Home / Fiksi Remaja / Senja Pertama / Tanpa Belas Kasih

Share

Tanpa Belas Kasih

Author: titiksua
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Kak Nana yakin mau ambil jahitan sendirian?”

“Iya, kamu ke panti aja ya. Bilang sama Bunda kalau Kakak langsung pulang abis ambil jahitan.”

“Hati-hati ya Kak,”

“Iya Sandra.”

Anak kecil yang merupakan salah satu penghuni Panti Cahaya Kasih itu langsung berlari menerobos hujan bermodalkan payung berwarna kuning.

Awan gelap beberapa menit lalu adalah pertanda datangnya hujan yang saat ini membuat Nana terjebak di sebuah toko kelontong.

Hanya satu payung yang Nana bawa bersama anak kecil bernama Sandra tadi. Nana tak mungkin membiarkan Sandra basah, jadi ia mengalah dan menunggu hujan reda lalu mengambil jahitan di tempat langganan.

Panti baru saja mendapat donasi dari orang berhati lapang di luar sana. Dan bunda berniat membuatkan baju baru untuk anak-anak di panti.

Sebenarnya jika disebut anak-anak rasanya usia Nana sudah melampaui itu. Namun ia masih mendapat jatah dari bunda.

Dingin membuat Nana mendekap tubuhnya lebih erat. Ia hanya memakai baju dan celana dengan kardigan tipis. Tentu masih membuat tubuhnya kedinginan.

Bibir mungil Nana sedikit bergetar. Jari kakinya yang terkena cipratan air hujan juga bergetar.

“Nana!”

Nana menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara.

“Maaf ya aku tadi panggil kamu di seberang. Aku di depan kamu sekarang.”

“Ah iya, gak apa kok. Kamu Danang kan?”

Danang terkejut. “Kamu bisa tau aku dari mana?”

“Dari suara kamu. Gak tau kenapa aku lebih peka sama suara daripada cahaya.” Nana tertawa kecil seolah menertawakan dirinya sendiri.

“Mau pinjem jaket nggak? Aku lihat kamu kedinginan.”

“Nggak kok, aku nggak kedinginan.” Nana melepaskan tagannya yang semula mendekap tubuhnya. “Pakai kamu aja.”

“Gak apa ya aku maksa dikit.” Danang memakaikan jaket yang sempat Nana tolak. Danang yakin Nana sudah sangat kedinginan. Bibirnya mulai pucat.

“Ya udah deh kalau kamu maksa. Makasih banyak ya. Eh, tapi kok bisa kamu ke sini?”

“Tadi kebetulan lewat sini. Habis dari kampus soalnya, ngurusin acara organisasi.”

Nana mengangguk mengerti. Tak ada percakapan setelahnya. Nana dan Danang diam karena tak tau pembicaraan apa yang bisa mereka mulai.

“Nang, boleh tau hujannya udah berhenti atau belum?”

“Masih gerimis kecil Na. Kenapa emangnya?”

“Itu mau ambil jahitan panti.”

“Di mana tempatnya? Mau aku antar Na?”

“Eh nggak usah. Aku cuma tanya hujannya udah berhenti atau belum, gitu aja. Aku bisa ambil sendiri.” Senyuman Nana membuat dunia Danang berhenti seketika.

“Tapi kalau kamu jalan nanti tetap basah kena gerimis.”

“Gak papa aku kebasahan. Makasih ya jaket kamu udah bantu aku.”

“Pakai aja dulu. Masih ada lagi di rumah.”

“Oke deh. Aku duluan ya Nang. Kamu hati-hati di jalan.” Dengan bantuan tongkatnya Nana berjalan menerjang gerimis.

“Hati-hati Na.”

Sesuatu yang Danang tau dari seorang Naziwa Tandika adalah sifat keras kepalanya. Kalau Nana punya kemauan, ia pasti akan berusaha menggapainya.

Nana tidak tau, di balik punggungnya ada seseorang yang tersenyum senang karena berhasil membuka orbolan.

Sepanjang jalan menuju tempat jahitan, tak jarang orang-orang memandang Nana dengan tatapan yang aneh.

