Ruma mendesis lirih merasakan perutnya semakin nyeri. Dia merasa tanda-tanda mau melahirkan menghampirinya."Ya Allah ... kok makin sakit. Apa kamu mau keluar sekarang sayang." Ruma mengelus perutnya dengan wajah nyengir menahan sakit. Dia menghentikan aktivitasnya yang belum sempat diselesaikan. Rasanya tidak karu-karuan. Ruma mencoba mengatur napas, saat perutnya tak lagi sakit, dia kembali beberes. Seperti itu berlangsung hingga dapur selesai dirapihkan.Usai membersihkan dapur, Ruma beranjak ke kamar. Dia merasakan perutnya kembali nyeri. Ruma mencoba berbaring, mana tahu ini hanya kontraksi palsu saja sebab kehamilannya masih terlalu dini. Masih jauh dari perkiraan melahirkan. Baru beberapa menit ia merasa lega karena sakitnya hilang. Selang beberapa saat datang lagi. Semakin kuat dugaan kalau dirinya sepertinya memang mau melahirkan. "Sayang, jangan sekarang. Ini kan belum waktunya." Ruma mengelus-elus perutnya seraya berdoa yang ia bisa. Wanita itu mondar-mandir di kamarnya
Raja menangis terharu melihat bayi mungil yang baru saja diadzani dalam dekapan ibunya. Walaupun pria itu datang sedikit terlambat, beruntung Ruma dan bayinya sehat. Hanya saja karena baby mereka lahir prematur masih kurang bulan, berat badannya juga kecil. Sehingga memerlukan perawatan intensif. "Aku mau mengabari ummi sama abi ya, biar mereka datang. Besok kita menikah," kata pria itu tak sabaran. Apalah Dokter satu ini, memangnya tidak bisa menunggu Ruma bernapas dulu. Dia bahkan baru saja melahirkan beberapa jam yang lalu. "Hah, besok? Yang bener dong Mas, aku masih di rumah sakit. Bagaimana ceritanya kita akan menikah." "Biar aku bisa jagain kamu. Kalau kaya gini kan aku bingung juga ditanyain dokter kaya tadi. Bapak suaminya? Aku harus jawab apa, Dek?" "Ya jawab aja bukan, memang bukan kan?" "Belum sih, makanya lebih cepat lebih baik. Kita menikah dulu di bawah agama, nanti kalau sudah pulih baru kota meresmikan hubungan ini. Bagaimana?" "Terserah kamu saja, Mas, Ru
"Kamu sudah lahiran? Bapak yang maksa ibuk ke sini." "Iya Buk, alhamdulillah sudah. Terima kasih ibuk sudah datang," jawab Ruma lembut. Walaupun ibunya selalu bersikap kurang suka, Ruma tetap patuh dan menerima. "Rum, sehat? Alhamdulillah sudah lega rasanya. Cucu bapak lucu sekali," ucap Pak Razik membuat wajah Ruma tersenyum. "Iya Pak, alhamdulillah berkat doa bapak semuanya dilancarkan." "Raja mana? Bukannya dia katanya ke sini?" tanya Pak Razik tidak menemukan calon menantunya. "Di luar Pak, tadi ada kok. Tadi di sini." "Katanya orang tua Raja mau datang? Bener atau gimana Rum?" tanya Bapak memastikan. "Iya Pak, ummi sama abi mau silaturahmi ke rumah." "Dadakan sekali, dia niatnya cuma mau silaturahmi atau mau ngelamar kamu. Bukankah kita perlu siap-siap." "Mm ... kalau itu Ruma kurang tahu. Nanti kalau Mas Raja ke sini biar tak tanya dulu." "Ya, sebaiknya harus jelas. Biar enak nanti nerima tamunya." "Ibuk nggak mau repot, semua catering saja. Sebaiknya ju
