Kaesar menoleh ke arah perutnya, menatap hanya sekilas pada perutnya yang terluka kemudian beralih menatap Zira–memperhatikan wajah khawatir sang istri yang terlihat kentara."Tidak perlu cemas. Ini tidak sakit," jawab Kaesar, menyunggingkan seulas senyuman tipis di bibir untuk meyakinkan istrinya jika dia tidak kenapa-napa. Zira terdiam sejenak, mengerjab beberapa kali ke arah Kaesar. Kemudian dengan cepat dia menyentuh luka di perut Kaesar, menekannya sedikit kuat untuk melihat reaksi sang suami. Kaesar tidak terlihat menampilkan raut muka sakit, wajahnya tetap flat. "Sudah kukatakan lukanya tidak sakit, Ma Zi," jawab Kaesar lebih rendah dari yang sebelumnya, mengacungkan pundak dengan sebelah alis terangkat. Dari raut wajah serta gerak-gerik, Kaesar memang terlihat tak kesakitan. Namun, sejujurnya pria itu sedang menahan sakit. Sekuat tenaga dia berupaya untuk terlihat baik-baik saja, supaya tak membuat Zira khawatir padanya. Jelas ini cinta! Perutnya terasa
Ciuman itu berubah panas, Kaesar menyukai rasa bibir Zira. Seperti permen yang manis tetapi kenyal layaknya jelly. Namun, terpaksa dia melepas ciuman itu. Hujan turun semakin deras! Zira menatap canggung pada Kaesar kemudian menoleh ke sana kemari untuk melihat kondisi hutan yang semakin gelap serta basah. "Perut Kak Kaesar sakit?" tanya Zira, memberanikan diri untuk menatap Kaesar. Dia melawan rasa canggung yang melanda. Umm, ciuman tadi membuat Zira nervous. Astaga, dia dan suaminya berciuman dihujan-hujan dan di dalam hutan. Bagi Zira yang mengagumi Kaesar secara diam-diam, ini merupakan hal luar biasa. Maksudnya … romantis! "Tidak," jawab Kaesar rendah, menatap intens pada sang istri. Ah, dia ingin menyesap bibir Zira, dia ingin membuatnya lebih merah. Lihatlah! Bibir Zira yang pucat karena kedinginan kini kembali hidup, merah dan sangat menggoda. Sayang sekali. "Kita harus pergi dari sini, Kak. Hujannya semakin deras dan … luka Kakak bisa semakin sakit kalau kena hujan." Z
"Syuttt … jangan menangis, Ma Zi. Aku sungguh tidak apa-apa," lembutnya, berkata hangat dan serak–memeluk tubuh mungil sang istri, berulang kali mengecup pucuk kepala perempuan itu. Zira melonggarkan pelukan, menjauh sedikit dari suaminya lalu menoleh ke arah perut Kaesar yang telah ditutup oleh perban. Luka di sana … ada karena dirinya. "Maafkan aku …," ucap Zira lirih, serak dan parau. Nadanya berbisik dan sangat sayup, menunduk penuh perasaan bersalah. Suaminya terluka parah karena ulahnya. "Humm." Kaesar berdehem, mengulurkan tangan ke belakang kepala sang istri–menarik kepala Zira dan menyenderkannya di dada bidangnya, kembali mendekap istrinya tersebut, "jangan menangis," ucapnya rendah. Zira menganggukkan kepala, mendongak sekilas pada Kaesar lalu menelusup lagi pada dada bidang sang suami. Ini hangat dan menenangkan, Zira suka. "Rambutmu basah. Kenapa?" tanya Kaesar, mengernyit sembari menyentuh helai rambut istrinya yang basah di bagian kening. Karena cuci muka? Tidak
"Yah, Zira penyebabnya." Kaesar bersuara, menoleh tajam ke arah ibunya, "jika bukan karena Zira, mungkin sampai saat ini aku masih tetap menjadi bonekamu. Sumber uangmu dan suamimu. Benar bukan?!" "Tidak, Sayang." Diara menggelengkan kepala secara kuat, "Mama tidak pernah mengharapkan uang darimu. Mama sungguh menyayangimu. Sangat." "Baik. Kalau begitu, tidak masalah jika aku memutuskan kontrak kerja sama dengan perusahaan suamimu," ucap Kaesar, membuat Diara diam membeku di tempat. Hanya bisa menggelengkan kepala dengan raut muka pucat pias yang kentara. "Bagus, Cucuku. Kakek bangga padamu," seru Axen, bertepuk tangan dengan senang–menyenggol lengan Zira, isyarat agar cucu menantunya tersebut ikut bertepuk tangan. Tentunya Zira asal ikut, bertepuk tangan tak kalah meriah dari sang kakek. Bahkan dia tersenyum riang ke arah Kaesar, polos tetapi iblis secara bersamaan. "Kae, bagaimanapun dia ibumu …-" "Ibu yang meninggalkan anaknya sendirian hanya demi bisa bersama dengan pria yan