Ada juga anak-anak yang sengaja mengolok-olok keadaan Nana dengan menirukan gayanya berjalan di samping gadis itu.

Suara-suara anak kecil yang saling bersahutan, dengan Nana sebagai bahan candaan tak membuatnya membenci mereka. Nana mengerti mereka masih anak-anak, belum mengerti sejauh itu kondisi Nana saat ini.

Rok yang Nana kenakan mendadak basah. Genangan air hujan di jalan aspal yang berlubang berhamburan mengenai rok Nana.

Pelakunya sekarang masih di atas sepeda motor dan berhenti di depan Nana. Sudah sangat sering Nana menghadapi yang seperti ini.

Seberapa keras dia berusaha membuat Nana menyerah, ia tak akan bisa. Kadang dia heran, Nana selalu tersenyum saat ia perlakukan semena-mena.

“Orang buta masih hidup aja.”

Nana melipat tongkatnya agar kejadian perebutan tongkat itu tidak terjadi lagi seperti beberapa waktu yang lalu. “Tuhan baik banget sama aku, makanya aku masih hidup dan bahagia.”

“Naif banget lo. Senyum lo itu palsu, gue tau.”

Bahkan kalau seribu kali orang bilang senyum yang Nana pasang di wajah manisnya itu hanya palsu, Nana tak akan berhenti tersenyum ke semua orang yang ia ajak bicara. Orang tidak tau apa saja yang telah Nana lewati sampai ia bisa setegar ini.

“Senyum itu ibadah, kamu bisa dapat pahala Sendanu.”

Sendanu agak kaget karena Nana tau kalau yang sedang berbicara dirinya. “Gue masih penasaran lo buta beneran atau cuma pura-pura.” Hal itu membuat Sendanu turun dari motor dan mengibaskan tangannya di depan wajah Nana.

Jari telunjuk Sendanu bahkan diarahkan ke bola mata Nana tetapi tak ada respon apa-apa dari mata yang menatap kosong milik Nana. Sudah jelas Nana memang tak bisa melihat.

“Kamu mau membuktikan lagi?”

Sendanu tertangkap basah, ia menurunkan tangannya. “Ya.” Dia merebut tongkat Nana dan melemparnya.

“Jangan dilempar Danu.”

“Gue belum puas, buktiin dulu kalau lo memang buta.”

Nana mengela napas, ia harus melakukan itu agar Sendanu cepat pergi dan ia bisa segera mengambil jahitan. Bunda pasti sudah menunggu Nana di panti.

Nana berjongkok dan mulai meraba-raba tanah di sekitarnya. Rok yang Nana kenakan sudah kotor karena tak ada pilihan lain lagi. Tangan Nana juga kotor. Namun tongkat itu belum juga Nana temukan.

“Danu, boleh nggak kasih tau aku di mana tongkatnya?”

“Walaupun gue kasih tau, lo nggak bakal ngerti kan?”

“Iya aku tau itu, kamu bisa arahin aku  aja kok.”

“Kalau gue nggak mau?”

“Ya udah, aku cari sendiri aja.”

“Bagus, akhirnya lo ngerti juga.”

Nana akhirnya berdiri dan melangkah hati-hati ke depan lalu berjongkok lagi. Tak ada tanda-tanda tongkat itu. Nana bangun lagi dan melakukan hal yang sama beberapa kali.

Bagi Sendanu menyenangkan bisa melihat Nana menderita. Tak ada belas kasihan sama sekali. Justru yang ada semakin Nana tertekan, semakin Sendanu senang.

“Lo bener-bener kelewatan.” Danang datang dan mengambil tongkat itu. Nana bersyukur ada yang membantu. “Ini Na tongkatnya.”

Sebenarnya sedari tadi Danang mengikuti Nana dan ia baru bertindak saat Sendanu sudah kelewatan.

Rahang Danang mengetat begitu juga kepalan tangannya. “Jadi cowok cuma bisa nyakitin cewek buat apa hidup?”

Amarah Sendanu muncul, ia maju mendekati Danang dan hendak memukul. Namun Nana tiba-tiba berdiri dan pukulan itu jatuh ke pipi Nana.

“Brengsek lo!” Danang membalas Sendanu dengan meninju wajahnya.