"Alhamdulillah ...," ucap Raja dalam hati usai mengucapkan akad dengan khusuk. Pria itu akhirnya bisa tersenyum lega, serasa satu bebannya terlepas. Pengantin perempuannya pun dipanggil untuk bertemu langsung dengan suaminya. Tatapan pertama setelah sah, kenapa jadi malu-malu begini rasanya. Ini pernikahan kedua Ruma, tetapi serasa perdana. Ia merasakan kebahagiaan yang tidak bisa ditutup-tutupi lagi. "Tangan kamu, Dek," kata pria itu menginterupsi. Ruma sampai keringat dingin karena mendadak grogi. Padahal udah sah ini, tapi masih pada malu-malu gimana gitu. Lucu sekali pasutri baru ini. Sampai-sampai mau masangin cincin ke suami saja deg degan begini. Usai bertukar cincin dengan perasaan dag dig dug, kini saatnya mereka mengambil sesi foto bersama, lengkap dengan mencium tangan penghormatan setelah sah menjadi suami istri. Keduanya saling melempar senyum malu-malu. Kenapa mendadak canggung dan kaku begini. "Udah Mas, aku ke dalam dulu. Kasihan adeknya," ucap wanita itu
"Mas," kata perempuan itu memberi jarak. Dia menggeleng pelan, takut kalau pria itu lupa akan keadaannya saat ini. Raja tersenyum manis, dia paham, tahu betul kalau istrinya khawatir terhadap dirinya yang tiba-tiba bringas. "Tahu kok sayang, aku cuma kangen aja. Jangan khawatir, anggap saja kita lagi pacaran dulu. Cukup sampai sebatas ini bolehnya." Dia memberi batasan sendiri yang membuat Ruma membalas dengan pipi merona. "Emang boleh sampai sini. Kamu membuatku takut," ucap Ruma jujur. "Ya boleh lah, kan udah halal, sampai bawahnya juga boleh, asal nggak bablas aja. Hahaha." "Ish ... kamu meresahkan. Ternyata Dokter Raja yang cool dan alim itu mesum!" "Nggak apa-apa dong Dek, kan mesumnya cuma sama kamu," jawabnya enteng. Raja mau menunda-nunda pacaran. Ini kesempatan dia bermanja-manja gemesin ummanya Zava setelah sekian purnama menahan diri. Sudah halal mana tahan istrinya dianggurin. "Dek, jangan jauh-jauh. Masya Allah ... sini dong cantik." Raja kembali m
"Sebenarnya ada suatu hal yang ingin kami katakan, Bu, Pak," ucap Raja membuka prakata. Bapak dan ibu yang tengah duduk santai langsung terfokus pada pasutri yang baru bergabung itu. Siap menyimak hal apa yang ingin disampaikan anak dan menantunya. Sepertinya penting sekali kalau dilihat dari raut wajahnya. "Ini tentang hal kita berdua, dan juga Zava," sambung pria itu menyiapkan hati yang teguh. Sebenarnya ini aib, tapi untuk memperjelas keadaan, dan agar tidak menjadi kesalahpahaman lagi fi kemudian hari. Bapak dan ibuk menduga-duga karena Zava bukanlah anak dari Raja, jadi mungkinkah pria itu keberatan menerima putri Ruma. Tapi kenapa yang terlihat belakangan ini justru Raja sepertinya sangat menyayangi bayi itu. "Kenapa Ja? Bicara saja," sahut Ibuk tak sabar. Bikin penasaran orang tua saja. "Sebenarnya Zava bukan anak kandung Mas Rasya, Buk, Pak," ucap Ruma cukup jelas. Tentu saja pernyataan Ruma langsung membuat pikiran kedua orang tuanya jelek. "Maksud kamu?" Pe
"Hati-hati di jalan, jangan lupa ngabarin ya kalau udah sampai," ucap Ruma melepas suaminya pulang. "Siap umma sayang," jawab Raja masih cengengesan. Padahal dia juga berat ninggalin Ruma dan bayinya. Berharap beberapa minggu cepat berlalu. Pria itu mencium baby Zava dengan gemas. Tak lupa juga mendaratkan kecupan sayang pada istrinya. "Baik-baik di rumah, kalau kangen kan bisa telfon."Bogor Jakarta itu dekat, hanya saja kondisi Zava yang masih terlalu kecil menahan diri keduanya untuk tidak membawa perjalanan dulu. Rencananya setelah syukuran dan menggelar aqiqah untuk kelahiran Zava baru Ruma pindah ikut suaminya. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang saat mobil suaminya tak terlihat oleh matanya. Mendadak hatinya jadi sepi. Padahal baru beberapa menit pria itu berlalu, sudah membuat Ruma galau saja. "Ayo masuk, Dek, buya udah berangkat. Malam ini kita tidur berdua." Ruma masuk meninggalkan teras. "Raja sudah berangkat? Jangan lupa minta segera diurus secara legal biar pern
