Gemercik air di kamar mandi Sendanu menandakan sang pemilik kamar sedang mandi di malam hari yang cukup dingin. Kebiasan Sendanu, mandi tengah malam. Ia bahkan tak memikirkan efek jangka panjangnya.
Setelah berkeliling cukup lama dengan sepeda motor dan menghabiskan beberapa minuman, Sendanu akhirnya pulang.
Dia cukup kebal untuk tak mendengarkan teguran orang tuanya. Bukan sekali dua kali, tapi setiap hari.
Sendanu sering diingatkan kalau ia adalah anak dari seorang dekan di fakultasnya, tetapi bagi Sendanu itu sama sekali tak bekerja. Apa pun yang Sendanu lakukan, itu atas kemauannya sendiri. Tanpa peduli siapa dan mengapa.
Sendanu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah kuyup. Menguar aroma shampoo arang yang dia gunakan. Rambut hitam sebahu yang Sendanu kuncir tiap kali ke kampus nampaknya bisa membuat perempuan iri. Sangat indah terawat. Entah kapan terakhir kali ia potong rambut sampai bisa sepanjang itu.
Seperti hari-hari biasanya, Sendanu tak pernah memakai atasan ketika tidur. Dia justru memilih memeluk foto yang bisa menghantarkannya ke mimpi bersama Dara.
Sudah lama meski memeluk foto itu, Sendanu tak kunjung memimpikan Dara. Padahal dia sangat menunggu saat itu. Sendanu sangat rindu Dara. Terakhir mereka bertemu dua tahun yang lalu.
Kotak besar yang Sendanu rencanakan menjadi kado Dara juga masih ada di atas lemari. Andaikan saat itu Dara mau mendengarkan dirinya untuk menunggu sebentar saja, mungkin Dara masih bersamanya sekarang ini.
Miris rasanya. Sendanu hanya bisa menatap kepergian Dara tanpa bisa mencegah apa pun.
Kotak itu seharusnya menjadi milik Dara di hari ulang tahunnya. Sendanu bahkan sudah merancang sedemikian rupa untuk merayakan ulang tahun Dara. Namun semua tak berjalan sesuai keinginannya.
Sampai saat ini Sendanu masih menyalahkan sosok yang selalu ia rundung di kampus. Sendanu menyalahkan keadaan, kenapa tidak sosok itu saja yang pergi dan bukan Dara?
“Kalau aja Dar lo mau nunggu bentar. Kalau aja dia gak muncul saat lo lagi nerima telepon gue. Seharusnya dia yang ada di posisi lo. Kenapa lo milih menghindari dia Dar?”
Hanya monolog seperti itulah yang bisa Sendanu lakukan. Di kamar seorang diri.
“Lo inget Dar? Tinggal nunggu kita lulus sekolah dan gue akan tunangan sama lo. Indah banget Dar.”
Memang benar, hal itu sudah terencana lama sekali. Pertunangan Sendanu dengan Dara sudah di depan mata. Tinggal menunggu keduanya lulus SMA.
“Lo juga pernah bilang nggak akan ninggalin gue.”
“Nggak adil banget Dar. Dia masih hidup.”
Setiap malam Sendanu selalu menyesali kepergian Dara. Dia belum ikhlas.
Selalu berakhir dengan Sendanu yang tertidur dengan foto Dara di pelukannya. Berharap malam ini akan dipertemukan di mimpi yang lebih indah dari kenyataan.
Menyalahkan keadaan pun tak ada artinya lagi. Takdir Sendanu memang bukan bersama Dara.
♥♥♥♥♥
Harus berjalan lebih cepat dari biasanya tentu membuat Nana kesusahan. Dia terlambat bangun karena badannya pegal-pegal. Tidak ada yang membangunkan karena seisi panti mengira Nana sedang libur kuliah. Padahal Nana ada kuliah pagi jam delapan.
Dia masih di dalam bus sedang perkuliahan tak menunggu selama itu. Nana terus merapal doa di dalam hati, semoga tidak telat.
Sepertinya Nana masih beruntung karena tepat setelah ia masuk kelas, dosen baru masuk.
Teman sekelas Nana selalu mengosongkan satu kursi di bagian depan untuknya. Hal itu berguna supaya Nana tak kesusahan mencari tempat duduk. Meski kelas selalu berganti dengan orang yang berbeda, mereka selalu melakukan hal itu.
“Sepertinya Naziwa juga terjebak macet seperti saya.”
Nana hanya bisa menunduk dan mengucapkan maaf. Dosennya satu itu memang kurang suka jika ada mahasiswa telat.
“Mari kita mulai perkuliahan …”
Pintu kelas terbuka sekali lagi. Siapa lagi kalau bukan Sendanu yang berani seperti itu.
“Sendanu.”
Sendanu berhenti tapi tak menoleh sama sekali. Tak ada niat mengikuti kelas pagi, tapi ada Nana, Sendanu punya alasan untuk mengerjai gadis itu.
“Saya lihat kamu sudah paham materi minggu lalu. Mungkin kamu bisa membagi ilmu kamu ke yang lainnya.”
Satu kelas menahan tawanya. Siapa yang tak tau kalau Sendanu tak pernah serius mendengarkan di kelas? Setiap mata kuliah, Sendanu selalu sibuk dengan ponsel. Entah apa yang dia lihat.
“Saya nggak bisa Pak.”
“Saya tau kamu bisa. Silakan, waktu dan tempat saya persilakan.”
Ada yang sempat kelepasan menahan tawa dan bisa dipastikan setelah kelas ia akan berurusan dengan Sendanu.
Mau tak mau Sendanu ke depan kelas. Dengan penampilannya sekarang ini, celana bolong di tengah, jaket jeans dan rambut yang tak terpotong beberapa bulan membuat Sendanu lebih mirip anak jalanan yang kesasar.
Pandangan Sendanu meneliti seisi kelas. Hingga jatuh pada Nana yang hanya diam tanpa menahan tawa seperti yang lain. Menurut Sendanu itu cukup aneh.
“MAN dan WAN pada dasarnya menggunakan konsep yang sama tetapi dalam jangkauannya, WAN lebih luas. Jika Man bisa digunakan dalam satu kota, maka WAN digunakan untuk satu negara.”
Semua mahasiswa merasa tak adil. Kenapa Sendanu yang tak pernah memperhatikan kuliah selalu bisa menjawab pertanyaan dadakan dari dosen?
“Cukup, silakan duduk dan ikuti perkuliahan saya dengan benar.”
Sendanu langsung menuju kursi kosong di samping mahasiswa yang menertawakannya tadi. Intimidasinya kuat sekali, sampai membuat mahasiswa itu ketakutan.
Sendanu menepuk pundaknya. “Bro, lo pernah denger mahasiswa yang kekunci di gudang kemarin kan?” Tentu saja Sendanu bohong. Tak ada mahasiswa yang terkunci di gudang, kecuali Nana dengan dia sendiri beberapa hari lalu.
“Gue nggak tau Nu.” Tangannya bergetar, takut dengan Sendanu.
“Kalau gitu gue kasih tau lo selesai kelas. Ikut gue, jangan kabur.”
Jika sudah begitu, maka tak ada yang bisa kabur dari Sendanu. Sekalipun dia hebat di kelas lain. Sendanu tetap pemenangnya.
“Lo nggak sendirian, ada Nana juga.”
“Tapi Nana …”
“Kenapa? Karena dia buta?”
Mahasiswa tadi mengangguk.
“Nggak ada pengecualian dalam kamus gue.”
♥♥♥♥♥
Selesai kelas Sendanu langsung menarik Seno, mahasiswa yang diancam Sendanu karena telah menertawakannya. Sendanu menghentikan langkahnya di depan kursi Nana. Tentunya Seno bingung karena dia kira akan dibawa ke gudang seperti kata Sendanu.
“Bujuk dia biar ikut sama lo. Gue tungguin di gudang.” Sendanu menekankan setiap kata. “Jangan sampai lo gagal.”
Sendanu berlalu begitu saja. Dia tak memikirkan Seno yang berkeringat dingin. Bagaimana caranya mengajak Nana sedangkan Seno saja tak pernah dekat? Bicara pun tak pernah.
“Na lo ikut gue ya.” Seno menggaruk kepalanya, semoga saja kali ini dia berhasil. “Eh, gue Seno.”
“Mau ke mana?”
“Udah, ikut aja.” Seno menarik Nana untuk berdiri. Agar orang lain tak curiga, dia berusaha sebisa mungkin untuk terlihat natural saat menggandeng Nana.
“No, mau ke mana sebenernya?”
“Ke gudang, Sendanu yang nyuruh gue. Maaf ya.”
Tau nama itu disebut, Nana langsung berusaha melepaskan diri. Sungguh Nana tak ingin berurusan dengan Sendanu hari ini.
“Na, please Na. Tolongin gue ya, lo ikut gue ya.”
“Tapi aku gak mau cari gara-gara sama Sendanu.”
“Dia cuma minta lo ke gudang sama gue, udah gitu aja.”
“Gak sesimpel itu Seno. Pasti ada maksud lain.” Nana terus berusaha melepaskan diri. Beberapa mahasiswa mulai memperhatikan mereka tetapi tak ada yang berniat menolong Nana. “Lepas Seno.”
“Gak! Lo harus ikut gue.” Seno semakin bersikukuh dan ia kembali menarik Nana. Namun baru dua langkah, tubuh Seno sudah tertarik ke belakang dan terjatuh.
“Apa urusan lo sama Nana?”
Ya, dia Danang.
“Gue cuma lakuin apa yang diperintah Sendanu.”
“Emangnya dia siapa sampai lo mau-mau aja ha? Sendanu itu juga mahasiswa di sini. Ngapain lo takut dan bawa-bawa orang lain?” Nana tertarik ke dekat Danang. “Kamu aman Na sekarang.”
“Makasih Nang.”
Tanpa membalas akhirnya Seno pergi juga. Dia tak mau berurusan dengan Danang. Sama seperti Sendanu, Danang juga memiliki pengaruh yang kuat di kampus.
“Sendanu ganggu kamu lagi Na?”
“Hampir, tapi kamu datang duluan. Kata Seno, dia disuruh Sendanu. Gak tau mau apa Sendanu di gudang.”
Inilah yang dikhawatirkan Danang kalau Nana tak bersama dirinya. Sendanu mungkin bisa saja berbuat lebih jauh tanpa bisa Danang cegah.
“Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk teriak Na. Meski di kampus atau di luar saat aku gak sama kamu.”
Nana menggeleng. “Mana mungkin aku libatin kamu dalam masalahku Nang?”
“Nu, maaf gue nggak bisa bawa Nana ke sini. Danang ngehalangin gue.” “Lo nggak lawan?” “Gue nggak berani, dia sama kayak lo, punya pengaruh kuat.” Sendanu maju dengan cepat dan mencengkeram kerah baju Seno. “Gue dan Danang beda.” Napas Seno terasa sesak karena Sendanu terlalu kuat menarik bajunya. Sampai Seno terbatuk-batuk. “Maaf Nu … gue nggak berani.” Sendanu membanting Seno di lantai dan menginjak perutnya. “Gue paling benci kata maaf dan lo masih berhutang sama gue.&rdqu
“Kamu nggak perlu beliin aku baju Nang, di panti masih banyak.” Danang membungkukkan tubuhnya untuk melihat Nana yang berada di dalam mobil. “Apa kata Bunda kalau kamu pulang kondisinya kotor kayak gini? Bunda pasti khawatir.” “Tapi ini mahal, uang aku mana cukup buat ganti.” “Jangan diganti Na. Buat kamu, anggap aja sebagai hadiah karena mau jadi temen aku.” Nana tertawa membuat Danang heran. “Seharusnya aku yang bilang gitu, makasih udah mau jadi temenku Nang.” “Sama-sama Nana.” Danang tersenyum tulus. Jangankan baju, apa pun akan Danang berikan u
“Jangan memaksakan diri Na, kamu baru saja bangun setelah pingsan 6 jam. Untung ada Sendanu yang menyelamatkan kamu. Dia menceritakan semuanya ke Bunda.” “Sendanu di mana sekarang Bun?” “Dia sudah pulang setelah mengantar kamu.” Nana bangkit tapi ditarik bunda untuk duduk lagi. “Mau ke mana?” “Nana harus minta bantuan Sendanu. Hanya Sendanu yang bisa melindungi Nana. Danang mengancam Nana.” “Sekarang sudah malam sayang. Besok Sendanu bilang akan ke sini lagi. Tunggu besok ya?”
“Sering berantem juga?”“Bukan. Lebih tepatnya dipukul.” “Sama siapa? Kenapa nggak dilawan?” “Buat apa dilawan, percuma.” “Udah pernah nyoba?” Sendanu menggeleng. “Belum pernah.” “Nah, mana bisa bilang percuma kalau belum dicoba. Kamu juga harus membela diri Nu. Tadi aja bisa.” Sendanu memang bisa membela diri, apalagi bertarung. Sebagai orang yang hobi karate, Sendanu sudah termasuk mahir.&
Angin sore yang sepoi-sepoi menjadi favorit dua remaja yang kini sedang kasmaran. Keduanya sangat suka melihat matahari terbenam sembari naik motor mengelilingi Jakarta. Meski kadang terjebak macet, keduanya tak merasa itu sebuah masalah. Justru semakin banyak orbolan yang tercipta.Remaja sebaya mereka mungkin iri melihat kedekatan Sendanu dengan Dara. Keduanya adalah pasangan yang cocok untuk dijadikan nominasi queen and king di malam promnight nanti."Nu, kamu nggak laper?" Dara sedikit mengeraskan suaranya."Nggak juga. Kamu mau makan dulu Dar?""Boleh deh. Sekalian nunggu mobil beres di bengkel.""Mau makan di mana?" Sendanu melirik Dara lewat spion. Terlihat Dara berpikir sebentar."Pecel lele di simpang jalan deket sekolah. Enak banget tuh, apalagi sore-sore gini."Sendanu terkekeh, Dara sangat lucu dengan ekspresi membayangkan makanan. "Siap laksanakan Bos."Akhirnya mereka bisa keluar dari kemacetan. Itu juga berkat Se
Di sinilah Nana sekarang, di danau kampus yang cukup sepi dan tenang. Dari semua tempat di kampus, danau satu-satunya yang bisa membuat Nana nyaman. Tak ada yang akan mencari Nana si sini atau mengganggunya. Yah, kecuali jika ada penunggu danau.Dada Nana masih sesak karena menangis cukup lama. Seumur hidupnya, meskipun Nana butuh sesuatu, lebih baik dia berusaha menabung daripada mencuri yang bukan haknya. Prinsip itu selalu Nana jaga. Dan perkataan anak-anak club musik menyakiti hati Nana."Ternyata lo di sini."Nana menoleh ke arah kiri asal suara itu. Dia juga merasakan pergerakan di sebelahnya."Gue denger dari anak-anak kalau lo debat sama club musik, bener?""Bener Nu." Nana memalingkan wajahnya ke depan."Sorry ya, gue lupa bilang ke mereka kalau gitarnya emang rusak. Semua senarnya dipotong Adik gue."Apa yang dikatakan Sendanu memang benar. Gitar itu memang dirusak adik kandungnya di rumah. Namun salah Send
"Nggak, ada hal lain yang perlu kamu tau. Suara itu suaraku yang direkam secara paksa. Sendanu menyuruh beberapa orang untuk menghajar aku dan dia nggak akan berhenti sebelum aku mau melakukakan yang dia inginkan. Semua kata-kata itu dibuat oleh Sendanu Na, bukan aku."Sungguh Nana tak mengerti Danang akan mengarang cerita seperti itu. Sebenci itukah Danang dengan Sendanu?"Cerita kamu bagus juga. Kalau ikut lomba mungkin bisa menang."Apa yang Nana katakan membuat Danang frustrasi. Dengan cara apalagi dia meyakinkan Nana?"Aku mencoba berkata jujur Na. Terserah kamu mau percaya yang mana. Selalu ingat bahwa Sendanu tidak pernah tulus melakukan semuanya. Dia punya alasan, dan jika kamu tau Na, alasan itu sungguh menyakitkan."Danang memilih pergi dari sana. Meskipun apa yang Danang katakan belum bisa Nana percayai, dia akan selalu ada di saat Nana butuh."Ya, aku percaya Sendanu telah berubah."Perkataan itu sampai di telinga Danang.
Pelan sekali Sendanu membuka pintu kamar itu. Lampu kamarnya mati, artinya pemilik kamar belum bangun. Sendanu menekan saklar dan ruangan itu terang seketika. Tak ada yang spesial di ruangan itu, kecuali seseorang yang sedang tidur meringkuk di bawah selimut.Sendanu dapat kabar dari asisten rumah tangga kalau mamanya menolak makan. Semua makanan yang dikirim ke kamar dibuang percuma. Bahkan mama sempat mengamuk, begitulah yang asisten rumah tangga katakan.Tak biasanya mama Sendanu kembali berulah. Pasti ada sesuatu yang membuat beliau mengamuk. Karena Sendanu tahu sendiri dan sangat dekat dengan mamanya. Beliau sebenarnya wanita yang baik, sayang Mahesa terlalu menuntut sehingga keadaan menjadi seperti sekarang."Ma, bangun dulu ya. Mama belum makan seharian." Sendanu mengguncang pelan tangan mamanya.Wanita itu bergeming seakan tak dengar permintaan Sendanu."Kalau Mama nggak makan, Sendanu nggak mau nurut sama Papa lagi."Mama Send
Dua minggu setelah menjauh dari Manda Terhitung sudah dua minggu Sendanu membawa Riris dan Sekar ke apartemen. Namun hingga saat ini Nana belum bertemu dengan mereka. Setelah Sendanu mengajak Nana ke pertemuan makan malam dengan keluarga Manda, Nana belum mendengar kabar mama dan adik Sendanu. Sejujurnya Nana sangat senang ketika Sendanu bisa mengamankan mama dan adiknya ke tempat yang lebih aman daripada di rumah. Setidaknya dengan begitu mereka bisa menjalani hari dengan nyaman dan Mahesa tidak memiliki alat untuk mengancam Sendanu. Ini sudah ke-10 kalinya Nana menerima ajakan dari Sendanu untuk mengunjungi apartemen tempat Sendanu tinggal. Tapi Nana selalu memiliki alasan untuk menolak. Sebenarnya Nana takut jika dia tidak memenuhi ekspektasi mama ataupun adik Sendanu. Nana terlalu takut jika mereka melihat kekurangan Nana sebagai hal yang akan merugikan mereka. Namun kali ini Sendanu mencoba lagi untuk mengajak Nana bertemu dengan mama dan adiknya. “Katanya mau lihat nyok
Dua minggu sebelum penculikan Nana. Siapa yang tak mengenal sosok Rama? Beliau disegani di bidang bisnis properti. Semua orang yang bergelut di bidang itu sepertinya tahu sehebat apa pengaruh beliau dan perusahaannya di dalam dunia kerja. Rumor mengatakan tak hanya memiliki perusahaan yang sukses, tetapi istri yang suportif dan juga anak yang sangat bisa dibanggakan. Rumor itu tersebar setelah sosok yang akrab dipanggil sebagai Pak Rama tersebut membawa serta anak sulungnya ke dalam pertemuan perusahaan. Kabarnya juga, beliau memiliki dua orang anak, akan tetapi satu lagi telah tiada. Oleh karena itu hanya satu yang diperkenalkan ke publik. Selain memiliki keluarga yang harmonis, Pak Rama juga dikenal sebagai sosok yang dermawan. Dia menjadi donatur di salah satu panti bernama ‘Cahaya Kasih’ sejak beberapa tahun lalu, tepatnya sejak anaknya lahir. Hal itu dikabarkan karena beliau ingin menebus rasa bersalahnya kepada anak keduanya, oleh karena itu sejak beberapa tahun silam, Panti
1 minggu sebelum penculikan Nana. Selain gedung rektorat, tempat lain di kampus yang sangat sejuk adalah di danau. Danau kampus membentang luas dan rindang dengan pepohonan di sekelilingnya. Meskipun rindang, suasana di sana tidak terlalu angker. Justru banyak mahasiswa yang memanfaatkan danau untuk tempat mengerjakan tugas kelompok ataupun makan kalau mereka membawa bekal. Daripada makan di kantin dengan bekal bawaan dari kos, lebih etis kalau mereka makan di pinggir danau. Namun bukan untuk makan tujuan Danang ke danau kali ini. Dia menunggu seseorang yang saat ini mungkin masih mengemasi barangnya di kelas. Jika kalian tahu betul siapa Danang, tak lain tak bukan yang dia tunggu adalah Nana. Hal itu pasti karena Danang hanya dekat dengan Nana. Bukan berarti Danang tak punya teman, dia punya, hanya saja kebanyakan dari mereka takut bergaul karena efek dari tekanan yang diberikan oleh Sendanu. Kalau mereka bergaul dengan Danang dan Sendanu mengetahuinya, siap-siap akan dimusuhi S
Sehari setelah Sendanu menyatakan perasaan ke Nana. Sebuah pilihan yang sangat sulit bagi Nana untuk mempercayai apa yang dikatakan Sendanu. Walaupun memang Nana percaya Sendanu orang yang telah menolongnya, tapi urusan tolong-menolong dan hati mereka adalah dua hal yang berbeda. Anggap saja Sendanu memberikan Nana nasi, tapi Nana harus mengembalikan wadah nasi yang bahkan tak pernah diberikan oleh Sendanu sebelumnya. Nana yang mengerjakan proposal untuk diberikan ke ayah Sendanu pun akhirnya menyerah dengan apa yang dia pikirkan kali ini. Masalahnya ini Sendanu, cowok yang terkenal nakal dan juga sangat diidamkan oleh para perempuan di sini. Bagaimana tidak, Sendanu anak dekan, dia kaya raya, dia tipe yang dingin tapi hangat ke orang yang dia kenal, hanya satu yang tidak disukai dari Sendanu, perkataannya yang terlalu menyakitkan. Beberapa orang mengakui itu. Terlepas dari keburukannya itu, Sendanu adalah tipe idaman perempuan di kampus ini. Ah jangan lupakan satu fakta bahwa dia
Mobil yang Danang tumpangi kehabisan bensin. Ia berhenti sejenak di SPBU untuk mengisi bahan bakar saat ada telepon masuk ke ponselnya. Dari Monic. “Halo, ada apa Mon?” Nana hilang Nang, kita semua lagi nyari dia. Sendanu juga nggak ada, gue khawatir kalau Nana dibawa Sendanu. Umpatan Danang terdengar oleh Monic di telepon. Danang menutup telepon begitu saja. Antrian di SPBU masih panjang. Mungkin Nana tak bisa menunggu lebih lama lagi. Bagaimana pun Danang harus sampai lebih cepat ke vila. Danang melihat sekitarnya yang ramai. Matanya dengan teliti mengamati setiap sudut hingga ia menemukan pangkalan tukang ojek di sebelah SPBU. Danang berlari ke sana untuk meminjam salah satu m
Monic tersadar sedari tadi dia tak melihat Nana ada di pesta. Segera setelah sadar dia mencari Danang. Firasat Monic tak begitu baik. Monic sudah mencoba menghubungi Danang tetapi ponselnya tak aktif. Sudah frustrasi, akhirnya Monic meminjam mic yang digunakan untuk menyanyi oleh salah seorang temannya. Monic mengumukan kalau dia sedang mencari Danang. Cara itu ampuh membuat Danang maju ke barisan depan. Sayangnya tepat setelah menemukan Danang, listrik mendadak padam. Danang berhasil meraih tangan Monic dan membawanya keluar dari kerumunan. “Ada apa Mon?” “Nana hilang! Gue nggak tahu dia di mana.” Danang geram. “Bukannya gue udah minta tolong sama lo buat jaga d
Hari telah berganti yang artinya sudah satu hari rombongan menginap di vila. Di hari pertama memang mereka tak merencanakan apa-apa karena ingin beristirahat sambil menikmati suasana di sekitar vila, ada juga yang memanfaatkan momen itu untuk mengambil gambar. Malam kedua ini diadakan pesta kecil-kecilan. Memanggang beberapa sosis, daging, marshmallows, jagung dan masih banyak lagi untuk merayakan bertambahnya semester dan melepaskan penat sejenak. Halaman vila pertama didekor sedemikian rupa oleh panitia yang telah terbentuk. Sementara itu untuk orang-orang yang tak masuk dalam kepanitiaan akan menyiapkan bumbu di dapur. Kebanyakan yang mempersiapkan pesta di halaman adalah para lelaki. Yang perempuan sedang sibuk di lantai dua untuk menyiapkan bahan atau pun membantu mengambilkan beberapa keperluan untuk pesta. Karena merasa k
Tibalah rombongan di salah satu vila yang ada di Puncak. Vila ini direkomendasikan oleh Monic karena ia punya salah satu kerabat dekat yang sering berkunjung ke Puncak. Untuk menampung sekitar delapan puluh orang dalam rombongan diperlukan dua bus dan dua vila. Tempatnya saling berhadapan. Hanya terpisahkan oleh jembatan kecil yang menjadi penghubung dengan sungai kecil di bawahnya. Pohon pinus berjajar rapi di sekitar vila. Vila yang pertama memiliki tiga lantai dengan halaman yang luas dan terbuka. Dari halaman depan ada tangga yang menuju teras. Di lantai pertama ini ada satu kamar yang cukup besar beserta ruang tamu pertama. Beberapa perabotan yang ada seperti sofa dan tv masih terasa baru karena sangat terawat. Menuju ke lantai dua, ada dapur, ruang tamu kedua serta tiga kamar mandi. Lantai kedua ini tak ada kamar tidur karena sebagian lahannya digunakan untuk kolam renang dengan gazebo di sudutnya. Urusa
Kuliah selama satu semester sudah dijalani dengan baik oleh para mahasiswa Seni. Waktunya mereka berlibur sejenak untuk menyegarkan pikiran sebelum masuk ke semester yang baru lagi. Salah satu kelas di mata kuliah Nana sepakat untuk mengawali liburan mereka dengan berlibur ke Puncak, Bogor. Dibentuk beberapa panitia untuk mengurus transportasi, konsumsi, acara dan dokumentasi. Untuk dana yang digunakan mereka sudah punya Danang sebagai penyumbangnya. Ada juga Monic, Sendanu, Nana yang tergabung dalam kelas itu. Di mata kuliah inilah mereka dipertemukan saat di kelas. Selain itu mereka hanya sesekali bertemu di luar atau di kelas yang lain. Awalnya Nana menolak untuk ikut dikarenakan ia takut untuk meminta izin ke bunda. Namun Sendanu sudah berkompromi dengan Monic agar mau membujuk bunda supaya mengizinkan Nana. Alhasil setelah negosia