Rasanya pipi Nana berdenyut-denyut, sangat sakit. Nana tak sampai jatuh karena Danang menangkapnya. “Udah Nang, udah. Jangan diladenin.”

“Tapi lo dipukul sama dia Na. Dia udah kelewatan.”

“Salah si buta tiba-tiba berdiri.”

Danang mengarahkan Nana ke belakang tubuhnya lalu ia kembali melemparkan tinju, kali ini ke perut Sendanu.

“Hati lo ke mana hah! Masih sempet nyalahin Nana padahal lo yang jelas-jelas salah.”

Meski sudah mendapat dua pukulan, Sendanu tetap bisa berdiri tegak. Ia bahkan menatap Nana dengan pandangan meremehkan. “Dia bayar lo berapa?”

Cukup sudah, Nana tak ingin Danang dan Sendanu bertengkar lagi karena dirinya. “Danang nggak bayar aku. Lebih baik kalian pergi sebelum aku teriak ke warga kalau ada keributan di sini.”

Danang hendak maju lagi tapi Nana menahan lengannya. “Udah Nang. Kamu juga pulang.”

Semenjak Danang memutuskan untuk membantu Nana, sejak itu pula kebencian Sendanu juga bertambah. Bagi Sendanu, siapa pun yang membantu Nana akan menjadi musuhnya juga.

Sendanu pergi dengan motornya, meninggalkan Nana dengan Danang. Sungguh Danang sangat khawatir dengan pipi Nana yang memerah. Dia menyentuhnya, ringisan Nana keluar. “Pasti sakit banget.”

“Nggak kok, udah kebal.” Nana tertawa kecil.

“Aku obatin ya, tapi nyari toko bentar. Beli es batu dulu buat ngompres luka kamu.”

“Jangan, nanti Bunda kelamaan nunggu. Aku mau ambil jahitan aja Nang.”

“Rok kamu kotor banget Na, tangan kamu juga.”

“Duh iya ya. Tapi aku takut Bunda khawatir.”

“Nanti aku yang bilang ke Bunda. Sekarang kita kompres luka kamu dulu ya.”

“Iya, makasih ya Nang.”

“Sama-sama Na.”

Danang membantu Nana naik ke motornya. “Hati-hati, pegang jaket aku aja kalau kamu nggak nyaman.”

“Iya Nang.”

♥♥♥♥♥

“Kenapa kamu baik banget sama aku Nang?”

Danang tertegun dan menghentikan tangannya yang memegang es batu di pipi Nana. “Berbuat baik nggak perlu alasan Na.”

“Kamu bener Nang.”

Danang menatap mata Nana, andai gadis itu bisa melihat ekspresi Danang, mungkin Nana tau kalau Danang sedang berbohong.

“Kamu belum tau kenapa Sendanu kayak gitu ke kamu Na?”

“Belum,  aku nggak mau tanya ke dia. Nggak akan ngaku.”

“Aneh kalau alasan dia cuma iseng.”

“Mungkin Danu emang nggak suka sama aku aja Nang. Orang kayak aku gini banyak yang benci.”

“Siapa bilang?”

“Aku sendiri, barusan.”

Danang telah selesai mengompres memar di pipi Nana. Ia menatap Nana sendu. Meskipun Nana mencoba kuat, matanya tak bisa berbohong. “Yuk pulang, aku antar. Bajunya biar aku taruh di depan aja.”

“Emang bisa?”

“Apa sih yang Danang nggak bisa Na?”

“Nggak bisa naklukin hati cewek makanya masih jomlo sampai sekarang.”

Nana dan Danang tergelak. Dalam hatinya Danang tersenyum kecut.

Related chapters

  • Senja Pertama   Benci yang Ber-akar

    Nana sudah sampai di panti beberapa menit yang lalu, Danang yang mengantar. Semua penghuni panti kaget saat Nana datang dengan rok yang kotor. Ada banyak pertanyaan di kepala mereka termasuk bunda. Menunggu anak-anak kembali bermain setelah keterkejutannya, bunda baru menghampiri Nana yang sedang mengeluarkan jahitan. “Na.” Bunda duduk di samping Nana. “Nggak sekali dua kali kamu pulang dengan kondisi kayak gini. Dulu tongkat kamu patah, lengan kamu tergores, sekarang rok kamu kotor. Bunda tau itu bukan ulah kamu sendiri.” Cepat atau lambar Nana tau bunda akan menanyakan ini. Dia sudah mempersiapkan jawaban, semoga saja bunda percaya. “Bunda nggak usah khawatir ya, emang Nana aja yang cer

  • Senja Pertama   Bersenyawa

    “Nyanyi aja sama main musik. Kita adain konser kecil-kecilan di taman.”“Ngamen Na?”“Lebih halusnya menggalang dana. Kalau ngamen aja kesannya buat diri sendiri Mon.”“Fix gue ikut. Biar berguna sedikit hidup gue. Masa kuliah pulang terus, pingin kayak lo juga. Bisa bermanfaat buat sesama.”“Akhirnya bertambah anggota teamnya. Nanti kamu bagian perlengkapan ya Mon, angkat-angkat gitar sama kajon.”Wajah Monic berubah sedih. “Tega banget lo Na.”“Becanda kali Mon.”Panas dan terik matahari tak menyurutkan semangat ketiga manusia yang sekarang sedang menggelar konser kecil-kecilan di Taman Suropati yang terletak di Menteng. Nana dan Danang mempertimbangkan taman ini karena cukup dekat dengan kampus.Biasanya banyak seniman juga berkumpul di taman ini. Ada komunitas musik yang setiap kamis membantu Nana dan Danang menggalang dana

  • Senja Pertama   Pelindung Nana

    Gemercik air di kamar mandi Sendanu menandakan sang pemilik kamar sedang mandi di malam hari yang cukup dingin. Kebiasan Sendanu, mandi tengah malam. Ia bahkan tak memikirkan efek jangka panjangnya.Setelah berkeliling cukup lama dengan sepeda motor dan menghabiskan beberapa minuman, Sendanu akhirnya pulang. Dia cukup kebal untuk tak mendengarkan teguran orang tuanya. Bukan sekali dua kali, tapi setiap hari. Sendanu sering diingatkan kalau ia adalah anak dari seorang dekan di fakultasnya, tetapi bagi Sendanu itu sama sekali tak bekerja. Apa pun yang Sendanu lakukan, itu atas kemauannya sendiri. Tanpa peduli siapa dan mengapa. Sendanu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah kuyup. Menguar aroma shampoo arang yang dia gunakan. Rambut hitam sebahu

  • Senja Pertama   Amarah

    “Nu, maaf gue nggak bisa bawa Nana ke sini. Danang ngehalangin gue.” “Lo nggak lawan?” “Gue nggak berani, dia sama kayak lo, punya pengaruh kuat.” Sendanu maju dengan cepat dan mencengkeram kerah baju Seno. “Gue dan Danang beda.” Napas Seno terasa sesak karena Sendanu terlalu kuat menarik bajunya. Sampai Seno terbatuk-batuk. “Maaf Nu … gue nggak berani.” Sendanu membanting Seno di lantai dan menginjak perutnya. “Gue paling benci kata maaf dan lo masih berhutang sama gue.&rdqu

  • Senja Pertama   Penculikan

    “Kamu nggak perlu beliin aku baju Nang, di panti masih banyak.” Danang membungkukkan tubuhnya untuk melihat Nana yang berada di dalam mobil. “Apa kata Bunda kalau kamu pulang kondisinya kotor kayak gini? Bunda pasti khawatir.” “Tapi ini mahal, uang aku mana cukup buat ganti.” “Jangan diganti Na. Buat kamu, anggap aja sebagai hadiah karena mau jadi temen aku.” Nana tertawa membuat Danang heran. “Seharusnya aku yang bilang gitu, makasih udah mau jadi temenku Nang.” “Sama-sama Nana.” Danang tersenyum tulus. Jangankan baju, apa pun akan Danang berikan u

  • Senja Pertama   Kesalahan Besar

    “Jangan memaksakan diri Na, kamu baru saja bangun setelah pingsan 6 jam. Untung ada Sendanu yang menyelamatkan kamu. Dia menceritakan semuanya ke Bunda.” “Sendanu di mana sekarang Bun?” “Dia sudah pulang setelah mengantar kamu.” Nana bangkit tapi ditarik bunda untuk duduk lagi. “Mau ke mana?” “Nana harus minta bantuan Sendanu. Hanya Sendanu yang bisa melindungi Nana. Danang mengancam Nana.” “Sekarang sudah malam sayang. Besok Sendanu bilang akan ke sini lagi. Tunggu besok ya?”

  • Senja Pertama   Kepercayaan yang Hilang

    “Sering berantem juga?”“Bukan. Lebih tepatnya dipukul.” “Sama siapa? Kenapa nggak dilawan?” “Buat apa dilawan, percuma.” “Udah pernah nyoba?” Sendanu menggeleng. “Belum pernah.” “Nah, mana bisa bilang percuma kalau belum dicoba. Kamu juga harus membela diri Nu. Tadi aja bisa.” Sendanu memang bisa membela diri, apalagi bertarung. Sebagai orang yang hobi karate, Sendanu sudah termasuk mahir.&

  • Senja Pertama   Keping Kenangan

    Angin sore yang sepoi-sepoi menjadi favorit dua remaja yang kini sedang kasmaran. Keduanya sangat suka melihat matahari terbenam sembari naik motor mengelilingi Jakarta. Meski kadang terjebak macet, keduanya tak merasa itu sebuah masalah. Justru semakin banyak orbolan yang tercipta.Remaja sebaya mereka mungkin iri melihat kedekatan Sendanu dengan Dara. Keduanya adalah pasangan yang cocok untuk dijadikan nominasi queen and king di malam promnight nanti."Nu, kamu nggak laper?" Dara sedikit mengeraskan suaranya."Nggak juga. Kamu mau makan dulu Dar?""Boleh deh. Sekalian nunggu mobil beres di bengkel.""Mau makan di mana?" Sendanu melirik Dara lewat spion. Terlihat Dara berpikir sebentar."Pecel lele di simpang jalan deket sekolah. Enak banget tuh, apalagi sore-sore gini."Sendanu terkekeh, Dara sangat lucu dengan ekspresi membayangkan makanan. "Siap laksanakan Bos."Akhirnya mereka bisa keluar dari kemacetan. Itu juga berkat Se

Latest chapter

  • Senja Pertama   Extra Part 4: Aku Pikir Dia Tahu

    Dua minggu setelah menjauh dari Manda Terhitung sudah dua minggu Sendanu membawa Riris dan Sekar ke apartemen. Namun hingga saat ini Nana belum bertemu dengan mereka. Setelah Sendanu mengajak Nana ke pertemuan makan malam dengan keluarga Manda, Nana belum mendengar kabar mama dan adik Sendanu. Sejujurnya Nana sangat senang ketika Sendanu bisa mengamankan mama dan adiknya ke tempat yang lebih aman daripada di rumah. Setidaknya dengan begitu mereka bisa menjalani hari dengan nyaman dan Mahesa tidak memiliki alat untuk mengancam Sendanu. Ini sudah ke-10 kalinya Nana menerima ajakan dari Sendanu untuk mengunjungi apartemen tempat Sendanu tinggal. Tapi Nana selalu memiliki alasan untuk menolak. Sebenarnya Nana takut jika dia tidak memenuhi ekspektasi mama ataupun adik Sendanu. Nana terlalu takut jika mereka melihat kekurangan Nana sebagai hal yang akan merugikan mereka. Namun kali ini Sendanu mencoba lagi untuk mengajak Nana bertemu dengan mama dan adiknya. “Katanya mau lihat nyok