"Itu suara bayi siapa, Rum?" tanya Rasya lagi begitu penasaran. Dia sampai berdiri dari duduknya hendak mengekor Ruma ke dalam. "Bayi Ruma, Mas, sebentar ya, Ruma lihat dulu," ujar perempuan itu pamit melihatnya. Rasya sebenarnya sangat penasaran, tetapi tertahan dengan keadaan status mereka yang tidak bisa sebebas dulu. Dia hanya bisa memanggil-manggil dengan rasa ingin tahu. "Ruma!" seru pria itu gelisah sendiri.Sementara Ruma langsung masuk kamar mengunci pintunya. Baru mendekati Zava yang tengah menangis meminta perhatian. Dia takut tiba-tiba Rasya menyusulnya mengingat pria itu mengekor sampai ruang keluarga."Ada apa, Sya, biarkan Ruma mengurus bayinya dulu. Kamu tunggu di ruang tamu saja," tegur Ibuk langsung menyela. Melihat mantan menantunya sampai masuk. Perempuan itu sebenarnya masih agak kesal dan kecewa terhadap Rasya akibat telah menyia-nyiakan putrinya. Apalagi tahu sempat ada konflik yang menyebabkan perempuan lain.Dia menyesali sikapnya yang tidak mau terbuka du
Mas Raja yang menggoda, Ruma yang tidak suka. Suaminya ini kenapa malah dicie ciein, apa dia tidak bertanya-tanya kenapa Rina dan ibunya Rasya datang ke rumah. "Rum, maaf mengagetkan kamu pagi-pagi. Kebetulan sekali kalau Dokter Raja juga ada di rumah."Iya, Ruma memang kaget, ada hal penting apa sampai Rina dan mantan ibu mertuanya datang ke rumah. Sepertinya Mas Rasya juga, tetapi kenapa pria itu tidak turun dari mobil. "Iya, silahkan masuk Rin, Tante," ucap Ruma menyambutnya dengan hangat. Yang berlalu biarlah berlalu, yang penting sekarang Ruma mempunyai keluarga yang menyayanginya penuh syukur. "Terima kasih banyak, Rum," jawab Rina dan Tante Maria masuk. Lalu mengambil duduk setelah dipersilahkan. Kedatangan kedua orang di masa lalu Ruma tentu bukan tanpa alasan. Mereka merasa perlu bersilaturahmi untuk melegakan hatinya. Tentu saja karena memang ada suatu hal yang tidak melegakan hatinya. "Sebelumnya, maaf jika kedatangan kami membuat kamu dan keluarga tidak nyaman. Sudah
"Sayang, lama banget, itu MUA-nya udah datang." Raja sampai menyusul ke kamar mandi sebab istrinya tak kunjung keluar. "Suruh nunggu Mas, aku sedikit mual." Ruma keluar kamar mandi dengan wajah sedikit pucat. "Loh, kamu sakit?" Dari semalam Ruma memang kurang enak badan. Sedikit masuk angin dan kurang istirahat lebih tepatnya. Jadi, berefek paginya. Padahal hari ini ada acara aqiqahan baby Maher. Malah mendadak tidak enak badan begini. "Nggak Mas, aku cuma agak mual dikit."Semalam baby Maher banyak rewelnya, tumben sekali bayi mungil itu meminta perhatian lebih. Ruma tidak bisa tidur nyenyak gegara putranya terlihat tidak seperti biasanya. Dia takut sendiri dan sedikit trauma kalau sampai ada apa-apa dengan bayinya. "Masuk angin sih ini. Minum obat ya, aku ambilin. Udah makan kan?""Nggak Mas, nggak usah. Ini udah agak mendingan kok," tolak Ruma merasa lebih baik. Pria itu beranjak mengambilkan minum hangat. Menganjurkan istrinya rehat sejenak. Acaranya masih nanti agak siangan,
