"Kamu akan dapat masalah setelah ini," kata Raja menatap serius.
Ruma tahu itu dan seharusnya dia memang bersikap profesional. Dia tidak boleh mencampuradukkan urusan pekerjaan dengan hal pribadi. Apalagi untuk kemaslahatan pasien."Sakit, Mas," rengek Rina terdengar begitu manja saat Ruma kembali masuk. Saat ini dia tidak sendiri, melainkan ada Raja juga yang ikut membantu. Atau lebih tepatnya memantau seraya menganalisa pasien.Perempuan itu menghela napas kasar. Mencoba mengabaikan perasaannya yang tak berarti ini. Ruma tahu dia belum dicintai, tapi bisakah dua manusia ini berperikemanusiaan sedikit saja untuk tidak mengumbar kemesraan di depannya."Biusnya hanya sebentar dan kamu tidak harus lihat. Tenang saja, Ruma akan melakukannya dengan baik," kata Raja membuat pekerjaan Ruma setidaknya lebih berarti."Iya, kamu bisa terus menatapku agar teralihkan," hibur Rasya menangkup pipinya."Tenang, Ruma, selesaikan tugasmu dengan baik. Setelah ini, kamu boleh melakukan apa pun sesuka hatimu," batin Ruma menyemangati diri sendiri.Kali ini dia merasa tidak ada harga dirinya sama sekali di depan orang yang katanya telah mengambil alih tanggung jawabnya."Sudah, saya akan meresepkan obatnya," ucap Ruma undur diri. Mengolah nada bicaranya agar tetap terdengar baik-baik saja."Apa dia harus opname?" tanya Rasya pada Dokter Raja."Luka pada kakinya hanya perlu dijahit. Kontrol di hari yang sudah dijadwalkan untuk mengetahui apakah lukanya sudah kering atau belum. Nanti kami akan memberikan resep, jangan lupa diminum ya.""Iya Dok," jawab Rina mengiyakan.Sementara Ruma langsung beranjak usai menangani pasien terakhir hari itu. Moodnya sedang tidak baik-baik saja."Rum, pulang!" seru Vina mengambil barang di bilik koas."Iya, wait Vin," sahut Ruma pelit senyum."Kamu nangis? Dimarahin Dokter Elsa kah?" tanya Vina menyebutkan dokter pembimbing mereka."Nggak kok, aku hanya lagi capek aja," sahut Ruma jelas berdusta. Walaupun pada kenyataannya memang capek hati dan pikiran."Ya ampun ... perjalanan kita masih panjang beb, nggak like kalau gini. Bisa-bisa! Kita pasti bisa. Besok ujian semangat!" kata Vina memeluknya. Teman dalam satu perjuangan yang selalu menguatkan. Sebenarnya Ruma ingin sekali bercerita tentang kehidupannya. Namun, dia belum cukup nyali untuk itu semua."Makasih Vin, kamu mau langsung pulang?""Cari makan dulu kali, capek beud hari ini. Coba konfirmasi ke Sada sama Tomi, mereka belum pada keluar juga kayaknya.""Iya, aku juga lapar, pingin makan orang malah," jawab Ruma mengingat tadi. Kenapa mendadak Ruma kesal sekali, apakah diam-diam perasaan itu mulai nyata."Wkwkwk ... sabar Buk, hari ini kayaknya kamu berat banget. Banyak pasien ya?""Nggak, tapi ada satu yang cerewetnya minta ampun. Bikin mual aja."Vina terkikik mendengar gerutuan rekannya. Kadang memang tidak sekondusif itu. Mereka bahkan bisa disebut kasta terendah dari tugas yang mulia itu."Nah, itu dia Sada!" seru Vina memanggil satu timnya. Mereka berlima, satu lagi Mesya."Apa Vin, kangen ya," celetuk Tomi tersenyum menggoda. Paling bisa memang satu manusia ini."Idih ... mual lihat kamu mulu. Makan bareng yuk!""Stase bedah nanti di rumah sakit ini lagi nggak sih? Serius pingin pindah?" tanya Mesya putus asa."Sepuluh minggu Mes, jangan harap," timpal Sada mengingatkan."Capek, gue mau dendam. Habis makan terus tidur sampai pagi.""Ekspektasinya, tapi realitanya banyak gangguan. Scroll tiktok, bikin konten, jangan mimpi," kata Vina si paling sosmed."Iya sih, miss kreatif ini namanya."Mesya dan Vina nebeng mobil Sada sampai kedai. Mengingat mereka tidak membawa kendaraan setiap kali nugas. Kosan mereka hanya beberapa meter saja dari rumah sakit. Jadi, tidak harus menggunakan jasa kendaraan."Tempat biasa kan? Aku ngikutin dari belakang.""Sorry, aku nggak ikut ya gaes ... mau langsung pulang. Anak mami ini, mumpung nggak jaga malam. Mau makan di rumah sama mami," seru Tomi pamit lebih dulu.Mobil Sada meninggalkan parkiran lebih dulu. Disusul Ruma yang mendadak terhenti melihat Rasya menghalangi jalannya."Minggir! Ngapain kamu di sini?" omel Ruma terlihat begitu kesal."Sorry yang tadi, kamu tahu kan, sejak awal pernikahan kita hanya kamuflase belaka. Jangan khawatir, aku juga tidak akan larang kamu melakukan apa pun di luar rumah. Biar impas, malam ini titip mami ya, temani makan malam, soalnya aku nggak bisa pulang cepat. Tahu lah ya ke mana tujuan aku.""Kenapa tidak kamu saja yang temani ibumu. Aku pulang telat," tolak Ruma mulai muak menjadi bonekanya saja. Dia lelah untuk terus pura-pura bahagia di depan mertua mereka."Apa kamu punya pilihan untuk berkata tidak? Ruma, kamu harus ingat, posisimu bisa seperti ini karena keluargaku. Jadi, bekerja sama lah yang baik. Karena mami sudah sangat baik padamu," tekan Rasya tanpa perasaan."Aku ingat kok Mas, aku belum amnesia. Tapi malam ini aku nggak bisa," tolak Ruma kali ini saja dia tidak ingin mendengarkan perkataannya."Yakin? Kamu siap menerima semuanya," ancam Rasya mencengkram lengannya."Lepasin Mas, sakit," tekan Ruma menatap kesal."Makanya nurut, aku udah transfer ke rekening milikmu. Belilah makanan yang enak-enak untuk mami, bilang saja aku lembur.""Rasya, Ruma! Kalian kok bisa di sini?" sapa Raja memergoki keduanya. Pria itu menangkap gelagat yang aneh pada keduanya. Terlihat seperti pasangan yang tengah berantem."Raja, hai, kebetulan saja. Sekalian ngucapin terima kasih udah bantuin tadi.""Bukannya memang itu tugas dia?" tanya Raja penuh selidik."Ya, apresiasi lah lebih tepatnya. Sorry Bro, sudah ditunggu, duluan ya," ujar pria itu beranjak.Raja menatap penuh curiga, apalagi dia sempat melihat Rasya menarik tangannya. Sayang pria itu tidak mendengar obrolan mereka."Ada hubungan apa kamu sama Rasya? Bukankah kamu katanya sudah menikah?""Tidak ada hubungan apa-apa, seperti halnya yang Dokter lihat saja.""Mata saya ini belum rabun, Ruma, tidak sengaja melihat lebih persisnya tadi.""Maaf, saya kira tidak ada kewajiban bagi saya untuk menjawab pertanyaan Dokter," sahut Ruma menatap dingin.Raja balas menatap datar, biasanya dia tidak sekritis ini walaupun peduli dengan orang. Kenapa rasanya dia ingin tahu sekali dengan apa yang dilihatnya barusan. Terlihat ada gerak-gerik yang disembunyikan dari kaca mata dirinya tadi."Apakah mereka berselingkuh?" batin Raja bertanya-tanya.Raja menatap tubuh itu berlalu begitu saja. Mengabaikan rasa penasarannya yang sebenarnya sama sekali bukan urusannya.Wanita itu sempat menengok sekilas, lalu beranjak dengan motornya. Dia tidak begitu peduli penilaian Dokter Raja terhadap dirinya seperti apa. Seharusnya malam ini dia mematuhi perkataan suaminya. Membeli makanan yang enak-enak untuk mertuanya, lalu bersandiwara Rasya akan pulang terlambat karena lembur. Tetapi malam ini Ruma tidak ingin berbohong. Dia hanya memesan makanan tetapi tidak kunjung pulang. Ruma malah menyusul teman-temannya yang saat ini tengah makan di luar. Bukan maksud hati tak patuh, dia hanya sedang lelah. Butuh healing untuk mengembalikan moodnya yang tengah hancur seharian ini. Apalagi besok dia mau menghadapi ujian, tentu butuh fisik yang sehat, serta hati dan pikiran yang baik. "Sorry telat, udah pada pesen?" tanya Ruma langsung bergabung di meja yang sama. Tempat favorit bersama teman-temannya memanjakan perut. "Baru kok, maaf aku kira kamu
"Makasih," ucap Ruma lalu meminumnya. Dia memang haus dan lumayan capek. Beruntung ada Dokter Raja yang menolongnya malam ini. Raja hanya mengangguk mengiyakan. kembali fokus menatap depan dengan posisi masih duduk menyamping di belakang jok kemudi. Kedua kakinya keluar dari mobil. Sementara Ruma berdiri menyenderkan tubuhnya di badan mobil bagian samping. "Dokter baru pulang?" tanya Ruma berbasa-basi. Bingung dan canggung untuk melanjutkan obrolan. "Iya, kenapa tidak meminta jemput suamimu saja. Ini kan sudah malam juga. Apa kamu sudah memberi kabar?" tanya Raja hati-hati. Pria itu tidak bermaksud hendak ikut campur. Suasana sudah malam sedang dia tidak tega meninggalkan Ruma sendirian di jalan. Entahlah, hatinya mendadak sepeduli itu. "Belum." Ruma menggeleng. Sedetik kemudian wajahnya berubah menjadi sendu. Mana suaminya peduli, dia bahkan tidak mau tahu urusan Ruma sedang apa dan lagi apa. "Dokter kalau mau pulang, pulang saja. Sebentar lagi mungkin taksiku datang," ujar Ruma
Raja terus mengamati sampai Ruma masuk bersama seorang wanita. Sementara wajah Rasya terlihat begitu kesal. Pria itu semakin penasaran dengan apa yang tengah terjadi. Namun, tak gegabah menyapa Rasya lantaran tak punya alasan yang tepat maksud keberadaannya di sana. Setelah beberapa menit berlalu, Rasya memutuskan masuk. Namun, langkahnya terhenti saat prasangkanya merasakan ada seseorang di luar sana yang seperti tengah mengamati pergerakannya. Raja sendiri langsung beranjak cepat begitu melihat Rasya menoleh. Dia perlu tahu lebih dulu tanpa melibatkan siapa pun. "Kaya ada orang," gumam Rasya berjalan mendekat. Sekilas seperti melihat bayangan orang lain, tetapi tak begitu jelas. Ia yang hendak masuk malah penasaran untuk melihat dulu siapa dibalik pepohonan hias itu. Sementara Raja yang berada di tempat persembunyiannya pun harap-harap cemas sembari menyiapkan prakata barang kali ditemukan oleh Rasya. Dia berpikir keras untuk mencari alasan yang tepat. "Rasya, ngapain k
"Ruma! Rasya!" seru Raja menyebut namanya. Terlihat jelas perempuan itu diantar Rasya. Raja bahkan melihat langsung keluar dari mobilnya. Tentu hal itu sangat mencurigakan. Bukankah Ruma punya suami, dan Rasya juga sudah menikah? Kali ini Raja harus menyapanya. Mumpung dalam kawasan tempat kerjanya."Dokter?" sapa Ruma kikuk sendiri. Menormalkan ekspresi kejutnya yang tiba-tiba. Pagi-pagi sudah bertemu dengan Dokter Raja. Apa kabar hari ini. "Raja!" sahut Rasya balas memanggilnya."Kalian kok bisa bareng?" tanya Dokter Raja biasa saja. Berusaha menyembunyikan rasa kepo yang sudah menggunung sejak kemarin. Selebihnya dia memang menaruh curiga. Pasti akan mencari tahu setelah ini. Entahlah, mendadak ia begitu tertarik dengan urusan mereka. Apakah itu semua gegara Ruma. "Kebetulan bertemu di jalan, aku kasihan saja melihatnya sepertinya buru-buru sedang menunggu taksi, jadi kuajak bareng," jelas Rasya beralasan. Tersenyum yang bagi Rasya jelas kurang menyakinkan. "Owh ...." Raja meng
Ruma langsung berdiri begitu saja meraih Vina. Dia mensejajarkan tubuhnya kaget saat menyadari kesalahan yang baru saja diperbuat."Dokter Raja!" seru gadis itu terkesiap langsung melepas tangannya. Wajahnya merona malu sekaligus pucat seketika. Bagaimana bisa dia menarik orang yang salah. Dan sialnya, Dokter Raja yang kebetulan melintas. Kenapa bisa kebetulan sekali. Apakah semesta sedang mempermainkannya.Terus Vina ke mana? Kenapa Ruma sampai tidak sadar begini.Raja yang kebetulan baru saja keluar dari lift kaget saat tiba-tiba seseorang menarik jasnya begitu saja. Dia hampir saja terjerembab kalau tidak sigap mempertahankan diri. Untung tubuhnya cukup kuat ketimbang tarikan Ruma yang mungkin tidak disengaja itu. Entahlah.Pria itu balas menatap Ruma datar, ada apa dengan perempuan ini. Sepertinya salah fokus sampai menarik-narik dirinya begini. "Maaf Dok, saya nggak sengaja," ucap Ruma kikuk. Wajahnya merah padam tak karuan."Ya ... kamu lagi banyak pikiran ya?" tebak Dokter Raja
Mobil terus melaju membawa keduanya. Ruma hanya diam dengan pikirannya sendiri. Dia bingung dan tidak punya topik untuk menanyakan sesuatu. Begitupun dengan Dokter Raja, sebenarnya dia punya banyak pertanyaan mengenai wanita di sampingnya. Bahkan sangat penasaran dengan kehidupannya sejak malam panas itu. Apakah suaminya tahu akan hal ini? Pasti sangat kecewa kalau tahu Ruma bermalam dengan pria lain walaupun itu sebuah ketidaksengajaan. Hening untuk beberapa menit berlalu. Sampai mobil itu berhenti tepat di halaman sebuah bengkel dan toko sparepart. "Udah sampai ya?" tanya Ruma begitu mobil itu terparkir sempurna. "Iya, ayo turun!" kata Raja membuka pintu. Diikuti Ruma keluar dari mobil. Raja terlihat beramah tamah dengan pegawai di sana. Sepertinya sudah akrab betul. "Motornya udah jadi Mat?" tanya pria itu memastikan. "Eh, Gus Raja, sudah beres Gus, tapi belum sempat dicuci. Nunggu sebentar ya, tak selesaikan satu lagi," ujarnya sembari sibuk mengerjakan yang lain. "Ya sudah
Rasya tidak menyahut, berlalu ke kamar mandi dengan membanting pintu. Entahlah, ia merasa sangat tidak nyaman dengan perkataan istrinya.Sementara Ruma, tak peduli respon pria itu seperti apa, dia lelah untuk terus menjadi bonekanya. Sudah cukup satu tahun dia mengalah dengan segala bentuk sikap dinginnya. Sudah waktunya perempuan itu mengakhiri semuanya. Dia tidak ingin memaksa keadaan yang tak kunjung berpihak padanya.Ruma mengemas semua pakannya malam itu juga. Agar besok pagi memudahkan dirinya untuk pergi. Sementara dia sudah menghubungi sahabatnya, Vina, untuk mencarikan tempat singgah untuknya.Rasya yang baru saja keluar dari kamar mandi melihat itu semua langsung menghampiri dengan wajah emosi."Apa yang kamu lakukan, Ruma?" tanya pria itu dengan rambut setengah basah usai keramas."Berkemas, seperti yang tadi aku sampaikan, aku ingin mencari tempat tinggal baru agar tidak lagi merepotkan dan membuat penglihatan Anda bosan," jawabnya tenang.Hal itu semakin membuat Rasya terp
Raja berlalu dengan batin bertanya-tanya. Mendadak ia kurang nyaman dengan sikap Ruma yang seperti belum saling mengenal. Padahal kemarin mereka melewati banyak peristiwa bersama. Walaupun tidak ada niatan sama sekali. Namun, setiap kejadian yang mereka lewati membuatnya saling mengenal satu sama lain. Bukan hanya sekadar tahu saja."Sudahlah, kenapa pagi-pagi aku harus berjibaku memikirkan istri orang sih, astagfirullah ...," batin Raja tak tenang. Seharusnya dia lebih fokus pada dirinya sendiri dan juga pernikahannya yang sebentar lagi. Tapi kenapa semakin hari dia malah semakin ragu dengan ta'aruf yang sudah dijalani. Hatinya bimbang untuk meneruskan. Pikiran dan hatinya tidak sejalan. Pria itu mencoba memfokuskan diri. Sepertinya dia harus meminta petunjuk untuk hidupnya kini yang semrawut. Sejak peristiwa malam itu, kini Raja sering tidak tenang dan merasa sangat berdosa. Padahal kurang lebih empat mingguan telah berlalu. Dia mencoba melupakan bayang-bayang itu. Nyatanya, setia
Mas Raja yang menggoda, Ruma yang tidak suka. Suaminya ini kenapa malah dicie ciein, apa dia tidak bertanya-tanya kenapa Rina dan ibunya Rasya datang ke rumah. "Rum, maaf mengagetkan kamu pagi-pagi. Kebetulan sekali kalau Dokter Raja juga ada di rumah."Iya, Ruma memang kaget, ada hal penting apa sampai Rina dan mantan ibu mertuanya datang ke rumah. Sepertinya Mas Rasya juga, tetapi kenapa pria itu tidak turun dari mobil. "Iya, silahkan masuk Rin, Tante," ucap Ruma menyambutnya dengan hangat. Yang berlalu biarlah berlalu, yang penting sekarang Ruma mempunyai keluarga yang menyayanginya penuh syukur. "Terima kasih banyak, Rum," jawab Rina dan Tante Maria masuk. Lalu mengambil duduk setelah dipersilahkan. Kedatangan kedua orang di masa lalu Ruma tentu bukan tanpa alasan. Mereka merasa perlu bersilaturahmi untuk melegakan hatinya. Tentu saja karena memang ada suatu hal yang tidak melegakan hatinya. "Sebelumnya, maaf jika kedatangan kami membuat kamu dan keluarga tidak nyaman. Sudah
"Sayang, lama banget, itu MUA-nya udah datang." Raja sampai menyusul ke kamar mandi sebab istrinya tak kunjung keluar. "Suruh nunggu Mas, aku sedikit mual." Ruma keluar kamar mandi dengan wajah sedikit pucat. "Loh, kamu sakit?" Dari semalam Ruma memang kurang enak badan. Sedikit masuk angin dan kurang istirahat lebih tepatnya. Jadi, berefek paginya. Padahal hari ini ada acara aqiqahan baby Maher. Malah mendadak tidak enak badan begini. "Nggak Mas, aku cuma agak mual dikit."Semalam baby Maher banyak rewelnya, tumben sekali bayi mungil itu meminta perhatian lebih. Ruma tidak bisa tidur nyenyak gegara putranya terlihat tidak seperti biasanya. Dia takut sendiri dan sedikit trauma kalau sampai ada apa-apa dengan bayinya. "Masuk angin sih ini. Minum obat ya, aku ambilin. Udah makan kan?""Nggak Mas, nggak usah. Ini udah agak mendingan kok," tolak Ruma merasa lebih baik. Pria itu beranjak mengambilkan minum hangat. Menganjurkan istrinya rehat sejenak. Acaranya masih nanti agak siangan,
Ruma dan Raja sepakat mencari pengasuh untuk baby Maher. Tentu saja untuk meringankan pekerjaan istrinya. Apalagi sekarang Ruma tengah masa pemulihan pasca melahirkan. Sudah pasti repot harus membagi waktu untuk dirinya dan juga bayinya."Mas, nanti aku jadwal kontrol. Sekalian ke rumah sakit ya.""Iya, nanti aku antar. Jam berapa sayang?""Siang lah, kamu hari ini berangkat?""Cutiku udah habis, siang ya, nanti aku anterin dulu kalau pagi. Aku langsung pulang beres dari rumah sakit."Waktu Raja memang sangat sibuk. Dia hanya cuti beberapa hari menemani istrinya di rumah sakit dan di rumah. Selebihnya kembali sibuk di rumah sakit. "Iya, nggak pa-pa, ada suster Anna yang bantuin." Untungnya sesama dokter, jadi lebih tahu kesibukan masing-masing. Tidak menuntut untuk dimengerti sendirian. Saling memaklumi karena kehidupannya memang bukan sepenuhnya milik pasangannya. Harus terbagi dengan banyak orang yang membutuhkan.Setiap libur, Raja selalu meluangkan waktunya full di rumah. Karena
Ruma langsung mengiyakan, HPL memang masih akhir bulan, tetapi benar tanda-tandanya baby boy mau launching. "Bisa jalan?" tanya Raja khawatir. Ruma mengangguk, walau dengan wajah menahan sakit, cukup aman untuk berjalan sampai ke mobil. "Ayo sayang, hati-hati!" Abi Zayyan dan juga Ummi Marsha juga langsung ikut ke rumah sakit. Sementara Bik Sumi pulang dengan taksi membawa belanjaan mereka. "Tambah kerasa ya?" tanya Raja sembari mengemudi perjalanan ke rumah sakit. "Iya Mas, lumayan," jawab Ruma memejam. Mengatur nafas, dan sesekali merilekskan tubuhnya saat tengah nyeri. Ini bukan pertama kali bagi Ruma, tetapi sakitnya tentu sama saja satu rasa. Namanya orang mau melahirkan, di mana-mana pasti luar biasa. "Lancar-lancar ya sayang, bantu Buna," ucap Raja sembari mengelus perut istrinya. Begitu sampai di rumah sakit, Ruma langsung disambut hangat oleh tim medis. Perempuan itu langsung dibawa ke ruang bersalin. Setelah dicek ternyata memang sudah pembukaan tiga. Masih lumayan
Empat purnama tak terasa berlalu dengan cepat, Ruma kini tengah menanti hari-hari kelahiran anak kedua. Perempuan itu juga sudah menyelesaikan waktu magangnya. Jadi, bisa mempunyai banyak waktu di rumah menanti launching anak kedua."Aku berangkat ya, nanti kalau ada apa-apa kabari. Jangan belanja sendirian, nanti malam saja aku temani setelah pulang," pesan Raja tak membiarkan istrinya beraktivitas di luar tanpa dirinya. "Iya Mas, tapi kalau misalnya siang berubah pikiran, terus ditemani Bik Sumi gimana? Kan nggak sendirian juga." Tidak ingin terlalu banyak merepotkan, asal Raja mengizinkan, Rumah tidak mengapa berbelanja sendirian."Duh ... bumil ngeyel ya. Ya sudah, nanti pakai supir saja. Hati-hati ya, ingat selalu berkabar di mana pun berada." Raja mode posesif, bukan apa-apa, dia khawatir mengingat istrinya hamil besar. "Siap Mas, kamu juga hati-hati berangkat kerjanya," balas Ruma mengiyakan. Ruma menyalim takzim suaminya. Raja membalasnya dengan kecupan sayang di keningnya,
"Ya Allah ... capek Mas, izin ke kamar ya," pamit Ruma setelah membantu membereskan sisa acara tadi. Padahal cuma bantuin dikit, tapi berada sekali punggungnya. "Kamu sih, dibilangin nggak usah masih suka maksa. Udah istirahat saja."Kalau Ruma sudah mengeluh, Raja yang khawatir. Istrinya itu kadang bandel, tapi ya namanya juga perempuan aktif, mana bisa diem. "Hem ... tadi nggak berasa Mas, sekarang baru terasa," ucap Ruma beranjak. Raja ikut mengekor istrinya ke dalam. Suasana rumah juga sudah sepi, semua tamu dan keluarga dekat sudah pulang sejak tadi. "Sayang, aku pijitin ya," kata pria itu perhatian. Bukan satu dua kali, Raja memang sering melakukan hal semacamnya saat istrinya mengeluh lelah. Ya walaupun ujung-ujungnya tetap bonus adegan panas. "Hmm ... beneran pijat atau minta bonus." Ruma sadar, wanita itu kemarin menundanya. Dia bahkan berjanji sendiri setelah acara bakalan nyenengin suaminya. Tapi, terkadang ekspektasi tak sesuai realita. Ruma terlihat kelelahan malam
"Tidur sayang, aku tahu kamu capek. Aku nggak akan ganggu," kata Raja pengertian. "Baiknya suami aku. Terima kasih Mas," ucap Ruma merasa merdeka. Dia benar-benar tengah lelah. Beruntung punya Mas suami yang super pengertian, jadi tidak ada drama yang berkepanjangan."Ini beneran kan? Nggak ada mode dendam?" tanya Ruma menatap serius. "Astaghfirullah ... kamu capek kan? Tidur sayang, sebelum aku berubah pikiran," jawab Ruma gemas sendiri. "Oke sayang, besok dobel deh karena malam ini udah baik. I love you," kata wanita itu tersenyum lega. Mengecup pipi suaminya lalu menarik selimut rapat-rapat."Love you more," balas Raja tersenyum sembari mengelus kepalanya lembut. Dia benar-benar meloloskan Ruma malam ini. Tak perlu menunggu lama, wanita itu lelap menemukan kenyamanannya. "Bobok yang nyenyak," ucap pria itu menarik selimut, lalu menciumnya dengan sayang. Raja mana tega eksekusi istrinya mode maksa. Apalagi fisik Ruma tengah mode lelah plus hamil muda. Jadi, menyala sabarnya.Sem
Berita kehamilan Ruma begitu menggembirakan untuk keduanya. Namun, Ruma dan Raja sepakat tidak membagi kabar bahagia ini dulu dengan keluarga besar. Namanya juga baru trimester pertama dan masih rentan, jadi sabar menahan diri untuk berbagi kabar menyenangkan ini. Raja juga khawatir kalau di luar sana ada saja orang yang mungkin tidak berkenan dengan hubungan mereka.Setelah berjalan empat bulan, Ruma baru berani speak up, tepatnya saat hendak menjalani acara empat bulanan. Kedua orang tua Raja dan juga kedua orang tua Ruma sampai terheran-heran ketika diberi tahu kabar bahagia ini."Kapan acaranya, Ja? Kok baru ngabarin?" Ummi Marsha jelas kaget sekaligus senang mengetahui menantunya tengah hamil. Raja sengaja menemui ibunya setelah dinas hari ini. Sebenarnya dia sudah tidak sabar membagi moment ini. Alhamdulillah sampai juga di acara empat bulanan. "Besok Ummi, Ruma juga sekarang masih dinas. Memang rencananya meminta libur sehari saja untuk acara besok.""Masya Allah alhamdulillah
"Sayang, kalau mau ada yang dibeli pesan dari rumah aja. Misal butuhnya sekarang, atau udah mau butuh banget buat besok.""Iya Mas, santai aja. Sekarang kan serba mudah. Orang belanja sayuran segar aja bisa dari rumah. Cuma ya itu, yang mahal kan waktunya. Aku pingin jalan berduanya.""Duh ... kapan ya, besok sore gimana? Nggak mau janji juga, semoga nggak ada pasien mendadak.""Aamiin ... ngabarin aja Mas, tapi semoga bisa ya. Eh gimana kalau malam sabtu.""Kalau malam sabtu malah sudah berencana bad minton sama temen-temen. Boleh kan yank.""Duh ... aku ditinggal gitu sendirian di rumah." Rumah merengut, nggak enak banget malam-malam sendirian di rumah."Boleh ikut kok, ada banyak teman-teman juga. Mungkin pada bawa pasangannya juga.""Beneran boleh ikut?""Iya boleh."Waktu berdua itu sangat berharga bagi mereka. Semenjak kepergian Sama, Rumah memang anti kesepian. Dia juga terlihat lebih manja dengan suaminya. Beruntung mempunyai suami yang pengertian, sama-sama bucin, jadi tidak