  • Senja Pertama   Extra Part 3: Rahasia Besar

    Dua minggu sebelum penculikan Nana. Siapa yang tak mengenal sosok Rama? Beliau disegani di bidang bisnis properti. Semua orang yang bergelut di bidang itu sepertinya tahu sehebat apa pengaruh beliau dan perusahaannya di dalam dunia kerja. Rumor mengatakan tak hanya memiliki perusahaan yang sukses, tetapi istri yang suportif dan juga anak yang sangat bisa dibanggakan. Rumor itu tersebar setelah sosok yang akrab dipanggil sebagai Pak Rama tersebut membawa serta anak sulungnya ke dalam pertemuan perusahaan. Kabarnya juga, beliau memiliki dua orang anak, akan tetapi satu lagi telah tiada. Oleh karena itu hanya satu yang diperkenalkan ke publik. Selain memiliki keluarga yang harmonis, Pak Rama juga dikenal sebagai sosok yang dermawan. Dia menjadi donatur di salah satu panti bernama ‘Cahaya Kasih’ sejak beberapa tahun lalu, tepatnya sejak anaknya lahir. Hal itu dikabarkan karena beliau ingin menebus rasa bersalahnya kepada anak keduanya, oleh karena itu sejak beberapa tahun silam, Panti

  • Senja Pertama   Extra Part 2: Berpura-pura

    1 minggu sebelum penculikan Nana. Selain gedung rektorat, tempat lain di kampus yang sangat sejuk adalah di danau. Danau kampus membentang luas dan rindang dengan pepohonan di sekelilingnya. Meskipun rindang, suasana di sana tidak terlalu angker. Justru banyak mahasiswa yang memanfaatkan danau untuk tempat mengerjakan tugas kelompok ataupun makan kalau mereka membawa bekal. Daripada makan di kantin dengan bekal bawaan dari kos, lebih etis kalau mereka makan di pinggir danau. Namun bukan untuk makan tujuan Danang ke danau kali ini. Dia menunggu seseorang yang saat ini mungkin masih mengemasi barangnya di kelas. Jika kalian tahu betul siapa Danang, tak lain tak bukan yang dia tunggu adalah Nana. Hal itu pasti karena Danang hanya dekat dengan Nana. Bukan berarti Danang tak punya teman, dia punya, hanya saja kebanyakan dari mereka takut bergaul karena efek dari tekanan yang diberikan oleh Sendanu. Kalau mereka bergaul dengan Danang dan Sendanu mengetahuinya, siap-siap akan dimusuhi S

  • Senja Pertama   Extra Part: Yang Tidak Terlihat

    Sehari setelah Sendanu menyatakan perasaan ke Nana. Sebuah pilihan yang sangat sulit bagi Nana untuk mempercayai apa yang dikatakan Sendanu. Walaupun memang Nana percaya Sendanu orang yang telah menolongnya, tapi urusan tolong-menolong dan hati mereka adalah dua hal yang berbeda. Anggap saja Sendanu memberikan Nana nasi, tapi Nana harus mengembalikan wadah nasi yang bahkan tak pernah diberikan oleh Sendanu sebelumnya. Nana yang mengerjakan proposal untuk diberikan ke ayah Sendanu pun akhirnya menyerah dengan apa yang dia pikirkan kali ini. Masalahnya ini Sendanu, cowok yang terkenal nakal dan juga sangat diidamkan oleh para perempuan di sini. Bagaimana tidak, Sendanu anak dekan, dia kaya raya, dia tipe yang dingin tapi hangat ke orang yang dia kenal, hanya satu yang tidak disukai dari Sendanu, perkataannya yang terlalu menyakitkan. Beberapa orang mengakui itu. Terlepas dari keburukannya itu, Sendanu adalah tipe idaman perempuan di kampus ini. Ah jangan lupakan satu fakta bahwa dia

  • Senja Pertama   Missing You

    Mobil yang Danang tumpangi kehabisan bensin. Ia berhenti sejenak di SPBU untuk mengisi bahan bakar saat ada telepon masuk ke ponselnya. Dari Monic. “Halo, ada apa Mon?” Nana hilang Nang, kita semua lagi nyari dia. Sendanu juga nggak ada, gue khawatir kalau Nana dibawa Sendanu. Umpatan Danang terdengar oleh Monic di telepon. Danang menutup telepon begitu saja. Antrian di SPBU masih panjang. Mungkin Nana tak bisa menunggu lebih lama lagi. Bagaimana pun Danang harus sampai lebih cepat ke vila. Danang melihat sekitarnya yang ramai. Matanya dengan teliti mengamati setiap sudut hingga ia menemukan pangkalan tukang ojek di sebelah SPBU. Danang berlari ke sana untuk meminjam salah satu m