Ruma dan Raja sepakat mencari pengasuh untuk baby Maher. Tentu saja untuk meringankan pekerjaan istrinya. Apalagi sekarang Ruma tengah masa pemulihan pasca melahirkan. Sudah pasti repot harus membagi waktu untuk dirinya dan juga bayinya."Mas, nanti aku jadwal kontrol. Sekalian ke rumah sakit ya.""Iya, nanti aku antar. Jam berapa sayang?""Siang lah, kamu hari ini berangkat?""Cutiku udah habis, siang ya, nanti aku anterin dulu kalau pagi. Aku langsung pulang beres dari rumah sakit."Waktu Raja memang sangat sibuk. Dia hanya cuti beberapa hari menemani istrinya di rumah sakit dan di rumah. Selebihnya kembali sibuk di rumah sakit. "Iya, nggak pa-pa, ada suster Anna yang bantuin." Untungnya sesama dokter, jadi lebih tahu kesibukan masing-masing. Tidak menuntut untuk dimengerti sendirian. Saling memaklumi karena kehidupannya memang bukan sepenuhnya milik pasangannya. Harus terbagi dengan banyak orang yang membutuhkan.Setiap libur, Raja selalu meluangkan waktunya full di rumah. Karena
Ruma langsung mengiyakan, HPL memang masih akhir bulan, tetapi benar tanda-tandanya baby boy mau launching. "Bisa jalan?" tanya Raja khawatir. Ruma mengangguk, walau dengan wajah menahan sakit, cukup aman untuk berjalan sampai ke mobil. "Ayo sayang, hati-hati!" Abi Zayyan dan juga Ummi Marsha juga langsung ikut ke rumah sakit. Sementara Bik Sumi pulang dengan taksi membawa belanjaan mereka. "Tambah kerasa ya?" tanya Raja sembari mengemudi perjalanan ke rumah sakit. "Iya Mas, lumayan," jawab Ruma memejam. Mengatur nafas, dan sesekali merilekskan tubuhnya saat tengah nyeri. Ini bukan pertama kali bagi Ruma, tetapi sakitnya tentu sama saja satu rasa. Namanya orang mau melahirkan, di mana-mana pasti luar biasa. "Lancar-lancar ya sayang, bantu Buna," ucap Raja sembari mengelus perut istrinya. Begitu sampai di rumah sakit, Ruma langsung disambut hangat oleh tim medis. Perempuan itu langsung dibawa ke ruang bersalin. Setelah dicek ternyata memang sudah pembukaan tiga. Masih lumayan
Empat purnama tak terasa berlalu dengan cepat, Ruma kini tengah menanti hari-hari kelahiran anak kedua. Perempuan itu juga sudah menyelesaikan waktu magangnya. Jadi, bisa mempunyai banyak waktu di rumah menanti launching anak kedua."Aku berangkat ya, nanti kalau ada apa-apa kabari. Jangan belanja sendirian, nanti malam saja aku temani setelah pulang," pesan Raja tak membiarkan istrinya beraktivitas di luar tanpa dirinya. "Iya Mas, tapi kalau misalnya siang berubah pikiran, terus ditemani Bik Sumi gimana? Kan nggak sendirian juga." Tidak ingin terlalu banyak merepotkan, asal Raja mengizinkan, Rumah tidak mengapa berbelanja sendirian."Duh ... bumil ngeyel ya. Ya sudah, nanti pakai supir saja. Hati-hati ya, ingat selalu berkabar di mana pun berada." Raja mode posesif, bukan apa-apa, dia khawatir mengingat istrinya hamil besar. "Siap Mas, kamu juga hati-hati berangkat kerjanya," balas Ruma mengiyakan. Ruma menyalim takzim suaminya. Raja membalasnya dengan kecupan sayang di keningnya,
"Ya Allah ... capek Mas, izin ke kamar ya," pamit Ruma setelah membantu membereskan sisa acara tadi. Padahal cuma bantuin dikit, tapi berada sekali punggungnya. "Kamu sih, dibilangin nggak usah masih suka maksa. Udah istirahat saja."Kalau Ruma sudah mengeluh, Raja yang khawatir. Istrinya itu kadang bandel, tapi ya namanya juga perempuan aktif, mana bisa diem. "Hem ... tadi nggak berasa Mas, sekarang baru terasa," ucap Ruma beranjak. Raja ikut mengekor istrinya ke dalam. Suasana rumah juga sudah sepi, semua tamu dan keluarga dekat sudah pulang sejak tadi. "Sayang, aku pijitin ya," kata pria itu perhatian. Bukan satu dua kali, Raja memang sering melakukan hal semacamnya saat istrinya mengeluh lelah. Ya walaupun ujung-ujungnya tetap bonus adegan panas. "Hmm ... beneran pijat atau minta bonus." Ruma sadar, wanita itu kemarin menundanya. Dia bahkan berjanji sendiri setelah acara bakalan nyenengin suaminya. Tapi, terkadang ekspektasi tak sesuai realita. Ruma terlihat kelelahan malam
