"Memalukan!" kesal Haiden, menatap sinis ke arah adiknya yang duduk di depan– di sebelah Reigha yang tengah menyetir. Sekarang mereka sudah di mobil dan berniat untuk pulang. "Aku?!" ucap Ziea dengan nada menyolot, menoleh tajam dan marah ke arah Kakaknya. Haiden tak menjawab, hanya mendengkus sembari memutar bola mata dengan jengah, "Kak Den yang malu-maluin, tahu nggak?! Ngapain tadi ribut di sana? Pake acara nyingkap baju segala. Biar apa begitu?! Biar ABS-nya kelihatan, tebar pesona atau mau apa?! Narsis banget sih! Malu banget banget banget banget!" kesal Ziea. Dia tak berniat memarahi Kakaknya sebenarnya, tetapi dia sedang patah hati karena Reigha. Sudahlah, biarkan kali ini Haiden jadi pelampiasan sakit hatinya. "Hei …- yang naikin baju bukan aku, Zebra! Stupid, dia yang melakukannya! Teman genitmu ini," kesal Haiden, "menjauh!" ketusnya kemudian, menoleh ke arah Lea sembari melayangkan tatapan tajam ke arah perempuan itu. Heran! Perempuan ini seperti dedemit yang menempeli
"Memang!" Singkat, padat dan menembus jantung hingga ke tulang punggung! Ziea yang tertawa hambar seketika terdiam, menatap kaget dan tak percaya ke arah suaminya. "Aku tidak suka milikku memikirkan pria lain. Aku tidak suka istriku dekat dengan pria selain aku. Aku tidak suka apapun tentangmu yang berbaur dengan pria selain aku. Harus aku! Semua harus aku, Zie," ucap Reigha dengan rendah, mendekatkan wajahnya ke wajah Ziea– kening keduanya saling menempel dan deruh napas keduanya saling mengadu, "bahkan helaan napasmu harus mengikut sertakan ku, Mon Amour. Because you're mine. Only Reigha's!" bisik Reigha dengan nada semakin berat, serak dan rendah. Cup'Reigha menempelkan bibirnya dengan bibir Ziea, melumatnya dengan lembut namun memberikan kesan yang panas dan bergairah. Jantung Ziea semakin berdebar kencang, ucapan Reigha menghipnotis dirinya. Lalu sekarang, belaian lembut bibir pria ini berhasil membuatnya kehilangan akal dan kesadaran. Tiba-tiba saja, Reigha melepas ciuman
"Obati!" titah Reigha, sudah dalam kamar mereka. Dia duduk di pinggir ranjang– sengaja mengenakan celana pendek dan menyingkap sedikit untuk memperlihatkan paha kirinya yang lebam akibat cubitan maut istrinya ini. Shit! Itu lebih sakit daripada tertembak peluruh. The real cubitan mematikan. Untungnya Reigha sang ahli wajah datar, tetap bisa mempertahankan raut muka flatnya meskipun dia tengah menahan sakit cubitan sang istri. See? Ada bekas cubitan yang kentara jelas dan pahanya benar-benar lebam parah. "Obati pakai apa, Mas Rei? Odol, salep atau apa?" ucap Ziea dengan air muka murung dan merasa bersalah. Dia tak bermaksud, tetapi dia sangat kesal ketika sepupunya terus menjahilinya. Terlebih di sana ada tiga perempuan yang pernah membicarakan hal-hal buruk tentangnya."Tiup," titah Reigha dengan nada rendah tetapi tak terbantahkan sama sekali. "Iya." Ziea menganggukkan kepala, mendekatkan wajahnya ke paha suaminya tersebut lalu meniupnya dengan perlahan. Reigha meraih buku di a
Ceklek' Reigha kembali ke kamar, di mana mata elang pria itu langsung menghunus tajam ke arahnya. Tangan Ziea spontan ke belakang, menyembunyikan surat yang ia temukan dalam dompet suaminya tersebut. "Apa yang kau sembunyikan?" tanya Reigha datar, menaikkan sebelah alis sembari menatap dingin pada istrinya tersebut. Dia meletakkan segelas banana milk di atas nakas, memilih memperhatikan serta membaca gerak-gerik mencurigakan Ziea. Ziea meneguk saliva secara kasar. "Aku … tidak ada, Mas Rei. Ehehehe … apa kabar, Mas? Mau tidur yah? Oh, silahkan, silahkan," ucap Ziea kikuk, buru-buru turun dari ranjang, merapikan kasur lalu mempersilahkan agar Reigha tidur. "Humm." Reigha berdehem pelan, "minum susumu dan segera tidur," titah Reigha kemudian, berjalan mendekati ranjang dan …-Sret' Tiba-tiba dan dengan gerakan tak terbaca dia meraih tangan Ziea– mengambil surat di tangan istrinya secara santai sembari melayangkan tatapan yang dingin serta mematikan. Ziea seketika itu juga membela
