Sebuah motor terhenti di depan rumah Matari. Hari itu hari Sabtu menjelang sore. Tante Dina tampak bingung karena dari jendela belum pernah melihat wajah seorang gadis yang berjalan pelan masuk ke pekarangan rumah sambil memarkir motornya dengan hati-hati.
Setelah pintu diketuk, Tante Dina membukakan pintu rumah dengan sigap.
“Assalamualaikum Tante. Matarinya ada?” tanya gadis itu.
“Walaikumsalam, halo, ada…. Bentar, ini siapa ya?” sahut Tante Dina.
“Saya Ayla, Tante, teman satu kelasnya, kebetulan kami dipilih sebagai seksi konsumsi kelas untuk perlombaan olahraga di classmeeting minggu depan. Makanya saya datang buat ajak Matari diskusi dengan ketua kelas kami di rumahnya,” jawab Ayla panjang lebar.
Tante Dina memperhatikan gadis yang tingginya tak jauh dari Sandra. Wajahnya manis. Penampilannya memang mencirikan khas anak orang berada. Namun entah kenapa, ada yang membuat Tante Dina merasa tidak sreg de
Sesampainya di rumah Dinda, Matari dan Ayla langsung mengerjakan daftar makanan dan minuman yang harus disediakan. Untuk minuman, Ayla bahkan menyarankan untuk membeli dari supermarket keluarganya. Dia juga mewanti-wanti agar mereka harus tetap membayar, sebagai gantinya, kami semua akan mendapatkan diskon yang cukup besar.Untuk makanan, ibunya Dinda bersedia membuatkan kue-kue basah dengan harga murah. Sehingga baik Matari dan Ayla tidak perlu khawatir. Terlebih lagi beliau bersedia mengantarkan kue-kue itu pagi-pagi sekalian mengantar Dinda ke sekolah. Dinda sih setuju saja, asal Matari dan Ayla stand by untuk membantunya mengangkut makanan ke dalam kelas mereka.Semua detail persiapan konsumsi sudah beres dalam waktu satu jam. Adik perempuan Dinda, meminta Dinda untuk menemaninya mengerjakan PR. Maka, Matari dan Ayla akhirnya segera pamit pulang.“Eh, masih jam segini. Mau main ke rumah gue nggak, mumpung malem minggu nih,” kata Ayla saa
Menikmati pizza adalah salah satu hal yang mewah bagi Matari. Di rumahnya sendiri, hal seperti itu tak selalu bisa dia inginkan kapan saja. Mbok Kalis, ART-nya, hampir selalu memasak. Eyang Putri tidak bisa makan sembarangan seperti dulu. Tante Dina, sangat berusaha hidup sederhana karena sebagai single parent pasti lebih banyak kebutuhan lain yang didahulukan.Ayahnya sendiri, hampir tidak pernah peduli pada hal-hal seperti itu. Uang bulanan yang diberikan kepada kedua anaknya jumlahnya pas-pasan. Sehingga baik Matari atau yang lainnya, tak pernah berharap bisa makan makanan cepat saji saat hari biasa.Matari memperhatikan Ayla yang dengan mudahnya memesan apa yang dia mau. Bahkan seumuran dia sudah membawa kartu ATM sendiri. Uang cash di dompetnya juga banyak. Tampaknya uang tak pernah menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi Ayla.Suara beberapa motor yang sudah dimodifikasi mesin knalpotnya masuk ke area halaman belakang. Matari bisa menebak bahwa itu
Tak disangka, mendadak hujan turun deras di luar. HP Matari berbunyi. Tante Dina menelepon.“Halo, Matari? kamu masih di rumah ketua kelas kamu?” tanya Tante Dina.Matari terdiam sejenak. Dia lupa bilang bahwa sudah berpindah tempat.“Eh, iya, Tan. Masih hujan deras di sini,” sahut Matari setengah tergagap dan akhirnya berbohong adalah solusi terbaik saat itu.“Sama, di sini juga. Ayah kamu juga masih kejebak di halte bus, beliau nggak pulang naik motor. Kamu rencana pulang kapan? Tugasnya udah selesai belum? Tante nggak bisa jemput, Eyang Putri lagi ngomel-ngomel.”“Mmm nunggu hujan reda ya. Aku langsung balik.”“Oke, hati-hati ya. Jangan ngebut-ngebut, bilang ke Ayla-nya, oke?”“Oke, Tante.”Klik. Percakapan ditutup. Matari menatap ke arah luar. Hujan tak ada tanda-tanda berhenti. Choki masih belum kembali dari garasi belakang dan Ayla, dia bahkan masih b
Matari merasa canggung membonceng Arai. Tubuh Arai begitu kurus, meskipun Hoodie yang dipakainya tampak cukup tebal dan menutupi semua itu. Bagi Matari yang hanya memakai jaket jeans, tubuh Arai lumayan meng-cover angin dari depan sehingga dia tak terlalu merasa dingin.Namun, tampaknya Matari dan Arai kurang beruntung. Hujan tiba-tiba menjadi deras sekali lagi.“Ri, kita nepi ya! Gue mau ngebut cari tempat buat neduh, lo pegangan gue ya!” kata Arai setengah berteriak.Matari merasa ragu, akhirnya dia menempelkan tangannya di antara dirinya dan Arai untuk menjaga jarak. Tapi, ternyata Arai menarik gas cukup dalam hingga dia hampir terjengkang ke belakang.“Udah gue bilang kan buat pegangan?” tanya Arai kesal.Matari akhirnya menurut. Dia memegang hoodie Arai meski hanya dibagian ujung. Hujan semakin bertambah deras, hingga jalan sama sekali tak terlihat. Arai membelokkan motornya di sebuah deretan
Hujan mereda sedikit. Beberapa peneduh akhirnya satu per satu nekat pergi. Petir dan angin sudah tak terlihat. Berangsur-angsur, orang meninggalkan ruko meskipun hujan masih turun.Matari sudah melepaskan genggamannya beberapa saat yang lalu saat mencoba membersihkan sandalnya yang kena percikan tanah dan lumpur yang mulai terasa gatal.“Mau nekat aja nggak?” tanya Arai. “Gue ada jas hujan sebenernya. Cuma model batman gitu, jadi ya kaki kita tetep bakalan basah. Tadinya gue mau pakai, tapi nunggu redaan dikit. Lo pasti udah dicariin orang rumah. Ini udah jam setengah 9 lho.”Bukannya khawatir, Matari terkikik. “Nggak nyangka lo masih bawa jas hujan model gitu. Itu kan jas hujan bapak-bapak!”“Sialan. Gue adanya itu. Mendingan daripada nggak ada kan? Ini juga nyokap gue yang masukin. Udah yuk! Lo pegangan gue ya? Terus bagian ekornya dudukin aja, biar nggak terbang-terbang. Bahaya.”Setelah Arai
“Heeeei, kampret! Malem minggu gue ditinggalin sendirian di rumah Ayla! Ke mana lo? Di SMS Ayla nggak bales juga lagi!” seru Choki sambil mensejajarkan langkahnya dengan Arai yang sedang menuju ke lapangan untuk upacara bendera.Arai tersenyum jahil pada Choki.“Malah senyum-senyum! Jawab dong! Awas aja kalo jawabannya cerita sedih dan lo patah hati terus balek ke rumah!” sahut Choki.“Kok doanya jelek amat?” timpal Arai.“Makanya cerita dong! Minimal bales SMS Ayla. Akhirnya gue nebeng Bang Luigi buat pulang. Si Anton kaga nongol lagi!”“Hehehe, rahasia. Tapi kalo patah hati sih enggaklah yaw!”“Beneran nih? Jadi ada kemajuan ceritanya?”Arai mengangkat bahu. “Nggak tahu sih. Btw, Matari beneran jomblo kan?”Choki menepuk dahinya sendiri. “Alamak! Kenapa baru nanya sekarang? Ya jomblo-lah atuh! Masa udah punya cowok gue dukung lo
Classmeeting berlangsung babak demi babak. Matari dan Ayla stand by di pinggir lapangan setiap kelas mereka bertanding. Sayangnya kategori futsal, untuk satu-satunya cabang olahraga yang diharapkan, tak lolos di perempat final. Kalah dengan kelas 3 IPS 1 yang memang luar biasa penampilannya.“Ri, mau ke mana?” tanya Ayla saat menyadari Matari siap-siap beranjak pergi mengikuti anggota kelas mereka yang selesai bertanding.“Hmmm, balik ke kelas. Narok sisa-sisa snack biar bisa dimakan sama anak-anak di kelas,” sahut Matari.“Biar Dinda aja! Din! Lo mau ke kelas kan?” seru Ayla pada si ketua kelas yang tampak kecewa karena tim kelas mereka yang kalah.“Hmmm mau ke ruang guru sih, mau ngasih tahu Bu Fitri kalo kelas kita kalah futsal,” jawab Dinda.“Mampir kelas dong, nih sisa snacknya kasih aja ke anak-anak kelas kita, biar pada abis!” kata Ayla.Dinda melirik kotak Tupperwar
Kelas 1-5 berkumpul di sisi lapangan lain, menunjukkan dukungan mereka untuk tim kelas mereka yang sedang bertanding. Satu per satu anggota futsal masuk.Ada Arai dan Choki bergabung di sana. Arai baru sadar jika di sisi lain, Matari menontonnya. Ada sedikit rasa ego ingin memamerkan kehebatannya. Dia ingin menunjukkan bahwa meskipun dia anak yang bandel, dia masih bisa bermain futsal dengan baik.Peluit tanda permainan dimulai berbunyi panjang. Para pemain segera bergerak merebut bola ke sana ke sini. Lawan saat itu adalah kelas 2 IPA 3, yang juga dijagokan karena kehebatannya.“Eh, La, gue mau kencing nih. Temenin yuk!” ajak Marsha tiba-tiba saat pertandingan baru berjalan 5 menit.“Yuk, gue juga kebelet. Kalian mau ikut?” tanya Ayla.“Eh enggak, gue di sini aja,” sahut Matari.“Cieee, nggak mau kelewat satu menit pun ya? Ihiiiy!” ledek Ayla."Emang gue nggak kebelet aja,” jawab