"Kak, lukamu …."Kaesar menoleh ke arah perutnya, menatap hanya sekilas pada perutnya yang terluka kemudian beralih menatap Zira–memperhatikan wajah khawatir sang istri yang terlihat kentara."Tidak perlu cemas. Ini tidak sakit," jawab Kaesar, menyunggingkan seulas senyuman tipis di bibir untuk meyakinkan istrinya jika dia tidak kenapa-napa. Zira terdiam sejenak, mengerjab beberapa kali ke arah Kaesar. Kemudian dengan cepat dia menyentuh luka di perut Kaesar, menekannya sedikit kuat untuk melihat reaksi sang suami. Kaesar tidak terlihat menampilkan raut muka sakit, wajahnya tetap flat. "Sudah kukatakan lukanya tidak sakit, Ma Zi," jawab Kaesar lebih rendah dari yang sebelumnya, mengacungkan pundak dengan sebelah alis terangkat. Dari raut wajah serta gerak-gerik, Kaesar memang terlihat tak kesakitan. Namun, sejujurnya pria itu sedang menahan sakit. Sekuat tenaga dia berupaya untuk terlihat baik-baik saja, supaya tak membuat Zira khawatir padanya. Jelas ini cinta! Perutnya terasa
Ciuman itu berubah panas, Kaesar menyukai rasa bibir Zira. Seperti permen yang manis tetapi kenyal layaknya jelly. Namun, terpaksa dia melepas ciuman itu. Hujan turun semakin deras! Zira menatap canggung pada Kaesar kemudian menoleh ke sana kemari untuk melihat kondisi hutan yang semakin gelap serta basah. "Perut Kak Kaesar sakit?" tanya Zira, memberanikan diri untuk menatap Kaesar. Dia melawan rasa canggung yang melanda. Umm, ciuman tadi membuat Zira nervous. Astaga, dia dan suaminya berciuman dihujan-hujan dan di dalam hutan. Bagi Zira yang mengagumi Kaesar secara diam-diam, ini merupakan hal luar biasa. Maksudnya … romantis! "Tidak," jawab Kaesar rendah, menatap intens pada sang istri. Ah, dia ingin menyesap bibir Zira, dia ingin membuatnya lebih merah. Lihatlah! Bibir Zira yang pucat karena kedinginan kini kembali hidup, merah dan sangat menggoda. Sayang sekali. "Kita harus pergi dari sini, Kak. Hujannya semakin deras dan … luka Kakak bisa semakin sakit kalau kena hujan." Z
"Syuttt … jangan menangis, Ma Zi. Aku sungguh tidak apa-apa," lembutnya, berkata hangat dan serak–memeluk tubuh mungil sang istri, berulang kali mengecup pucuk kepala perempuan itu. Zira melonggarkan pelukan, menjauh sedikit dari suaminya lalu menoleh ke arah perut Kaesar yang telah ditutup oleh perban. Luka di sana … ada karena dirinya. "Maafkan aku …," ucap Zira lirih, serak dan parau. Nadanya berbisik dan sangat sayup, menunduk penuh perasaan bersalah. Suaminya terluka parah karena ulahnya. "Humm." Kaesar berdehem, mengulurkan tangan ke belakang kepala sang istri–menarik kepala Zira dan menyenderkannya di dada bidangnya, kembali mendekap istrinya tersebut, "jangan menangis," ucapnya rendah. Zira menganggukkan kepala, mendongak sekilas pada Kaesar lalu menelusup lagi pada dada bidang sang suami. Ini hangat dan menenangkan, Zira suka. "Rambutmu basah. Kenapa?" tanya Kaesar, mengernyit sembari menyentuh helai rambut istrinya yang basah di bagian kening. Karena cuci muka? Tidak
"Yah, Zira penyebabnya." Kaesar bersuara, menoleh tajam ke arah ibunya, "jika bukan karena Zira, mungkin sampai saat ini aku masih tetap menjadi bonekamu. Sumber uangmu dan suamimu. Benar bukan?!" "Tidak, Sayang." Diara menggelengkan kepala secara kuat, "Mama tidak pernah mengharapkan uang darimu. Mama sungguh menyayangimu. Sangat." "Baik. Kalau begitu, tidak masalah jika aku memutuskan kontrak kerja sama dengan perusahaan suamimu," ucap Kaesar, membuat Diara diam membeku di tempat. Hanya bisa menggelengkan kepala dengan raut muka pucat pias yang kentara. "Bagus, Cucuku. Kakek bangga padamu," seru Axen, bertepuk tangan dengan senang–menyenggol lengan Zira, isyarat agar cucu menantunya tersebut ikut bertepuk tangan. Tentunya Zira asal ikut, bertepuk tangan tak kalah meriah dari sang kakek. Bahkan dia tersenyum riang ke arah Kaesar, polos tetapi iblis secara bersamaan. "Kae, bagaimanapun dia ibumu …-" "Ibu yang meninggalkan anaknya sendirian hanya demi bisa bersama dengan pria yan