"Ma--Maaf, aku lupa, Mas," cicit Ziea takut-takut. Reigha menatap marah ke arah Ziea. "Bersihkan dan jangan tidur sebelum aku datang," titah Reigha dengan dingin lalu beranjak dari kamar tersebut. Dengan tubuh gemetar dan jantung yang berdebar kencang, Ziea buru-buru turun dari ranjang. Dia langsung membersihkan pecahan gelas serta tumpahan susu di lantai. Seperti perkataan Reigha, Ziea tidak kembali tidur. Dia memilih menunggu suaminya, lagipula Ziea sudah tak mengantuk lagi. Akibat amarah mengerikan Reigha tadi– di mana pria itu memecahkan gelas susu dan membuat Ziea yang tengah tertidur pulas sontak terbangun dengan kaget luar biasa. 'Mas Reigha itu aslinya pemarah yah? Cik, aku mendadak tidak tahu apapun tentangnya. Semuanya berubah, tak seperti ketika sebelum menikah dengannya. Yang aku tahu … mungkin semua orang juga tahu, Mas Reigha itu paling pendiam, tenang dan lebih penyendiri dibandingkan siapapun di mansion ini. Tapi faktanya cuma gara-gara aku tidak meminum susu buatan
"Reigha, tunggu." Reigha seketika menghentikan langkahnya, spontan menoleh ke arah seorang yang memanggilnya. Tak lain orang tersebut adalah Serena, kakak iparnya yang sekarang tengah hamil muda. "Butuh bantuan, Kak?" tawar Reigha, suaranya rendah dan pelan– terkesan manis dan juga perhatian. Serena mengganggukkan kepala. "Kakak, Aayara dan Jenny ingin jalan-jalan ke mall. Kamu bisa temani tidak? Itu-- Abang El-mu tidak akan mengizinkan Kakak kalau tidak ada yang menjaga." "Humm. Baik." Reigha dengan mudah menganggukkan kepala, setuju dan mengiyakan jika dia akan menemani para iparnya tersebut berbelanja. "Ouh, iya. Aesya juga ikut sebenarnya. Tetapi dia lebih dulu ke cafe. Nanti dia menyusul," tambah Serena, mendapatkan tatapan penuh tanda tanya dari Reigha. "Cafe?" Serena menganggukkan kepala. "Iya, mengantar Ziea. Oh, atau kita ke cafe Ziea dulu, Ega?" tanya Serena seketika, mendadak tak enak dengan situasi sekarang. Astaga! Bisa-bisanya dia lupa juga Ega sudah menikah denga
"Mas--Mas ingin kdrt yah?" panik Ziea saat melihat Reigha melepas gesper– dia meringsut ke kepala ranjang karena takut akan dicambuk oleh pria ini. Mereka sudah kembali ke mansion dan saat Ziea tengah berusaha melawan ketakutan. Sebentar lagi dia akan dihukum oleh pria dingin plus tembok ini. Sepertinya hukuman kali ini sangat menyakitkan!"Siapa?" Reigha menaikkan sebelah alis, melepas gesper lalu menjatuhkannya begitu saja."Mas, kamu mau apa?" Ziea merangkak ke pinggir ranjang, khusus untuk melihat gesper yang telah terjatuh ke lantai. Entahlah, dia takut benda itu akan dijadikan cambuk, dia panik dan gugup. Ketika dia mendongak, tiba-tiba saja Reigha sudah berada tepat di depannya. Di mana pria itu telah melepas kemeja yang membungkus tubuhnya, memperlihatkan ABS pria itu– menggoda dan menggiurkan secara bersamaan. Ziea spontan mundur, kembali meringsut ke kepala ranjang dengan meneguk saliva secara kasar. A--apa yang akan Reigha perbuat padanya?"Silahkan cuci matamu," ucap Re
"Mas Rei sebenarnya dis--dispenser yah?"Reigha berhenti sejenak dari aktivitasnya, menatap sayup bercampur penuh peringatan pada wanita cantik yang sedang ia bawa melambung tinggi tersebut. "Sepertinya kau suka tambahan durasi, ZieMour." Mata Ziea membelalak kaget, menggelengkan kepala dengan cepat, "a--aku hanya nanya, Mas Rei. I--iya, habis ini aku diam."Reigha tak mengatakan sepatah kata apapun, hanya menatap dingin ke arah istrinya dengan wajah flat dan aura yang membuat Ziea menggigil karena takut. 'Kan kan kan! Dah jadi dingin lagi. Gimana coba nggak dikira dispenser?!' batin Ziea, menyengir lebar karena terus ditatap dingin oleh sang suami. ***"Ini di mana?" tanya Ziea entah siapa, berdiri di balkon kamar dan menghadap ke arah hamparan laut di bawah sana. Sangat cantik dan mempesona. Reigha ada dalam kamar, masih mengenakan pakaian setelah mereka sebelumnya mandi bersama. Pemandangan di sini sepertinya sangat cantik. Tetapi … seperti tak ada kehidupan di sini. Dari balk
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming