Saat ini Ziea sedang di cafe, sedang di dapur cafe lebih tepatnya. Dia tengah membaca novel sembari menikmati susu pisang kesukaannya. Ziea istirahat sejenak bersama Lea yang juga tengah membaca novel. "Eh, tadi malam kamu ngapain ngirim foto Abang kamu ke aku?" Ziea yang sedang asyik membaca seketika teralihkan, dia seketika mendongak dan menatap Lea dengan air muka bingung. "Kirim foto apaan? Nggak lah.""Ih, serius. Ini buktinya." Lea buru-buru membuka ponselnya dan langsung men-cek room chat antara dia dan Ziea. Kening Lea seketika mengerut, aneh sekali pesan bahkan foto yang dikirim Ziea padanya tadi malam semuanya hilang. "Loh, hilang?" bingungnya, memperlihatkan room chat-nya dengan Ziea yang sudah kosong. "Coba kamu cek di ponsel kamu. Pa-pasti ada.""Enggak ada." Ziea menunjukkan room chat-nya dengan Lea, tak ada pesan apapun yang dia kirim semalam untuk Lea. Sebaliknya, pesan dari Lea untuknya, juga tak ada yang dikirim tadi malam. Ada, tetapi kemarin dan kemarin lagi. In
"Sudah ada kabar?" tanya Aesya pada Haiden. Ini sudah tiga hari berlalu– mereka semua masih menunggu kabar, berharap jika kabar baik yang akan mendatangi mereka. "Masih Camille yang ditemukan dengan Paman Fauzan. Dan … Camille akan kesini untuk menemui keluarganya. Paman akan tetap di sana– akan ikut mencari Rei," jelas Haiden, menghela napas berat sembari memijit pangkalan hidungnya. Camille, Fauzan dan beberapa orang mereka ditemukan di sebuah pulau, tetapi mereka sama sekali tak menemukan jejak Reigha di sana. Mereka masih mencari, dan tak ada yang tahu Reigha ada di mana sekarang. "Tapi kabar baiknya, Rei bisa saja selamat dari ledakan itu. Hanya saja sampai sekarang dia belum ditemukan. Kita berdoa saja," tambahnya, yang mendapat anggukan kepala dari Aesya, Ziea maupun Serena. "Ziea, Kakak akan ke sana dengan Kak Prince. Kau jaga dirimu di sini dengan baik, jaga Mommy dan … terus berdoa." Ziea menganggukkan kepala. "Baik, Kak," ucapnya serak dan lembut, tersenyum manis ke a
"Dari mana kamu?" Ziea menghentikan langkanya, menatap Mommynya dengan raut muka gugup dan takut-takut. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya menegang kaku."Aku?" Ziea menunjuk dirinya sendiri, menatap Mommynya dengan senyuman canggung, "dari cafe, Mom. Kan tadi izin ke Mommy," lanjutnya sembari menyengir aneh. "Malam baru pulang?" Moza setengah mengomel. "Jangan dibiasakan dong, Sayang. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada kamu? Mommy khawatir!" "Maaf, Mom. Tadi cafe lagi ramai, Ziea nggak enak kalau ninggalin Lea dan yang lainnya. Maaf yah, Mom," pinta Ziea dengan nada memelas dan lembut. "Iya, Sayang." Moza mengusap pinggiran wajah putrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. 'Setelah pulang dari cafe, wajah putriku lebih ceria. Dan … senyumannya sudah muncul kembali. Hah, mungkin Ziea memang perlu melakukan kesibukan agar tidak terlalu memikirkan Nak Rei. Kasihan kamu, Nak.' "Gimana kabar Lea? Udah lama dia tidak minta foto Kak Deden ke Mommy."Ziea seketika melebarkan m
Cup'Tak tahan, Reigha langsung melumat bibir Ziea, meluapkan hasrat serta kerinduannya pada kenyalnya benda manis dan menggoda itu. Tak sampai di sana, tangannya mulai menyelinap masuk dalam blus yang Ziea kenakan– meraba keindahan milik istrinya dengan gerakan lembut namun penuh nafsu. Ziea membalas ciuman tersebut, bibir keduanya saling beradu– saling melampiaskan perasaan rindu masing-masing serta rasa ingin memiliki yang begitu besar. Ciuman Reigha perlahan turun ke arah leher Ziea, mengecupnya dengan liar sembari memberikan tanda kepemilikan di sana. Tangannya tak yang bebas kini beralih membuka blus yang Ziea kenakan, mulai ke permainan yang lebih panas dan menantang. Ziea dibuat mabuk kepalang, melambung tinggi dan terus merintih penuh kenikmatan. Seperti biasa, sentuhan Reigha sangat panas dan membakar. Pria ini pandai memanjakan istrinya dan membuat Ziea tak berkutik. ***"Jadi karena mereka tahu Zayyan adalah pewaris Tuan Sam, mereka mengincarnya untuk di -- ekk," ucap Z
Tiga minggu kemudian. "Bagaimana?" tanya Lea setelah sahabatnya tersebut keluar dari ruang pemeriksaan. Ziea tersenyum tipis, memberikan sebuah surat laporan medis ke sahabatnya tersebut. Lea membuka surat tersebut kemudian membacanya. Mata Lea membelalak dan wajahnya campur aduk. Dia ingin senang, tetapi …-"Ka--kamu hamil?" ucap Lea dengan raut muka bingung. Dia harusnya senang karena sahabatnya ini hamil, akan tetapi bukankah keadaannya sangat tidak memungkinkan Ziea hamil? Hampir dua bulan Ziea tidak bertemu dengan suaminya. Ba--bagaimana bisa Ziea hamil? Ziea tersenyum tipis, menganggukkan kepala– wajahnya bersinar dan cerah, akan tetapi tatapan matanya sendu dan sayup. "Baru minggu-minggu awal, Mak Le." "A--aku senang kamu hamil, tapi-- kok bisa?" bisik Lea dengan tampang muka bercampur aduk. Dia tak tahu harus menjelaskan bagaimana yang ia rasakan saat ini. Di satu sisi dia senang Ziea hamil, karena saat di pulau-- waktu itu, Ziea pernah mengatakan jika dia ingin punya ana
"Ke--kenapa Mommy menangis? Mommy tidak senang yah?" tanya Ziea dengan nada serak dan hati-hati. "Masih bisa bertanya? Urat malumu di mana, Ziea?" sarkas Aesya dengan wajah marah. "Cukup!" Satiya merelai, tetapi sepetinya Aesya tidak peduli. Aesya merasa sakit, kembarannya dikhianati oleh Ziea! Aesya selama ini sangat percaya jika Ziea bisa memberikan kebahagiaan pada Reigha, tetapi mungkin dia terlalu percaya pada perempuan itu. Dan lihat sekarang?! Ziea membuat semua orang kecewa. "Malu kenapa? Aku hanya hamil, bukan melakukan kesalahan atau dosa yang memalukan, Kak," jawab Ziea, berusaha tegar walau dalam sana dia benar-benar takut. Semua orang di sini– mereka semua terlihat seperti monster. "Cih.""Cih.""Dasar tidak tahu diri.""Memalukan.""Rendahan."Ziea diam, mendengar cemooh tersebut dengan lapang dada. 'Aku benar-benar menbutuhkanmu, Mas. Kamu di mana?' batinnya, berusaha untuk tegar dan kuat, meskipun ulu hatinya begitu sesak dan perih mendengar cemooh para keluargan
"Hei, apa yang kau lakukan, Ziea?" kaget Kenzie ketika putrinya tersebut tiba-tiba bersimpuh di kakinya, bertekuk lutut di lantai dengan kepala tertunduk dan dengan tangan yang menyentuh ujung pantofel Kenzie. Bukan hanya Kenzie, Moza dan Gaiden juga terlihat kaget ketika melihat Ziea tiba-tiba bertekuk lutut di lantai. "Apa yang kau lakukan, Nak? Berdiri!" pekik Moza, menghampiri Ziea– memegang pundak Ziea dan membantu putrinya tersebut untuk berdiri. "Tidak, Mom. Biarkan aku meminta maaf pada Daddy. Lagi-lagi ka--karenaku Daddy jadi bahan hinaan keluarga Azam," ucap Ziea, menepis pelan tangan Mommynya dari pundak. Kepalanya tertunduk dalam, dan air matanya kembali menetes. "Aku meminta maaf, Daddy. Nama dan citramu rusak karena aku. Ntah sudah berapa kali aku mempermalukan Daddy di depan keluarga itu. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya, Daddy.""Ta--tapi aku bersumpah jika aku tidak seperti yang Camille katakan, Daddy, Mommy." Ziea mengangkat kepala, menatap Daddynya dengan air
Setelah beberapa hari berlalu, Ziea bahkan merasa jika dirinya dan kondisi bayi dalam perutnya semakin memburuk. Dia sering demam, mual dan sering menangis diam-diam. Alasannya apa lagi jika bukan keluarga suaminya! Reigha sampai sekarang belum ditemukan. Lebih tepatnya, beberapa dari mereka menyatakan jika suaminya sudah meninggal dunia. Begitu juga dengan Zayyan dan Jabier. Yang saat ini mereka cari adalah mayat Jabier, karena hanya mayat pemuda berusia delapan belas tahun tersebut lah yang belum ditemukan. Jasad Reigha dan Zayyan sudah berhasil ditemukan– dengan wajah hancur dan tubuh berserak, alias dimutilasi. Kenapa mereka yakin itu Zayyan dan Reigha, karena identitas serta pakaian yang dikenakan oleh keduanya. Berita itu saja sudah sangat menyakiti Ziea, ditambah lagi dengan keluarga suaminya yang terus terang menjelek-jelekkan bayi dalam perutnya serta Daddynya. Bagaimana Ziea akan sembuh, mereka saja terus-terusan melukai Ziea. "Mommy, Daddy …-" ucap Ziea setelah berada d
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming