Nana sudah sampai di panti beberapa menit yang lalu, Danang yang mengantar. Semua penghuni panti kaget saat Nana datang dengan rok yang kotor. Ada banyak pertanyaan di kepala mereka termasuk bunda.
Menunggu anak-anak kembali bermain setelah keterkejutannya, bunda baru menghampiri Nana yang sedang mengeluarkan jahitan.
“Na.” Bunda duduk di samping Nana. “Nggak sekali dua kali kamu pulang dengan kondisi kayak gini. Dulu tongkat kamu patah, lengan kamu tergores, sekarang rok kamu kotor. Bunda tau itu bukan ulah kamu sendiri.”
Cepat atau lambar Nana tau bunda akan menanyakan ini. Dia sudah mempersiapkan jawaban, semoga saja bunda percaya.
“Bunda nggak usah khawatir ya, emang Nana aja yang ceroboh.”
“Tapi kamu orang yang sangat berhati-hati Na. Bunda sendiri tau kamu sedari kamu kecil. Semenjak kamu kuliah, semuanya berbeda.”
“Bun ….”
“Ada yang ngusilin kamu di kampus?”
Nana cepat menggeleng. “Nggak ada kok Bun.”
“Oke kalau kamu belum mau bilang ke Bunda.”
“Bunda, Nana nggak maksud bohong.” Baju yang ada di tangan, Nana letakkan. Dia menyamping untuk menghadap bunda.
“Selama masih ada Danang di samping kamu, Bunda yakin kamu baik-baik aja.”
“Tuh Bunda ujung-ujungnya gitu pasti.”
“Danang itu baik lho Na.”
“Dia baiknya ke semua orang Bun.”
“Iya memang, tapi kalau sama kamu baiknya tambah dikit.”
Pipi Nana bersemu merah, ia malu.
“Bunda izinin kok kalau kamu sama Danang. Udah baik, ganteng, tulus lagi.”
“Danang itu temen aku Bunda.”
“Sekarang temen, tapi satu tahun lagi atau dua tahun lagi kita nggak tau kan?”
Nana menggeleng tak percaya, selalu saja bunda menjodohkannya dengan Danang. Padahal Nana sendiri tau, Danang memang baik ke semua orang. Awalnya Nana kira Danang kasihan, tapi Danang memang tulus.
“Bunda masak dulu ya buat makan malam. Kamu di sini aja nata baju.”
“Oke Bunda sayang.”
Bunda dan panti ini adalah dunia Nana. Sebenarnya Nana juga punya dunia lain, di pikirannya sendiri. Bagi Nana, menyenangkan membangun dunia yang hanya ia sendiri yang tahu.
Dulu dunia luar sangat baik kepada Nana, tetapi semenjak insiden itu, semua seolah ditarik paksa. Butuh waktu hingga Nana bisa sampai ke tahap yang sekarang. Proses yang tak mudah dan menguras air mata.
“Kak.”
“Iya Sandra?”
“Maaf ya tadi Sandra nggak pulang. Sandra balik lagi pas di sana udah ada Kak Danang. Sandra juga lihat Kak Sandra diganggu sama cowok.”
“Tolong jangan kasih tau Bunda ya. Kakak cuma sekali aja kok diganggu sama cowok itu.”
“Oke Sandra nggak akan bilang. Tapi kalau Sandra tau dia ganggu Kakak lagi, Sandra bilang ke Bunda.”
“Deal.”
Untunglah, Nana hampir khawatir kalau Sandra tak mau diajak kompromi. Sekarang tugas Nana menjauhi Sendanu sebisa mungkin kalau tidak mau terpegok lagi oleh orang panti.
Nana juga tak ingin Danang dan Sendanu sampai bermusuhan karena dirinya sendiri. Kalau memang Sendanu ingin Nana tak betah di kampus, jangan sampai Danang juga terperangkap.
♥♥♥♥♥
Mahasiswa mana memang yang tidak tau seorang Sendanu? Anak donatur terbesar di kampus sekaligus anak dekan dengan wajah rupawan yang bisa membuat siapa saja jatuh cinta sekali tatap. Namun, sikap Sendanu dengan tampangnya sangat berkebalikan.
Semua mahasiswa memang mengagumi dia, tapi tidak dengan kelakuannya. Akhlak Sendanu sudah bobrok, hal itu juga yang membuat mahasiswi di sini berpikir dua kali untuk mendekati Sendanu. Takut terjebak dan tak bisa lepas.
Selain itu, rumor bahwa Sendanu belum bisa move on dari sang mantan juga menjadi hantu bagi cewek-cewek di kampus. Rumornya, Sendanu dulu punya pacar dan entah kemana pacarnya itu. Yang jelas Sendanu belum bisa move on dari mantannya.
Saat dia berjalan dari parkiran menuju gedung A tempat Fakultas Seni, Sendanu menjadi pusat perhatian. Kali ini mereka memperhatikan luka lebam yang ada di pipi Sendanu.
“Lo pingin kayak gue juga?” Sendanu berhenti di depan salah satu mahasiswa dan mencengkeram kerahnya.
“Engga ... engga Nu. Maaf.” Mahasiswa itu ketakutan.
“Nggak ada maaf dalam hidup gue.” Hari ini Sendanu malas berkelahi, dia hanya mendorong mahasiswa tadi sampai terjatuh.
Semua orang menyingkir dan tak mau cari gara-gara. Mereka tak ingin pagi yang cerah ini dipenuhi dengan makian Sendanu.
Namun keberuntungan pagi ini mungkin tak berpihak pada Nana. Dia yang baru keluar dari lobi menabrak Sendanu. Padahal biasanya Nana selalu hati-hati.
“Mata lo buta hah!” Sendanu menarik dagu Nana. “Ah, gue lupa. Lo emang nggak bisa lihat.”
“Maaf Nu, aku gak sengaja.”
“Apa lo pernah denger gue menerima kata maaf?” Sendanu mendekatkan bibirnya ke telinga Nana. “Nggak pernah kan? Berlaku buat lo juga.”
“Tapi kan aku nggak sengaja,” bela Nana.
“Mood gue rusak gara-gara lo. Sekarang ikut gue.” Tubuh Nana ditarik paksa untuk berdiri. Untunglah Nana masih sempat membawa tongkatnya.
Entah ke mana Sendanu membawa Nana, gadis itu tak bisa berpikir secepat Sendanu menariknya.
Sendanu berhenti saat Nana merasakan sekitarnya sudah sepi. Hidung Nana menjadi gatal. Itu karena tempat yang sekarang mereka kunjungi sangat penuh dengan debu.
“Kamu bawa aku ke mana Nu?”
“Diem! Gue belum nyuruh lo bicara.”
Nana menurut, ia juga tak ingin Sendanu bertambah marah.
“Dengerin gue Naziwa Tandika. Lo itu pembawa sial. Setiap ada lo, apa pun yang gue lakukan jadi berantakan. Jadi gue minta sama lo, jangan muncul lagi di depan gue atau lo akan rasakan akibatnya.”
Sungguh rasanya hati Nana sakit saat Sendanu mengucapkan kalimat itu. Ini pertama kalinya untuk Nana disebut pembawa sial.
“Tapi aku kuliah di sini juga Nu. Setiap hari kita pasti ketemu.”
“Ya lo pakai lah akal lo itu. Jangan sampai gue ngelihat lo. Tau kan caranya? Kalau nggak tau gue kasih tau sekarang.”
“Gimana Nu supaya aku nggak muncul lagi di depan kamu?”
Langkah Sendanu yang semakin mendekat membuat Nana mundur hingga terpojok dinding. “Keluar dari kampus ini.”
“Nggak bisa. Aku masuk sini dapat beasiswa dan itu susah Nu. Aku nggak bisa keluar dari kampus ini.”
“Kalau gitu jangan harap gue akan berhenti ganggu lo. Selama lo masih ada di sini, jangan harap hidup lo tenang.” Sendanu menendang tongkat Nana lalu pergi dari Gudang.
Sebenarnya Sendanu tak ada niat untuk mengganggu Nana hari ini, tapi karena Nana sudah melakukan kesalahan, sekalian saja Sendanu membuat ancaman.
Tubuh Nana melemas, ia merosot ke lantai. Dia begitu sial hingga bertemu Sendanu dan membuat masalah lagi. Meski Nana tau ini akan jadi hal yang berat, ia tetap harus bertahan di kampus. Tak ada yang bisa membuatnya berhenti meski itu Sendanu.
Nana meraba sekitarnya dan menemukan tongkat miliknya. Ia tak bisa melihat seberapa berantakan penampilannya saat ini. Nana hanya mencoba percaya diri berjalan menuju kelasnya pagi ini.
Desas-desus mulai terdengar, tapi itu bukan menjadi masalah untuk Nana. Dia sudah terbiasa menerima perlakuan tidak adil dari lingkungan sekitar. Hanya beberapa orang yang benar-benar tulus yang mau berteman dengan dirinya, dan itu bisa dihitung dengan jari.
♥♥♥♥♥
“Na lo beneran nggak papa kan?”
“Iya Monic, aku baik-baik aja.”
“Tapi tadi masuk kelas rambut lo kotor tau.”
“Oh itu, aku bersih-bersih tadi sebelum ke kampus. Mungkin aja kotorannya ngikut.” Nana mencoba tersenyum agar Monic tidak curiga.
“Gue khawatir aja sih lo digangguin lagi sama Sendanu. Dia kan seneng kalau lo kenapa-kenapa. Kadang heran gue sama dia. Apa sih masalahnya sampai dia segitu bencinya sama lo?”
“Kalau aku tau juga udah minta maaf dari dulu Mon.”
“Atau jangan-jangan dia suka sama lo Na? Ah iya pasti itu tuh alasannya!” Sungguh suara Monic keras sekali, sekelas sampai menoleh kaget.
“Hust, mana ada kayak gitu.”
“Ya siapa tau gitu. Biasanya cowok kalau suka sama cewek sukanya jahil. Sendanu juga gitu ke lo.”
“Beda, Sendanu itu benci bukan jahil. Bencinya Sendanu sama aku tuh berakar. Susah dicabutnya.”
“Jangan pesimis dong. Gue cuma nebak kok.”
“Mustahil banget Mon, rasa benci Sendanu udah sebesar gunung. Kalau pun tebakan kamu bener, kemungkinannya satu banding seribu.”
“Kok gue yakin banget ya lo masuk satu dari seribu itu.”
“Monic!”
“Hehe peace.”
Nana memaklumi Monic, satu-satunya orang selain Danang yang baik di kampus.
“Eh Na, tadi gue dipesenin sama Danang kalau dia nunggu di depan kelas.”
“Kapan? Kenapa nggak nunggu di parkiran aja kayak biasa?”
Monic mengangkat bahu. “Gak tau sih, dia cuma bilang gitu.”
“Oke deh, makasih Mon.”
“Ke mana sih sebenernya kalian setiap hari Kamis gini? Gue lihat-lihat dari semester dua sampai semester empat ini lo selalu jalan sama Danang kalau Kamis.”
“Jangan mikir yang aneh-aneh ya Mon. Sebenernya aku sama Danang ke suatu tempat buat menggalang dana.”
“Buat apa? Bukannya panti udah ada donaturnya?”
“Bukan untuk panti, tapi untuk orang-orang penyandang disabilitas yang membutuhkan. Banyak banget di Jakarta orang kayak aku gini tapi mereka harus hidup di jalan. Kesusahan cari makan karena keterbatasan kami.”
Monic terkagum-kagum dengan niat tulus Nana. Dia merasa sangat beruntung berteman dengan Nana. Ibaratnya Nana itu bidadari yang tersesat di kampus ini.
“Sumpah gue bangga banget punya sahabat kayak lo Na. Mau dong sekali-kali gue ikutan.”
“Yakin mau ikut?”
“Yakin serratus persen. Caranya gimana?”
“Nyanyi aja sama main musik. Kita adain konser kecil-kecilan di taman.”“Ngamen Na?”“Lebih halusnya menggalang dana. Kalau ngamen aja kesannya buat diri sendiri Mon.”“Fix gue ikut. Biar berguna sedikit hidup gue. Masa kuliah pulang terus, pingin kayak lo juga. Bisa bermanfaat buat sesama.”“Akhirnya bertambah anggota teamnya. Nanti kamu bagian perlengkapan ya Mon, angkat-angkat gitar sama kajon.”Wajah Monic berubah sedih. “Tega banget lo Na.”“Becanda kali Mon.”Panas dan terik matahari tak menyurutkan semangat ketiga manusia yang sekarang sedang menggelar konser kecil-kecilan di Taman Suropati yang terletak di Menteng. Nana dan Danang mempertimbangkan taman ini karena cukup dekat dengan kampus.Biasanya banyak seniman juga berkumpul di taman ini. Ada komunitas musik yang setiap kamis membantu Nana dan Danang menggalang dana
Gemercik air di kamar mandi Sendanu menandakan sang pemilik kamar sedang mandi di malam hari yang cukup dingin. Kebiasan Sendanu, mandi tengah malam. Ia bahkan tak memikirkan efek jangka panjangnya.Setelah berkeliling cukup lama dengan sepeda motor dan menghabiskan beberapa minuman, Sendanu akhirnya pulang. Dia cukup kebal untuk tak mendengarkan teguran orang tuanya. Bukan sekali dua kali, tapi setiap hari. Sendanu sering diingatkan kalau ia adalah anak dari seorang dekan di fakultasnya, tetapi bagi Sendanu itu sama sekali tak bekerja. Apa pun yang Sendanu lakukan, itu atas kemauannya sendiri. Tanpa peduli siapa dan mengapa. Sendanu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah kuyup. Menguar aroma shampoo arang yang dia gunakan. Rambut hitam sebahu
“Nu, maaf gue nggak bisa bawa Nana ke sini. Danang ngehalangin gue.” “Lo nggak lawan?” “Gue nggak berani, dia sama kayak lo, punya pengaruh kuat.” Sendanu maju dengan cepat dan mencengkeram kerah baju Seno. “Gue dan Danang beda.” Napas Seno terasa sesak karena Sendanu terlalu kuat menarik bajunya. Sampai Seno terbatuk-batuk. “Maaf Nu … gue nggak berani.” Sendanu membanting Seno di lantai dan menginjak perutnya. “Gue paling benci kata maaf dan lo masih berhutang sama gue.&rdqu
“Kamu nggak perlu beliin aku baju Nang, di panti masih banyak.” Danang membungkukkan tubuhnya untuk melihat Nana yang berada di dalam mobil. “Apa kata Bunda kalau kamu pulang kondisinya kotor kayak gini? Bunda pasti khawatir.” “Tapi ini mahal, uang aku mana cukup buat ganti.” “Jangan diganti Na. Buat kamu, anggap aja sebagai hadiah karena mau jadi temen aku.” Nana tertawa membuat Danang heran. “Seharusnya aku yang bilang gitu, makasih udah mau jadi temenku Nang.” “Sama-sama Nana.” Danang tersenyum tulus. Jangankan baju, apa pun akan Danang berikan u
“Jangan memaksakan diri Na, kamu baru saja bangun setelah pingsan 6 jam. Untung ada Sendanu yang menyelamatkan kamu. Dia menceritakan semuanya ke Bunda.” “Sendanu di mana sekarang Bun?” “Dia sudah pulang setelah mengantar kamu.” Nana bangkit tapi ditarik bunda untuk duduk lagi. “Mau ke mana?” “Nana harus minta bantuan Sendanu. Hanya Sendanu yang bisa melindungi Nana. Danang mengancam Nana.” “Sekarang sudah malam sayang. Besok Sendanu bilang akan ke sini lagi. Tunggu besok ya?”
“Sering berantem juga?”“Bukan. Lebih tepatnya dipukul.” “Sama siapa? Kenapa nggak dilawan?” “Buat apa dilawan, percuma.” “Udah pernah nyoba?” Sendanu menggeleng. “Belum pernah.” “Nah, mana bisa bilang percuma kalau belum dicoba. Kamu juga harus membela diri Nu. Tadi aja bisa.” Sendanu memang bisa membela diri, apalagi bertarung. Sebagai orang yang hobi karate, Sendanu sudah termasuk mahir.&
Angin sore yang sepoi-sepoi menjadi favorit dua remaja yang kini sedang kasmaran. Keduanya sangat suka melihat matahari terbenam sembari naik motor mengelilingi Jakarta. Meski kadang terjebak macet, keduanya tak merasa itu sebuah masalah. Justru semakin banyak orbolan yang tercipta.Remaja sebaya mereka mungkin iri melihat kedekatan Sendanu dengan Dara. Keduanya adalah pasangan yang cocok untuk dijadikan nominasi queen and king di malam promnight nanti."Nu, kamu nggak laper?" Dara sedikit mengeraskan suaranya."Nggak juga. Kamu mau makan dulu Dar?""Boleh deh. Sekalian nunggu mobil beres di bengkel.""Mau makan di mana?" Sendanu melirik Dara lewat spion. Terlihat Dara berpikir sebentar."Pecel lele di simpang jalan deket sekolah. Enak banget tuh, apalagi sore-sore gini."Sendanu terkekeh, Dara sangat lucu dengan ekspresi membayangkan makanan. "Siap laksanakan Bos."Akhirnya mereka bisa keluar dari kemacetan. Itu juga berkat Se
Di sinilah Nana sekarang, di danau kampus yang cukup sepi dan tenang. Dari semua tempat di kampus, danau satu-satunya yang bisa membuat Nana nyaman. Tak ada yang akan mencari Nana si sini atau mengganggunya. Yah, kecuali jika ada penunggu danau.Dada Nana masih sesak karena menangis cukup lama. Seumur hidupnya, meskipun Nana butuh sesuatu, lebih baik dia berusaha menabung daripada mencuri yang bukan haknya. Prinsip itu selalu Nana jaga. Dan perkataan anak-anak club musik menyakiti hati Nana."Ternyata lo di sini."Nana menoleh ke arah kiri asal suara itu. Dia juga merasakan pergerakan di sebelahnya."Gue denger dari anak-anak kalau lo debat sama club musik, bener?""Bener Nu." Nana memalingkan wajahnya ke depan."Sorry ya, gue lupa bilang ke mereka kalau gitarnya emang rusak. Semua senarnya dipotong Adik gue."Apa yang dikatakan Sendanu memang benar. Gitar itu memang dirusak adik kandungnya di rumah. Namun salah Send
Dua minggu setelah menjauh dari Manda Terhitung sudah dua minggu Sendanu membawa Riris dan Sekar ke apartemen. Namun hingga saat ini Nana belum bertemu dengan mereka. Setelah Sendanu mengajak Nana ke pertemuan makan malam dengan keluarga Manda, Nana belum mendengar kabar mama dan adik Sendanu. Sejujurnya Nana sangat senang ketika Sendanu bisa mengamankan mama dan adiknya ke tempat yang lebih aman daripada di rumah. Setidaknya dengan begitu mereka bisa menjalani hari dengan nyaman dan Mahesa tidak memiliki alat untuk mengancam Sendanu. Ini sudah ke-10 kalinya Nana menerima ajakan dari Sendanu untuk mengunjungi apartemen tempat Sendanu tinggal. Tapi Nana selalu memiliki alasan untuk menolak. Sebenarnya Nana takut jika dia tidak memenuhi ekspektasi mama ataupun adik Sendanu. Nana terlalu takut jika mereka melihat kekurangan Nana sebagai hal yang akan merugikan mereka. Namun kali ini Sendanu mencoba lagi untuk mengajak Nana bertemu dengan mama dan adiknya. “Katanya mau lihat nyok
Dua minggu sebelum penculikan Nana. Siapa yang tak mengenal sosok Rama? Beliau disegani di bidang bisnis properti. Semua orang yang bergelut di bidang itu sepertinya tahu sehebat apa pengaruh beliau dan perusahaannya di dalam dunia kerja. Rumor mengatakan tak hanya memiliki perusahaan yang sukses, tetapi istri yang suportif dan juga anak yang sangat bisa dibanggakan. Rumor itu tersebar setelah sosok yang akrab dipanggil sebagai Pak Rama tersebut membawa serta anak sulungnya ke dalam pertemuan perusahaan. Kabarnya juga, beliau memiliki dua orang anak, akan tetapi satu lagi telah tiada. Oleh karena itu hanya satu yang diperkenalkan ke publik. Selain memiliki keluarga yang harmonis, Pak Rama juga dikenal sebagai sosok yang dermawan. Dia menjadi donatur di salah satu panti bernama ‘Cahaya Kasih’ sejak beberapa tahun lalu, tepatnya sejak anaknya lahir. Hal itu dikabarkan karena beliau ingin menebus rasa bersalahnya kepada anak keduanya, oleh karena itu sejak beberapa tahun silam, Panti
1 minggu sebelum penculikan Nana. Selain gedung rektorat, tempat lain di kampus yang sangat sejuk adalah di danau. Danau kampus membentang luas dan rindang dengan pepohonan di sekelilingnya. Meskipun rindang, suasana di sana tidak terlalu angker. Justru banyak mahasiswa yang memanfaatkan danau untuk tempat mengerjakan tugas kelompok ataupun makan kalau mereka membawa bekal. Daripada makan di kantin dengan bekal bawaan dari kos, lebih etis kalau mereka makan di pinggir danau. Namun bukan untuk makan tujuan Danang ke danau kali ini. Dia menunggu seseorang yang saat ini mungkin masih mengemasi barangnya di kelas. Jika kalian tahu betul siapa Danang, tak lain tak bukan yang dia tunggu adalah Nana. Hal itu pasti karena Danang hanya dekat dengan Nana. Bukan berarti Danang tak punya teman, dia punya, hanya saja kebanyakan dari mereka takut bergaul karena efek dari tekanan yang diberikan oleh Sendanu. Kalau mereka bergaul dengan Danang dan Sendanu mengetahuinya, siap-siap akan dimusuhi S
Sehari setelah Sendanu menyatakan perasaan ke Nana. Sebuah pilihan yang sangat sulit bagi Nana untuk mempercayai apa yang dikatakan Sendanu. Walaupun memang Nana percaya Sendanu orang yang telah menolongnya, tapi urusan tolong-menolong dan hati mereka adalah dua hal yang berbeda. Anggap saja Sendanu memberikan Nana nasi, tapi Nana harus mengembalikan wadah nasi yang bahkan tak pernah diberikan oleh Sendanu sebelumnya. Nana yang mengerjakan proposal untuk diberikan ke ayah Sendanu pun akhirnya menyerah dengan apa yang dia pikirkan kali ini. Masalahnya ini Sendanu, cowok yang terkenal nakal dan juga sangat diidamkan oleh para perempuan di sini. Bagaimana tidak, Sendanu anak dekan, dia kaya raya, dia tipe yang dingin tapi hangat ke orang yang dia kenal, hanya satu yang tidak disukai dari Sendanu, perkataannya yang terlalu menyakitkan. Beberapa orang mengakui itu. Terlepas dari keburukannya itu, Sendanu adalah tipe idaman perempuan di kampus ini. Ah jangan lupakan satu fakta bahwa dia
Mobil yang Danang tumpangi kehabisan bensin. Ia berhenti sejenak di SPBU untuk mengisi bahan bakar saat ada telepon masuk ke ponselnya. Dari Monic. “Halo, ada apa Mon?” Nana hilang Nang, kita semua lagi nyari dia. Sendanu juga nggak ada, gue khawatir kalau Nana dibawa Sendanu. Umpatan Danang terdengar oleh Monic di telepon. Danang menutup telepon begitu saja. Antrian di SPBU masih panjang. Mungkin Nana tak bisa menunggu lebih lama lagi. Bagaimana pun Danang harus sampai lebih cepat ke vila. Danang melihat sekitarnya yang ramai. Matanya dengan teliti mengamati setiap sudut hingga ia menemukan pangkalan tukang ojek di sebelah SPBU. Danang berlari ke sana untuk meminjam salah satu m
Monic tersadar sedari tadi dia tak melihat Nana ada di pesta. Segera setelah sadar dia mencari Danang. Firasat Monic tak begitu baik. Monic sudah mencoba menghubungi Danang tetapi ponselnya tak aktif. Sudah frustrasi, akhirnya Monic meminjam mic yang digunakan untuk menyanyi oleh salah seorang temannya. Monic mengumukan kalau dia sedang mencari Danang. Cara itu ampuh membuat Danang maju ke barisan depan. Sayangnya tepat setelah menemukan Danang, listrik mendadak padam. Danang berhasil meraih tangan Monic dan membawanya keluar dari kerumunan. “Ada apa Mon?” “Nana hilang! Gue nggak tahu dia di mana.” Danang geram. “Bukannya gue udah minta tolong sama lo buat jaga d
Hari telah berganti yang artinya sudah satu hari rombongan menginap di vila. Di hari pertama memang mereka tak merencanakan apa-apa karena ingin beristirahat sambil menikmati suasana di sekitar vila, ada juga yang memanfaatkan momen itu untuk mengambil gambar. Malam kedua ini diadakan pesta kecil-kecilan. Memanggang beberapa sosis, daging, marshmallows, jagung dan masih banyak lagi untuk merayakan bertambahnya semester dan melepaskan penat sejenak. Halaman vila pertama didekor sedemikian rupa oleh panitia yang telah terbentuk. Sementara itu untuk orang-orang yang tak masuk dalam kepanitiaan akan menyiapkan bumbu di dapur. Kebanyakan yang mempersiapkan pesta di halaman adalah para lelaki. Yang perempuan sedang sibuk di lantai dua untuk menyiapkan bahan atau pun membantu mengambilkan beberapa keperluan untuk pesta. Karena merasa k
Tibalah rombongan di salah satu vila yang ada di Puncak. Vila ini direkomendasikan oleh Monic karena ia punya salah satu kerabat dekat yang sering berkunjung ke Puncak. Untuk menampung sekitar delapan puluh orang dalam rombongan diperlukan dua bus dan dua vila. Tempatnya saling berhadapan. Hanya terpisahkan oleh jembatan kecil yang menjadi penghubung dengan sungai kecil di bawahnya. Pohon pinus berjajar rapi di sekitar vila. Vila yang pertama memiliki tiga lantai dengan halaman yang luas dan terbuka. Dari halaman depan ada tangga yang menuju teras. Di lantai pertama ini ada satu kamar yang cukup besar beserta ruang tamu pertama. Beberapa perabotan yang ada seperti sofa dan tv masih terasa baru karena sangat terawat. Menuju ke lantai dua, ada dapur, ruang tamu kedua serta tiga kamar mandi. Lantai kedua ini tak ada kamar tidur karena sebagian lahannya digunakan untuk kolam renang dengan gazebo di sudutnya. Urusa
Kuliah selama satu semester sudah dijalani dengan baik oleh para mahasiswa Seni. Waktunya mereka berlibur sejenak untuk menyegarkan pikiran sebelum masuk ke semester yang baru lagi. Salah satu kelas di mata kuliah Nana sepakat untuk mengawali liburan mereka dengan berlibur ke Puncak, Bogor. Dibentuk beberapa panitia untuk mengurus transportasi, konsumsi, acara dan dokumentasi. Untuk dana yang digunakan mereka sudah punya Danang sebagai penyumbangnya. Ada juga Monic, Sendanu, Nana yang tergabung dalam kelas itu. Di mata kuliah inilah mereka dipertemukan saat di kelas. Selain itu mereka hanya sesekali bertemu di luar atau di kelas yang lain. Awalnya Nana menolak untuk ikut dikarenakan ia takut untuk meminta izin ke bunda. Namun Sendanu sudah berkompromi dengan Monic agar mau membujuk bunda supaya mengizinkan Nana. Alhasil setelah negosia