"Tidur sayang, aku tahu kamu capek. Aku nggak akan ganggu," kata Raja pengertian. "Baiknya suami aku. Terima kasih Mas," ucap Ruma merasa merdeka. Dia benar-benar tengah lelah. Beruntung punya Mas suami yang super pengertian, jadi tidak ada drama yang berkepanjangan."Ini beneran kan? Nggak ada mode dendam?" tanya Ruma menatap serius. "Astaghfirullah ... kamu capek kan? Tidur sayang, sebelum aku berubah pikiran," jawab Ruma gemas sendiri. "Oke sayang, besok dobel deh karena malam ini udah baik. I love you," kata wanita itu tersenyum lega. Mengecup pipi suaminya lalu menarik selimut rapat-rapat."Love you more," balas Raja tersenyum sembari mengelus kepalanya lembut. Dia benar-benar meloloskan Ruma malam ini. Tak perlu menunggu lama, wanita itu lelap menemukan kenyamanannya. "Bobok yang nyenyak," ucap pria itu menarik selimut, lalu menciumnya dengan sayang. Raja mana tega eksekusi istrinya mode maksa. Apalagi fisik Ruma tengah mode lelah plus hamil muda. Jadi, menyala sabarnya.Sem
Berita kehamilan Ruma begitu menggembirakan untuk keduanya. Namun, Ruma dan Raja sepakat tidak membagi kabar bahagia ini dulu dengan keluarga besar. Namanya juga baru trimester pertama dan masih rentan, jadi sabar menahan diri untuk berbagi kabar menyenangkan ini. Raja juga khawatir kalau di luar sana ada saja orang yang mungkin tidak berkenan dengan hubungan mereka.Setelah berjalan empat bulan, Ruma baru berani speak up, tepatnya saat hendak menjalani acara empat bulanan. Kedua orang tua Raja dan juga kedua orang tua Ruma sampai terheran-heran ketika diberi tahu kabar bahagia ini."Kapan acaranya, Ja? Kok baru ngabarin?" Ummi Marsha jelas kaget sekaligus senang mengetahui menantunya tengah hamil. Raja sengaja menemui ibunya setelah dinas hari ini. Sebenarnya dia sudah tidak sabar membagi moment ini. Alhamdulillah sampai juga di acara empat bulanan. "Besok Ummi, Ruma juga sekarang masih dinas. Memang rencananya meminta libur sehari saja untuk acara besok.""Masya Allah alhamdulillah
"Sayang, kalau mau ada yang dibeli pesan dari rumah aja. Misal butuhnya sekarang, atau udah mau butuh banget buat besok.""Iya Mas, santai aja. Sekarang kan serba mudah. Orang belanja sayuran segar aja bisa dari rumah. Cuma ya itu, yang mahal kan waktunya. Aku pingin jalan berduanya.""Duh ... kapan ya, besok sore gimana? Nggak mau janji juga, semoga nggak ada pasien mendadak.""Aamiin ... ngabarin aja Mas, tapi semoga bisa ya. Eh gimana kalau malam sabtu.""Kalau malam sabtu malah sudah berencana bad minton sama temen-temen. Boleh kan yank.""Duh ... aku ditinggal gitu sendirian di rumah." Rumah merengut, nggak enak banget malam-malam sendirian di rumah."Boleh ikut kok, ada banyak teman-teman juga. Mungkin pada bawa pasangannya juga.""Beneran boleh ikut?""Iya boleh."Waktu berdua itu sangat berharga bagi mereka. Semenjak kepergian Sama, Rumah memang anti kesepian. Dia juga terlihat lebih manja dengan suaminya. Beruntung mempunyai suami yang pengertian, sama-sama bucin, jadi tidak