  • Senja Pertama   Cinta Itu Nyata

    Monic tersadar sedari tadi dia tak melihat Nana ada di pesta. Segera setelah sadar dia mencari Danang. Firasat Monic tak begitu baik. Monic sudah mencoba menghubungi Danang tetapi ponselnya tak aktif. Sudah frustrasi, akhirnya Monic meminjam mic yang digunakan untuk menyanyi oleh salah seorang temannya. Monic mengumukan kalau dia sedang mencari Danang. Cara itu ampuh membuat Danang maju ke barisan depan. Sayangnya tepat setelah menemukan Danang, listrik mendadak padam. Danang berhasil meraih tangan Monic dan membawanya keluar dari kerumunan. “Ada apa Mon?” “Nana hilang! Gue nggak tahu dia di mana.” Danang geram. “Bukannya gue udah minta tolong sama lo buat jaga d

  • Senja Pertama   Help

    Hari telah berganti yang artinya sudah satu hari rombongan menginap di vila. Di hari pertama memang mereka tak merencanakan apa-apa karena ingin beristirahat sambil menikmati suasana di sekitar vila, ada juga yang memanfaatkan momen itu untuk mengambil gambar. Malam kedua ini diadakan pesta kecil-kecilan. Memanggang beberapa sosis, daging, marshmallows, jagung dan masih banyak lagi untuk merayakan bertambahnya semester dan melepaskan penat sejenak. Halaman vila pertama didekor sedemikian rupa oleh panitia yang telah terbentuk. Sementara itu untuk orang-orang yang tak masuk dalam kepanitiaan akan menyiapkan bumbu di dapur. Kebanyakan yang mempersiapkan pesta di halaman adalah para lelaki. Yang perempuan sedang sibuk di lantai dua untuk menyiapkan bahan atau pun membantu mengambilkan beberapa keperluan untuk pesta. Karena merasa k

  • Senja Pertama   Puncak

    Tibalah rombongan di salah satu vila yang ada di Puncak. Vila ini direkomendasikan oleh Monic karena ia punya salah satu kerabat dekat yang sering berkunjung ke Puncak. Untuk menampung sekitar delapan puluh orang dalam rombongan diperlukan dua bus dan dua vila. Tempatnya saling berhadapan. Hanya terpisahkan oleh jembatan kecil yang menjadi penghubung dengan sungai kecil di bawahnya. Pohon pinus berjajar rapi di sekitar vila. Vila yang pertama memiliki tiga lantai dengan halaman yang luas dan terbuka. Dari halaman depan ada tangga yang menuju teras. Di lantai pertama ini ada satu kamar yang cukup besar beserta ruang tamu pertama. Beberapa perabotan yang ada seperti sofa dan tv masih terasa baru karena sangat terawat. Menuju ke lantai dua, ada dapur, ruang tamu kedua serta tiga kamar mandi. Lantai kedua ini tak ada kamar tidur karena sebagian lahannya digunakan untuk kolam renang dengan gazebo di sudutnya. Urusa

  • Senja Pertama   Kunci

    Kuliah selama satu semester sudah dijalani dengan baik oleh para mahasiswa Seni. Waktunya mereka berlibur sejenak untuk menyegarkan pikiran sebelum masuk ke semester yang baru lagi. Salah satu kelas di mata kuliah Nana sepakat untuk mengawali liburan mereka dengan berlibur ke Puncak, Bogor. Dibentuk beberapa panitia untuk mengurus transportasi, konsumsi, acara dan dokumentasi. Untuk dana yang digunakan mereka sudah punya Danang sebagai penyumbangnya. Ada juga Monic, Sendanu, Nana yang tergabung dalam kelas itu. Di mata kuliah inilah mereka dipertemukan saat di kelas. Selain itu mereka hanya sesekali bertemu di luar atau di kelas yang lain. Awalnya Nana menolak untuk ikut dikarenakan ia takut untuk meminta izin ke bunda. Namun Sendanu sudah berkompromi dengan Monic agar mau membujuk bunda supaya mengizinkan Nana. Alhasil setelah negosia

DMCA.com Protection Status