"Sebenarnya kapan Kak Kae akan mengutarakan cinta padaku?" Kaesar menatap kaget ke arah Zira. Namun, sayangnya ekspresi kagetnya tersebut tertutup oleh wajahnya yang datar.Zira sendiri, dia juga kaget dengan apa yang barusan ia katakan. Dia reflek menutup mulut dengan kedua tangan, mundur ke sudut wardrobe room; menatap suaminya dengan mata membelalak. Kaesar menaikkan sebelah alis, terus menatap secara intens pada sang istri. Smirk tipis seketika menyungging di bibir, geli serta gemas melihat tingkah lucu Zira. Hell yeah, ini membunuh Kaesar! "Hik …." Zira semakin melebarkan mata, kaget sekaligus malu setengah mati ketika dia tiba-tiba cegukan. Smirk di bibir Kaesar berubah menjadi sebuah senyuman yang indah. Lalu tawa pelan yang ringan terdengar merdu, keluar dari bibir pria tampan tersebut. Tatapannya sama sekali tak lepas dari sosok Zira, memandangi istrinya tersebut secara berat dan sayup–seolah Zira lah satu-satunya objek di muka bumi ini, dan Kaesar buta melihat objek se
"Kau tidak lalai, dan kau berhasil, Nak."Kaesar yang sempat menundukkan kepala, mendongak ke arah ayah mertua. Dia kaget mendengar penuturan dari sang ayah mertua. Berhasil? Tetapi dia membuat Zira dalam bahaya. Hanya karena Zira kekasihnya, keluarganya berniat mencelakainya. Kaesar merasa jika dia pantas mendapat amukan dari pria ini. Bagaimanapun, Zira adalah putri satu-satunya Reigha–kesayangan sang pemilik dunia gelap ini."Kau berhasil membuktikan diri jika kau pantas menjadi suami Zira. Kau memenuhi semua syarat yang kuberi. Selamat," ucap Reigha, tersenyum tipis sembari mengulurkan tangan ke arah Kaesar–mengajaknya berjabat tangan. Kaesar dengan kikuk, gugup sekaligus canggung menerima jabatan tangan ayah mertuanya tersebut. Melihat senyuman sang ayah mertua, Kaesar semakin dibuat grogi. Dia mendapat apresiasi, ini menakjubkan dan mendebarkan bagi Kaesar. "Sekarang Zira milikmu," ucap Reigha, tiba-tiba berdiri dari sofa, "tetapi kalian masih tidak boleh punya anak. Anak k
"Lebih baik Kak Kaesar keluar." Zira berucap pelan, menatap Kaesar berang bercampur malu. Bukannya keluar dari kamar mandi, Kaesar malah menutup pintu–membuka pakaian lalu bergabung dengan Zira. "Kak …," cicit Zira pelan. "Kenapa?" Kaesar menaikkan sebelah alis, menatap istrinya dengan tatapan yang berat dan penuh hasrat. Zira menggelengkan kepala, memilih diam ketika Kaesar mulai menyentuhnya. Sejujurnya dia ingin menolak, tetapi dia … dia suka sentuhan Kaesar. Zira menikmatinya. ***Kebahagian yang Kaesar dan Zira katakan berubah menjadi duka dan bencana. Pagi ini, Zira mengalami kecelakaan yang membuat seluruh keluarga Azam khawatir pada kondisinya–sekaligus membuat Kaesar dalam masalah besar. Rutinitas Razie dan Zira bertengkar di pagi hari, entah itu karena selai atau karena berebut kursi. Pagi ini kembar tersebut bertengkar lagi, disebabkan oleh Razie yang menghabiskan selai strawberry kesukaan Zira. Keduanya berlari-lari, saling mengejar di ruang makan. Meskipun Reigha
"Aku pikir kau selalu sempurna dan keputusanmu selalu benar. Tetapi sekarang aku berubah pikiran. Menikahkan Zira dengan pria sampah itu adalah keputusan terbodoh yang pernah kau lakukan, Reigha. Bukannya melindungi Zira, hidup Zira hancur ditangannya. Orang yang sangat kau percayai merusak putri kesayanganmu, Reigha Abbas Azam!"Kaesar mendongak, tetapi hanya sekilas karena dia kembali menundukkan kepala. Apapun yang keluarga Azam katakan, dia akan menerima. Sebab Kaesar salah.Semisal Reigha menginginkan kematiannya, bagi Kaesar itu juga bukan masalah. Reigha menoleh ke arah sepupunya tersebut. Wajahnya terlihat flat, membuat siapapun tak bisa menebak apa yang pria itu rasakan atau pikirkan. "Kau hanya iri karena kau tidak pernah mendapatkan kepercayaan dariku," ucap Reigha santai, menepuk pundak pria tua itu kemudian mencengkeramnya dengan kuat."Hati-hati jika berbicara denganku. Pulanglah," tambah Reigha dingin, melepaskan tangannya dari pundak pria itu. "Cik." Dia berdecak ke